Minggu, 28 April 2024
Kamis, 25 April 2024
Sistem Hukum Beku di Bawah Aturan Kapitalis
Kamis, 18 April 2024
Bantuan Sosial Pangan atau Beras oleh Bapanas dan Bulog Melanggar UU Pangan dan UU Kesejahteraan Sosial
Tinta Media - Presiden Joko Widodo memutuskan perpanjangan pemberian Bantuan Sosial Beras sampai Juni 2024, dan Bantuan Langsung Tunai untuk November dan Desember 2023. Keputusan diambil dalam rapat kabinet / rapat terbatas 6 November 2023, dengan alasan ada ancaman El Nino.
Pemberian Bantuan Sosial Beras (sebelumnya dinamakan Bantuan Sosial Pangan) tersebut dikoordinasikan oleh Bapanas (Badan Pangan Nasional) dan dilaksanakan atau disalurkan oleh Perum Bulog (Badan Urusan Logistik).
Dalam penyaluran Bantuan Sosial Pangan (Beras) ini, Bapanas dan Bulog secara nyata melanggar UU tentang Kesejahteraan Sosial. Karena, pelaksanaan pemberian Bantuan Sosial Pangan (Beras) merupakan tugas dan fungsi Kementerian Sosial.
Alasannya sebagai berikut.
Pertama, Bantuan (Sosial) Langsung dalam bentuk Pangan maupun Tunai merupakan bagian dari Bantuan Sosial, yang pada gilirannya merupakan bagian dari Perlindungan Sosial, seperti diatur di Pasal 14 dan Pasal 15 UU No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.
Kedua, penyelenggaraan Perlindungan Sosial diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah No 39 Tahun 2012 (PP 39/2012) tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
Bab V tentang Perlindungan Sosial, Pasal 28 sampai Pasal 36, menyatakan, bahwa:
• Bantuan Sosial merupakan bagian dari pelaksanaan Perlindungan Sosial: Pasal 28 ayat (3) huruf a;
• Bantuan Sosial dapat diberikan secara langsung (Bantuan Langsung): Pasal 29 ayat (2) huruf a;
• Jenis Bantuan (Sosial) Langsung dapat berupa antara lain sandang, pangan, dan papan: Pasal 30 huruf a, atau uang tunai: Pasal 30 huruf e;
Ketiga, menurut Peraturan Presiden No 110 Tahun 2021 tentang Kementerian Sosial, Perlindungan Sosial merupakan salah satu tugas dan fungsi Kementerian Sosial.
Pasal 4 berbunyi: Kementerian Sosial mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Pasal 5 berbunyi Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, Kementerian Sosial menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial;
Kedua Pasal ini menegaskan bahwa Kementerian Sosial juga mengemban fungsi sebagai pelaksana kebijakan perlindungan sosial, termasuk penyaluran Bantuan Sosial Pangan (Beras).
Untuk itu, Kementerian Sosial dilengkapi dengan Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan, pemberian Bantuan Sosial Pangan (Beras) maupun Bantuan (Sosial) Langsung Tunai merupakan bagian dari Perlindungan Sosial, yang merupakan tugas dan fungsi dari Kementerian Sosial.
Artinya, Bapanas dan Bulog tidak berwenang melaksanakan atau menyalurkan Bantuan Sosial Pangan (Beras).
Dengan kata lain, penyaluran Bantuan Sosial Pangan (Beras) dari Bapanas dan Bulog melanggar UU tentang Kesejahteraan Sosial, melanggar tugas dan fungsi Kementerian Sosial, dan karena itu dapat didakwa penyimpangan kebijakan APBN dan penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara.
Selain itu, keempat, dasar pembentukan Badan Pangan Nasional merupakan perintah Bab XII, Pasal 126 sampai Pasal 129, UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bahwa: Badan Pangan Nasional adalah Lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan. Sekali lagi, menangani bidang pangan, bukan bidang sosial, atau bantuan sosial.
Pasal 126 berbunyi, tugas Lembaga Pemerintah di bidang Pangan, untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan Nasional.
Pasal 127 menegaskan, Lembaga Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang Pangan.
Pasal 128 mengatur wewenang Lembaga Pemerintah bidang pangan tersebut: yaitu antara lain dapat mengusulkan kepada Presiden untuk memberikan penugasan khusus kepada badan usaha milik negara di bidang Pangan untuk melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, dan/atau distribusi Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Artinya, Pasal 128 menegaskan Lembaga Pemerintah bidang Pangan (yang kemudian bernama Badan Pangan Nasional) tidak bisa menugaskan Bulog untuk melaksanakan atau menyalurkan Bantuan Sosial Pangan.
Pasal 129 kemudian memberi payung hukum pembentukan Lembaga Pemerintah bidang pangan melalui Peraturan Presiden, dan lahirlah Peraturan Presiden No 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional atau Bapanas.
Dalam butir menimbang huruf a Perpres 66/2021 secara eksplisit menyebut: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 129 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan.
Oleh karena itu, tugas dan fungsi Badan Pangan Nasional wajib taat pada ketentuan UU tentang Pangan khususnya Pasal 126 sampai Pasal 128.
Dalam hal ini, penyaluran bantuan pangan oleh Badan Pangan Nasional melanggar UU tentang Pangan dan juga melanggar UU tentang Kesejahteraan Sosial.
Dengan demikian, perpanjangan Bantuan Sosial dengan alasan El Nino, yang diputus secara sepihak oleh Presiden Joko Widodo, tanpa persetujuan DPR, tanpa ditetapkan dengan UU, disalurkan melalui Bapanas dan Bulog, beserta Presiden, Menteri Zulkifli Hasan dan Menko Airlangga Hartarto, secara nyata melanggar Konstitusi, UU Keuangan Negara, UU APBN, UU Kesejahteraan Sosial, UU Pangan.
Apakah sejumlah pelanggaran berat tersebut akan dibiarkan terjadi tanpa ada konsekuensi hukum, dan menandakan Indonesia menjadi negara tirani, atau ditindak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk mewujudkan perintah Pasal 1 ayat (3) UUD, bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Semoga Mahkamah Konstitusi dapat benar-benar menjaga Konstitusi Indonesia, dan memutus perkara seadil-adilnya sesuai hukum yang berlaku.
Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
—- 000 —-
Jubah Arogansi Hakim MK: Hanya Mahkamah Kata-Kata, Hilang Substansi Keadilan yang Didambakan
Tinta Media - Allah Subhanahu Wa Taa'la berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا ٣٦
"Janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak kau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya."
[ QS: Al Isro (17): 36 ]
Saya tidak lagi berharap akan ada putusan yang berkeadilan dari lembaga MK, itu sudah clear. Karena mustahil, MK sebagai lembaga hukum di bawah otoritas politik, bisa mengadili kecurangan politik pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Pada akhirnya, MK akan memutus menolak permohonan dan melegitimasi kecurangan.
Namun, dalam proses mengadili perkara, saya merasa lebih kecewa lagi. MK telah menunjukkan sikap jumawa/arogan, bukan sebagai lembaga pengadilan, tapi lembaga superior yang merasa lebih dan berada di atas kedudukan para pihak (pemohon, termohon, pihak terkait).
MK telah mendudukkan ruang sidang sengketa Pilpres sebagai ruang MK, bukan ruang para pihak untuk menggali dan menemukan keadilan. MK telah melawan hukum acara persidangan, dengan memberikan hak eksklusif pada hakim MK untuk mendalami fakta persidangan, dan menghalangi pihak lainnya untuk menggali dan menemukan fakta keadilan.
Contoh: saat MK akhirnya memanggil 4 orang Menteri Jokowi (Muhadjir Efendi, Risma Triharini, Sri Mulyani dan Airlangga Hartanto). Empat orang menteri ini dihadirkan atas permintaan Pemohon dari kubu 01 dan 03. Kedudukan menteri ini sebagai saksi. Tapi mengapa hanya hakim MK yang boleh bertanya dan menggali keterangan dari para menteri? Kenapa kuasa hukum pemohon, baik dari 01 dan 03, tidak diperkenankan mendalami keterangan saksi dari para menteri tersebut?
Kepentingan dihadirkannya 4 menteri, adalah untuk membuktikan adanya kecurangan Pemilu melalui politik penyalahgunaan wewenang Presiden . Yakni, penggelontoran dana bansos untuk kepentingan elektabilitas Prabowo Gibran, sebanyak 560.360.000.000.000.
Fakta adanya hubungan bansos dengan meningkatnya suara atau dukungan ke Prabowo Gibran, itu harus digali. Suara Prabowo Gibran itu besar karena bansos, itu harus didalami. Yang berkepentingan untuk menggali dan mendalami tentu saja kubu 01 dan 03 selaku Pemohon yang juga membuat posita dan petitumnya .
Bagaimana fakta bisa terungkap, kalo kuasa hukum pemohon 01 dan 03 tidak boleh bertanya pada saksi 4 menteri? Sejak kapan, hukum acara persidangan tidak membolehkan para pihak menggali keterangan saksi dan hanya menjadi hak eksklusif hakim MK ? Ini sudah melampaui hukum acara dalam persidangan .
Oleh karena itu terbukti, saat pertanyaan itu hanya dari MK, materi pertanyaannya ya datar-datar saja , normatif tidak substantif juga tidak ada pertanyaan yang punya tujuan untuk mengungkap fakta politik gentong babi yang menjadi salah satu dasar posita permohonan pemohon. Ini kan sama aja sandiwara MK hanya memanggil menteri untuk formalitas, seolah MK bertindak adil. Faktanya, pemanggilan menteri hanya untuk melengkapi sandiwara atau DRAKOR = Drama Kotor persidangan di MK, karena yang boleh memeriksa menteri hanya hakim MK. Ini benar-benar dagelan persidangan yang mendown great pihak Advokat 01 dan 03 jadi nothing , kalau pihak termohon dan terkait mah malah senanglah .
Belum lagi Hakim Arif Hidayat, membuat dikotomi kepala pemerintahan dan kepala Negara, sebagai dalih untuk tidak memanggil Jokowi. Lebih lucunya, berdalih Presiden simbol negara maka MK tak layak memanggil Presiden untuk diambil keterangannya di persidangan.
Sejak kapan Presiden adalah simbol negara? Apakah, sekelas hakim MK Arif Hidayat tidak pernah membaca Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan? Kalau pernah membaca, apa dasarnya Arif Hidayat mengklasifikasi Presiden sebagai simbol Negara?
Soal Jokowi tidak dihadirkan sebagai saksi juga aneh, seolah Jokowi hanya berstatus Presiden. Padahal, selain Presiden Jokowi juga berstatus warga negara, karena untuk menjadi Presiden haruslah WNI.
Dalam hal ini, konstitusi Pasal 27 ayat 1 UUD 45 tegas menyatakan:
"Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya."
Berdasarkan pasal ini, harusnya Jokowi diseret ke pengadilan oleh MK. Karena materi keterangan menteri soal bansos, harus pula dikonfirmasi oleh atasannya, yakni Presiden Jokowi.
Kenapa MK memosisikan Jokowi spesial atau di kecualikan ? Atau, sudah ada pesanan spesial dari Jokowi kepada MK, bagaimana Kita mau berharap pada MK sebagai penjaga konstitusi , untuk yang sudah jelas tertulis di pasal 27 ayat 1 UUD 45 saja tak mampu MK menegakkannya , tapi Aneh yang merasa jago/ pendekar hukum yang jadi Advokat nya 01 dan 03 tidak ada yang protes , malah dalam keterangan persnya merasa bahagia dan senang banget dengan kondisi obyektifnya sesungguh melecehkan jati diri mereka sebagai Advokat Jagoan . Sisi lain apakah cara seperti ini sudah di rancang oleh MK , karena terhadap pemeriksaan DKPP juga Sama , para advokat jagoan tadi tidak boleh bertanya juga ??? Apakah hal demikian sudah ada deal agar Gibran bisa dilantik menjadi Wapres ? Jika ikuti pendapat Hakim Ketua MK , Suhartoyo bila ada publik / WNI yang bertanya tentang persidangan maka Hakimnya HARUS MENJAWAB UNTUK MENJELASKAN YANG DITANYAKAN ORANG ITU !
Sedih saya melihat Para Kuasa Hukum pemohon, baik 01 dan 03 juga mau tunduk pada kejumawan / Arogan Hakim MK. Bahkan, diam saja ketika Bambang Widjoyanto mau diusir oleh Arif Hidayat. Harusnya, tunjukan persamaan kedudukan sebagai penegak hukum di hadapan hakim MK. Tunjukan, advokat juga penegak hukum seperti hakim MK, sehingga hakim MK jangan sok paling hebat seenaknya mau usir advokat dari ruangan persidangan lihat pasal 5 Jo pasal 16 dari UU No 18 thn 2003 tentang Advokat .
Saya benar-benar kecewa, jauh sebelum putusan MK dikeluarkan. Karena proses sidang di MK, sudah dapat dijadikan dasar keyakinan, bahwa akhirnya putusan MK hanya akan melegitimasi kecurangan.
Proses di MK, mungkin saja hanya jadi sandiwara untuk meredam kemarahan rakyat terhadap kecurangan/ kriminal pemilu dan Pilpres dan akhirnya saya gondok banget , karena Rakyat pula yang kembali ditipu dan dikhianati, dengan suguhan dagelan sidang di MK ini, persis seperti yang di tuliskan dalam Wahyu ALLAAH SUBHAANNAHU WA TA ALA , yaitu :
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا فِيْ كُلِّ قَرْيَةٍ اَكٰبِرَ مُجْرِمِيْهَا لِيَمْكُرُوْا فِيْهَا ۗ وَمَا يَمْكُرُوْنَ اِلَّا بِاَ نْفُسِهِمْ وَمَا يَشْعُرُوْنَ
"Dan demikianlah pada setiap negeri Kami jadikan pembesar-pembesar yang jahat agar melakukan tipu daya di negeri itu. Tapi mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya."
(QS. Al-An'am 6: Ayat 123) .
Namun demikian, dari sudut ajaran Islam kita diajarkan untuk tidak menentukan keadaan akan datang yang belum terjadi. Kita sadar hanya ALLAH lah yang tahu dan menentukan dalam PHPU di MK sekarang ini hingga tgl 22 April 2024: ada putusan MK yang menyatakan pilpres harus diulang tanpa Gibran dan diskualifikasi terhadapnya. Untuk itu, kita perlu munajat dan Istighotsah Akbar mulai tgl 16 April 2024 depan MK. Idealnya AMIN dan Ganjar Mahfud mengajak pendukung masing2 dan membersamai para relawan masing-masing. Juga ormas-ormas Islam yang sejalan memilih 01. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala yang Maha membolak-balik hati manusia menggerakkan hati nurani para Hakim MK untuk memutus perkara yang kita maksudkan itu, aamiin aamiin aamiin yaa Mujibas Saa'iliin...
Salam optimis, ES.
Oleh : Prof. Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si.
Ketua Umum TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis)