Tinta Media

Jumat, 26 April 2024

Remisi Masa Tahanan, Akankah Membawa Perubahan?

Tinta Media - Pengurangan masa tahanan (remisi) pada momen-momen tertentu untuk para narapidana merupakan sebuah kebaikan menurut sebagian orang, terutama bagi pelaku kejahatan itu sendiri. Namun benarkah pemberian remisi dapat memberikan efek jera dan perubahan tingkah laku agar menjadi lebih baik untuk para tahanan yang sedang menjalani proses hukuman?.

Dalam laman Cnn Indonesia (11/04/2024), Sebanyak 5.931 warga binaan di sejumlah lapas dan rutan Sulawesi Selatan, Makassar mendapatkan remisi dalam rangka hari raya idul fitri, bahkan ada 14 tahanan yang langsung bebas. Kepala Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Sulsel, Liberti Sitinjak mengapresiasi seluruh penghuni lapas sebab telah menciptakan suasana yang kondusif selama setahun ini, ia juga mengatakan pemberian remisi ini sebagai reward kepada warga binaan yang selalu berbuat baik, memperbaiki diri, dan kembali menjadi anggota masyarakat yang berguna.

Remisi Diberikan, Kejahatan Makin Mengancam

Berdasarkan Keppres No. 174/1999 ada 3 jenis remisi, yakni remisi umum, khusus, dan tambahan, selain remisi yang diberikan pada hari-hari besar, atau keagamaan, remisi pun diberikan kepada narapidana yang berjasa pada negara atau membantu kegiatan di lapas. Banyaknya jenis dan macam remisi membuktikan bahwa hukum saat ini tidaklah memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Kejahatan semakin bertambah banyak dan semakin beragam pula jenisnya. Yang paling viral saat ini adalah kasus korupsi ratusan triliun yang berjalan menahun tanpa terendus, hingga akhirnya terbongkar telah menilap lebih dari 200 triliun rupiah.

Sanksi yang tidak membuat jera ini sangat berbahaya, sebab menjadikan orang tidak takut lagi jika ingin melakukan kejahatan, bahkan mereka berani melakukan kejahatan yang lebih besar dan merugikan banyak orang. Selain itu sudah bukan rahasia umum jika ada keistimewaan dan kemewahan yang diterima para tahanan terutama kasus korupsi dalam lapas, contohnya Gayus Tambunan yang bisa jalan-jalan ke bali di saat masa tahanannya masih berlangsung.

Ini membuktikan sangat rusak dan lemahnya sistem buatan manusia, sistemnya bisa diubah dan disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Hukum yang bisa dibeli ini tentu menguntungkan para terpidana yang memiliki banyak uang, mereka tidak lagi takut dan cemas sebab segala kebutuhan dan kemewahan telah tersedia sesuai budget yang dia bayarkan. Lalu bagaimana rakyat bisa berharap keadilan dan keamanan akan tercipta selama masih menggunakan sistem yang zalim ini?

Islam Mengatur Sanksi Sesuai Syariat

Tidak seperti sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan dengan syariat yang berasal dari Allah SWT,  penerapan syariat Islam inilah yang nantinya akan melindungi masyarakat dari berbagai kejahatan. Islam mengharuskan setiap individunya menyadari bahwa setiap perilaku yang dilakukan, baik atau buruk akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Islam juga mengharuskan amar makruf nahi munkar di setiap lapisan masyarakat agar saling menjaga dan mengingatkan serta mengawasi, sehingga meminimalisir terjadinya peluang kejahatan. Dan negara pun wajib memberikan sanksi yang adil dan tegas.

Negara juga menjamin kesejahteraan masyarakat dengan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan secara gratis tanpa dipungut biaya. Negara juga menyediakan lapangan pekerjaan, terutama untuk laki-laki dan kepala keluarga agar dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarganya. Negara juga memberikan modal berupa lahan, teknologi pertanian, edukasi, atau uang kepada masyarakat yang membutuhkan. Sehingga terselesaikanlah masalah ekonomi yang biasanya menjadi awal terjadinya kejahatan.

Negara juga menerapkan sistem pendidikan Islam yang akan menciptakan generasi mulia dan bertakwa sehingga memungkinkan terhindar dari ajakan atau godaan untuk melakukan kejahatan. Negara pun menerapkan sanksi yang berfungsi sebagai pencegah dan penebusan dosa, hukumannya berdasarkan dalil nash dan sunnah seperti hudud, jinayah, dan ta'zir, dan tidak ada remisi atas hukuman yang sedang dijalankan.

Demikianlah ketika negara Islam dijalankan, masyarakat akan hidup dengan aman, tenteram, dan damai, sebab minimnya kasus kejahatan yang terjadi di masyarakat. Dengan penerapan syariat secara kaffah tentunya akan mendatangkan maslahat berupa rahmatan lil alamiin.

Wallahu A'lam Bisshowab.

Oleh: Audina Putri (Sahabat Tinta Media)

Harga Gula Meroket, Ekonomi Terseret

Tinta Media - Sejak memasuki bulan Ramadan hingga bulan Syawal, kenaikan harga gula makin signifikan. Kenaikan tersebut otomatis memukul berbagai industri yang menggunakan gula sebagai salah satu bahan utamaĺĺ Parahnya lagi, setelah lebaran, stok gula dikatakan "kosong" di pasaran. Terutama pasar ritel modern. Karena harga makin tidak masuk akal.

Pengaturan ala Kebijakan Simultan

Direktur Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim mengungkapkan kelangkaan terjadi karena pelaku usaha kesusahan memperoleh stok gula  impor, kalaupun ada, harganya tinggi (CNNIndonesia.com, 19/4/2024).

Di pasaran, harga gula mencapai Rp 18.000 hingga Rp 22.750 yang sebelumnya berkisar Rp 14.000 hingga Rp 15.000 (CNNIndonesia.com, 20/4/2024). Tentu saja, hal tersebut berdampak langsung pada ekonomi rumah tangga dan industri. Karena gula merupakan komoditas strategis yang dominan dibutuhkan seluruh masyarakat.

Secara internasional, harga gula sebetulnya sedang turun, namun pasokan yang saat ini diimpor, menggunakan harga sebelum penurunan. Demikian lanjut Isy. Tidak hanya itu, petani gula lokal pun belum melakukan penggilingan tebu, sehingga mempengaruhi stok gula dalam negeri. Ungkapnya.

Kenaikan harga gula merupakan refleksi betapa buruknya konsep tata niaga yang kini diterapkan. Sehingga kekacauan tersebut akhirmya dimanfaatkan oleh pebisnis besar seperti ritel dan sejenisnya. Adanya penimbunan barang hingga terjadilah pasar monopoli. Sayangnya, negara tidak melakukan inspeksi pasar secara langsung. Justru yang dilakukan adalah kebijakan simultan, yakni membuka keran impor gula demi memenuhi persediaan gula di pasar. Alhasil, mekanisme tersebut mengguncang harga gula. Hingga terjadi ketidakstabilan, baik stoknya maupun harganya.

Gonjang-ganjing harga gula pun dipengaruhi kebijakan HET (Harga Eceran Tertinggi) yang ditetapkan pemerintah saat ini. Karena kebijakan tersebut hanya berat di satu pihak. Jika petani mengalami kenaikan harga produksi, petanilah yang mengalami kerugian. Meskipun betul bahwa kebijakan HET, mampu menjaga harga komoditas di pasar. Namun fluktuasi yang terjadi tidak mampu meredam kenaikan harga yang semakin tidak terkendali. Dalam hal ini dibutuhkan kebijakan yang adil dari negara terkait pasar, stok dan stabilitas harga.

Inilah konsekuensi diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme yang liberalistik. Semua kebijakan hanya disandarkan pada pemegang modal terbesar. Negara sama sekali tidak mampu menerapkan regulasi yang sebelumnya telah ditetapkan. Sehingga lahirlah Undang-undang yang memudahkan impor gula.  Di sisi lain, tidak ada usaha serius dari pemerintah untuk meningkatkan produksi gula dalam negeri. Wajar saja, saat kondisi semakin tidak bisa dikendalikan, solusi yang diputuskan adalah impor gula. Lagi-lagi, kebijakan tersebut sudah tentu menguntungkan oligarki kapitalis.

Ironisnya lagi, saat ini banyak lahan pertanian, salah satunya lahan tebu yang dialihkan demi menuntaskan Proyek Strategis Nasional yang telah ditetapkan sebagai program andalan pembangunan infrastruktur dalam negeri. Otomatis, produktivitas bahan pangan pun merosot tajam. Betapa buruknya tata kelola pangan dalam kendali sistem kapitalisme liberalistik. Konsepnya membebaskan segala cara demi meraup keuntungan materi yang tiada henti. Sementara kepentingan rakyat semakin terabaikan.

Pengaturan Pangan dalam Islam

Negara beserta seperangkat kebijakannya semestinya mampu mengendalikan stok dalam negeri, pasokannya serta stabilitas harga di lapang. Sehingga setiap kebijakannya mampu menciptakan kondisi yang nyaman untuk seluruh rakyat. Seluruh lapisan rakyat mampu menjangkau harga komoditas pangan dengan aman.

Konsep tersebut hanya mampu tersaji dalam tatanan sistem Islam yang dikendalikan oleh institusi khilafah. Satu-satunya institusi yang mampu menjaga ketahanan pangan secara global untuk seluruh kepentingan rakyat.

Sistem Islam dalam khilafah, memiliki konsep mekanisme pengaturan yang amanah dan mengutamakan kemandirian dalam pengurusan urusan rakyat. Dalam aturan syara', penguasa adalah pelayan semua urusan rakyat. Sebagaimana disampaikan dalam sabda Rasulullah SAW.,

"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhori).

Politik ekonomi Islam yang diterapkan dalam khilafah, menjamin pemenuhan pangan dan kebutuhan pokok setiap individu.

Terkait penjagaan stabilitas komoditas gula, khilafah akan menetapkan berbagai kebijakan yang amanah demi memenuhi setiap kebutuhan rakyatnya.

Pertama, menetapkan regulasi yang adil terkait harga, pasokan barang dan mekanisme distribusi di pasar. Harga dijaga pada batas aman, namun tetap memperhatikan fluktuasi pasar. Tidak hanya itu, khilafah pun akan menindak setiap penimbun barang, atau menghilangkan setiap kesempatan terbentuknya pasar monopoli. Dengan demikian, pasar akan tetap terjaga dan terkendali dengan batas harga yang tetap mampu dijangkau masyarakat. Menyoal impor, kebijakan khilafah akan meminimalkan atau bahkan me-nol-kan impor. Karena produksi dalam negeri akan terus digenjot dengan berbagai metode dari para ahli pertanian. Dengan demikian, negara akan senantiasa terjaga kemandiriannya. Karena kemandirian produksi akan mempengaruhi pembentukan harga barang di pasar.

Kedua, menetapkan mekanisme produksi yang terjaga demi produktivitas tinggi. Seperti penetapan intensifikasi dan ekstensifikasi yang langsung diserahkan kepada para ahli pertanian. Serta memudahkan akses pupuk, alat sarana pertanian, dan sejenisnya.

Dengan konsep tersebut, pasokan gula akan dijamin khilafah secara sempurna. Mekanisme dan konsep kemandirian akan senantiasa menjaga perekonomian secara utuh di dalam negeri.

Pengaturan berlandaskan syariat akan berbuah manfaat dan rahmat bagi seluruh umat. Inilah janji Allah SWT. Dan Allah SWT. tidak akan pernah menyalahi janji-Nya.

Wallahu'alam bisshowwab. 

Oleh: Yuke Octavianty (Forum Literasi Muslimah Bogor)

Urgensitas Khilafah bagi Kaum Muslim

Tinta Media - Arti penting Khilafah bagi kaum Muslim dapat dilihat dari beberapa perkara berikut ini:

Pertama, Khilafah adalah sistem pemerintahan syar’iy yang berfungsi menerapkan syariat Islam secara kaaffah di dalam negeri dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.  Islam tidak bisa dipisahkan dari Khilafah, dan Khilafah tidak bisa dipisahkan dari Islam.   Imam al-Ghazaliy berkata:

والملك و الدين توأمان فالدين أصل و السلطان حارس, وما لا أصل له فمهدوم و ما لا حارس له فضائع

“Kekuasaan (negara) dan agama merupakan saudara kembar.  Agama adalah asas, sedangkan kekuasaan adalah penjaga.  Kekuasaan tanpa asas akan binasa, sedangkan agama tanpa penjaga akan terlantar”.[Imam al-Ghazaliy, Ihyaa` ‘Uluum al-Diin, Juz 1/17. Maktabah Syamilah]

Imam Abu Zakariya al-Nawawiy, seorang ulama besar dari madzhab Syafi’iy menyatakan:

ومن ثم يأتي خطأ بعض المتكلمين في قولهم لو تكاف الناس عن الظلم لم يجب نصب الامام لان الصحابة رضى الله عنهم اجتمعوا على نصب الامام، والمراد بالامام الرئيس الاعلى للدولة، والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا

“Dari sinilah ada kesalahan yang menimpa sebagian ahli kalam dalam pendapat mereka, (yakni) seandainya manusia mampu terhindar dari kezaliman, maka mereka tidak wajib mengangkat seorang Imam.  Pendapat ini salah, sebab, para shahabat ra  bersepakat atas wajibnya mengangkat seorang Imam.  Yang dimaksud dengan al-Imam, tidak lain tidak bukan adalah pemimpin tertinggi negara.  Al-Imamah, al-Khilafah, Imaarat al-Mukminiin adalah mutaraadif (sinonim). Sedangkan yang dimaksud dengan al-Imamah adalah kepemimpinan umum dalam mengatur urusan agama dan dunia”. [Imam An Nawawiy, Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 19/191]

Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah, di dalam Kitab al-Siyaasatu al-Syar’iyyah menyatakan:

يَجِبُ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّ ِولاَيَةَ أَمْرِ النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّيْنِ بَلْ لاَ قِيَامَ لِلدِّيْنِ وَلاَ لِلدُّنْيَا إِلاَّ بِهَا. فَإِنَّ بَنِي آدَمَ لاَ تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ إِلاَّ بِاْلاِجْتِمَاعِ لِحَاجَةِ بَعْضِهِمْ إِلىَ بَعْضٍ ، وَلاَ بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ اْلاِجْتِمَاعِ مِنْ رَأْسٍ حَتَّى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ » . رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ ، مِنْ حَدِيْثِ أَبِي سَعِيْدٍ ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ .

"Wajib untuk diketahui bahwasanya adanya kekuasaan yang mengatur urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling agung, bahkan agama dan dunia tidak akan tegak tanpa adanya (kekuasaan).  Sesungguhnya, Bani Adam, kemashlahatan mereka tidak akan pernah sempurna kecuali dengan adanya interaksi untuk memenuhi kebutuhan satu dengan yang lain.  Dan sudah menjadi sebuah keharusan bagi mereka, ketika mereka berinteraksi, adanya seorang pemimpin; sampai-sampai Nabi saw bersabda, "Jika tiga orang keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu di antara mereka sebagai pemimpin".[HR. Imam Abu Dawud, dari haditsnya Abu Sa'id dan Abu Hurairah ra].” [Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyaasatu al-Syar’iyyah, juz 1, hal. 168]

Menerapkan syariat Islam secara kaaffah merupakan kewajiban sekaligus refleksi keimanan seorang Muslim.   Imam Ibnu Mandzur menyatakan;

وحدَّ الزجاجُ الإيمانَ فقال الإيمانُ إظهارُ الخضوع والقبولِ للشَّريعة ولِما أَتَى به النبيُّ صلى الله عليه وسلم واعتقادُه وتصديقُه بالقلب فمن كان على هذه الصِّفة فهو مُؤْمِنٌ مُسْلِم غير مُرْتابٍ ولا شاكٍّ وهو الذي يرى أَن أَداء الفرائض واجبٌ عليه لا يدخله في ذلك ريبٌ

"Az Zujaj berkata,“Iman adalah menampakkan ketundukan dan penerimaan terhadap syari'at  dan semua yang datang dari Nabi SAW, serta meyakini dan membenarkannya dengan hati. Siapa saja yang memiliki sifat ini maka ia adalah seorang Mukmin Muslim tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikit pun.  Dan dia adalah orang yang memandang bahwa melaksanakan kewajiban-kewajiban merupakan kewajiban atas dirinya, tanpa disusupi keraguan dalam hal ini”.[Imam Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, juz 13, hal. 21]

Dengan demikian, arti penting Khilafah bagi kaum Muslim berhubungan erat dengan upaya mewujudkan keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya secara total.   Tanpa Khilafah, keimanan dan ketaatan seorang Muslim kepada Allah dan Rasul-Nya senantiasa terancam.  Kehadiran kembali Khilafah begitu berarti bagi seorang Muslim, untuk menjaga ‘aqidah dan keterikatannya dengan syariat Islam.

Kedua, Khilafah merupakan institusi yang bertanggungjawab melindungi kaum Muslim dari musuh.  Nabi Mohammad SAW bersabda:

وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

“Imam adalah perisai, seseorang berperang dan berlindung di belakangnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Imam Suyuthiy menyatakan:

إنما الإمام جنة أي كالساتر لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين ويمنع الناس بعضهم من بعض ويحمى بيضة الإسلام ويتقيه الناس ويخافون سطوته. يقاتل من ورائه أي يقاتل معه الكفار والبغاة والخوارج وسائر أهل الفساد ويتقى به أي شر العدو وأهل الفساد والظلم.

“[Innamaa al-imaamu junnah :imam (Khalifah) itu perisai], yakni seperti satir. Sebab, ia mencegah musuh dari menyakiti kaum Muslim, mencegah manusia (berbuat aniaya) satu dengan yang lain; menjaga kesucian Islam, dan manusia berlindung kepadanya, dan gentar dengan kekuasaannya.   [Yuqatalu min waraaihi: berperang di belakangnya], yakni kaum Muslim bersama imam memerangi orang-orang kafir, ahli bughat, khawarij, dan semua orang yang membuat kerusakan. [wa yuttaqa bihi: dan berlindung dengannya]: yakni berlindung dari keburukan musuh, pembuat kerusakan dan kedhaliman”.[Al-Hafidh Suyuthiy, al-Dibaaj ‘Ala Muslim, Juz 4/454. Maktabah Syamilah]

Saat Khilafah, masih tegak berdiri, kehormatan Islam dan kaum Muslim terjaga dengan baik.  Musuh-musuh Islam dan kaum Muslim gentar dengan ketegasan Khilafah.  Pada tahun 223 Hijriyyah/837 Masehi, Khalifah Al-Mu’tashim bi al-Allah menggelar perang melawan tentara Romawi, setelah beliau mendapat laporan pelecehan tentara Romawi terhadap seorang budak wanita Bani Hasyim. Akibatnya, 30.000 ribu tentara Romawi terbunuh, dan 30.000 lainnya ditawan.  Khalifah ‘Abdul Hamid II (1876-1918 Masehi) memberi ultimátum kepada Perancis dan Inggris, ketika beliau mendengar dua negara tersebut hendak memberi ijin pentas drama karya Voltaire yang berjudul Le Fanatisme ou Mahomet le Prophete (Fanatisme kepada Mohammad).  Voltaire tidak hanya menghina Nabi Mohammad SAW, tetapi juga melecehkan simbol dan kesucian Islam dan kaum Muslim.  Bagitu menghadapi ketegasan Khalifah ‘Abdul Hamid II, akhirnya kedua negara itu urung mengijinkan pentas.  

Keadaan berbanding terbalik, saat Khilafah tidak lagi ada di tengah-tengah kaum Muslim.  Musuh-musuh Islam dengan penuh percaya diri tanpa khawatir melecehkan kehormatan Islam dan kaum Muslim.  Mushhaf Al-Quran dibakar, kehormatan Nabi SAW dilecehkan, ajaran Nabi SAW dipinggirkan dan dituduh sebagai biang radikalisme dan terorisme.  Mereka menyadari sepenuhnya, kaum Muslim tidak lagi memiliki junnah, yang mampu melindungi kesucian Islam dan kaum Muslim.  Mereka juga menjarah kekayaan, merampas tanah-tanah, dan mengusir kaum Muslim dari rumah-rumah mereka, seperti yang terjadi di Palestina, Rohingya, India, dan negeri-negeri lain.

Dari sinilah dapat dipahami arti penting Khilafah bagi kaum Muslim, yakni melindungi darah, harta, dan kehormatan mereka dari para musuh.

Ketiga, Khilafah dengan kepemimpinan tunggal seorang khalifah menyatukan seluruh kaum Muslim dari timur hingga barat.  Ketika Khilafah masih berdiri, kaum Muslim bersatu di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.  Persoalan-persoalan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia mendapatkan perhatian dan solusi dari Khalifah.  Khalifah sanggup menggerakkan kaum Muslim di timur dan barat, untuk saling mendukung dan membantu menyelesaikan persoalan-persoalan mereka,  Persoalan kaum Muslim di Asia, juga menjadi persoalan kaum Muslim yang ada di Timur Tengah.  Seluruh kaum Muslim bersatu dan diikat dengan ikatan bermutu tinggi, yakni bersaudara karena Allah.  Tidak ada lagi batas-batas territorial yang mampu mendinding persaudaraan mereka.  Mereka menjadi umat yang kuat karena bersatu di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.

Adapun saat Khilafah tidak lagi ada di tengah-tengah kaum Muslim, mereka dipecah belah oleh orang-orang kafir dalam negara-negara bangsa yang lemah.  Persaudaraan yang dibangun di atas ‘aqidah Islamiyyah, diganti dengan ikatan-ikatan rendah, semacam kebangsaan, kesukuan, dan ikatan-ikatan sektarian lain.  Mereka disibukkan dengan urusan mereka sendiri, dan tidak peduli dengan persoalan saudara Muslimnya di negeri-negeri lain.   Mereka tak berdaya saat saudara-saudaranya di Palestina, Suria, Iraq, India, dan Uighur ditindas orang-orang kafir.   Tidak hanya itu saja, mereka dipimpin oleh penguasa-penguasa sekuler yang menghambakan diri kepada kepentingan negara-negara kafir imperialis. Di tengah-tengah mereka diterapkan hukum-hukum kufur, menggantikan hukum Allah dan Rasul-Nya.  Mereka terus dipecah belah dengan isyu-isyu khilafiyyah, Sunni Syi’ah, dan lain sebagainya, hingga muncul satu pemahaman bahwa kaum Muslim seluruh dunia mustahil disatukan kembali. 

Demikianlah, tanpa Khilafah kaum Muslim terpecah belah dan terpuruk dalam kelemahan.   Akibatnya, negara-negara kafir imperialis leluasa dan mudah menjajah dan menjarah kekayaan negeri-negeri mereka.  Mereka tidak lagi bersatu dan bersaudara sebagaimana di era keemasan Islam.  Dari sini dapat dipahami, betapa pentingnya Khilafah bagi kaum Muslim, khususnya untuk menyatukan dan menyaudarakan kembali kaum Muslim dari timur hingga barat.  Negara-negara bangsa (nation state) yang mengerat-ngerat kaum Muslim hanya bisa dilenyapkan dengan hadirnya kembali Khilafah Islamiyyah. 

Arti Penting Khilafah Bagi Umat Manusia (Muslim maupun Non Muslim) dan Konstelasi Politik Internasional

Penerapan kapitalisme dalam bingkai sistem pemerintahan demokrasi-sekuler, tidak hanya menjerumuskan manusia ke lubang kesengsaraan dan kenistaan; lebih dari itu, ia juga memenjara manusia dalam persoalan yang kunjung berakhir.  Berbagai macam persoalan dunia, mulai dari problem ekonomi, politik, sosial dan budaya, datang silih berganti tanpa mendapatkan solusi dan penanganan yang tuntas.  Jika di sana ada solusi, itu pun bersifat parsial dan sewaktu-waktu meledak kembali menjadi problem yang jauh lebih rumit dan berat. 

Kebobrokan dan kejahatan kapitalisme tampak jelas dari kemampuannya melahirkan krisis-krisis besar ekonomi berkala.   Dalam buku The History of Money From Ancient Time to Present Day disebutkan bahwa di sepanjang abad 20, telah terjadi lebih dari 20 krisis besar yang semuanya melanda negara-negara kapitalis.  Resesi terbesar terjadi pada tahun 1930-an.   Pada tahun 1975-1981, saat harga minyak dunia meroket, Amerika Serikat terkena defisit perdagangan berlipat ganda.  Kepercayaan terhadap dollar merosot.  Nilai tukar dollar turun drastis, hingga mengakibatkan krisis ekonomi para.  Pada tahun 1990-1996, krisis moneter di Thailand menular, hingga menenggelamkan negara-negara Asia, Amerika Latin, dan Eropa ke dalam krisis yang sangat buruk.  Pada galibnya, krisis ekonomi diikuti dengan krisis-krisis lain. 

Jurang kesenjangan antara si kaya dan miskin sangat lebar dan dalam.  Laporan “Time to Care” Oxfam International menyebut ada 2.135 orang kaya di dunia yang mengontrol jumlah uang melebihi uang yang dimiliki 4,6 miliar orang pada miskin pada tahun 2019.   Fakta lain mengungkapkan, 22 pria di dunia memiliki kekayaan akumulasi lebih banyak dibanding kekayaan akumulasi 326 juta perempuan di Afrika.  Upah yang tidak dibayar kepada perempuan berusia 15 tahun US$ 10,8 triliun per tahun.

Angka kriminalitas cenderung naik drastis pada tahun 2020.  Di Amerika Serikat, jumlah kasus pembunuhan naik 30% , dan semua kejahatan kekerasan juga naik, sebagaimana yang dirilis FBI dalam laporan kriminal tahunan pada Senin (27/9/2021).   Di Jepang, seperti yang dilaporkan Kyodo, Kamis (4/2/2021), Badan Kepolisian Nasional Jepang mencatat ada 614.303 kasus kriminal.  Angka pembunuhan mencapai 8394 kasus.   Pada tahun 2002, angka kriminal di Jepang pernah mencapai 2,8 juta kasus.

Negara-negara kapitalis dunia terbukti tidak mampu menangani penyebaran covid-19 sejak dini.   Di hampir seluruh negara kapitalis-sekuler, penanganan pandemi covid-19 terlihat amburadul.  Akibatnya, jumlah korban jiwa sangat besar.   Lebih kurang 279 juta manusia terinfeksi covid-19.  Jumlah meninggal mencapai 5,39 juta jiwa, dan angka tertinggi ditempati Amerika Serikat, yakni 815 ribu jiwa.   Kerugian ekonomi tahun 2020 akibat pandemi covid-19 mencapai angka Rp.1.356 triliun.   Ekonomi dunia diprediksi bakal menanggung kerugian hingga USD 2,5 triliun. 

Lebih dari itu, penanganan pandemi covid-19 ala kapitalis-sekuler –yang dalam banyak hal berparadigma untung dan rugi--  menimbulkan problem-problem pelik lainnya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia mengatakan pandemic Covid-19 mendorong lebih dari setengah milyar orang ke dalam kemiskinan ekstrem.  Pandemi turut memicu bencana ekonomi terburuk sejak decade 1930-an.    Pada 9 Desember 2021, covid-19 menimbulkan dampak hebat terhadap kehidupan anak dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. UNICEF menyebut pandemi sebagai krisis terburuk bagi anak sepanjang 75 tahun berdirinya organisasi.  Menurut studi Bank Dunia, 70 negara mengalami penurunan sistem kualitas pendidikan akibat pandemi covid-19.

Penggunaan dana rakyat untuk penanganan pandemi covid-19 yang tidak transparan, membuka celah terjadinya praktik korupsi dan kolusi.  Di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkapkan, selama pandemi harta kekayaan 70,3% pejabat negara naik.   Tidak hanya itu saja, dengan alasan prokes, ulama dan aktivis Islam yang kritis terhadap penguasa ditangkapi dan dijebloskan dalam penjara.   Alih-alih serius menangani pandemi, para penguasa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengeruk keuntungan. Majalah Tempo pernah menurunkan sebuah sigi keterlibatan pejabat dalam bisnis PCR (polymerase chain reaction).  Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kesehatan dan Keadilan menyebutkan, perputaran bisnis PCR mencapai 23 triliun.  Potensi total keuntungan lebih dari 10 triliun.

Ironisnya, saat dunia tenggelam dalam penderitaan dan kesusahan, justru korporasi-korporasi teknologi dan farmasi meraup keuntungan fantastis.  Tahun 2020 hingga 2021 perusahaan-perusahaan raksasa teknologi Alphabet  (perusahaan induk  Google), Amazon, Apple, Facebook, dan Microsoft, menurut laporan Financial Times, pendapatan gabungan dari lima perusahaan ini –yang disebut sebagai The Big Five  atau The Big Tech—meningkat 41%, yakni hingga 322 miliar dollar AS pada kuartal pertama 2021.  

Demikianlah, penerapan kapitalisme memurukkan manusia ke dalam kesengsaraan.  Krisis demi krisis akibat penerapan kapitalisme diperparah dengan keberadaan sistem negara bangsa (nation state), yang dalam banyak hal justru menghambat penyelesaian krisis-krisis global.  Negara bangsa tidak saja gagal menyelesaikan problem-problem domestiknya, tetapi ia juga rentan dengan problem-problem global. Kita baru saja menyaksikan bagaimana pandemi covid-19 yang bermula di kota Wuhan, menyebar begitu cepat ke seluruh dunia akibat akibat arogansi dan lemahnya negara-negara bangsa.   Pandemi covid-19 yang harusnya mudah ditangani justru berkembang menjadi persoalan global dan menimbulkan dampak buruk hampir di seluruh bidang kehidupan.   Seandainya Wuhan dilock down, dan seluruh negara berkomitmen menutup akses masuk penduduk Cina ke negaranya masing-masing (lock down), niscaya pandemi covid tidak akan menyebar ke seluruh dunia.  Sayangnya setiap negara bangsa tidak mengindahkan masalah ini. 

Di samping itu, negara bangsa merupakan sistem kenegaraan tidak manusiawi, high cost, dan dalam banyak hal menghambat terjadinya transfer teknologi, manusia, barang, dan jasa yang menjadi faktor penentu kesejahteraan dan kemakmuran dunia.

Pada tahun 1990-an, di Asia dan Afrika, lebih dari 60% penduduknya tidak mampu memenuhi keperluan kalori minimum yang diperlukan untuk hidup sehat.  Padahal, kekurangan nutrisi ini bisa ditutup hanya dengan 2% dari total produksi padi-padian dunia.  Hal ini bertentangan dengan pendapat umum yang menyatakan bahwa kelaparan dunia disebabkan karena terbatasnya produksi pertanian.  Mengapa ini terjadi, karena masing-masing negara bangsa tidak peduli dan acuh terhadap nasib bangsa lain. 

Berlarut-larutnya persoalan  kemanusiaan di Palestina, Suriah, Kashmir, India, Uighur, dan negeri-negeri lain, salah satu sebabnya, mereka dipisahkan oleh sekat-sekat negara bangsa yang mendinding dan mencegah mereka bersatu untuk saling membantu menyelesaikan persoalan mereka.  Nasionalisme tidak hanya melahirkan konflik, permusuhan, dan persaingan tidak sehat, lebih dari itu, nasionalisme memberikan kontribusi besar atas lahirnya kondisi ‘psikologis’ yang acuh dan tak acuh terhadap persoalan-persoalan negara-negara lain.  Dengan alasan mempertahankan kedaulatan dan kepentingan bangsanya sendiri,  nasionalisme mencabut sifat-sifat kemanusiaan –memperhatikan nasib orang lain-, bahkan menanamkan benih saling menerkam dan menikam.  

Di samping itu, munculnya negara bangsa –sebagai turunan dari nasionalisme— di dunia Islam, sesungguhnya ditujukan untuk memecah belah kaum Muslim, memperlemah kekuatan Khilafah Islamiyyah, dan untuk mempermudah negara-negara kafir imperialis menguasai dan mengeruk kekayaan alam kaum Muslim. 

Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa kapitalisme-sekularisme dan negara bangsa tidak layak menjadi penyangga sistem dunia.  Bahkan, masyarakat dunia meyakini bahwa kapitalisme membawa madlarat bagi kehidupan manusia.   Awal-awal tahun 2020, Edelman Trust Barometer melaporkan sebuah jajak pendapat yang menyatakan bahwasanya mayoritas masyarakat seluruh dunia yakin kapitalisme dalam bentuk kekiniannya mendatangkan lebih banyak mudlarat (kerusakan) ketimbang manfaat.  Jejak pendapat ini melibatkan lebih dari 34 ribu orang di 28 negara, dari negara demokrasi liberal seperti AS dan Perancis hingga negara yang didasarkan pada model yang berbeda seperti Cina dan Rusia.  Sebanyak 56% setuju bahwa kapitalisme sebagaimana adanya saat ini lebih mendatangkan mudlarat ketimbang manfaatnya di dunia. Thailand, sebanyak 75%,  India 74% , dan Perancis 69%, menyatakan kapitalisme lebih banyak menimbulkan kerusakan daripada kemanfaatan.

Survei di atas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk dunia sudah jenuh dan apatis dengan sistem kapitalisme dengan berbagai macam bentuknya.  Mereka juga tidak percaya bahwa kapitalisme bisa menjamin kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik.

Manusia membutuhkan sistem dunia yang mampu  mengentaskan mereka dari kekufuran, penindasan, dan kezaliman.  Kapitalisme-sekularisme, sebuah paham yang berpusat kepada materi, membawa manusia kepada kekufuran dan memisahkan agama dari masyarakat dan negara.  Kapitalisme menyebabkan penumpukan kekayaan pada segelintir orang.  Praktik ribawi dan spekulasi menyebabkan krisis dan ketimpangan ekonomi.  Kegiatan ekonomi yang tidak mengindahkan halal dan haram, menyebabkan kerusakan di tengah-tengah masyarakat.  Maraknya bisnis minuman keras, pornografi, pelacuran, perjudian, dan lain sebagainya, justru menghancurkan kehidupan manusia, dan memerosotkan mereka ke level binatang.

Dunia membutuhkan aturan dan sistem pemerintahan terbaik.   Aturan dan sistem pemerintahan terbaik tentu saja yang bersumber dari Dzat Yang Maha Sempurna, Allah, Dzat Pencipta dan Pengatur alam semesta dan seisinya.  Dia telah menurunkan hukum dan sistem pemerintahan terbaik bagi manusia melalui Nabi Mohammad saw.  Jika manusia menginginkan kehidupan yang baik, ia harus kembali kepada aturan terbaik, yakni syariat dan Khilafah Islamiyyah.  Sistem ini pernah diterapkan dan terbukti membawa manusia ke dalam kesejahteraan dan keadilan.   Di dalam negara Khilafah lalu lintas barang dan jasa berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan.  Mekanisme pasar, transfer teknologi dan pengetahuan, distribusi barang dan jasa, berjalan baik dan tumbuh dengan pesat.  Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, distribusi barang dan jasa yang cepat, serta tersedianya pasar yang sangat luas, dan terbebasnya pasar dari praktek-praktek manipulatif dan riba, menjadikan perekonomian negara Khilafah sangat kuat dan tangguh.  Peradilan Islam terbukti mampu menciptakan keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat.  Tidak ada diskriminasi hukum.  Semua mendapatkan perlakuan setara di hadapan hukum syariat.   Syariat Islam yang menjelaskan aspek ijtima’iy dan akhlaq, berhasil membentuk manusia-manusia yang memiliki personalitas terpuji.  Syariat Islam dalam ekonomi menciptakan perekonomian yang kuat, adil, dan menyejahterakan.  Begitu pula hukum-hukum syariat lain, satu dengan yang lain saling melengkapi hingga menciptakan kehidupan harmonis. 

Politik luar negeri Khilafah yang bertumpu pada penyebaran risalah Islam melalui aktivitas dakwah dan jihad, menciptakan tatanan dunia yang terjauh dari tujuan-tujuan rendah, seperti penjajahan dan eksploitasi ekonomi.  Khilafah membangun suatu tatanan yang memilahkan manusia ke dalam dua kelompok besar, kelompok yang mendukung Islam dan kelompok yang membela kekufuran.   Persaingan antar negara tidak lagi didasarkan pada tendensi-tendensi materi, tetapi berdasarkan tendensi-tendensi yang bersifat ideologis.  Jihad yang dilancarkan negara Khilafah kepada negara-negara kafir, tidak ditujukan untuk menjajah dan mengeksploitasi negara itu, tetapi semata-mata untuk melenyapkan halangan yang menghalangi sampainya dakwah Islam.  Negara Khilafah juga tidak memaksa penduduk negeri yang ditaklukkan untuk masuk ke dalam Islam.  Khilafah tidak menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan Islam.  Dakwah Islamiyyah ditegakkan di atas hujjah dan argumentasi, bukan dengan paksaan senjata.

Demikianlah, kehadiran kembali Khilafah benar-benar penting bagi manusia agar mereka terbebas dari penderitaan akibat penerapan kapitalisme-sekularisme dan kepemimpinan demokrasi-sekuler.  Kehadiran kembali Khilafah juga dibutuhkan untuk menciptakan konstelasi politik internasional yang kondusif, dan kosong dari tendensi-tendensi rendah.

Oleh: Gus Syams (Cendekiawan Muslim)

Kamis, 25 April 2024

Sistem Hukum Beku di Bawah Aturan Kapitalis


Tinta Media - Pada lebaran 2024, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan Remisi Khusus (RK) bagi narapidana dan Pengurangan Masa Pidana (PMP) khusus bagi anak binaan yang beragama Islam. Total berjumlah 159.557 orang. 

Yasonna H Laoly selaku Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengungkapkan bahwa remisi dan PMP merupakan wujud nyata dari negara sebagai hadiah kepada narapidana dan anak binaan yang selalu berusaha memperbaiki diri, berbuat baik, dan kembali menjadi masyarakat yang berguna. Beliau berharap, pemberian remisi dan PMP ini dapat dijadikan semangat dan tekad bagi narapidana dan anak binaan untuk memperbanyak karya dan cipta yang bermanfaat. 

Tak hanya mempercepat reintegrasi sosial narapidana, pemberian RK dan PMP Idul Fitri ini juga berpotensi menghemat biaya anggaran makan narapidana hingga Rp81.204.495.000.

Berbagai aturan terkait dengan sistem sanksi saat ini menunjukkan ketidakseriusan dalam memberikan efek jera pada pelaku kejahatan. Pasalnya, sistem sanksi ini bertumpu pada nilai sekuler-liberal yang kemudian melahirkan sistem pidana sekuler dan menafikkan peran agama dari kehidupan, meniscayakan hukum pidana dibuat oleh akal manusia yang lemah dan terbatas. 

Sistem pidana sekuler juga kosong dari unsur ketakwaan karena tidak bersumber dari wahyu Allah. Alhasil, aturan yang berasal dari manusia tersebut berpotensi sangat tinggi untuk berubah, berbeda dan berganti. 

Bahkan, sistem pidana ini berpotensi untuk disalahgunakan oleh pihak yang kuat, yakni penguasa atau pemilik modal karena tidak ada ketetapan yang baku di dalamnya. Tak heran, sistem pidana sekuler tidak memberikan keadilan sedikit pun bagi masyarakat.

Ini bertolak belakang dengan sistem sanksi Islam yang akan menimbulkan efek jera dan meniscayakan adanya keadilan karena hukumnya berasal dari Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta, Allah Swt. 

Setidaknya ada lima keunggulan sistem sanksi dalam Islam, antara lain:
 
Pertama, sistem sanksi Islam berasal dari Allah, Zat Yang Maha Mengetahui perihal manusia secara sempurna.
Ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an surah al-Maidah ayat 50.

Kedua, sistem sanksi Islam bersifat wajib, konsisten, dan tidak berubah-ubah mengikuti situasi, kondisi, waktu dan tempat. Ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an Al-An'am ayat 115.

Ketiga, sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir atau membuat jera di dunia dan jawabir atau menghapus dosa di akhirat. Jadi, sistem sanksi Islam berdimensi dunia dan akhirat, sedangkan sistem pidana sekuler hanya berdimensi dunia yang sangat dangkal.

Keempat, dalam sistem sanksi Islam peluang permainan hukum dan peradilan sangat kecil. Ini terutama karena sistem sanksi Islam bersifat spiritual, yakni dijalankan atas dorongan takwa kepada Allah Swt. 

Selain itu, hakim yang curang dalam menjatuhkan hukuman atau menerima suap dalam mengadili akan diancam hukuman yang berat oleh Allah, yaitu masuk neraka atau malah bisa menjadi kafir (murtad).

Kelima, dalam sistem sanksi Islam seorang qadhi memiliki independensi tinggi, yaitu vonis yang dijatuhkannya tak bisa dibatalkan, kecuali jika vonis itu menyalahi syariat Islam.

Sistem sanksi Islam telah terbukti mampu meminimalisir tindak kejahatan/kriminalitas. Hal ini tentu tidak akan terwujud dalam sistem demokrasi sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan dan dari negara. 

Sistem sanksi yang tegas dan adil akan ada jika hukum Allah diterapkan oleh negara khilafah. Karena sesungguhnya Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna, mengatur segala aspek kehidupan manusia tanpa terkecuali. Aturan Islam bersifat baku, tak akan berubah. Di mana pun dan kapan pun, hanya sistem sanksi Islam yang mampu mencegah kriminalitas dengan tuntas. Wallahua'alam bishawab.


Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media

Islam Solusi Masalah Ketahanan Pangan

Tinta Media - Saat perayaan hari raya Idul Fitri beberapa hari lalu, umat Islam banyak yang menyediakan dan mempersiapkan berbagai hidangan khas lebaran, seperti opor, rendang, ketupat dan lain-lain. Ini sudah menjadi kebiasaan. Memang benar dan tidak dapat dimungkiri bahwa pada saat lebaran pasti banyak makanan yang dihidangkan dan terkadang sampai lebih dan tidak termakan semuanya sehingga akan terbuang. Inilah kejadian yang selalu berulang saat lebaran tiba.

Istilah "boros makan" atau sering sebut juga Food Loss dan Food Waste menjadi semakin asyik didiskusikan. Pemerintah pun menyikapinya dengan serius dengan kampanye melawan sikap kurang menghargai makanan tersebut. 

Pembahasan tersebut telah mencuri perhatian banyak pihak, bahkan ada yang menyebutkan bahwa food loss dan food waste adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari ketahanan dan kekokohan pangan di suatu bangsa. [HIBAR PGRI]

Lebaran adalah momen yang sangat dinantikan oleh kaum muslimin setelah sebulan penuh melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Kebahagiaan itu disambut pula dengan berbagai hidangan spesial dan kue lebaran yang beraneka ragam. Hampir setiap muslim berusaha menyambutnya dengan gembira karena akan berkumpul dengan sanak saudara dan tetangga. 

Tak bisa dimungkiri memang, saat menjelang Ramadan berbagai tempat makanan serta pusat perbelanjaan diserbu pembeli, apalagi dengan banyaknya diskon yang mereka tawarkan yang terbukti berhasil memikat para pembeli. Dengan kemajuan teknologi digital pula, masyarakat dimanjakan dengan mudahnya bertransaksi via online saat ini.

Hal ini wajar terjadi di sistem kapitalis sekuler dengan budaya konsumtif yang  sudah merasuki sebagian besar masyarakat hari ini. Mereka rela merogoh kocek untuk membeli barang dan makanan yang mereka sukai hanya untuk memuaskan hawa nafsu. 

Namun, tidak bagi mereka yang ekonominya serba kekurangan. Di belahan dunia lain seperti di Palestina, justru mereka sangat kekurangan makanan hingga mengalami kelaparan yang memilukan. Mereka puasa dan hari raya di tengah situasi yang sangat memprihatinkan. 

Paradigma kapitalisme

Budaya konsumtif merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang sudah mengubah cara pandang tentang konsep kebahagiaan. Kebahagiaan menurut kapitalis adalah jika seseorang itu bisa meraih apa yang dia inginkan, tanpa memperhatikan mana kebutuhan dan mana yang sekadar keinginan. 

Kebebasan itulah yang mengakibatkan terjadinya konsumsi makanan berlebih akibat sifat suka berbelanja, membeli makanan dan kebutuhan lainnya, asalkan punya uang. Itulah konsep kebahagiaan mereka yang hanya bersifat fisik semata.

Sangat jauh berbeda dengan konsep kebahagiaan dalam pandangan Islam. Kebahagiaan dalam Islam adalah ketika kita mendapatkan rida Allah dengan takwa, melakukan perbuatan sesuai perintah dan larangan-Nya. 

Sebenarnya, Islam tidak melarang untuk belanja kebutuhan hidup. Hanya saja, semua itu ada aturannya, sesuai syariat. Umat tidak boleh boros dalam membelanjakan uang untuk hal-hal yang tidak dibutuhkan. 

Adapun ketahanan pangan, itu hanya akan terwujud dalam sistem Islam, bukan demokrasi. Ketahanan pangan dalam Islam akan menjadi hal yang sangat diperhatikan agar kebutuhan dasar rakyat terpenuhi dengan baik. Dengan berlandaskan keimanan itulah seorang khalifah melakukan kewajibannya dengan jujur dan amanah. Ini karena seorang khalifah sadar bahwa semua perbuatannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. 

Terwujudnya ketahanan pangan disebabkan karena Islam merupakan negara adidaya dengan sumber daya alam yang dikelola sesuai syariat. Dalam Islam, negara  tidak boleh kalah dengan para pelaku kartel yang melakukan praktik monopoli. 

Hal ini karena tindakan monopoli merupakan sebuah kecurangan dan kezaliman yang merugikan rakyat dan dilarang dalam Islam. Jika ada yang berani melakukan, maka akan diberi sanksi tegas bagi pelakunya. Hukum yang memberi efek jera akan meminimalisir terjadinya tindak kejahatan dan kecurangan. 

Oleh karena itu, solusi hakiki  ketahanan pangan adalah dengan adanya negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dan komprehensif, bukan yang lain. Wallahu a'lam bishawab. 

Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab