Tinta Media: Parenting
Tampilkan postingan dengan label Parenting. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Parenting. Tampilkan semua postingan

Jumat, 12 April 2024

Tragis! Anak Bunuh Ibu Kandung: Kapitalis Melahirkan Generasi Bengis dan Sadis


Tinta Media - Deretan duka dibulan Ramadhan semakin bertambah. Kita kembali disuguhkan dengan kasus yang menyayat hati. Dilansir dari medan.kompas.com, Wen Pratama (33) di Medan tega membunuh ibunya sendiri, Megawati (56) pada Senin (1/4/2024). Hal ini dilakukan karena tak terima sebab sang ibu memarahinya lantaran ia tidak bekerja dan selalu meminta uang kepada ibunya. Tersangka memukul sang ibu secara bertubi-tubi hingga ibunya terjatuh di lantai. Tak cukup sampai di situ, pelaku kemudian mengambil pisau cutter dan menggorok leher ibunya.

Akal dan hati nurani terkikis habis di dalam sistem kapitalis. Tanpa disertai rasa menyesal tersangka mengatakan “Rasa kasihanku sudah habis” usai menghabisi nyawa ibunya. Padahal ibu adalah seorang wanita yang harusnya dimuliakan. Ibu adalah sosok yang telah mengandung selama sembilan bulan, melahirkan, menyusui dan merawat anaknya hingga dewasa. Perjuangan ini sungguh sangat besar dan tidak mudah. Allah subhanahuwata’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang tua terlebih kepada ibu.

Sebagaimana dalam Al-Qur’an Surah Luqman ayat 14 : “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada orang tuamu.”

Ridho orang tua seharusnya diraih oleh seorang anak, karena Allah meletakkan ridho-Nya kepada anak yang diridhoi orang tuanya. Sebaliknya, jika anak membuat orang tua sedih dan murka, Allah pun meletakkan murka-Nya kepada sang anak. Maka sungguh merugi jikalau kita mendapati orang tua kita terkhusus ibu dalam keadaan murka kepada kita, apalagi dengan jelas menyakiti ibu dengan perkataan dan perbuatan yang tidak manusiawi.

Adapun kondisi saat ini, telah banyak kita temukan anak tidak sopan, berkata kasar dan menyakiti hati ibunya. Padahal dulunya ibu-lah yang mengajarinya berbicara. Namun sekarang, kepandaian itu ia gunakan untuk menghancurkan hati ibunya. Banyak juga anak yang menyakiti fisik ibunya, memukul, menendang dan bahkan membunuh surganya sendiri seperti yang dilakukan oleh Wen Pratama (33) di Medan.

Generasi Bengis dan Sadis Lahir Dari Sistem Kapitalis
Sistem kapitalis dengan asas sekuler yakni memisahkan agama dari kehidupan membuat manusia menjalani kehidupan tanpa disertai ketaqwaan. Mereka tidak menghadirkan ruh (kesadaran akan hubungannya dengan Allah) dalam menjalankan aktivitasnya. Standard perbuatan bukanlah halal dan haram, namun mengikuti hawa nafsunya. Manusia tidak bisa berpikir dengan jernih apa yang harus ia lakukan di tengah kesulitan hidup saat ini. Ya, sistem kapitalisme memang membuat kehidupan semakin sulit dan terjepit. Faktor ekonomi, seperti kemiskinan dan pengangguran kerap sekali menjadi penyebab terjadinya tindakan kriminal. Beredarnya minuman keras dan narkoba juga menjadi faktor pemicu meningkatnya aksi kejahatan dikarenakan zat yang ada di dalamnya dapat merusak akal manusia. Hal ini terbukti bahwa Wen Pratama (33) tersangka pembunuhan ternyata dikenal sering membuat onar dan kecanduan narkoba.

Saatnya Kembali Kepada Islam

Kesadisan dan kebengisan generasi saat ini harus segera dihentikan dengan kembali kepada Islam. Dalam sistem Islam, memberantas berbagai aksi kriminal ini perlu adanya 3 pilar yakni ketaqwaan individu, kontrol masyarakat dan negara yang menerapkan aturan Islam.

Ketaqwaan individu harus senantiasa dibentuk dan dipupuk mulai dari pendidikan pertama yang ia dapatkan di rumah. Ibu menjalankan tugas utamanya yakni sebagai ummu warabbatul bayt, sedangkan ayah menjalankan tugas utamanya dalam memberikan nafkah yang baik. Keduanya juga harus memberikan keteladanan yang sholih dan sholihah.

Kontrol masyarakat juga tidak boleh dilupakan. Masyarakat harus menjadi orang yang peka dan peduli ketika melihat berbagai macam tindak kriminal atau yang mengarah kepada hal tersebut. Saling amar makruf dan nahi mungkar akan mewujudkan lingkungan yang baik dan penuh ketaqwaan.

Negara juga harus menerapkan aturan Islam secara kaffah. Negara harus menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam yang sehingga generasi memiliki syakhsiyah islamiyyah yakni pola pikir dan pola sikap Islam. Negara juga harus mencegah segala faktor pemicu adanya tindakan kriminal seperti tontonan yang tidak mendidik, minuman keras dan narkoba yang merusak akal. Negara wajib menjamin terpenuhnya kebutuhan pokok masyarakat baik secara langsung seperti pendidikan dan kesehatan gratis maupun tak langsung seperti menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai.

Terakhir negara juga harus menerapkan hukuman yang tegas untuk para pelaku kriminal pembunuhan sebagaimana aturan tersebut telah diatur di dalam Islam yakni diterapkan hukum qishash, nyawa dibalas nyawa. Jika qishash ini diterapkan, tentu akan menjadi pencegah dan pemberi efek jera untuk seluruh masyarakat. Wallahu’alam bishshowab.

Oleh: Kintan Jenisa, S.Pd. (Pemerhati Generasi)

Sabtu, 10 Februari 2024

Menyiapkan Ananda Menjadi Seorang Pemimpin



Umi ... Abi ... Ana lahir

Tinta Media - Sungguh bahagia para orang tua yang dititipi dan dianugerahi seorang manusia kecil berakal, lucu nan imut, mampu menyejukkan mata saat dipandang. Ya, itulah anak-anak kita, anak-anak yang kita harapkan dan kita nantikan kehadirannya.

Setelah mereka lahir ke dunia, mereka seperti kertas putih kosong yang bersih dan harum yang siap kita isi dan tulis dengan jejak-jejak tulisan yang akan mengubah hidupnya. Pertanyaannya, mau diisi apa kertas putih itu?

Rasulullah saw. dalam hadisnya telah mengabarkan bahwa kita sangat berperan dan berpengaruh besar dalam membentuk karakter, perilaku, bahkan agama anak-anak kita.

“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah (suci). Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” (HR Bukhari dan Muslim)

Sayangnya, masih banyak di antara orang tua yang tidak menyadari bahwasannya bukan hanya fisik saja yang dapat diwariskan kepada anak, tetapi perilaku, karakter, dan sifat kita juga akan ditiru oleh mereka. Maka, penting bagi orang tua untuk selalu memperhatikan setiap perilaku dan kebiasaan. Orang tua juga harus siap mengubah karakter dan sifat yang sekiranya buruk menjadi lebih baik karena hal ini akan tertulis ke dalam kertas putih mereka.

Mau dijadikan apa anak-anak kelak, haruslah menjadi sebuah visi besar yang harus disiapkan sedari awal. Tentunya kita harus ingat bagaimana kesungguhan dan keseriusan orang tua Shalahudin Al Ayubi dalam menggapai visi agungnya. Mereka berusaha mencari pasangan yang mempunyai visi yang sama, yaitu ingin memiliki anak yang mampu membebaskan Masjidil Aqsa. Luar biasa, mereka dipertemukan dan visi mulia itu akhirnya terwujud. 

Terlihat bahwa visi untuk menjadikan ananda seperti apa, ternyata membutuhkan peran dan kerja sama antara ayah dan ibu.

Umi ... Abi ... Jadikan Ana Pemimpin! 

Rasulullah saw. telah bersabda yang artinya,

“Ketahuilah, setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin ....” (HR Al-Bukhari)

Menjadi keberhasilan yang luar biasa jika orang tua bisa menjadikan anaknya memiliki jiwa kepemimpinan, karena sabda Rasul, setiap diri kita adalah pemimpin, baik pemimpin untuk diri sendiri, keluarga, atau untuk umat. 

Keberhasilan dalam menjadikan anak mampu memimpin dirinya sendiri adalah dengan melihat apakah dia mampu menundukkan akal dan hawa nafsunya kepada syariat yang diperintahkan oleh Allah atau belum. Salah satu cara yang terlihat kecil, tetapi dampaknya begitu luar biasa untuk membentuk kepemimpinan seseorang adalah dengan membiasakan bangun subuh untuk salat Subuh. Jika hal ini berhasil, berarti ananda berhasil menguasai dirinya atas hawa nafsu. Jika hidupnya sudah terikat dengan hukum syariat, maka sejatinya dia sudah mampu memimpin dirinya sendiri dan insyaaallah akan mampu memimpin keluarganya.

Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an surah At-Tahrim ayat 6, yang artinya,

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Ayat Al-Qur'an di atas menjadi pengingat bahwa ada kewajiban besar bagi kita dan ananda kelak, yaitu melindungi diri kita sendiri dan keluarga dari api neraka. Maka, penting dalam diri anak tertanam sikap kepemimpinan. 

Namun, sikap kepemimpinan yang hebat dan luar biasa itu seperti apa? Tentunya, kita harus melihat generasi-generasi yang lahir dari peradaban emas. Peradaban emas terjadi saat Islam mengalami kejayaan. Saat itu, Islam yang dalam naungan Khilafah mampu mencetak para pemimpin yang luar biasa. Mereka harus dijadikan contoh dan teladan dalam kepemimpinan ananda. 

Para pemimpin yang lahir dari peradaban emas senantiasa bersikap dan berperilaku terhadap keluarganya dengan penuh ketegasan, wibawa, adil, tetapi tetap lemah lembut dan penuh kasih sayang. Mereka keras terhadap pelanggaran syariat, tetapi sangat lembut, bahkan mereka senantiasa bermain dan bercanda bersama keluarganya. 

Bahkan, Rasulullah saw. siap memotong tangan anaknya sendiri jika ketahuan mencuri, atau Abu bakar yang mengurangi dan mengembalikan ke baitul maal uang belanja istrinya saat tahu uang belanja tersebut ternyata ada kelebihan. Namun, di sisi lain, ternyata Rasul saw. pernah lomba lari bersama Bunda Aisyah atau Umar bin Khattab. Mereka senantiasa bercanda dan bermain bersama anak-anaknya. 

Jelas, sikap kepemimpinan bukan kejam, bengis, dan otoriter. Namun, mereka yang memiliki jiwa kepemimpinan adalah orang yang tegas dalam menegakkan syariat, konsisten atau istikamah, adil, dan penuh kasih sayang.

Karena keluarga adalah masyarakat lingkup kecil, maka jika seorang anak mampu memimpin dirinya sendiri dan keluarganya, insyaallah dia mampu memimpin umat. 

Umi … Abi … terima kasih, ana siap jadi pemimpin!


Oleh: Ririn Arinalhaq
Sahabat Tinta Media

Jumat, 26 Januari 2024

Kau Buang Bayimu, di Mana Hati Nuranimu, Ibu?

Tinta Media - Kejam dan sadis. Kata inilah yang pantas disematkan kepada ibu yang tega membuang bayinya di selokan, bahkan hingga di semak-semak belukar. Sejumlah kasus tersebut terjadi dalam waktu sepekan di tahun 2024 di berbagai wilayah. 

Sebagaimana diberitakan news.detik.com, (Ahad, 21/01/2024), setidaknya ada 5 kasus penemuan bayi yang membuat geger. Bayi dibuang di selokan terjadi pada Senin, 15 Januari di Depok. Tarakan, Kalimantan Utara (Kaltara) juga digegerkan dengan penemuan bayi laki-laki yang dibuang orang tuanya di pinggir lorong bangunan, Rabu 17 Januari. Insiden serupa juga terjadi di Sukmajaya, Depok. Sang ibu tega membuang dan meninggalkan bayi yang baru dilahirkan seorang diri di musala saat subuh, Kamis, 18 Januari. 

Kasus penemuan bayi laki-laki dalam kondisi meninggal terjadi di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra), Jumat, 19 Januari. Di Denpasar, Bali, juga ditemukan bayi perempuan di semak-semak dekat vila milik Hanna Natasya Maria Mirdad atau Nana Mirdad, Sabtu 20 Januari. 

Sungguh tega, kau buang bayimu, di mana hati nuranimu, Ibu? Padahal, secara fitrah seorang ibu seharusnya menyayangi dan mengurusi dengan cinta dan kasih sayang, serta melindungi dari bahaya, tetapi malah tega membuang buah hatinya begitu saja. Tentu ada yang salah dari cara berpikir sang ibu. Banyak faktor yang memengaruhi kondisi sang ibu sampai tega membuang, bahkan membunuh darah dagingnya sendiri. 

Salah satu faktor yang memengaruhinya, yakni lemahnya iman karena sering lalai, menunda-nunda atau mengabaikan perintah-perintah Allah Swt. Lemahnya keimanan ini  membawa manusia kepada kesesatan dan mudah tergoda bujukan setan yang selalu mengajak manusia pada keburukan. Ditambah pula kurangnya ilmu agama dan kedekatan kepada Sang Pencipta manusia, Allah Swt. 

Untuk itu, penanaman akidah Islam sebagai pondasi manusia dalam menjalani kehidupan ini sedari kecil harus dikuatkan agar keyakinan terhadap Allah Swt, kitab suci Al-Qur’an, Rasul, serta hari akhir terpatri dalam sanubari. Ini karena akidah yang kuat ini akan melahirkan takwa, dan senantiasa yakin Allah Maha Melihat beserta malaikat yang mencatat setiap perbuatan yang dilakukan manusia. Perlu juga tumbuh rasa takut akan azab kelak di akhirat atas perbuatan kita di dunia. 

Sikap takwa inilah yang menjadi pegangan bagi kita agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan dan kejahatan, seperti membuang atau membunuh bayi yang tak berdosa.

Tak hanya itu, lemah iman juga mengakibatkan mental orang tua (ibu dan ayah) rapuh sehingga ketika ada masalah rumah tangga, seperti perceraian, masalah ekonomi sulit dan lainnya, akan mudah stres, depresi. Bisa jadi, sang ibu belum siap mempunyai anak dengan banyak pertimbangan sehingga tidak bisa berpikir jernih, kemudian tega membuang bayinya yang baru lahir. Kondisi ini juga bertambah pelik ketika sang ayah/suami tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarga karena penghasilannya kurang atau memang tidak punya pekerjaan karena baru dipecat dan lainnya. 

Ternyata, kasus ini juga terjadi karena anak di luar nikah, hasil perzinaan. Biasanya, kasus bayi dibuang atau dibunuh dilakukan para ABG (Anak Baru Gede) karena sang wanita hamil dan keburu melahirkan, tetapi belum sempat menggugurkan kandungannya. Karena khawatir menjadi aib keluarga, pelaku langsung menghilangkan jejak dengan cara membuang atau membunuh sang bayi.

Oleh karenanya, para ABG sedari kecil seharusnya sudah diberi pemahaman Islam terkait pergaulan dan batasannya. Dengan memahami aturan Islam, mereka akan terbiasa menaati aturan Allah Swt., mana yang boleh dan mana yang dilarang. Sehingga, akan terbentuk sebuah perisai yang akan melindungi mereka dari nilai-nilai yang merusak, seperti pergaulan bebas. 

Itulah salah satu faktor pemicunya. Jika ditelaah lebih dalam, kasus seperti itu memang bukan kali ini terjadi. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak bayi-bayi lahir yang tak berdosa dibuang, bahkan sampai meninggal. Tentunya kasus ini wajar terjadi di sistem sekuler liberal yang diterapkan negara sebagai acuan dalam menjalani hidup di dunia. 

Pasalnya, sistem sekuler liberal inilah yang menjauhkan masyarakat dari agamanya sendiri (Islam), memberikan kebebasan sebebas-bebasnya dalam berbagai aspek, seperti bebas beragama, berpolitik, kepemilikan, dan bebas dalam menyuarakan pendapat. Tak hanya itu, sistem sekuler liberal ini menjunjung tinggi kebebasan individu yang dapat merusak akal dan moral manusia, karena manusia akan berani melakukan kejahatan tanpa ada rasa menyesal. 

Lain halnya dengan sistem Islam yang semua aturannya datang langsung dari Allah Swt., Sang Pencipta manusia. Semua aktivitas manusia diatur dengan sistem Islam, baik aktivitas yang berhubungan dengan individu, masyarakat, ataupun negara. Dalam sistem Islam, ketakwaan individu muslim senantiasa terjaga. Masyarakat akan selalu mengawasi gerak-gerik kita agar selalu dalam koridor sesuai syariat Islam. Ditambah pula ada negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah. Negara pun akan memberikan sanksi yang akan memberi efek jera bagi siapa pun yang melakukan kejahatan. Sehingga, kejahatan di suatu negeri akan berkurang, bahkan tidak ada sama sekali. 

Oleh karenanya, dalam sistem Islam, kasus ibu yang membuang atau membunuh bayinya kemungkinan tidak akan terjadi, karena perbuatan tersebut termasuk kejahatan dan sangat berdosa. Bagi orang tua (ibu dan ayah) yang membuang bayinya, tindakan tersebut termasuk kejahatan karena telah meninggalkan kewajiban. 

Orang tua mempunyai kewajiban mendidik dan memelihara anak sebaik-baiknya. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah al-Baqarah ayat 233, yang artinya, 

”Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu menyempurnakan penyusuan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian pada para ibu dengan cara yang makruf.”

Jika sampai bayinya meninggal karena lalai atau sengaja, maka itu termasuk pembunuhan. Dalam ilmu fikih, tindak pidana pembunuhan disebut juga dengan al-jinayah ‘ala an-nafs al-insaniyyah (kejahatan terhadap jiwa manusia), yakni perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang mengakibatkan hilangnya nyawa, baik dilakukan sengaja ataupun tidak sengaja.

Dalam sistem Islam, negara akan menjatuhkan hukuman qisas atau diyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang artinya, 

”Bahwa di antara orang-orang yang boleh dibunuh adalah seseorang yang melakukan pembunuhan.” (HR Ahmad). 

Apabila keluarga korban (memaafkan) pelaku, maka akan diberi hukuman diyat sebagai hukum pengganti dengan membayar diyat seratus ekor unta.[]

Oleh: Siti Aisyah, S.Sos.,
Koordinator Kepenulisan Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Rabu, 13 Desember 2023

Nasib Anak dalam Cengkeraman Sistem Rusak

Tinta Media - Anak adalah anugerah yang harus dijaga. Namun sayang, beragam gempuran saat ini menjadikan anak dalam ancaman luar biasa. Berbagai masalah menyapa anak sejak usia belia. Bunuh diri misalnya. Kasus tersebut dilaporkan salah satunya di Pekalongan. Sang anak marah dan depresi saat dilarang bermain gadget terlalu lama. Tidak hanya bunuh diri, kasus perundungan pun menjadi masalah yang terus melingkari dan belum juga temu solusi. 

Mirisnya lagi, perundungan pun seolah dianggap sebagai masalah yang tidak penting. Malah ada yang menganggap bahwa beberapa kasus perundungan adalah candaan diantara anak-anak saja. Sehingga tidak perlu terlalu diambil pusing. Miris. Selain perundungan dan bunuh diri, judi online pun kini tengah merambah di circle pergaulan mereka. Gegara gaya hidup hedonis atau hanya sekedar mengikuti trend, mereka terbawa arus judi hingga akhirnya ketagihan.

Masalah-masalah ini terus menggempur dan merusak cara pandang anak tentang hidup dan kehidupan. Bagaimana tidak? Lingkungan yang rusak, cepat atau lambat akan menjerumuskan anak pada keadaan yang terpuruk. Semua ini merefleksikan bahwa negara telah gagal mengurusi masalah anak. Padahal beragam kebijakan telah ditetapkan. 

Di antaranya pasal-pasal tentang perlindungan anak, kebijakan Kota Layak Anak dan kebijakan lainnya yang mengupayakan perlindungan terhadap hak hidup anak. Namun faktanya, semua aturan tersebut tidak mampu menyentuh akar masalah.

Sistem kapitalisme yang sekuleristik menjadi biang kerok timbulnya berbagai masalah mengerikan pada anak. Sistem yang terus berusaha mendapatkan keuntungan materi, telah memaksa negara agar menetapkan setiap keputusan hanya berstandar pada keinginan para pemilik modal. Alhasil, konsep inilah yang menciptakan kerusakan berbagai tatanan. Salah satunya kurikulum pendidikan yang sama sekali tidak berbasis aturan agama. Aturan agama ditanggalkan karena dianggap menghambat kemajuan. Akhirnya perilaku anak berada di luar batas karena tidak ada pemahaman syariat agama sejak kecil.

Kondisi keluarga dan lingkungan pun sangat mempengaruhi pembentukan pribadi pada anak. Keluarga yang minim ilmu karena orang tua yang sibuk mengejar materi menciptakan jiwa anak yang gersang, minim perhatian dan kasih sayang. Lingkungan yang egois dan serba cuek pun melahirkan pribadi anak yang bebas dan mudah menerima berbagai konsep keliru. Akhirnya sistem destruktif ini melahirkan pola pikir yang bebas dan pragmatis. Semuanya dijalankan serba praktis tanpa memikirkan akibat yang akan terjadi.

Sementara di sisi lain, negara menganggap masalah anak bukanlah masalah besar yang urgent. Sehingga setiap regulasi yang ada, tidak dilengkapi dengan sistem sanksi tegas yang mengikat. Ini membuktikan bahwa negara tidak serius menangani berbagai masalah anak.

Berbelitnya konsep penjagaan anak ala sistem rusak. Nasibnya kian terkoyak seiring dengan kentalnya kapitalisme sekuleristik. Sungguh, sistem ini benar-benar tidak layak dijadikan pondasi penjagaan anak.
Islam-lah satu-satunya sistem yang menjanjikan harapan. Konsepnya yang amanah akan menjaga nasib anak dari berbagai ancaman. Negara dengan sistem Islam, yakni Khilafah, menetapkan bahwa penjagaan masa depan anak adalah prioritas utama. Sehingga berbagai kebijakan ditetapkan demi menjaga kualitas kehidupan anak. Dalam hal pendidikan, kurikulum pendidikan ditetapkan dengan akidah Islam sebagai basis kurikulum yang utama. Syariat Islam menjadi dasar setiap kebijakan. Sehingga mampu optimal menanamkan kaidah-kaidah Islam sejak dini. Anak pun mampu membedakan konsep halal haram, dan benar salah sesuai standar yang benar sejak usia belia.

Dalam Islam, keluarga pun diposisikan sebagai sekolah yang pertama dan utama. Orang tua menjadi teladan yang mampu menjadi role model bagi anak-anaknya. Kontrol masyarakat pun mampu tercipta optimal karena konsep yang ada dalam tubuh masyarakat adalah konsep yang shahih. Kontrol sosial berfungsi dan mampu menjadi alat untuk saling mengingatkan dan menjaga.
Sempurnanya sistem Islam dalam naungan Khilafah. Dan hanya konsep inilah yang mampu menyajikan harapan dalam penjagaan anak. Anak adalah penerus kehidupan. Dari tangannya-lah, tongkat estafet peradaban mampu dilanjutkan. Wallahu 'alam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor

Sabtu, 28 Oktober 2023

Kegagalan Sistem Sekuler Kapitalisme dalam Menjaga Kewarasan Keluarga

Tinta Media - Bukan fatamorgana, kasus kriminalitas, terutama pembunuhan terus-menerus terkuak. Setiap detik selalu ada saja berita kematian akibat pembunuhan. Korban pembunuhan bukan hanya orang dewasa, melainkan usia remaja, anak-anak, bahkan bayi baru lahir maupun janin pun menjadi korban pembunuhan. 

Kini, nyawa seolah-olah tidak lagi dianggap berharga. Jika ada masalah kecil ataupun berat, terkadang solusinya adalah putus asa, bunuh diri, dan membunuh. 

Coba kita ingat kembali berita yang baru-baru ini terkuak. Seorang ibu yang melahirkan dan membesarkan anaknya, tetapi malah tega membunuh anaknya sendiri. Astaghfirullah, sungguh miris, nasib malang seorang anak berusia dini hidupnya harus berakhir dengan kekejaman yang ia terima. 

Ibu mana yang tega melakukan hal itu kepada anaknya kecuali yang benar-benar mengalami gangguan kewarasannya. 
Padahal dalam Islam, jelas-jelas Allah melarang untuk membunuh seseorang tanpa sebab yang diperbolehkan secara syar'i, apalagi membunuh anak yang tidak berdosa. 

Bahkan, Allah juga menjelaskan dalam Al-Qur'an, jangan membunuh anak walaupun dikarenakan kekurangan ekonomi.

"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar." (QS. Al Isra' 17: 31) 

Memang benar, saat ini semua diuji dengan  permasalahan-permasalahan yang berat dan tak mudah untuk menghadapinya. Namun, bunuh-membunuh bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah. 
Hal ini terjadi akibat penerapan dari sistem sekuler kapitalisme di negeri ini. Artinya, sistem ini telah gagal dalam menjaga kewarasan umat, sehingga yang terbentuk keluarga-keluarga yang sakit, jauh dari kata waras atau harmonis. 

Di dalam sistem sekuler kapitalisme ini, semua orang sudah tidak peduli lagi tentang halal-haram, bahkan tidak takut berbuat dosa. Semua orang bebas melakukan apa pun tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu akibatnya. 

Berbeda halnya ketika kita hidup dalam naungan Islam. Pemerintahan Islam telah berdaulat menaungi 2/3 dunia lebih 13 abad lamanya. Rakyat yang berada di dalam naungan Islam, hidup sejahtera tanpa masalah-masalah yang ekstrem, seperti yang sering terjadi saat ini. 

Jangankan negara, bahkan setiap individu umat pun sangat diperhatikan, apalagi kondisi keluarga. Sehingga terbentuklah keluarga sakinah mawaddah warahmah akibat diterapkannya sistem peraturan Islam di kehidupan. Masyaallah, tidakkah kita merindukan kehidupan seperti itu? 

Maka dari itu, bersegeralah mencampakkan sistem sekuler kapitalis saat ini. Karena telah tampak kegagalan-kegagalan yang diperoleh dari sistem sekuler kapitalis saat ini yang benar-benar menyengsarakan kehidupan ummat. 

Bangkitlah bersama pejuang-pejuang yang menegakkan kehidupan Islam agar terbentuk keluarga yang benar-benar sakinah mawaddah warahmah dalam bingkai Daulah Islamiyah. Wallahu a'lam bisshsowwab.

Oleh: Marsya Hafidzah Z. (Pelajar)

Jumat, 27 Oktober 2023

Fungsi Keluarga Hancur di Bawah Naungan Sistem Kufur

Tinta Media - Sejahat-jahatnya harimau tak akan memakan anaknya. Peribahasa tersebut artinya, bahwa sejahat-jahatnya orang tak akan tega menyakiti dan mencelakai anaknya. Namun, saat ini peribahasa tersebut tampak tak relevan lagi. Sebab, banyak sekali kasus kejahatan dan kekerasan berujung pembunuhan justru dilakukan oleh anggota keluarga termasuk orang tua kepada anaknya. Padahal, sejatinya orang tua adalah pelindung bagi anak-anaknya. 

Fungsi utama keluarga adalah memberikan perlindungan dan kenyamanan bagi anggota keluarganya. Dalam keluarga harus terwujud rasa aman, tenang, dan tentram bagi seluruh anggota keluarga. Namun sayang, fungsi tersebut telah hancur lebur seolah tanpa sisa. Sebab, tak ada lagi perlindungan yang didapatkan dari keluarga.

Seperti kasus pembunuhan oleh anggota keluarga kepada seorang remaja bernama Muhamad Rauf (13), warga Desa Parigimulya, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, Jawa Barat. MR ditemukan tewas di saluran irigasi atau sungai di Blok Sukatani, Desa Bugis, Kecamatan Anjatan, Kabupaten Indramayu, Rabu (4/10/2023). Rauf ditemukan di pinggir sungai dalam kondisi berlumuran darah dengan tangan terikat ke belakang. Rauf ternyata dihabisi nyawanya oleh ibu kandungnya N (43), paman S (24) serta kakeknya, W (70). (Kompas.com, 7/10/23)

Kemudian, Suprapto (48), seorang ayah yang tega membunuh anak kandungnya sendiri, DLK (20) di Desa Bangle, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, Jawa Timur ditetapkan tersangka. (Kompas.com, 18/07/2023)

Tak hanya itu, di Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang, JA (37) ditetapkan sebagai tersangka karena melakukan penganiayaan kepada anak kandungnya DN (7). Selain JA, Ibu tiri korban EN (42), Kakak tiri korban PA (21), Paman korban S (43) dan Nenek tiri korban M (65) juga menjadi tersangka karena turut melakukan penganiayaan kepada DN. (Detik.com, 13/10/23)

Jauh di tahun sebelumnya, seorang pria berinisial J membunuh istrinya dengan gunting dan pisau di rumah kontrakan mereka di Jalan Dukuh V, Kramat Jati, Jakarta Timur, pada 6 Agustus 2019 hanya karena ditolak berhubungan badan. (Kompas.com, 30/08/2019)

Sekularisme Merusak Fungsi Keluarga

Terus berulang seolah tiada akhir. Begitulah kian maraknya kasus kekerasan berujung kematian korban yang dilakukan oleh anggota keluarga yang terjadi saat ini ketika kehidupan berada di bawah naungan sistem kufur Kapitalis-Sekuler. Bagaimana tidak? Kapitalisme mewujudkan kehidupan yang berorientasi pada manfaat dan keuntungan materi. Sedangkan Sekularisme menjauhkan kehidupan dari agama. Tak heran, kesulitan ekonomi, tak mampu menahan emosi, kerusakan moral, hingga lemahnya keimanan timbul akibat penerapan sistem kufur tersebut yang menjadikan anggota keluarga tega menyakiti anggota keluarganya.

Tatanan masyarakat Kapitalis menjadikan individu maupun orang tua lebih sibuk bekerja demi memenuhi kebutuhan yang kian mahal akibat tidak terwujudnya kesejahteraan secara merata di tengah masyarakat. Akhirnya, hubungan orang tua dengan anak dan dengan anggota keluarga lain hanya sekadar hubungan darah karena kurangnya waktu berkomunikasi dan bercengkrama. Kesibukan dan tuntutan pekerjaan juga sering menjadi pemicu lemahnya kontrol terhadap emosi. 

Sistem pergaulan dalam masyarakat Kapitalis juga menjadikan individu-individu yang kurang bermoral, karena kebebasan yang diagung-agungkan dalam sistem kufur ini. Ditambah lagi Sekularisme telah mewujudkan individu-individu yang jauh dari agama, sehingga mengabaikan halal haram dan mudah terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan, termasuk menghilangkan nyawa orang lain bahkan keluarganya sendiri. Sungguh, Sekularisme Kapitalisme hari ini memiliki peran yang sangat dahsyat dalam mengakibatkan berbagai masalah, termasuk sampai merusak fungsi keluarga. 

Islam Mewujudkan Fungsi Keluarga yang Benar

Paradigma Kapitalis-Sekuler jelas berbeda dengan paradigma Islam. Sebab, Islam tegak di atas akidah yang melahirkan seperangkat aturan dari Sang Pencipta dan semua yang manusia perbuat di dunia kelak dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, setiap perbuatan manusia akan terikat dengan hukum syarak. Maka terwujudlah individu-individu yang memiliki rasa takut pada Tuhannya, sehingga tak akan mudah melakukan dosa. Apalagi, dalam Islam sangat berharga nyawa seorang manusia baik muslim maupun kafir, sehingga tidak boleh membunuh tanpa alasan yang dibenarkan syariat. 

Islam juga memberikan kewajiban kepada seorang lelaki sebagai kepala keluarga, yakni melindungi dan menjadi pemimpin bagi keluarganya. Hal ini disebutkan dalam Al-Quran surat An-Nisa’ ayat 34 yang artinya: "Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya."

Begitulah Islam merupakan aturan sempurna yang sesuai dengan fitrah manusia dan menjadikan negara sebagai pelaksana demi optimalisasi penerapan aturan tersebut. Maka, kewajiban negara dengan landasan keimanan adalah menjamin terwujudnya berbagai hal penting dalam kehidupan, termasuk terwujudnya fungsi keluarga yang benar. Sebab, dengan terwujudnya keimanan individu, kontrol masyarakat yang kuat, dan optimalnya peran negara, maka akan terwujud kesejahteraan, ketenteraman jiwa, terjaganya iman dan takwa kepada Allah SWT. Jadi, sudah saatnya meninggalkan sistem kufur yang terbukti menyebabkan fungsi keluarga hancur dan beralih menerapkan Islam secara total dalam seluruh lini kehidupan. Wallahu a'lam bishawab!

Oleh: Wida Nusaibah (Pemerhati Masalah Sosial)

Rabu, 25 Oktober 2023

Membasuh Luka Pengasuhan Menjadi Perilaku Positif

Tinta Media - Sejauh ini, di sekolah mana pun belum ada yang mengajarkan pada kita_para orang tua_secara detail agar mempersiapkan diri menjadi orang tua, terutama kesiapan ilmu dalam mendidik anak, psikologis, dan mental. Sehingga, cara kita mengasuh anak saat ini sangat ditentukan oleh pola pengasuhan masa lalu. 

Saat jadi orang tua, kita mendapati diri sering lepas kontrol, dikuasai emosi, terutama saat anak banyak tingkah alias tidak nurut orang tua. Sehingga, sering keluar kata-kata yang melukai perasaan anak, bahkan bisa sampai melukai fisik, seperti memukul, menjewer, dan lain-lain. Padahal, setiap insan telah terinstal pada dirinya fitrah kasih sayang yang telah Allah ciptakan sebagai manifestasi gharizah nau' (naluri berkasih sayang). Hanya saja, fitrah ini terkalahkan dengan beban berat yang dipikul orang tua hari ini, khususnya kaum ibu.

Merupakan suatu kewajaran jika luka pengasuhan tersebut masuk ke alam bawah sadar sehingga menjadi sisi kepribadian seseorang di saat dewasa. Inilah yang disebut inner child. Akibat adanya inner child yang terluka ini, atau kesalahan dalam pengasuhan, maka anak menjadi korban, bahkan dapat pula memicu ketidakharmonisan dengan pasangan.

Hubungan Inner Child dengan Kenakalan Remaja

Salah satu penyebab anak bisa berhadapan dengan kasus hukum ialah ketidakharmonisan keluarga alias keluarga broken home. Minimnya peran keluarga wa bilkhusus peran ibu dalam pengasuhan anak, bisa meningkatkan kemungkinan terjadinya kasus pelanggaran hak anak atau kenakalan anak.

Maraknya kasus-kasus pelanggaran hak anak, kasus-kasus kenakalan remaja, kasus narkotika, seks bebas, bullying, termasuk juga rokok adalah dampak ketidakmampuan atau ketidakoptimalan peran orang tua dalam mengasuh maupun mendidik mereka

Padahal, anak merupakan amanah yg dititipkan Allah Swt. kepada orang tua. Maka, sejatinya orang tua yang punya kendali untuk membentuk anak menjadi pribadi yang bertakwa kepada Allah Swt. Sebelumnya, mereka pun harus bertakwa terlebih dahulu.

Walhasil, luka pengasuhan ini berkorelasi positif dengan kenakalan remaja karena tidak hadirnya pengasuhan optimal pada level keluarga, terutama orang tua.

Memutus Rantai Luka Pengasuhan

Tentu saja, orang tua mana yang ingin melakukan pengulangan terhadap kesalahan orang tuanya di masa lalu? Namun sayangnya, kenyatakan tak semudah impian dan angan-angan. Sering muncul situasi yang membuat seseorang tersadar bahwa yang baru saja dilakukannya sama persis dengan perilaku orang tuanya dahulu. 

Apabila tidak ada kesadaran untuk memperbaiki situasi, bahkan bukan tidak mungkin akan terjadi sebuah “rantai” pola pengasuhan yang selalu berulang.

Jadi, untuk memutus rantai luka pengasuhan atau berdamai dengan inner child, langkah penting pertama adalah melibatkan Allah Swt. dalam pengasuhan yang akan menjadi penawar ampuh dan langkah terbaik untuk membasuh luka pengasuhan menjadi perilaku yang positif.

Tahapan-tahapannya sebagai berikut :

Pertama, luruskan niat semata karena Allah

Keinginan segera punya anak setelah menikah, tentu tak ada yang melarang, bahkan dianjurkan. Karena itulah Allah menentukan tujuan dari pernikahan, yakni melestarikan keturunan. Namun, yang perlu diingat dan disadari orang tua adalah bahwa anak merupakan amanah yang dititipkan Allah Swt. untuk dijaga dengan baik, diberi kasih sayang, dan diberikan pendidikan agama yang baik sebagai pondasi dan bekal hidupnya nanti saat dewasa, bukan semata-mata bangga memiliki garis keturunan.

Kedua, memaafkan, mendoakan, dan menjalin hubungan baik dengan orang tua

Setiap orang merupakan produk dari pengasuhan di masa lalu dan mengalami perjalanan hidup yang berbeda-beda. Saat masih kecil, mungkin saja pernah mengalami sebuah kejadian buruk atau trauma yang hingga kini belum bisa hilang begitu saja. Maka dari itu, jika luka ini tidak disembuhkan, akan berdampak pada tindakan agresif saat dewasa, emosi tidak stabil, mudah marah, hingga melakukan perbuatan yang destruktif. Caranya dengan memberikan cinta kepada orang tua yang jauh lebih besar dari pada luka yang didapat.

Ketiga, mengkaji Islam kaffah untuk mencari role model positif dalam pengasuhan

Menjadi orang tua merupakan sebuah momen pembelajaran luar biasa. Bukan semata masalah finansial, tetapi lebih kepada tuntutan untuk bisa menjadi contoh bagi anak-anaknya. Selama ini ada anggapan yang keliru bahwa dalam parenting, yang harus berubah adalah anak-anaknya, padahal yang pertama kali harus berubah adalah kita sebagai orang tuanya.

Menjadi orang tua terbaik dan mendukung anak kita melewati masa remajanya membutuhkan pemahaman terhadap Islam secara kaffah, yakni mulai dari cara kita menangani emosi, seperti frustasi dan kemarahan, cara kita menghormati dan berhubungan dengan orang lain, hingga cara kita merespons stres dan mengatasi kesulitan. Ini juga memengaruhi pola makan, olahraga, cara kita menjaga diri, dan pemecahan masalah.

Islam sebagai aturan hidup yang lengkap memiliki role model positif dalam pengasuhan sehingga melahirkan generasi-generasi hebat di masanya. Boleh jadi, jika setiap orang tua menjadikan Islam sebagai landasan dan pijakan dalam berpikir dan bertindak, maka luka pengasuhan akan terminimalisir, bahkan tersingkir.Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Yusseva, S.Farm. (Peduli Ibu dan Generasi)

Selasa, 24 Oktober 2023

Potret Buram Problematika Keluarga dalam Sistem Kapitalisme Sekuler

Tinta Media - Di tengah krisis multidimensi yang terjadi di negeri ini, ada kejadian yang menambah ironi, yaitu kasus pembunuhan yang dilakukan ibu kandung kepada anaknya yang berusia 13 tahun di Kabupaten Subang. Korban ditemukan dalam kondisi berlumuran darah dengan tangan terikat ke belakang. 
Korban pembunuhan tersebut ternyata berasal dari keluarga broken home akibat kasus perceraian kedua orang tuanya. Hal ini menyebabkan korban lebih banyak tinggal di jalanan. Ia pun putus sekolah dan untuk makan harus meminta-minta hingga mencuri (Kompas.com, 8/10/2023).

Pembunuhan yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya bukanlah kasus yang pertama kali terjadi. Lalu, apakah yang menjadi akar masalah dari problematika ini? Apakah hanya karena emosi, seorang ibu bisa kehilangan nurani?

Faktor yang mendorong seseorang melakukan tindak kekerasan bisa dipicu oleh emosi yang kurang terkontrol. Hal ini bisa saja menyebabkan seseorang menjadi gelap mata, bahkan bisa melakukan tindakan kejahatan yang mengancam nyawa. Namun, tentu hal ini hanyalah efek dari problem dasar di dalam keluarga yang memang bersifat multifaktor. Hal ini bahkan tidak terlepas dari problem sistemik akibat penerapan ideologi kapitalisme sekuler saat ini. Lalu, bagaimana relevansinya?

Keluarga yang miskin visi akan melahirkan generasi yang bermental rapuh. Jika berbicara tentang institusi keluarga, maka erat kaitannya dengan proses dalam memilih pasangan. Jika saat memilih pasangan tidak memiliki visi dan misi yang jelas, suami dan istri tidak memahami hak dan kewajibannya, hingga kurangnya pemahaman agama. Maka, wajar jika saat berumah tangga tidak memiliki panduan yang jelas.

Kita bisa melihat bagaimana potret buram keluarga dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini yang tidak menjadikan syariat Islam sebagai panduan. Alhasil, standar dalam menilai baik dan buruk pun disandarkan pada sudut pandang akal manusia. 

Para suami kehilangan fungsi utamanya sebagai pemimpin dalam rumah tangga (qawwam). 
Seorang ibu rela menjadi tulang punggung keluarga karena dorongan ekonomi agar bisa bertahan hidup. Suami yang di-PHK, terbatasnya berbagai lapangan pekerjaan bagi laki-laki, hingga masalah disorientasi peran suami istri menjadi faktor pencetus banyak ibu yang mengambil alih tugas suami untuk mencari nafkah.

Selain itu, kapitalisme telah mendorong para ibu yang notabene adalah seorang ummun wa rabatul bait beralih fungsi menjadi mesin penggerak roda ekonomi. Dengan dalih Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP), banyak para ibu yang akhirnya harus meninggalkan rumah untuk menjadi tulang punggung keluarga.

Kelelahan secara fisik dari seorang ibu diperparah dengan kelelahan secara emosional akibat kurangnya perhatian dan kasih sayang yang diberikan suami, tidak adanya pendidikan di dalam keluarga, hingga tidak adanya support sistem dari lingkungan sekitar. 

Maka, saat ini kita melihat bahwa isu mental health di tengah keluarga semakin marak.
Lalu, siapa yang mengambil alih tugas untuk mendidik anak-anaknya? 

Kita bisa melihat bahwa anak-anak saat ini banyak yang menjadikan sumber referensi mereka dari internet dan media sosial. Mereka mencari gambaran sosok ideal yang bisa menjadi teladan bukan kepada sosok yang ada di rumah, yaitu ayah dan ibunya. Namun, mereka mencari idola di dunia maya sebagai sarana untuk memenuhi tangki cinta yang tidak mereka dapatkan di rumah.

Keluarga yang notabene sebagai tempat yang seharusnya membuat anak merasa aman, kini menjadi tempat yang bisa jadi menjadi ancaman. Kasus kekerasan seksual pada anak, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan sebagainya banyak terjadi di lingkungan keluarga. Bahkan, tak jarang pelakunya adalah keluarga terdekat korban. Sungguh ironis, potret buram keluarga di dalam sistem kapitalis sekuler.

Berbagai undang-undang yang dibuat nyatanya hanya menjadi sebuah solusi yang tambal sulam. Sebut saja UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan UU No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Nyatanya, produk hukum buatan manusia tersebut, tidak bisa menjadi solusi tuntas. Bahkan, menimbulkan permasalahan baru di tengah masyarakat.
.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem Islam. Di dalam sistem Islam, keluarga bukanlah institusi yang terpisah dari negara, Sebab, fungsi negara adalah untuk mengurusi (riayah) secara penuh urusan rakyat. Tentu termasuk di dalamya adalah memastikan setiap keluarga bisa diatur oleh aturan Islam.

Negara akan memfasilitasi laki-laki untuk bisa memenuhi kewajibannya dalam mencari nafkah dengan menyediakan banyak lapangan pekerjaan. Dengan demikian, seorang istri bisa fokus untuk mendidik anak-anak di rumah. Negara juga memfasilitasi para perempuan untuk bisa berkarya dan berkontribusi terhadap umat tanpa harus menggerus fitrahnya sebagai seorang ummun warabatul bait (ibu dan pengatur urusan rumah tangga).

Sistem Islam bahkan memiliki mekanisme sampai kepada tataran praktis untuk memastikan bahwa tidak ada anak-anak yang terlantar karena orang tua yang bercerai, meninggal, dan sebagainya. Syariat Islam telah mengatur masalah jalur pengasuhan dan nafkah secara terperinci. 

Sistem pendidikan Islam dirancang untuk menghasilkan generasi yang memiliki kepribadian Islam. Kurikulum yang didesain dengan basis akidah Islam akan membentuk generasi yang visioner dan memiliki imunitas dari gempuran ideologi asing. 

Oleh karena itu, untuk menyelesaikan problematika keluarga secara tuntas, maka diperlukan penerapan Islam secara kafah. Sebab, hanya dengan institusi negaralah tindakan preventif dan kuratif bisa dilaksanakan secara berdampingan untuk menyelesaikan masalah keluarga hingga ke akarnya. Keluarga yang lahir di dalam sistem Islam akan menjadikan akidah Islam sebagai pondasi dan bervisi surgawi.

Oleh: Annisa Fauziah, S.Si.
Aktivis Muslimah

Senin, 23 Oktober 2023

Anak Dibunuh Keluarga, Ustadzah Reta: Ini Fenomena Gunung Es

Tinta Media - Kejadian pembunuhan seorang anak dibunuh oleh ibunya yang bekerja sama dengan paman dan kakeknya dinilai Pemerhati Keluarga dan Generasi Ustazah Reta Fajriah hanyalah salah satu fenomena gunung es.

"Ini hanyalah salah satu fenomena gunung es. Saat ini banyak sekali mode pembunuhan yang memang di luar nalar," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (19/10/2023).

Menurut Ustadzah Reta, keluarga itu seharusnya pihak yang memberikan kasih sayang, memberikan perlindungan. "Tapi kok teganya begitu membunuh? Bahkan sebaliknya, anak yang membunuh orang tua ini pun belum lama juga terjadi.

Ia melihat ini suatu fenomena akhir zaman yakni sudah tercabutnya fitrah seseorang yang seharusnya terjaga murni. "Bagaimana perasaan anak kepada orang tua atau sebaliknya? Bagaimana perasaan orang tua kepada anak itu sudah tercabut. Ini sebenarnya kalau dilihat dari masalahnya sangat kompleks," ungkapnya.

"Tidak bisa kita menuding hanya terjadi dari salah satu faktor saja. Secara garis besar itu memang bisa terjadi dari adanya faktor keluarga, kemudian faktor masyarakat atau memang faktor lingkungan ataupun sistem yang melingkupi masyarakat saat ini," simpulnya.

 Ia menjelaskan dalam keluarga, ada kecenderungan dari pendidikan atau pola asuh orang tua saat ini memang sudah jauh dari agama. "Jarang orang tua itu yang memang menstandarisasi pendidikan anaknya itu berbasis agama," ungkapnya. 

Liberalisasi

Menurut Ustadzah Reta, tidak bisa dipungkiri saat ini memang arus liberalisasi itu sangat deras. Liberalisasi masuk kepada sendi-sendi kehidupan masyarakat, liberalisasi ekonomi menyebabkan kehidupan semakin sulit. Sehingga harga-harga kebutuhan tidak terjangkau, pendidikan dan kesehatan . 

 Ia menilai hal inilah yang membuat beban hidup semakin berat dan harus dipikul oleh kepala keluarga. "Lapangan pekerjaan itu bisa dibilang sekarang hampir fifty fifty. Banyak lapangan pekerjaan itu yang diisi oleh para ibu," ujarnya. 

Menurutnya, para perempuan bisa jadi dengan adanya pertimbangan tertentu misalkan, perempuan itu tidak banyak menuntut, gajinya bisa jadi lebih rendah. 

"Nah, pada akhirnya di dalam pekerjaan ini pun berlomba antara bapak dan ibu. Ada ibu yang memang bekerja karena kebutuhan hidup ada juga yang karena sebagai suatu keharusan dengan adanya arus feminis. Nah akhirnya banyak terjadi disfungsi," simpulnya.

Membangun Keluarga Bahagia

Ustazah menuturkan untuk membangun keluarga yang bahagia menurut islam tentunya standar kebahagiaan dulu yang harus disepakati.

Dalam Islam, sambungnya, tiada lain standar kebahagiaan adalah menggapai ridha Allah Subhanallahu wa taala baik di dunia maupun di akhirat. 

"Mengikuti apa yang diperintahkan Allah dan apa yang dilarang sama Allah itu kita jauhi, sepakat dulu sebelumnya suami istri pasti harus sepakat dulu masalah ini, sebelum nanti hal itu ditanamkan kepada anak-anak," bebernya.

Ia menilai harus terus ada pembiasaan di dalam rumah untuk beramar maruf nahi munkar, terutama untuk hal yang wajib itu harus kuat.

"Belajar tentang keilmuan tentang agama, orang tua harus punya wibawa di mata anak-anak. Jangan sampai anak-anak tak melihat orang tua itu sesuatu yang patut dibanggakan," ujarnya.

 Ustazah Reta menilai, orang tua harus bisa membuat dirinya di mata anak senang berguru kepada mereka. Nah, itu yang harus ditumbuhkan sehingga nanti apa? Figur dari orang tuanya itu bisa menjadi panutan juga. Dia tidak perlu mencari figur di luar. 

"Apalagi sekarang anak sekarang nyari figurnya kan di luar, bahkan di grup band. Berarti figur orang tua itu tidak cukup memuaskan sehingga dia mencari di luar. Jadi jangan sampai seperti itu," tutupnya.[] Muhammad Nur

Jumat, 20 Oktober 2023

Anak Dibunuh Ibu Kandung, Owner IGAS: Biadab dan Tak Berperikemanusiaan

Tinta Media - Terkait kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya, paman dan kakeknya di Subang, Owner Irbah Golden Age Surabaya (IGAS) Drs. Suhardjo ikut merasa prihatin dan menyebut pelaku tindakan tersebut biadab dan tidak berperikemanusiaan. 

“Anak itu amanah yang seharusnya dididik, diasuh dan dibimbing untuk menjadi anak yang sholih dan sholihah. Namun justru diperlakukan dengan perlakuan yang sangat biadab, bahkan dapat dikatakan tidak berperikemanusiaan,” ujarnya kepada Tinta Media, Jumat (20/10/2023). 

Menurutnya, apapun alasannya perbuatan tersebut sangat biadab dan tidak bisa diterima. Apalagi dilakukan kepada anaknya yang seharusnya dididk sebagai pejuang Islam. 

“Hal ini membuktikan bahwa manusia lebih sesat dari binatang ternak, jika tidak menggunakan hati, telinga dan penglihatannya dijalan Allah,” paparnya mengutip firman Allah dalam surat Al A’raf ayat 179.

*Dua Faktor*

Lebih lanjut dikatakan, hal tersebut dapat terjadi karena banyak faktor yang berpengaruh. Namun menurut Suhardjo, terdapat dua faktor yang paling menonjol. 

Pertama, faktor internal yaitu pribadi dari ibu, paman dan kakeknya yang jauh dari keimanan kepada Allah Swt, sehingga melakukan perbuatan yang biadab dan tidak berperikemanusiaan. 

“Selain itu juga faktor keluarga, yang sepertinya juga jauh dari petunjuk Allah sehingga tega melakukan perbuatan biadab tersebut,” imbuhnya. 

Kedua, faktor eksternal, yaitu lingkungan keluarga dan lingkungan sekitarnya yang mungkin kondisinya tidak Islami, sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dangan Islam. 

“Juga termasuk di dalamnya faktor makro sistem. Dalam hal ini sistem yang diberlakukan dalam pengaturan negara juga memiliki andil, karena jika sistem yang digunakan adalah sistem Islam maka hal-hal yang negative akan terantisipasi,” tambahnya. 

Orientasi Agama

Drs. Suhardjo yang juga narasumber Fantastic Parenting di bawah naungan miliknya, berharap sebagai orang tua dalam mendidik anaknya seharusnya berorientasi kepada agama (Islam).

“Agar nantinya anak menjadi orang yang sholih dan sholihah, menjadi pembela Islam dan pendakwah Islam,” ungkapnya. 

Islam dalam mendidik anak, sambungnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rosulullah, anak harus dikuatkan dalam hal aqidahnya. 

“Jika aqidah sudah kuat maka dilanjutkan mendidik untuk memahami syariat dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Yang tentu dalam pendidikan diatas tidak melupakan pendidikan akhlak yang mulia,” tutupnya. [] Langgeng Hidayat

Maraknya Kasus Pembunuhan Anak oleh Keluarga, Harusnya Jadi Peringatan bagi Negara dan Masyarakat

Tinta Media - Maraknya kasus pembunuhan anak yang pelakunya keluarga, terutama orang tua, seharusnya menjadi peringatan bagi negara dan masyarakat untuk semakin membenahi persoalan sosial, khususnya problem keluarga di tanah air.

"Harusnya ini jadi peringatan untuk negara dan masyarakat untuk semakin membenahi persoalan sosial, khususnya problem keluarga di tanah air," tutur Direktur Siyasah Institute Iwan Januar kepada Tinta Media, Kamis (19/10/2023).

Sebab, kata Iwan, hal ini menunjukkan semakin banyak keluarga alami malfungsi dan disharmonisasi. Peran ayah dan ibu sebagai pengayom anak justru malah menjadi pelaku kekerasan pada anak. "Selain juga semakin banyak keluarga hidup dengan hubungan yang tidak harmonis, termasuk relasi orangtua dengan anak," ulasnya.

Namun, ia melihat dari hari ke hari, kelihatannya negara seperti kurang peduli dengan persoalan ini. "Negara lebih fokus pada pembangunan infrastruktur, sedangkan kondisi sosial makin amburadul. Akhirnya warga berjalan sendiri nyaris tanpa support dari negara," simpulnya.

Faktor Penyebab 

Menurut Iwan, banyak faktor penyebab maraknya pembunuhan anak oleh keluarga. Di antaranya, banyak orang dewasa mau menikah, mau punya anak, tapi tidak mempersiapkan diri untuk membangun keluarga. Dari namanya saja keluarga itu harus dibangun, termasuk relasi anak dengan orang tua harus dibangun, diciptakan agar harmonis.

"Tapi, realitanya banyak orang dewasa tidak pernah bepikir kalau pernikahan dan punya anak itu butuh ilmu dan kesiapan mental," jelasnya.

Kondisi ekonomi, menurutnya, juga berpengaruh pada kehidupan keluarga. Hari ini, kalau melihat perhitungan yang dilakukan Bank Dunia ada sekitar 110 juta warga Indonesia dalam kemiskinan. Sementara itu rakyat harus menghidupi diri mereka sendiri, minim support dari negara. "Ini menambah tekanan untuk keluarga, khususnya orang tua," ungkapnya.

Dalam mendidik anak, Iwan menyampaikan agar orang tua mempersiapkan diri dengan konsep keluarga yang benar, yaitu Islam. "Pahami hak dan kewajiban suami-istri juga sebagai orang tua pahami hak-hak anak. Pahami juga cara menghadapi anak, kedepankan kasih sayang, dan landasi dengan iman," bebernya. 

Namun, kata Iwan, hari ini cara berpikir sekularisme sudah menggusur agama. "Padahal landasan keimanan itu akan jadi pondasi kehidupan keluarga yang sehat dan kuat. Paham makna bersyukur, bersabar dan punya cara pandang yang benar tentang musibah juga makna kebahagiaan," ulasnya.

Membangun Keluarga 

Iwan menyampaikan cara Islam dalam membangun keluarga yang bahagia. Pertama, setiap muslim harus bangun kehidupan di atas landasan iman; sehingga keluarga paham bagaimana menyikapi berbagai problem kehidupan dengan benar. Sabar, tawakal, dan sebagainya.

Kedua, rekatkan keluarga dengan ketaatan pada Allah. "Caranya jadikan syariat Islam sebagai aturan dalam keseharian, menilai baik dan buruk berdasarkan halal dan haram, bukan hedonisme," ulasnya.

Ketiga, bangun hubungan antar anggota keluarga dengan kasih sayang dan tolong menolong dalam kebaikan. "TIdak mudah marah, tapi mudah memaafkan," pungkasnya.[] Muhammad Nur

Kamis, 19 Oktober 2023

Istriku, Aku Mencintaimu...Tapi...

Tinta Media - Sudah sewajarnya suami istri saling mencintai. Saling menyayangi. Tak terbayangkan jika hidup sebagai suami istri tapi tak ada rasa cinta dan sayang. Tentu hambar rasanya...

Namun cinta suami kepada istri adalah cinta bersyarat. Bukan cinta mutlak. Bukan pula cinta buta. Syarat nya bahwa cinta itu harus sejalan dan searah dengan cinta kepada Allah dan Rasul-nya.

Tidak boleh suami mencinta mutlak istrinya. Tak boleh mencinta buta istrinya. Justru wajib bagi suami untuk mencintai istrinya dengan syarat seperti diatas. Yakni dalam rangka merealisasikan cinta kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan Nya.

Surat At-Taubah Ayat 24

قُلْ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمْ وَأَبْنَآؤُكُمْ وَإِخْوَٰنُكُمْ وَأَزْوَٰجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَٰلٌ ٱقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرْضَوْنَهَآ أَحَبَّ إِلَيْكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٍ فِى سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُوا۟ حَتَّىٰ يَأْتِىَ ٱللَّهُ بِأَمْرِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلْفَٰسِقِينَ

"Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi kepada orang yang fasik".

Syaikh Wahbah Zuhaili menyatakan dalam tafsirnya:

"Ayat ini turun bersama ayat sebelumnya untuk mereka yang tidak mau hijrah menuju Madinah sebab lebih memilih keluarga dan perniagaannya."

Maka cinta suami kepada Allah dan Rasul Nya serta jihad di jalanNya harus lebih besar daripada cinta kepada keluarga termasuk istrinya dan segala harta serta pekerjaannya. Singkatnya ada dua hal, pertama bahwa suami tidak boleh dengan alasan cinta istri terus melanggar syariah Islam. Contoh nya dengan bekerja secara pekerjaan haram. Kedua, dan tidak boleh suami tidak berangkat jihad atau hijrah dengan alasan cinta istrinya. Tidak boleh meninggalkan ngaji dan dakwah karena cinta istrinya. Tidak boleh meninggalkan kewajiban atau mengerjakan yang haram gegara cinta istrinya.

Sehingga suami masti Bernai berkata dengan penuh kasih sayang kepada istri istrinya....Sayangku, aku mencintaimu...tapi sesuai dengan kadar cinta yang Allah dan Rasul-nya perintahkan.....

Selamat berjuang Sobat, moga sakinah dunia akhirat. Aamiin.[]

Oleh: Ustadz Abu Zaid (Tabayyun Center)
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab