Tinta Media: Hukum
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 April 2024

Putusan MK

Tinta Media - Kita telah sampai pada ujung perjuangan konstitusional. Pilpres telah kita lewati. Gugatan ke MK telah kita lalui. Lantas apa setelah ini?

Tunggu lima tahun lagi. Kita akan berjuang dalam hiruk pikuk pemilu lagi. Kemudian menggugat lagi. Kalah lagi, lagi, dan lagi. Terus begitu.

Kian hari, ketidakberesan kian telanjang di depan mata. Tapi tiap kali kita berupaya memperbaikinya di atas meja konstitusi, kata para pemegang kendali, ketidakberesan itu tidak beralasan sama sekali.

Sebenarnya di setiap pemilu, saya selalu katakan bahwa perubahan tidak akan terjadi melalui jalur konstitusi.

Sejarah membuktikan. Perubahan dari era Orde Baru ke Orde Reformasi tak lewat jalur konstitusi. Perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru tak melalui mekanisme konstitusi.
Perubahan dari era Penjajahan ke fase NKRI tidak mengikuti koridor konstitusional Hindia Belanda.

Perubahan dari era Kasultanan Islam ke era Hindia Belanda tidak melalui konstitusi Kasultanan Islam. Perubahan dari era Hindu Majapahit ke Kasultanan Islam Demak tidak lewat prosedur konstitusi Majapahit.

Begitu pun di sejarah dunia. Perubahan masa Kekristenan Eropa menuju masa Demokrasi, tak melalui jalur konstitusi Gereja.

Perubahan era Makkah Jahiliyah menjadi era Islam, tidak melalui mekanisme konstitusi Quraisy Jahiliyah.

Bukalah catatan sejarah dunia. Tidak ada satu perubahan pun yang mengikuti mekanisme konstitusi yang tengah berlaku.

Semua perubahan, selalu terjadi melalui mekanisme alternatif.

Hanya saja persoalannya, alternatif versi apa yang akan digunakan?

Apakah alternatif revolusi versi komunis? Apakah alternatif perubahan yang dicontohkan Rasulullah ﷺ dalam mengubah dunia jahiliyah menjadi dunia cemerlang peradaban Islam?

Bagi muslimin tentu mereka akan mengikuti suri tauladan perubahan yang dicontohkan Rasulullah ﷺ.

Seperti apa perubahan sesuai suri tauladan Rasulullah ﷺ itu? InsyaAllah kita bahas di tulisan berikutnya.

Jika ngotot bahwa perubahan itu harus mengikuti konstitusi yang sedang berlaku, maka ingatlah aturan ini: 1. Wanita tidak pernah salah. 2. Jika salah, lihat aturan no1.
Jogja 240424

Oleh: Doni Riw Influencer Dakwah

Kamis, 25 April 2024

Sistem Hukum Beku di Bawah Aturan Kapitalis


Tinta Media - Pada lebaran 2024, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan Remisi Khusus (RK) bagi narapidana dan Pengurangan Masa Pidana (PMP) khusus bagi anak binaan yang beragama Islam. Total berjumlah 159.557 orang. 

Yasonna H Laoly selaku Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengungkapkan bahwa remisi dan PMP merupakan wujud nyata dari negara sebagai hadiah kepada narapidana dan anak binaan yang selalu berusaha memperbaiki diri, berbuat baik, dan kembali menjadi masyarakat yang berguna. Beliau berharap, pemberian remisi dan PMP ini dapat dijadikan semangat dan tekad bagi narapidana dan anak binaan untuk memperbanyak karya dan cipta yang bermanfaat. 

Tak hanya mempercepat reintegrasi sosial narapidana, pemberian RK dan PMP Idul Fitri ini juga berpotensi menghemat biaya anggaran makan narapidana hingga Rp81.204.495.000.

Berbagai aturan terkait dengan sistem sanksi saat ini menunjukkan ketidakseriusan dalam memberikan efek jera pada pelaku kejahatan. Pasalnya, sistem sanksi ini bertumpu pada nilai sekuler-liberal yang kemudian melahirkan sistem pidana sekuler dan menafikkan peran agama dari kehidupan, meniscayakan hukum pidana dibuat oleh akal manusia yang lemah dan terbatas. 

Sistem pidana sekuler juga kosong dari unsur ketakwaan karena tidak bersumber dari wahyu Allah. Alhasil, aturan yang berasal dari manusia tersebut berpotensi sangat tinggi untuk berubah, berbeda dan berganti. 

Bahkan, sistem pidana ini berpotensi untuk disalahgunakan oleh pihak yang kuat, yakni penguasa atau pemilik modal karena tidak ada ketetapan yang baku di dalamnya. Tak heran, sistem pidana sekuler tidak memberikan keadilan sedikit pun bagi masyarakat.

Ini bertolak belakang dengan sistem sanksi Islam yang akan menimbulkan efek jera dan meniscayakan adanya keadilan karena hukumnya berasal dari Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta, Allah Swt. 

Setidaknya ada lima keunggulan sistem sanksi dalam Islam, antara lain:
 
Pertama, sistem sanksi Islam berasal dari Allah, Zat Yang Maha Mengetahui perihal manusia secara sempurna.
Ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an surah al-Maidah ayat 50.

Kedua, sistem sanksi Islam bersifat wajib, konsisten, dan tidak berubah-ubah mengikuti situasi, kondisi, waktu dan tempat. Ini sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur'an Al-An'am ayat 115.

Ketiga, sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir atau membuat jera di dunia dan jawabir atau menghapus dosa di akhirat. Jadi, sistem sanksi Islam berdimensi dunia dan akhirat, sedangkan sistem pidana sekuler hanya berdimensi dunia yang sangat dangkal.

Keempat, dalam sistem sanksi Islam peluang permainan hukum dan peradilan sangat kecil. Ini terutama karena sistem sanksi Islam bersifat spiritual, yakni dijalankan atas dorongan takwa kepada Allah Swt. 

Selain itu, hakim yang curang dalam menjatuhkan hukuman atau menerima suap dalam mengadili akan diancam hukuman yang berat oleh Allah, yaitu masuk neraka atau malah bisa menjadi kafir (murtad).

Kelima, dalam sistem sanksi Islam seorang qadhi memiliki independensi tinggi, yaitu vonis yang dijatuhkannya tak bisa dibatalkan, kecuali jika vonis itu menyalahi syariat Islam.

Sistem sanksi Islam telah terbukti mampu meminimalisir tindak kejahatan/kriminalitas. Hal ini tentu tidak akan terwujud dalam sistem demokrasi sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan dan dari negara. 

Sistem sanksi yang tegas dan adil akan ada jika hukum Allah diterapkan oleh negara khilafah. Karena sesungguhnya Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna, mengatur segala aspek kehidupan manusia tanpa terkecuali. Aturan Islam bersifat baku, tak akan berubah. Di mana pun dan kapan pun, hanya sistem sanksi Islam yang mampu mencegah kriminalitas dengan tuntas. Wallahua'alam bishawab.


Oleh: Rukmini
Sahabat Tinta Media

Kamis, 18 April 2024

Bantuan Sosial Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Melanggar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial

Tinta Media - Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial Beras sampai Juni 2024, dan Bantuan Langsung Tunai untuk November dan Desember 2023. Keputusan diambil dalam rapat kabinet / rapat terbatas 6 November 2023, dengan alasan ada ancaman El Nino.

Pemberian Bantuan Sosial Beras (sebelumnya dinamakan Bantuan Sosial Pangan) tersebut dikoordinasikan oleh Bapanas (Badan Pangan Nasional) dan dilaksanakan atau disalurkan oleh Perum Bulog (Badan Urusan Logistik).

Dalam penyaluran Bantuan Sosial Pangan (Beras) ini, Bapanas dan Bulog secara nyata melanggar UU tentang Kesejahteraan Sosial. Karena, pelaksanaan pemberian Bantuan Sosial Pangan (Beras) merupakan tugas dan fungsi Kementerian Sosial.

Alasannya sebagai berikut.

Pertama, Bantuan (Sosial) Langsung dalam bentuk Pangan maupun Tunai merupakan bagian dari Bantuan Sosial, yang pada gilirannya merupakan bagian dari Perlindungan Sosial, seperti diatur di Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.

Kedua, penyelenggaraan Perlindungan Sosial diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah No 39 Tahun 2012 (PP 39/2012) tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.

Bab V tentang Perlindungan Sosial, Pasal 28 sampai Pasal 36, menyatakan, bahwa:

• Bantuan Sosial merupakan bagian dari pelaksanaan Perlindungan Sosial: Pasal 28 ayat (3) huruf a;

• Bantuan Sosial dapat diberikan secara langsung (Bantuan Langsung): Pasal 29 ayat (2) huruf a;

• Jenis Bantuan (Sosial) Langsung dapat berupa antara lain sandang, pangan, dan papan: Pasal 30 huruf a, atau uang tunai: Pasal 30 huruf e;

Ketiga, menurut Peraturan Presiden No 110 Tahun 2021 tentang Kementerian Sosial, Perlindungan Sosial merupakan salah satu tugas dan fungsi Kementerian Sosial.

Pasal 4 berbunyi: Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Pasal 5 berbunyi Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4, Kementerian Sosial menyelenggarakan fungsi:

a.              perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial;

Kedua Pasal ini menegaskan bahwa Kementerian Sosial juga mengemban fungsi sebagai pelaksana kebijakan perlindungan sosial, termasuk penyaluran Bantuan Sosial Pangan (Beras).

Untuk itu, Kementerian Sosial dilengkapi dengan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan, pemberian Bantuan Sosial Pangan (Beras) maupun Bantuan (Sosial) Langsung Tunai merupakan bagian dari Perlindungan Sosial, yang merupakan tugas dan fungsi dari Kementerian Sosial.

Artinya, Bapanas dan Bulog tidak berwenang melaksanakan atau menyalurkan Bantuan Sosial Pangan (Beras).

Dengan kata lain, penyaluran Bantuan Sosial Pangan (Beras) dari Bapanas dan Bulog melanggar UU tentang Kesejahteraan Sosial, melanggar tugas dan fungsi Kementerian Sosial, dan karena itu dapat didakwa penyimpangan kebijakan APBN dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.

Selain itu, keempat, dasar pembentukan Badan Pangan Nasional merupakan perintah Bab XII, Pasal 126 sampai Pasal 129, UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bahwa: Badan Pangan Nasional adalah Lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan. Sekali lagi, menangani bidang pangan, bukan bidang sosial, atau bantuan sosial.

Pasal 126 berbunyi, tugas Lembaga Pemerintah di bidang Pangan, untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan Nasional.

Pasal 127 menegaskan, Lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.

Pasal 128 mengatur wewenang Lembaga Pemerintah bidang pangan tersebut: yaitu antara lain dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di bidang Pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Artinya, Pasal 128 menegaskan Lembaga Pemerintah bidang Pangan (yang kemudian bernama Badan Pangan Nasional) tidak bisa menugaskan Bulog untuk melaksanakan atau menyalurkan Bantuan Sosial Pangan.

Pasal 129 kemudian memberi payung hukum pembentukan Lembaga Pemerintah bidang pangan melalui Peraturan Presiden, dan lahirlah Peraturan Presiden No 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional atau Bapanas.

Dalam butir menimbang huruf a Perpres 66/2021 secara eksplisit menyebut: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 129 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan.

Oleh karena itu, tugas dan fungsi Badan Pangan Nasional wajib taat pada ketentuan UU tentang Pangan khususnya Pasal 126 sampai Pasal 128.

Dalam hal ini, penyaluran bantuan pangan oleh Badan Pangan Nasional melanggar UU tentang Pangan dan juga melanggar UU tentang Kesejahteraan Sosial.

Dengan demikian, perpanjangan Bantuan Sosial dengan alasan El Nino, yang diputus secara sepihak oleh Presiden Joko Widodo, tanpa persetujuan DPR, tanpa ditetapkan dengan UU, disalurkan melalui Bapanas dan Bulog, beserta Presiden, Menteri Zulkifli Hasan dan Menko Airlangga Hartarto, secara nyata melanggar Konstitusi, UU Keuangan Negara, UU APBN, UU Kesejahteraan Sosial, UU Pangan.

Apakah sejumlah pelanggaran berat tersebut akan dibiarkan terjadi tanpa ada konsekuensi hukum, dan menandakan Indonesia menjadi negara tirani, atau ditindak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk mewujudkan perintah Pasal 1 ayat (3) UUD, bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Semoga Mahkamah Konstitusi dapat benar-benar menjaga Konstitusi Indonesia, dan memutus perkara seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku.

Oleh: Anthony BudiawanManaging Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

—- 000 —-

Jubah Arogansi Hakim MK: Hanya Mahkamah Kata-Kata, Hilang Substansi Keadilan yang Didambakan


Tinta Media - Allah Subhanahu Wa Taa'la berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ٣٦

"Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya."

[ QS: Al Isro (17): 36 ]

Saya tidak lagi berharap akan ada putusan yang berkeadilan dari lembaga MK, itu sudah clear. Karena mustahil, MK sebagai lembaga hukum di bawah otoritas politik, bisa mengadili kecurangan politik pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Pada akhirnya, MK akan memutus menolak permohonan dan melegitimasi kecurangan.

Namun, dalam proses mengadili perkara, saya merasa lebih kecewa lagi. MK telah menunjukkan sikap jumawa/arogan, bukan sebagai lembaga pengadilan, tapi lembaga superior yang merasa lebih dan berada di atas kedudukan para pihak (pemohon, termohon, pihak terkait).

MK telah mendudukkan ruang sidang sengketa Pilpres sebagai ruang MK, bukan ruang para pihak untuk menggali dan menemukan keadilan. MK telah melawan hukum acara persidangan, dengan memberikan hak eksklusif pada hakim MK untuk mendalami fakta persidangan, dan menghalangi pihak lainnya untuk menggali dan menemukan fakta keadilan.

Contoh: saat MK akhirnya memanggil 4 orang Menteri Jokowi (Muhadjir Efendi, Risma Triharini, Sri Mulyani dan Airlangga Hartanto). Empat orang menteri ini dihadirkan atas permintaan Pemohon dari kubu 01 dan 03. Kedudukan menteri ini sebagai saksi. Tapi mengapa hanya hakim MK yang boleh bertanya dan menggali keterangan dari para menteri? Kenapa kuasa hukum pemohon, baik dari 01 dan 03, tidak diperkenankan mendalami keterangan saksi dari para menteri tersebut?

Kepentingan dihadirkannya 4 menteri, adalah untuk membuktikan adanya kecurangan Pemilu melalui politik penyalahgunaan wewenang  Presiden . Yakni, penggelontoran dana bansos untuk kepentingan elektabilitas Prabowo Gibran, sebanyak 560.360.000.000.000.

Fakta adanya hubungan bansos dengan meningkatnya suara atau dukungan ke Prabowo Gibran, itu harus digali. Suara Prabowo Gibran itu besar karena bansos, itu harus didalami. Yang berkepentingan untuk menggali dan mendalami tentu saja kubu 01 dan 03 selaku Pemohon yang juga membuat posita dan petitumnya .

Bagaimana fakta bisa terungkap, kalo kuasa hukum pemohon 01 dan 03 tidak boleh bertanya pada saksi 4 menteri? Sejak kapan, hukum acara persidangan tidak membolehkan para pihak menggali keterangan saksi dan hanya menjadi hak eksklusif hakim MK ? Ini sudah melampaui hukum acara dalam persidangan .

Oleh karena itu terbukti, saat pertanyaan itu hanya dari MK, materi pertanyaannya ya datar-datar saja , normatif tidak substantif juga tidak ada pertanyaan yang punya tujuan untuk mengungkap fakta politik gentong babi yang menjadi salah satu dasar posita permohonan pemohon. Ini kan sama aja sandiwara MK hanya memanggil menteri untuk formalitas, seolah MK bertindak adil. Faktanya, pemanggilan menteri hanya untuk melengkapi sandiwara atau DRAKOR = Drama Kotor  persidangan di MK, karena yang boleh memeriksa menteri hanya hakim MK. Ini benar-benar dagelan persidangan yang mendown great pihak Advokat 01 dan 03 jadi nothing , kalau pihak termohon dan terkait mah malah senanglah .

Belum lagi Hakim Arif Hidayat, membuat dikotomi kepala pemerintahan dan kepala Negara, sebagai dalih untuk tidak memanggil Jokowi. Lebih lucunya, berdalih Presiden simbol negara maka MK tak layak memanggil Presiden untuk diambil keterangannya di persidangan.

Sejak kapan Presiden adalah simbol negara? Apakah, sekelas hakim MK Arif Hidayat tidak pernah membaca Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan? Kalau pernah membaca, apa dasarnya Arif Hidayat mengklasifikasi Presiden sebagai simbol Negara?

Soal Jokowi tidak dihadirkan sebagai saksi juga aneh, seolah Jokowi hanya berstatus Presiden. Padahal, selain Presiden Jokowi juga berstatus warga negara, karena untuk menjadi Presiden haruslah WNI.

Dalam hal ini, konstitusi Pasal 27 ayat 1 UUD 45 tegas menyatakan:

"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."

Berdasarkan pasal ini, harusnya Jokowi diseret ke pengadilan oleh MK. Karena materi keterangan menteri soal bansos, harus pula dikonfirmasi oleh atasannya, yakni Presiden Jokowi.

Kenapa MK memosisikan Jokowi spesial atau di kecualikan ? Atau, sudah ada pesanan spesial dari Jokowi kepada MK, bagaimana Kita mau berharap pada MK sebagai penjaga konstitusi , untuk yang sudah jelas tertulis di pasal 27 ayat 1 UUD 45 saja tak mampu MK menegakkannya , tapi Aneh yang merasa jago/ pendekar hukum yang jadi Advokat nya 01 dan 03 tidak ada yang protes , malah dalam keterangan persnya merasa bahagia dan senang banget dengan kondisi obyektifnya sesungguh melecehkan jati diri mereka sebagai Advokat Jagoan . Sisi lain apakah cara seperti ini sudah di rancang oleh MK , karena terhadap pemeriksaan DKPP juga Sama , para advokat jagoan tadi tidak boleh bertanya juga ??? Apakah hal demikian sudah ada deal  agar Gibran bisa dilantik menjadi Wapres ? Jika ikuti pendapat Hakim Ketua MK , Suhartoyo bila ada publik / WNI yang bertanya tentang persidangan maka Hakimnya HARUS MENJAWAB UNTUK MENJELASKAN YANG DITANYAKAN ORANG ITU !

Sedih saya melihat Para Kuasa Hukum pemohon, baik 01 dan 03 juga mau tunduk pada kejumawan / Arogan Hakim MK. Bahkan, diam saja ketika Bambang Widjoyanto mau diusir oleh Arif Hidayat. Harusnya, tunjukan persamaan kedudukan sebagai penegak hukum di hadapan hakim MK. Tunjukan, advokat juga penegak hukum seperti hakim MK, sehingga hakim MK jangan sok paling hebat seenaknya mau usir advokat dari ruangan persidangan lihat pasal 5 Jo pasal 16 dari UU No 18 thn 2003 tentang Advokat .

Saya benar-benar kecewa, jauh sebelum putusan MK dikeluarkan. Karena proses sidang di MK, sudah dapat dijadikan dasar keyakinan, bahwa akhirnya putusan MK hanya akan melegitimasi kecurangan.

Proses di MK, mungkin saja hanya jadi sandiwara  untuk meredam kemarahan rakyat terhadap kecurangan/ kriminal  pemilu dan Pilpres dan akhirnya saya  gondok banget , karena Rakyat pula yang kembali ditipu dan dikhianati, dengan suguhan dagelan sidang di MK ini, persis seperti yang di tuliskan dalam Wahyu ALLAAH SUBHAANNAHU WA TA ALA , yaitu : 

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا فِيْ كُلِّ قَرْيَةٍ اَكٰبِرَ مُجْرِمِيْهَا لِيَمْكُرُوْا فِيْهَا ۗ وَمَا يَمْكُرُوْنَ اِلَّا بِاَ نْفُسِهِمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ

"Dan demikianlah pada setiap negeri Kami jadikan pembesar-pembesar yang jahat agar melakukan tipu daya di negeri itu. Tapi mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya."

(QS. Al-An'am 6: Ayat 123) . 

Namun demikian, dari sudut ajaran Islam kita diajarkan untuk tidak menentukan keadaan akan datang yang belum terjadi. Kita sadar hanya ALLAH lah yang tahu dan menentukan  dalam PHPU di MK sekarang ini hingga tgl 22 April 2024: ada putusan MK yang menyatakan pilpres harus diulang tanpa Gibran dan diskualifikasi terhadapnya. Untuk itu, kita perlu munajat dan Istighotsah Akbar mulai tgl 16 April 2024 depan MK. Idealnya AMIN dan Ganjar Mahfud mengajak pendukung masing2 dan membersamai para relawan masing-masing. Juga ormas-ormas Islam yang sejalan memilih 01. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha membolak-balik hati manusia menggerakkan hati nurani para Hakim MK untuk memutus perkara yang kita maksudkan itu, aamiin aamiin aamiin yaa Mujibas Saa'iliin...

Salam optimis, ES.

Oleh : Prof. Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si.
Ketua Umum TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis)

Senin, 26 Februari 2024

Hukum Menerima Hadiah dari Rekening Wadiah di Bank Syariah



Tanya :
Tinta Media - Assalamu'alaykum. Ustadz mau tanya. Saya titip uang ke BSI (Bank Syariah Indonesia) dengan akad wadiah murni. Nah pas BSI ulang tahun saya dikasih Rp 25.000. Halal tidak itu Ustadz? (Ratna, Lampung).

Jawab :
Wa ‘alaykumus salam wr . wb.

Haram hukumnya seorang penabung dengan rekening wadiah di sebuah bank syariah menerima hadiah atau bonus dari bank tersebut. Hal ini karena akad wadiah (titipan) di bank syariah tersebut sesungguhnya tidak memenuhi kriteria-kriteria wadiah secara syariah. Jadi tabungan wadiah itu sebenarnya bukan wadiah secara syariah, melainkan pinjaman (qardh). Ketika akad tabungan wadiah di bank syariah itu berubah menjadi qardh (pinjaman), maka setiap tambahan atau hadiah dari bank syariah kepada para penabungnya, tiada lain adalah riba yang diharamkan dalam Islam. 

Dalil haramnya hadiah yang muncul dari akad qardh (pinjaman), adalah sabda Rasulullah SAW :

إِذَا أَقْرَضَ فَلاَ يَأْخُذْ هَدِيَةً

“Jika kamu memberi pinjaman (qardh) maka janganlah kamu mengambil suatu hadiah.” (HR. Bukhari, dalam At-Tārīkh Al-Kabīr, 4/2/231; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, V/530).

Dalil lainnya, sabda Rasulullah SAW :

‏إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ ‏

“Jika salah seorang dari kamu memberi pinjaman (qardh) (kepada orang lain), lalu yang meminjam memberi dia hadiah, atau menaikkannya di atas tunggangannya, maka janganlah dia menaiki tunggangan itu, dan jangan pula menerima hadiahnya, kecuali hal itu sudah biasa terjadi sebelumnya antara yang memberi pinjaman dan yang meminjam.” (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 2432).

Dalil lainnya, sabda Rasulullah SAW :
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا

“Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang menimbulkan manfaat (bagi pemberi pinjaman, al-muqridh), maka itu adalah satu jenis di antara berbagai jenis riba.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan, 5/530).

Dari hadits-hadits di atas jelas bahwa hadiah yang muncul dari adanya pinjaman (qardh), hukumnya adalah haram secara mutlak, baik dipersyaratkan maupun tidak dipersyaratkan pada saat akad pinjaman (qardh) di awal.

Adapun mengapa akad wadiah (titipan) di bank syariah itu berubah menjadi pinjaman (qardh)? Hal ini karena wadiah (titipan) di bank syariah, tidak memenuhi kriteria syariah yang seharusnya ada pada akad wadiah, dengan dua bukti atau argumen sebagai berikut; 

Pertama, dalam akad wadiah (titipan), seharusnya pihak yang dititipi (dalam hal ini bank syariah) hanya menyimpan uang dari penabung (nasabah), tidak menggunakan uang yang dititipkan. Jadi bank syariah tidak boleh melakukan isti’māl (penggunaan/pemanfaatan) terhadap uang itu, misalnya digunakan untuk membayar gaji pegawai, digunakan untuk membayar berbagai macam tagihan, digunakan untuk membayar nasabah yang melakukan tarik tunai, dsb. Faktanya, bank syariah melakukan tindakan yang disebut isti’māl, yaitu penggunaan/pemanfaatan terhadap uang tersebut. (‘Abdullāh Husayn Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 41-42).

Kedua, dalam akad wadiah (titipan), seharusnya bank syariah tidak memberikan penjaminan (al-dhoman) atas uang yang dititipkan oleh penabung (nasabah), kecuali jika bank syariah melakukan tafrīth (kelalaian) atau melakukan ta’addiy (melampaui batas kewenangan). (Nazīh Hammād, ‘Aqad Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 45). 

Faktanya, bank syariah memberikan penjaminan (al-dhoman) secara mutlak atas titipan uang dari nasabah, dalam segala keadaan, baik karena bank syariah melakukan maupun tidak melakukan _tafrīth_ atau ta’addiy. (‘Abdullāh Husayn Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 41-42).
Karena akad wadiah di bank syariah itu tidak memenuhi kriteria wadiah dalam syariah, maka akad wadiah di bank syariah itu sebenarnya tidak mungkin dipertahankan lagi sebagai wadi’ah (titipan) secara syariah, melainkan sudah berubah sifat menjadi akad pinjaman (qardh). 

Syaikh Umar bin Abdil Aziz Al-Matrak, dalam kitabnya Ar-Riba wa Al-Mu’amalat Al-Mashrifiyyah fi Nazhar Al-Syari’ah Al-Islamiyah, setelah meneliti fakta apa yang disebut wadiah di bank (al-wadi’ah al-bankiyah), menyimpulkan dengan tepat :

وَأَنَّ حَقِيْقَتَهاَ قَرْضٌ لاَ وَدِيْعَةٌ

“Sesungguhnya dana titipan di bank itu hakikatnya adalah pinjaman (qardh), bukan wadi’ah (titipan).” (Umar bin Abdil Aziz Al-Matrak, Ar-Ribā wa Al-Mu’āmalāt Al-Mashrifiyyah fī Nazhar Al-Syarī’ah Al-Islāmiyah, Madinah : Darul ‘Ashimah, 1415, hlm. 347).

Nah, maka dari itu, jelaslah bahwa dikarenakan akad tabungan wadiah di bank syariah itu sudah berubah menjadi qardh (pinjaman), maka setiap tambahan atau hadiah dari bank syariah kepada para penabungnya yang mempunyai rekening wadiah, sesungguhnya adalah riba. Wallāhu a’lam.

Bandung, 22 Februari 2024

Oleh: KH Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Kontemporer

Referensi :
www.fissilmi-kaffah.com
www.shiddiqaljawi.com

Minggu, 18 Februari 2024

LBH Pelita Umat: Pejabat yang Hilang Etika dan Rasa Malu, Cenderung Koruptif



Tinta Media - Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H, menuturkan, pejabat yang kehilangan etika dan rasa malu, dalam menjalankan kekuasaan akan cenderung berperilaku koruptif.

"Etika di atas hukum. Hilang etika, maka akan hilang rasa malu. Hilang etika dan rasa malu dalam menjalankan kekuasaan akan cenderung menjadi perilaku koruptif terhadap kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki," ujarnya dalam tulisan di akun Instagram @ChandraPurnaIrawan, Rabu (14/2/2024).

Ia mengutip adagium yang cukup terkenal oleh Lord Acton yang berkata, "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)." 

"Pejabat negara dan penegak hukum yang menjalankan kekuasaan dan kewenangan tanpa kontrol etika, dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat," ungkapnya.

Menurutnya, ini akan menghasilkan pembangkangan publik yang dapat berakibat runtuhnya atau bubarnya negara. 

"Sejarah telah mencatat banyaknya negara yang bubar akibat perilaku pejabatnya yang tidak memiliki etika dan malu," simpulnya.

Ia menilai, politik sebagai seni menggunakan kekuasaan. Karena kekuasaan politik itu harus diberikan kepada orang-orang bijak atau orang-orang yang punya etika moral yang baik. "Penggunaan kekuasaan tepat dan tidaknya, bergantung dari siapa yang memegang kekuasaan," ujarnya.

Chandra mengungkap, para pendukung moral-etis menjadikan ini tolak ukur persoalan kebangsaan. Bahkan moral politikus yang pada kenyataannya berkorelasi dengan persoalan kemiskinan yang sedang dihadapi rakyat Indonesia. "Moral dan mental politisi yang korup berkontribusi pada kemiskinan rakyat," tegasnya.

Chandra menyitir sindiran dari seorang Filosof Immanuel Kant, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik; merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya memangsa merpati.

Celakanya sesalnya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. 

"Bahkan ekstremitas watak politisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Sabtu, 17 Februari 2024

Etika dan Moral di Atas Hukum


Tinta Media - Etika dan hukum menjadi marak diperbincangkan. Hal ini setidaknya disebabkan dua hal. Pertama, maraknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh pejabat negara, khususnya terkait Ketua Mahkamah Konstitusi yang mendapat sorotan akibat pelanggaran etiknya. Kedua, putusan DKPP terhadap KPU terkait pencalonan Gibran. 

Secara teoretis ataupun filosofis, etika dan hukum (dalam pendekatan nonpositivis) adalah dua entitas yang sangat berkaitan, tetapi berbeda dalam penegakannya. Etika adalah ladang tempat hukum ditemukan dan hukum sendiri merupakan pengejawantahan hukum yang telah diberi sanksi dan diformalkan. 

Dalam filsafat hukum, kita mengenal tingkatan hukum yang berawal dari nilai, asas, norma, dan undang-undang. Dalam konsepsi tersebut, etika berada pada tataran norma dan asas, dengan demikian posisi etika adalah jauh di atas hukum. 

Implikasinya, pelanggaran etika secara sosiologis mendapatkan celaan sama atau bahkan lebih dari pelanggaran hukum. 

Etika turut berpengaruh terhadap penegakan hukum. Penegakan etika ini dapat mendorong keberhasilan penegakan hukum. Tegaknya etika di suatu negara, maka tegak pula hukum yang berlaku di sana. 

Etika di atas hukum, hilang etika maka akan hilang rasa malu, hilang etika dan rasa malu dalam menjalankan kekuasaan akan cenderung menjadi perilaku koruptif terhadap kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki. Sebagaimana adagium "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)." 

Pejabat negara dan penegak hukum yang menjalankan kekuasaan dan kewenangan tanpa kontrol etika, dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat, kemudian menghasilkan pembangkangan publik yang dapat saja berakibat runtuhnya atau bubarnya negara. Sejarah telah mencatat banyaknya negara yang bubar akibat perilaku pejabatnya yang tidak memiliki etika dan malu. 

Banyak yang mengatakan politik sebagai seni menggunakan kekuasaan. Karenanya kekuasaan politik harus diberikan kepada orang-orang bijak atau orang-orang yang punya etika moral yang baik. Penggunaan kekuasaan tepat dan tidaknya bergantung dari siapa yang memegang kekuasaan. Pijakan berpikir inilah yang digaungkan oleh para pendukung moral-etis sebagai tolak ukur mendiskusikan persoalan kebangsaan. Bahkan moral politikus yang pada kenyataannya terhubung dengan persoalan kemiskinan yang sedang dihadapi rakyat Indonesia. Moral dan mental politisi yang korup berkontribusi pada kemiskinan rakyat. 

Filosof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik; merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi, ia juga punya watak ular yang licik dan jahat, serta selalu berupaya memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah “sisi ular” ketimbang watak “merpati”-nya. Metafora sang filosof yang normatif dan simbolik itu sudah menjadi pengetahuan umum, ketika berbicara soal etika politik. Bahkan ekstrimitas watak politisi pun diasosiasikan dengan “watak binatang”. 

Ketidakjelasan secara etis berbagai tindakan politik di negeri ini membuat keadaban publik saat ini mengalami kehancuran. Fungsi pelindung rakyat tidak berjalan sesuai komitmen. Keadaban publik yang hancur inilah yang sering kali merusak wajah hukum, budaya, pendidikan dll. 

Demikian
IG@chandrapurnairawan


Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
(Ketua LBH PELITA UMAT dan Mahasiswa Doktoral) 

Rabu, 14 Februari 2024

Aturan Terbaik Hanya Hukum Islam



Tinta Media - Judical review (uji materi)  terhadap ketentuan pasal 201 Ayat (7), (8), dan (9) Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh 11 kepala daerah  disambut baik oleh Bupati Bandung Dadang Supriatna, Jum'at (26/1/2024, REPUBLIKA.CO.ID) 

Kerugian akan dirasakan oleh sekitar 270 kepala daerah, yaitu dengan terpangkasnya masa jabatan secara signifikan akibat dari desain keserentakan pilkada serentak 2024. Padahal, masa jabatan kepala daerah menurut UU adalah lima tahun.

Ada sekitar 11 kepala daerah yang bertindak sebagai pemohon di MK. Jika pilkada 2024 diadakan secara serentak dalam satu gelombang, maka masa jabatan kepala daerah ada yang hanya 1,5 tahun karena pelantikannya baru di pertengahan tahun 2021. Dengan demikian, kerugian akan dirasakan oleh sekitar 270  dari jumlah total 546 kepala daerah kepala daerah tingkat kabupaten/kota, maupun kepala daerah tingkat provinsi.

Para pemohon meminta MK untuk membagi keserentakan Pilkada 2024 daerah otonomi untuk dibagi menjadi dua gelombang. Bupati Bandung dan Bupati Bedas pun menyetujui dan mendukungnya, agar kepala daerah tetap menjabat selama 5 tahun sesuai dengan amanat konstitusi.

Fakta mengenai pilkada serentak di atas akan berimbas pada kurangnya masa jabatan ratusan kepala daerah dari seluruh Indonesia.

Begitulah lemahnya aturan buatan manusia yang justru akan merugikan sebagian yang lainnya. Terbukti dengan adanya aturan atau kebijakan yang dibuat oleh sistem hari ini selalu menimbulkan kegaduhan dan pertentangan di tengah manusia karena berlandaskan kepentingan masing-masing individu atau kelompok. Pertentangan selalu ada akibat munculnya ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat, termasuk dalam hal judicial review tersebut. Akan tetapi, begitulah memang tabiat dari sistem sekuler kapitalis. Negara hanya menjadi regulator saja. 

Maka, semua kebijakan yang dibuat sudah tentu akan menimbulkan pro dan kontra, dan itu sudah dirasakan dan terlihat jelas dari berbagai fakta. Kekuasaan dan jabatan dalam sistem demokrasi sejatinya bukan untuk kepentingan rakyat, karena penguasa atau negara hanya sebagai regulator saja. Mereka tidak mempunyai kekuatan untuk membuat kebijakan yang pro kepada rakyat. Yang ada justru pro kepada pihak yang punya kepentingan. 

Kelemahan dari hukum konstitusi lainnya adalah bahwasanya hukum (undang-undang) bisa diubah dan di otak-atik sesuai hawa nafsu manusia, sehingga tidak bisa dijadikan landasan atau tolok ukur kebenaran. 
Itu karena cara pandang kapitalisme hanya berlandaskan keuntungan dan materi belaka.

Sedangkan dalam pandangan Islam, masa jabatan pengusaha atau pejabat diatur berlandaskan pada syariat yang baku, tidak berubah-ubah. Jabatan penguasa adalah sebuah tanggung jawab yang berat dan filosofi kepemimpinan dalam Islam adalah untuk pengaturan urusan rakyat.

Syariat Islam bersifat baku dan tidak bisa dipermainkan dan diubah-ubah seperti halnya aturan buatan manusia. Jadi, tidak ada kepentingan individu atau kelompok yang dapat mengatur dengan seenaknya terkait masalah perundang-undangan.

Dalam Islam, kepemimpinan utama dalam negara adalah Khalifah/Amirul mukminin yang tidak ada batasan masa jabatannya. Akan tetapi, ketentuan syariatlah yang akan menentukan apakah Khalifah melakukan sesuatu yang melanggar syariat atau tidak.

Selama masih memimpin sesuai jalur syariat, maka tidak ada yang bisa memberhentikan masa jabatannya. Selama badan masih sehat dan kuat untuk beraktivitas dan tidak sakit keras yang membahayakan jiwanya, maka Khalifah ataupun pejabat pengusaha masih tetap bisa menjabat. Sedangkan pejabat di bawah Khalifah, akan berakhir jika akad wakalah akan selesai. 

Jabatan dalam Islam adalah sebagai pengabdian kepada rakyat dalam mengurus urusan rakyat di bawah akad. Tidak ada kepentingan selain hanya menggapai rida Allah semata. 

"Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?

Oleh karena itu, hanya  hukum Islamlah satu-satunya  aturan yang tetap dan adil, karena bersumber dari Allah Swt.  Semoga penerapan syariat Islam segera terwujud dalam kehidupan agar kesejahteraan dan keadilan tersebar luas ke penjuru dunia, insya Allah.

Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Kamis, 08 Februari 2024

KPU Langgar Kode Etik: Pencalonan Gibran Cacat Moral, Etika dan Hukum, Mengakibatkan Ketidakpastian Politik



Tinta Media - Pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden 2024-2029 diwarnai pelanggaran etika lagi. Untuk yang kedua kalinya. Pencalonan ini sangat dipaksakan, dengan menentang demokrasi.

Sebelumnya, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) juga memutuskan, Ketua Mahkamah konstitusi Anwar Usman, yang juga paman Gibran, atau adik ipar Joko Widodo, melanggar kode etik berat, terkait uji materi batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Kali ini, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan, seluruh anggota komisioner KPU melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, terkait pendaftaran Gibran sebagai Calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Untuk itu, DKPP menjatuhkan sanksi Peringatan Keras kepada seluruh anggota komisioner KPU. Khusus kepada Hasyim Asy’ari, Ketua KPU, DKPP memberi sanksi Peringatan Keras Terakhir.

Peringatan Keras Terakhir? Sungguh aneh. Memang ada berapa banyak Peringatan Keras?

Sanksi dari DKPP ini terkesan main-main. Tidak serius. DKPP seharusnya memberhentikan, setidak-tidaknya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari.

Karena, pelanggaran kode etik komisioner KPU kali ini bukan masalah kode etik semata, yang hanya menyangkut persoalan pribadi, seperti pelanggaran moral dan etika Ketua KPU dengan “wanita emas” Hasnaeni, yang tidak mempunyai dampak langsung terhadap suksesi kepemimpinan nasional.

Tetapi, pelanggaran Kode Etik para komisioner KPU kali ini sangat serius, karena menyangkut pelanggaran peraturan dan undang-undang, dengan dampak sangat serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan persidangan DKPP, KPU terbukti melanggar Peraturan KPU No 19 Tahun 2023, Pasal 13 ayat (1) huruf q, tentang Persyaratan Calon yang berbunyi, calon Presiden dan calon Wakil Presiden berusia paling rendah 40 tahun. Pada saat pendaftaran bakal calon Wakil Presiden, Gibran tidak memenuhi Persyaratan Calon, sehingga KPU seharusnya tidak menerima pendaftaran Gibran. Dengan kata lain, pendaftaran Gibran menjadi cacat hukum, alias tidak sah.

Pelanggaran terhadap Peraturan KPU secara otomatis juga melanggar UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Karena, Peraturan KPU merupakan pelaksanaan Undang-Undang Pemilu, seperti diatur di Pasal 75 ayat (1) dan ayat (2):

(1) Untuk menyelenggarakan Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, KPU membentuk Peraturan KPU dan Keputusan KPU.

(2) Peraturan KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

Semua alasan KPU untuk membenarkan pendaftaran pencalonan Gibran, terbantahkan dalam persidangan DKPP. Alasan, Putusan MK “bersifat final”, juga tidak bisa menjadi alasan untuk melanggar Peraturan KPU dan Undang-Undang Pemilu.

Karena, Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023, yang meloloskan Gibran menjadi calon Wakil Presiden, masih bermasalah hukum. Putusan tersebut digugat masyarakat ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MK) karena juga (terindikasi) melanggar moral, etika dan hukum.

Majelis Kehormatan MK mulai memeriksa para hakim Konstitusi pada 31 Oktober 2023, dan membacakan hasil pemeriksaan atau putusan Majelis Kehormatan MK pada 7 November 2023.

Selama periode pemeriksaan (31 Oktober – 7 November 2023), nasib Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 menjadi tidak pasti. Karena, menurut Jimly Asshiddiqie, Ketua Majelis Kehormatan MK, Putusan MK tersebut bisa (masuk akal) dibatalkan. Hal ini disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie pada 2 November 2023, seperti dimuat di berbagai media, antara lain cnnindonesia dot com di bawah ini.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20231102064044-12-1018912/jimly-anggap-masuk-akal-jika-putusan-mk-syarat-cawapres-dibatalkan

Berdasarkan fakta ini, tindakan KPU menerima pendaftaran bakal calon Presiden dan Wakil Presiden pada 25 Oktober 2023, dan mengubah Peraturan KPU pada 3 November 2023 jelas melanggar peraturan perundang-undangan.

Termasuk melanggar Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum No 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, yang bersumber dari Undang-Undang tentang Pemilihan Umum dan juga Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Putusan KPU menerima pencalonan Gibran dengan menggunakan Peraturan KPU No 19 Tahun 2023, dan kemudian diubah dengan Peraturan KPU No 23 Tahun 2023, sebelum ada Putusan sidang Majelis Kehormatan MK (pada 7 November 2023), merupakan pelanggaran hukum yang sangat serius, karena mengakibatkan ketidakpastian hukum terkait Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Karena, tidak tertutup kemungkinan Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 tersebut bisa dibatalkan, seperti diucapkan oleh Ketua Majelis Kehormatan MK pada 2 November 2023.

Karena itu, sanksi Peringatan Keras yang diberikan kepada para komisioner KPU sangat tidak adil. Mereka seharusnya diberhentikan dengan tidak hormat, karena tidak mempunyai legitimasi lagi sebagai Penyelenggara Pemilu.

Selain itu, pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden menjadi cacat moral, cacat etika, dan juga cacat hukum. Cacat di Mahkamah Konstitusi, dan cacat di KPU.

Semua ini akan memicu ketidakpastian politik. Legitimasi pencalonan Gibran sebagai Wakil Presiden akan selalu dipertanyakan dan dipertentangkan.

—- 000 —-


Oleh: Anthony Budiawan
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Jumat, 22 Desember 2023

Pakar: Wajib Hukumnya Menolong Muslim Rohingya


 
Tinta Media - Pakar Fikih Kontemporer Kiai Shiddiq Al-Jawi menegaskan wajib hukumnya menolong muslim Rohingya.
 
“Hukumnya wajib sebenarnya menolong muslim Rohingya,” ujarnya dalam kajian: Wajib Hukumnya Menolong Muslim Rohingya, di kanal Youtube Khilafah Channel Reborn, Jumat (15/12/2023).
 
Alasannya, menurut Kiai Shiddiq adalah orang-orang Rohingya itu tertindas di negaranya, tidak diakui sebagai warga negara, dianggap ilegal kemudian diperlakukan secara buruk, disiksa, dipenjara, dan ada yang dibunuh.
 
“Maka dari itu mereka lari dari negerinya itu, ada yang lewat jalur darat sampai ke Bangladesh, ada yang larinya lewat jalur laut sebagian di Aceh di bagian negara kita, jadi mereka dalam kondisi tertindas,” tuturnya.
 
Muslim Rohingya ini, terangnya, tertindas karena di bawah rezim Budha Myanmar yang memprioritaskan warganya yang beragama Budha.
 
 
“Warga negara Budha mendapatkan hak-hak sebagai warga negara di Myanmar, tapi hak Muslim ini berusaha untuk ditiadakan, dibunuh, disiksa, dan sebagainya,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi.

Pakar: Hukumnya Berdosa Menolak Pengungsi Rohingya


 
Tinta Media - Pakar Fikih Kontemporer Kiai Shiddiq Al-Jawi menegaskan, berdosa hukumnya jika menolak pengungsi Rohingya.
 
“Kalau menolak ya berdosa, tidak boleh, hukumnya berdosa,” ujarnya dalam kajian: Wajib Hukumnya Menolong Muslim Rohingya, di kanal Youtube Khilafah Channel Reborn, Jumat (15/12/2023).
 
Kiai Shiddiq beralasan, menolong sesama muslim itu wajib hukumnya. “Bagaimana kalau kewajiban tidak dilakukan, berdosa atau enggak? Itu berdosa!” tegasnya.
 
Ia mengumpamakan seperti halnya shalat yang menjadi kewajiban sebagai muslim, jika meninggalakan maka berdosa.
 
“Ini menolong sesama muslim itu wajib hukumnya secara syariat, ketika tidak dilakukan suatu kewajiban itu ya berdosa,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi.
 

Selasa, 12 Desember 2023

Predator Anak Belum Tuntas, Islam yang Akan Memberantas




Tinta Media - Predator Seksual Hendri Cahaya Putra (26) akhirnya ditangkap. Terkuak pengakuan tersangka kasus pencabulan terhadap anak laki-laki di kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah tersebut dihadapan polisi. Saat konferensi pers yang dipimpin Kapolres Tapanuli Tengah AKBP Basa Emden Banjarnahor dan Kasat Reskrim AKP Arlin Perlindungan, pria yang bekerja sebagai montir ini menyatakan telah mencabuli 27 anak laki-laki. (TribunMedan.com, 7 Desember 2023) 

Dalam pengakuannya tidak semua disodomi, melainkan 20 hanya diraba-raba alat kelaminnya dan 7 anak dirudapaksa. Jumlah ini diperkirakan dilakukan oleh predator seksual tersebut selama kurun waktu setahun belakangan. Modus tersangka ialah memanfaatkan keahliannya bermain game online yang sehari-hari di bengkel. Sehingga anak-anak berdatangan di tempatnya. Setelah korban terhanyut bermain game menggunakan handphone tersangka yang dipinjamkan, ia pun beraksi mulai meraba hingga menyodomi korban. (TribunMedan.com, 7 Desember 2023) 

Kasus Predator anak (pedofil) ini terus berulang terjadi. Rentetan kasus pedofilia bikin para orang tua semakin kawatir bukan kepalang soal keselamatan anak-anak mereka yang merupakan generasi penerus bangsa ini diincar dari segala lini oleh predator-predator pedofilia. 

Penegak hukum didesak untuk menjadikan kejahatan seksual terhadap anak ini sebagai kejahatan pidana luar biasa (extraordinary crime). Pelakunya pantas dihukum berat. Pelaku pedofilia harus diganjar hukuman dengan sanksi pemberatan sesuai Perppu 1 tahun 2016 yang telah disahkan menjadi UU Nomor 17 Tahun 2016. Dalam revisi UU No.35/2014, pelaku kena tambahan pemberatan hukuman, 1/3 dari maksimal pokok pidana yakni 20 tahun dengan tambahan kebiri kimiawi, pemasangan Chip dan pengumuman di ruang publik. Namun, apakah sanksi-sanksi ini cukup untuk memberantas kasus pedofilia ini? Apakah pelaku akan jera dengan melihat kasus ini berulang kembali terjadi. 

Predator Merajalela di Sistem Kapitalis-Liberal 

Kasus pedofil semakin marak dan meningkat merupakan buah  sistem yang ada di tengah-tengah masyarakat saat ini adalah sistem sekuler-kapitalis demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan dan HAM. Sistem yang menghilangkan rasa kasih sayang manusia karena tujuan utama dalam kehidupan adalah kepuasan jasmani. Jika dengan melakukan hal tersebut terpuaskan maka sah-sah saja. Pelaku semakin leluasa bergerak juga karena sistem. 

Di dalam masyarakat sistem sekuler-kapitalis demokrasi, masyarakat tidak di setting untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana kejahatan. Sebagai contoh kasus perselingkuhan dan zina, tak pernah dianggap sebagai tindakan kriminal manakala tidak ada pengaduan dari pasangan yang sah dan dilakukan suka sama suka. Akibatnya, zina terjadi dimana-mana, bahkan dilegalkan, dan dilokalisasikan, dijadikan bagian dari retribusi pendapatan daerah.  

LGBT yang merupakan penyimpangan seksual pun tidak dapat dimasukkan ke dalam tindak kriminal karena dianggap HAM. Setiap orang berhak untuk menyalurkan birahinya ke siapa saja. Selain itu, situs-situs yang mengumbar pornografi dan pornografi yang sangat mudah diakses pun menjadi pemicu untuk semakin menggeloranya rangsangan  untuk menyalurkan birahi. Belum lagi, narkoba, minuman keras yang sampai saat ini masih menjadi kasus yang belum terselesaikan tapi semakin menjadi marak. Semua hal ini, bisa menjadi faktor para pelaku pedofil semakin merajalela dan menunjukkan lemahnya sistem untuk menjaga masyarakat. Kapitalisme demokrasi inilah sejatinya yang harus menjadi perhatian karena dialah akar permasalahannya. 

Islam Memberantas Predator Secara Tuntas 

Sistem sekuler kapitalis demokrasi yang diterapkan ditengah-tengah masyarakat saat ini tidak akan pernah memberikan kebaikan dan kemajuan, karena sistem itu adalah sistem rusak dan bertentangan dengan akidah Islam. Penerapan Islam secara menyeluruh merupakan kewajiban. Syariat Islam akan menjadi problem solving buat seluruh masalah yang ada ditengah-tengah masyarakat. Tidak hanya problem solving tapi juga mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan diluar fitrahnya termasuk pedofilia. 

Dalam kasus pedofilia tentu penanaman pendidikan berbasis akidah Islam sangat penting untuk masing-masing individu. Ketika keimanan dan ketakwaan tertanam dan tertancap kuat pada diri individu maka minimal individu telah memiliki “benteng” yaitu konsekuensi keimanan. Ini merupakan benteng pertahanan pertama dan mendasar. 

Islam juga mewajibkan adanya amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat. Maka dari itu, dalam masyarakat iklim ketakwaan dan kepedulian sesama muslim sangat kental. Secara tidak langsung, individu pun akan terjaga dan terbentengi oleh kontrol masyarakat yang menjadikan akidah Islam sebagai rujukannya. Begitu pula peran Negara juga tidak kalah penting. Negara wajib memblokir konten-konten porno dan memberikan hukuman yang adil untuk pelaku pedofilia. Tentu saja definisi adil dikembalikan kepada syariat Islam. 

Ketegasan hukum oleh Negara juga dilaksanakan untuk memutus mata rantai pedofilia yang berpotensi mencetak pedofil-pedofil baru. Inilah solusi Islam yang komprehensif dan sangat sesuai diterapkan di mana pun dan kapan pun manusia berada. Karena sejatinya, seluruh alam semesta termasuk Indonesia adalah kepunyaan Allah. Jika hukuman yang diberikan hanya dengan penangkapan dan pemberian sanksi, maka tidak akan memberi efek jera. Sumber hukum yang berdasarkan sistem kufur tak akan memberi keadilan karena hanya hukum Allah lah yang paling adil. Hanya dengan Syariat Islam, kebahagiaan anak-anak akan dijamin perlindungannya. 

Oleh : Ria Nurvika Ginting, S.H., M.H. 
(Dosen Fakultas Hukum UMA)

Kamis, 30 November 2023

Tragedi Bitung, IJM: Pelaku Kriminal Wajib di Proses Hukum



Tinta Media - Menanggapi tragedi yang terjadi di Bitung Sulawesi Utara tanggal 25 November 2023, Direktur Indonesia Justice Monitor Agung Wisnuwardana mengungkapkan pelaku kriminal wajib diproses secara hukum. "Pelaku kriminal wajib diproses secara hukum," tuturnya dalam video Usut Aktor Intelektualnya Dan Tangkap Pelaku Kekerasan di Bitung, melalui kanal Youtube Justice Monitor, Ahad (26/11/2023).

"Pelaku penyerangan yang melakukan kekerasan di Bitung tidak boleh dibiarkan," tegasnya.

Menurutnya, pembiaran terhadap perilaku kejahatan di wilayah Indonesia melanggar konstitusi nasional, yang ini juga sangat berbahaya.

Oleh karena itu kepada umat Islam, himbaunya, agar tidak terpancing oleh propaganda murahan dari gerombolan pro zionis Yahudi yang menggunakan jalur hukum untuk menghenti aksi dimana diduga premanisme dan kepada aparat kepolisian agar menangkap aktor intelektual di balik penyerangan tersebut.

"Tangkap dan usut tuntas para aktor intelektual di belakang layar," tandasnya.

Agung mensinyalir perlunya mewaspadai setiap upaya Apapun untuk menciptakan  kerusuhan, sekali lagi ini penting untuk segera dilakukan. 

Menurutnya, Pemerintah Indonesia harus bertindak tegas dalam menyikapi agresi biadab dari Zionis Yahudi ini terhadap rakyat Palestina.
 
"Yang paling penting salah satunya adalah memutus hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat sebagai sekutu yang mendukung Zionis Yahudi melakukan pembantaian terhadap rakyat Palestina," ujarnya.

Ia menekankan, sudah tiba saatnya,  pemerintah Indonesia meminta dubes Amerika Serikat untuk hengkang dari wilayah Indonesia sebagai protes keras atas dukungan tanpa batas Amerika kepada kebiadaban dan genosida yang dilakukan oleh Zionis Yahudi terhadap rakyat Palestina.

 "Keberadaan Amerika Serikat dan sekutu lainnya menguatkan Zionis Yahudi dalam melakukan agresi terhadap rakyat sipil di Palestina," simpulnya.

 "Sesungguhnya tanpa dukungan penuh Amerika Serikat dan sekutu negara Barat, Zionis dapat dikalahkan, ingat setiap penjajahan di atas dunia ini harus dihapuskan sekali lagi setiap penjajahan di atas dunia ini harus dihapuskan," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Jumat, 24 November 2023

UIY: Hukum Dimainkan untuk Kepentingan Politik


 
Tinta Media – Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menilai bahwa hukum dimainkan untuk kepentingan politik.
 
“Hukum seperti dimainkan untuk kepentingan politik, bahwa orang bisa selamat jika masih inline dengan kekuasaan, dengan rezim, sehingga orang yang memilih jalan yang bertentangan dengan penguasa harus berpikir sekian kali,” ungkapnya, di Focus To The Point: Pejabat Hukum, Guru Besar Hukum, Terjerat Korupsi, Ada Apa? Melalui kanal Youtube UIY Official, Senin (20/11/2023).
 
Meski demikian UIY mengingatkan, orang yang inline dengan kekuasaan cepat atau lambat dia akan menjadi pesakitan.
 
 “Seperti yang kita sudah lihat pada Menteri Pertanian, kemudian Menteri Komunikasi dan Informatika. Itu semua menunjukkan bahwa penegakan hukum itu secara teoritik untuk keadilan, tapi dalam faktanya untuk kekuasaan,” jelasnya.
 
Ia mengulas, ketika hukum itu ditegakkan bukan di atas prinsip keadilan, tapi atas dasar kekuasaan, maka yang terjadi adalah like and dislike (suka atau tidak suka).
 
“Like and dislike ini bukan benar salah, tetapi suka atau tidak suka. Kalau suka atau tidak suka, maka yang salah bisa menjadi benar, yang benar bisa menjadi salah. Ini akan menjungkirbalikkan hukum yang semakin menjauhkan dari prinsip keadilan. Ketika keadilan hilang, yang ada ketidakadilan,” bebernya.
 
Ketika ketidakadilan merajalela, lanjutnya, akan memperkuat adagium might is right (yang punya kuasa itulah yang benar), bukan right is might. “Itu satu langkah menuju hukum rimba,” tukasnya.
 
Ia menilai, biasanya ketika sudah tidak punya kekuasaan, orang akan menjadi pesakitan, kecuali memberikan kompensasi besar berupa uang pelicin atau sogokan yang besar.
 
“Akibatnya, dia berpikir kalau korupsi yang besar sekalian. Di situ kita melihat bahwa akhirnya yang dirugikan adalah negara, bangsa, dan rakyat. Rakyat dihisap pajaknya sampai yang kecil-kecil, sementara uang pajak yang begitu besarnya dikorup oleh mereka-mereka yang berpikiran koruptif, jahat,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.
               
 

UIY: Hukum Makin Jauh dari Aspek Takwa



Tinta Media - Menyoroti banyaknya ahli hukum yang terlibat korupsi, Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menduga karena  pengajaran hukum makin jauh dari aspek  takwa.
 
“Pendidikan kadang hanya berhenti sampai pada aspek kognisi, sampai aspek pengetahuan saja. Hukum dipelajari hanya sebagai pengetahuan, bukan sebagai dasar dari sikap atau afeksi. Apalagi pengajaran hukum itu makin hari makin jauh dari apa yang disebut dengan takwa,” ungkapnya, di Focus To The Point: Pejabat Hukum, Guru Besar Hukum, Terjerat Korupsi, Ada Apa? Melalui kanal Youtube UIY Official, Senin (20/11/2023).
 
UIY melanjutkan, jika orang tidak lagi taat kepada hukum yang didasarkan kepada takwa, lalu dia dasarkan kepada apa?
 
“Kalau tidak lagi takut kepada Allah lalu mesti takut pada apa? Apalagi sebagai penguasa hari ini itu kan bisa mengatur semua-muanya,” prihatinnya.
 
UIY lalu menegaskan, ini sekaligus juga menunjukkan betapa pengetahuan itu satu hal, tindakan itu hal yang lain.
 
 “Pengetahuan itu penting, tetapi tindakan itu lebih dari sekedar pengetahuan, karena tindakan itu di sana ada unsur-unsur yang lebih dalam lagi yang kadang-kadang kita sering menyebut sebagai the secret life (sesuatu yang ada dalam diri),” ujarnya.

Sesuatu yang ada dalam diri ini, terangnya, yang absen dari kehidupan saat ini.

“Karena itulah maka orang-orang yang dari segi jabatannya sangat tinggi, dari pengetahuannya juga mentok, itu masih juga melakukan tindakan-tindakan yang dilakukan seperti oleh orang-orang yang enggak ngerti hukum sama sekali,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.

Kamis, 23 November 2023

dr. Mohammad Ali: Wajib Hukumnya Mengirim Tentara Muslim ke Palestina



Tinta Media - Ulama dr. Mohammad Ali Syafi'udin menegaskan bahwa bagi kaum muslimin yang tidak memiliki kemampuan berjihad secara langsung di Palestina, maka wajib bagi mereka untuk mendorong mewujudkan orang-orang yang mampu dengan cara menyeru kepada penguasa untuk mengirimkan militernya. 

"Jadi, menyerukan kepada penguasa, menyampaikan kepada penguasa, mendorong kepada penguasa untuk mengirimkan militernya. Ini adalah pelaksanaan kewajiban yang paling minim," tegasnya dalam diskusi secara live berjudul "Makna Jihad dan Khilafah Sebagai Solusi Atas Palestina" pada kanal Youtube Khilafah Channel Reborn, Senin (20/11/2023). 

Dia menyatakan bahwa langkah di atas adalah bagian dari pelaksanaan kewajiban menurut Imam Syatibi dalam kitabnya Al Muwafaqat. "Walaupun tidak langsung karena tidak memiliki kemampuan, tetapi mendorong, mengajak, menyampaikan, memberikan pemahaman, ini adalah termasuk juga melaksanakan kewajiban," tegasnya.
 
Dalam kitab tersebut, lanjutnya, Imam Syatibi menjelaskan bahwa fardhu kifayah sebenarnya diperuntukkan untuk seluruhnya. "Maka sebagian yang memiliki kemampuan maka wajib secara langsung melaksanakan kewajiban fardhu kifayah itu," terangnya. 

Hukum jihad, lanjut dr. Ali, dalam pengertian berperang adalah fardhu 'ain  bagi penguasa negeri-negeri muslim di sekitar Palestina untuk menggerakkan tentaranya. " Kenapa? Karena yang memilik kemampuan itu ya tentara dan penguasa," jelasnya. 

Dia menambahkan bahwa kaum muslimin di Palestina dan kaum muslimin yang berada di sekitar Palestina termasuk yang terkena fardhu 'ain. "Dan siapa saja yang mengetahui kondisi mereka dan dia memiliki kemampuan, wajib atas mereka berjihad di sana," pungkasnya.[] Hanafi

Minggu, 12 November 2023

Hukum Memisahkan Pelanggan Pria dan Wanita di Kafe

Tinta Media - Tanya: Ustaz, saya punya usaha kuliner yaitu kafe. Apakah harus ada pemisahan antara tamu laki-laki dan wanita di kafe saya? Apakah selaku pemilik kafe saya berdosa jika membiarkan pelanggan saya berikhtilat (campur baur antara pria dan wanita)? (Firli, Sleman)

Jawab: 

Wajib hukumnya pemisahan (infishal) pelanggan pria dan wanita di sebuah kafe. Kewajiban pemisahan pelanggan pria dan wanita ini didasarkan pada hukum syariah yang berlaku umum yang mewajibkan pemisahan pria dan wanita, baik dalam kehidupan khusus (al hayaat al ‘aamah) seperti di rumah, kos-kosan, dsb; maupun dalam kehidupan umum (al hayaat al khaashah) seperti di kafe, jalan raya, kendaraan umum, dsb.

Hukum umum ini berlaku untuk segala macam kegiatan dan tempat, seperti menghadiri pengajian di sebuah masjid atau gedung, melakukan kegiatan aksi damai (masirah), sholat berjamaah di masjid, belajar di sekolah, berolahraga di lapangan, rapat di kantor, rapat perusahaan, dan sebagainya. Termasuk makan di sebuah kafe atau warung makan. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Kewajiban pemisahan pria dan wanita tersebut didasarkan pada sejumlah dalil syariah, di antaranya: 

Pertama, Rasulullah ﷺ telah memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita di masjid ketika shalat jamaah, yaitu shaf-shaf pria berada di depan, sedangkan shaf-shaf wanita berada di belakang shaf-shaf pria. (HR Bukhari no 373, dari Anas bin Malik); 

Kedua, Rasulullah ﷺ memerintahkan para wanita untuk keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat di masjid, baru kemudian para pria. (HR Bukhari no 828, dari Ummu Salamah); 

Ketiga, Rasulullah ﷺ telah memberikan jadwal kajian Islam yang berbeda antara jamaah pria dengan jamaah wanita (dilaksanakan pada hari yang berbeda). (HR Bukhari no 101, dari Abu Said Al Khudri). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Berdasarkan dalil-dalil ini, disimpulkan sebuah hukum umum, yaitu dalam kehidupan Islam terdapat kewajiban memisahkan jamaah pria dengan jamaah wanita. Dan pemisahan ini berlaku secara umum, yaitu tidak ada perbedaan antara kehidupan umum (al hayaat al ‘aamah) seperti di di kafe, jalan raya, kendaraan umum, dengan kehidupan khusus (al hayaat al khaashah) di rumah, kos-kosan, dan apartemen. 

Maka dari itu, keumuman hukum ini berlaku pula pada kasus makan di sebuah kafe sehingga di sebuah kafe wajib ada pemisahan antara pelanggan pria dan wanita. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Dikecualikan dari hukum tersebut, yaitu jika pria dan wanita yang makan di kafe tersebut adalah suami istri, atau mempunyai hubungan mahram, seperti seorang anak laki-laki dengan ibunya. Dalam kondisi seperti ini, boleh hukumnya pria dan wanita tersebut makan bersama di satu meja tanpa ada pemisahan.

Jadi, kafe syariah sudah seharusnya tidak hanya sesuai syariah dalam hal makanan atau minumannya, tapi juga harus sesuai syariah dalam pengaturan tempat duduk para pelanggannya. 

Di sebuah kafe dapat diatur ada dua ruangan. Pertama, ruangan untuk pelanggan umum, yaitu pelanggan pria dan wanitanya yang bukan mahram, mereka menempati meja dan kursi yang terpisah.

Kedua, ruangan untuk pelanggan keluarga, yaitu untuk pelanggan pria dan wanita yang mempunyai hubungan mahram. Mereka boleh makan satu meja.

Pemilik kafe turut berdosa jika membiarkan pelanggannya berikhtilat (campur baur), karena membiarkan terjadinya dosa atau kemungkaran di hadapannya padahal dia mampu untuk menghilangkan kemungkaran itu dan mengatur kafenya agar sesuai syariah. Wallahualam Bissawab

Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 

Kamis, 09 November 2023

Mubalighah: Hukum Jihad Defensif Fardhu 'Ain


 
Tinta Media - Terkait hukum untuk melaksanakan jihad defensif yaitu jihad pada saat musuh atau orang kafir menyerang kaum muslim, mubalighah Rif'ah Kholidah menyampaikan hukumnya adalah fardhu ain.

“Hukum jihad defensif adalah fardhu ain yakni wajib tiap-tiap kaum Muslimin melakukan penyerangan," tuturnya dalam tayangan Islam Menjawab: Bagaimana Hukum J1h4d Defensif? Melalui kanal Muslimah Media Center, Ahad (5/11/2023).
 
Rif'ah mengutip firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 190; "Dan perangilah mereka di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas."
 
Imam Ibnu katsir dalam kitab tafsirnya, terangnya, menjelaskan bahwa makna ayat ini merupakan penggerak dan pengobar semangat untuk memerangi musuh-musuh yang berniat memerangi Islam dan pemeluknya.
 
“Makna perangilah mereka dijalan Allah, tetapi janganlah kalian melampaui batas yakni tidak melakukan hal-hal yang dilarang dalam perang seperti mencincang musuh, berbuat curang, membunuh perempuan, anak-anak, lanjut usia, yang tidak ikut berperang serta yang tidak mempunyai kemampuan berperang, seperti para rahib dan pendeta yang ada di gereja,” jelasnya.
 
Ia menjelaskan, perang untuk mempertahankan diri atau membela diri merupakan perkara yang disyariatkan.
 
Terakhir ia menerangkan, syahid merupakan puncak kematian yang paling mulia disisi Allah Swt.
 
"Oleh karena itu seorang muslim hendaknya menjadikan syahid sebagai cita-cita tertinggi dalam hidupnya, tidak takut melaksanakan jihad fisabilillah," tutupnya. [] Muhammad Nur
 

Senin, 06 November 2023

Ketua KPK Diduga Memeras, LSIS: Mengingatkan Banyak Kasus



Tinta Media - Menanggapi pemeriksaan ketua KPK Firli Bahuri dalam kasus dugaan pemerasan yang melibatkan eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Direktur Lingkar Studi Islam Strategis (LSIS) Agus Suryana, M. Pd mengungkapkan sebenarnya kasus tersebut mengingatkan pada banyak kasus lain.  

"Sebenarnya kasus tersebut mengingatkan pada banyak kasus lain yang telah menjadikan hukum selalu tidak ditegakkan secara adil di negeri ini," tuturnya kepada Tinta Media. Jum'at, (03/11/2023).

Menurut Agus, hukum akhirnya berpihak pada yang kuat, yang memiliki kekuasaan, dan pastinya berpihak pada yang memiliki modal.

"Sehingga pemerasan dalam penanganan kasus hukum di Indonesia bukan perkara yang aneh lagi alias sudah biasa, karena hukum bisa dibeli dan dinegosiasi untuk kemudian dimuluskan agar berpihak kepada yang 'membayar'," ujarnya.

Kinerja Buruk

Agus mengungkapkan perseteruan KPK dan Polri sebenarnya hanya akan mempertontonkan kepada masyarakat betapa buruknya kinerja lembaga antiriswah (KPK) di satu sisi dan bentuk lemahnya supremasi hukum dari aparat kepolisian di sisi lain. Artinya konflik yang terjadi merupakan konsekuensi dari apa yang mereka perbuat sendiri.

"Ibaratnya siapa yang menanam pasti akan menuai hasilnya. Siapa yang melanggar aturan dia yang akan merasakan akibatnya," katanya sambil mengumpamakan.

Lanjut, ia menyebutkan bahwa dampaknya bagi masyarakat tentu adalah hilangnya kepercayaan kepada kedua lembaga tersebut, dan jika ini yang terjadi tentu masyarakat akan mencari keadilan dengan jalannya sendiri (kadang main hakim sendiri) atau dengan tidak peduli lagi dengan hukum di Indonesia. 

"Di sinilah sebenarnya kesempatan Islam untuk tampil sebagai solusi dan menjadi satu-satunya sistem yang akan membawa masyarakat pada keadilan yang hakiki," pungkasnya. [] Muhammad Nur

Minggu, 22 Oktober 2023

Grasi Massal Narkoba Bukan Solusi Hakiki

Tinta Media - Menyedihkan, tampaknya upaya pemberantasan narkoba di negara ini mengalami kemunduran. Alih-alih meningkatkan upaya untuk menangkap dan menghukum pelaku kejahatan narkoba secara tegas dan adil, pemerintah justru ingin memberikan grasi massal kepada narapidana pemakai narkoba.

Saat ini, lapas telah mengalami over crowded (terlalu penuh) karena jumlah narapidana melebihi kapasitas, yaitu mencapai 100 persen, sehingga pemerintah berencana memberikan grasi massal pada pengguna narkoba. Pemakai narkoba dianggap telah dikriminalisasi secara berlebihan, sehingga akan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pengguna narkoba untuk mendapatkan grasi.

Tim Percepatan Reformasi Hukum merekomendasikan kepada Presiden Jokowi untuk memberikan grasi massal kepada narapidana pemakai narkoba sebagai upaya mengatasi over crowded lapas.

Lemahnya penegakan hukum narkoba selama ini mengakibatkan lapas penuh. Faktor individu, masyarakat, dan negara ikut berkontribusi terhadap masalah ini. Individu banyak yang terjerumus dalam penggunaan narkoba karena lemahnya iman. Apalagi, sekarang pemakaian narkoba dalam kadar rendah tidak dianggap sebagai kejahatan, tetapi sebagai korban.

Pemakaian narkoba juga dipengaruhi oleh sikap individualistis dan kurangnya kontrol sosial di masyarakat, serta kemiskinan yang mendorong bisnis narkoba. Negara yang tidak memberlakukan hukuman memadai terhadap pengguna narkoba juga berperan dalam masalah ini.

Memberikan grasi massal kepada narapidana narkoba menunjukkan kurangnya keseriusan pemerintah dalam memerangi narkoba. Alih-alih memberikan hukuman yang tegas, narapidana narkoba justru mendapatkan fasilitas grasi. Ini berpotensi membuat mereka kembali ke kebiasaan buruk setelah bebas, sehingga lingkaran kejahatan ini tidak akan berakhir.

Pemberian grasi massal hanya menyelesaikan masalah pada tahap akhir, sementara akar permasalahan tidak diatasi. Selama peredaran narkoba masih ada, narapidana narkoba akan terus bertambah, dan lapas akan terus over crowded.

Pemberantasan narkoba yang efektif memerlukan pendekatan yang komprehensif. Islam memiliki solusi yang mencakup aspek hulu dan hilir. Dalam negara Islam yang menerapkan syariah secara menyeluruh, narkoba dilarang dengan tegas. Pemimpin Islam akan memberlakukan hukuman tegas, termasuk hukuman mati terhadap pelaku narkoba. Selain itu, pejabat yang terlibat dalam narkoba akan diadili dengan seadil-adilnya.

Negara Islam juga akan menciptakan kesejahteraan bagi warganya sehingga tidak terjerumus dalam bisnis narkoba. Akses masuk dari luar negeri akan diawasi dengan ketat. Aparat negara harus amanah dan adil dalam menjalankan tugas mereka.

Dengan penerapan hukum Islam secara kaffah, pemimpin Islam bisa memberantas narkoba secara menyeluruh, sehingga narkoba tidak akan lagi merajalela.

Wallahu a'lam bish shawab.

Oleh: Cici Kurnia Arum (Mahasiswa/Aktivis Muslimah)
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab