Tinta Media

Sabtu, 30 Desember 2023

APAKAH DIHUKUM QISHOS MEMBUNUH KARENA MEMBELA DIRI?



Tinta Media - Jika seseorang hendak dirampas kehormatannya, hartanya atau keluarganya maka hendaklah ia mempertahankan dengan cara termudah yang memungkinkan untuk dilakukan. Misalnya dengan meminta bantuan aparat. Namun jika tidak memungkinkan maka ia boleh membela diri secara fisik. Jika ia terbunuh maka statusnya mati syahid. Jika ia membunuh pelaku perampasan/perampokan/perenggut kehormatan maka ia tidak diqishos dan tidak pula membayar diyat (denda atas darah). Rujukan: Kitab al-Ma’usu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah juz. 32 hal. 318

Dalil mengenai hal ini adalah hadis Nabi, beliau bersabda:

مَنْ قُتِل دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِل دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِل دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِل دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

Siapa saja yang terbunuh karena mempertahankan hartanya maka ia syahid. Siapa saja yang terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid. Siapa saja yang terbunuh karena membela darah (jiwa)nya maka ia syahid. Dan siapa saja yang terbunuh karena membela keluarga maka ia syahid. (HR. Tirmidzi dengan status hasan shahih). 

Dalil kedua adalah hadis dari Abu Hurairah, beliau berkata:

جَاءَ رَجُلٌ، فَقَال يَا رَسُول اللَّهِ: أَرَأَيْتَ إنْ جَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَخْذَ مَالِي؟ قَال: فَلاَ تُعْطِهِ مَالَكَ، قَال: أَرَأَيْتَ إنْ قَاتَلَنِي؟ قَال: قَاتِلْهُ، قَال: أَرَأَيْتَ إنْ قَتَلَنِي؟ قَال: فَأَنْتَ شَهِيدٌ، قَال: أَرَأَيْتَ إنْ قَتَلْتُهُ؟ قَال: هُوَ فِي النَّارِ

Telah datang seseorang, lalu bertanya pada Rasulullah: “Apa pendapat engkau jika ada seseorang hendak mengambil/merampas harta saya”.  Nabi menjawab: “Jangan kau serahkan hartamu”. Laki-laki tersebut bertanya lagi: “ Apa pendapatmu jika ia memerangiku”. Nabi menjawab: ”Lawanlah ia”. Laki-laki tersebut kembali bertanya: ”Apa pendapatmu jika ia membunuhku?”. Nabi menjawab: “Engkau syahid”. Laki-laki tersebut bertanya lagi: “Bagaimana jika aku yang membunuhnya?”. Nabi menjawab: “Ia masuk neraka”. (HR. Muslim)

Kalua, 25 Desember 2023 / 12 Jumadal Akhir 1445 H


Oleh: Al faqiir ilaLlah Wahyudi Ibnu Yusuf
Pimpinan Pondok Pesantren Darul Ma’arif Banjarmasin

Fatwa Haram Golput, Tak Memiliki Landasan

Tinta Media - Pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Muhammad Cholil Nafis yang mengatakan bahwa golput itu hukumnya haram. 

Meskipun dari KH Muhammad Cholil Nafis memberikan beberapa alasan, namun pernyataan ini menjadikan seolah setiap individu untuk wajib ikut berpartisipasi dalam sistem demokrasi, sebenarnya apa hukumnya memilih presiden di dalam sistem demokrasi ini? 

Simak wawancara wartawan Tinta Media Setiyawan Dwi bersama Ulama Aswaja Solo Ustadz Utsman Zahid As-Sidany

1. Apa tanggapan ustadz terkait pernyataan MUI tersebut?

Sebenarnya fatwa ini bisa disebut dengan fatwa yang gagal atau fatwa yang tidak memiliki landasan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Mengapa? Karena fatwa ini yang pertama didasarkan pada kewajiban untuk mengangkat seorang pemimpin di dalam Islam. 

Nah, kita tahu bahwa kewajiban mengangkat pemimpin di dalam Islam yang memang ditegaskan oleh para fuqaha bahkan menjadi sebuah ijma' di kalangan fuqaha, tapi kita harus ingat bahwa mereka menyatakan itu bukan untuk menjustifikasi atau bukan untuk membenarkan berlakunya atau diterapkannya hukum yang bukan berasal dari Allah SWT alias hukum jahiliyah. 

Mereka mengeluarkan pernyataan tersebut atau menyatakan bahwa terjadinya ijma’ mengangkat seorang pemimpin itu sebenarnya dilatarbelakangi  atau berasaskan pada sebuah kenyataan bahwa penerapan syariat, menegakkan hudud alias hukum-hukum Islam itu kan seorang pemimpin. Di situlah kemudian kaum muslimin atau fuqaha secara umum menyatakan bahwa hukum fardhu kufayah untuk Nasbul Imamah untuk mengangkat seorang pemimpin. 

Nah kalau kemudian fatwa atau pernyataan para fuqaha ijma berkaitan dengan pengangkatan seorang pemimpin ini dilepaskan dari konteksnya lalu digunakan untuk menyatakan bahwa memilih presiden dan wakil presiden dan kita tahu bahwa presiden dan wakil presiden di negeri-negeri saat ini bukan hanya di Indonesia, itu bukan untuk menerapkan syariat Allah atau bukan untuk menerapkan hukum Allah SWT. Bukan pula menerapkan hukum-hukum buatan manusia yang sudah dinyatakan Allah SWT atau dicela oleh Allah Ta'ala dalam Qur'an disebut hukum jahiliyah. 

Jadi, membawa pernyataan para fuqaha ijma' wajib mengangkat seseorang pemimpin untuk menyatakan bahwa hukum memilih capres dan cawapres  itu adalah wajib dan kemudian mengatakan golput adalah haram merupakan sebuah fatwa yang tidak memiliki landasan sama sekali. 

Yang kedua ketika para fuqaha mengatakan bahwa memilih ataupun mengangkat seorang iman seorang pemimpin dan yang dimaksud adalah khalifah yang sebenarnya di dalam kitab-kitab fiqih itu maknanya mereka memahami dan memberikan penjelasan bahwa itu hukumnya fardhu kifayah. 

Sehingga ketika itu ada 1,2,3,4 orang atau lebih dari itu semua tidak mengangkat itu tidak masalah. Karena sifatnya fadhu kifayah yang penting sudah terlaksanakan, yang penting sudah ada orang-orang yang sudah mengangkat imam atau khalifah yang imam atau khalifah ini kemudian hukum-hukum syariat Allah SWT ditegakkan, hudud Islamiyah dan sanksi-sanksi di dalam Islam bisa ditegakkan. 

Selebihnya tidak berdosa, karena itu mengatakan  golput secara mutlak hukumnya haram misalnya, maka ini adalah sebuah pernyataan yang tidak jeli dan menyalahgunakan hukum wajibnya mengangkat imam atau khalifah yang hukumnya sendiri adalah fardhu kifayah. Sehingga dikatakan semua tidak mengangkat seorang pemimpin atau khalifah untuk menerapkan syariat Islam misalnya dia tidak ikut terlibat dalam mengangkat seorang imamah, seorang khalifah apakah dia berdosa, jika dikatakan seperti ini? maka ini jelas merupakan fatwa yang keliru. 

Jadi kesimpulannya adalah fatwa ini keliru dari dua sisi, yang pertama adalah sisi mencatat pernyataan fuqaha terkait ijma' wajibnya mengangkat imam, yang dimaksud imam di sini adalah seorang khalifah yang menerapkan syariat Allah SWT yang menerapkan hukum-hukum Alĺah SWT. 

Yang kedua adalah dari sisi bahwa mengangkat seorang pemimpin atau khalifah dalam sistem Islam pun itu adalah hukumnya fadhu kifayah, berarti maknanya tidak setiap orang berdosa, ketika ia tidak ikut terlibat dalam membuat seorang khalifah. 

2. Tapi di sisi lain dari pihak MUI yang diwakili KH Muhammad Cholil Nafis alasannya adalah "Tak ada yang ideal ya hidup ini tak selalu bisa sesuai harapan, kalau tak bisa sempurna minimal tak bahaya dan tak membahayakan," katanya di cuitannya. Bagaimana pandangan ustadz dengan alasannya?

Tentang pandangan hidup yang tidak ideal, jika tidak ada yang ideal yang penting tidak ada yang berbahaya. Sekali lagi ini sebuah pernyataan yang keliru, bahwa ketika tidak ada yang ideal walaupun kita memilih yang kurang ideal itu hal yang wajar dan rasional. Tetapi dalam konteks yang kita bicarakan ini adalah bukan persoalan ideal dan tidak ideal tapi merupakan sebuah persoalan halal haram bukan ideal dan tidak ideal. 

Sekarang kita balik bertanya bagaimana hukumnya memilih orang yang akan menerapkan syariat selain syariat-nya Allah Ta'ala atau orang yang menerapkan menegakkan hukum-hukum jahiliyah, hukum buatan manusia apakah itu sebuah ketidakidealan atau itu tidak ada mudhorotnya, naudzubillah.

Bagaimana dikatakan bahwa menerapkan selain hukum Allah Ta'ala tidak ada madhorotnya? Madhorotnya sudah kelihatan di dunia  dan tentu saja lebih besar lagi di akhirat. 

3. Jika kita tidak memilih, nanti kekuasaan dipegang orang kafir. Pendapat Anda?

Ini kan pertanyaan yang basi sejak puluhan tahun lalu sudah disampaikan seperti itu. Dari dulu sampai sekarang presiden atau calon presiden semua muslim. Jadi pernyataan ini tidak relevan jika dikuasai orang kafir. 

Kalau kita boleh jujur calon-calon semua yang ada, presiden-presiden yang sebelumnya yang telah jadi presiden, di belakang mereka orang kafir atau kita sebut oligarki, kita sebut 9 naga dan itu adalah orang-orang kafir. Lalu kemudian dikatakan kalau kita tidak memilih maka akan dikuasai orang kafir, loh itu sudah sejak lama presiden-presiden itu sudah dikuasai orang kafir, sudah bukan menunggu kalau kita tidak nyoblos akan dikuasai orang kafir. 

Justru kita nyoblos itulah faktanya orang-orang yang dikendalikan dan mereka mengabdi kepentingan-kepentingan oligarki yang notabene adalah orang kafir. 

Jadi, pernyataan kalau kita tidak nyoblos itu dikuasai orang kafir ini adalah pernyataan ketinggalan fakta. Faktanya sudah lama kaum muslimin di Indonesia ini secara politik dan ekonomi dikendalikan para oligarki jadi tidak harus menunggu kota nyoblos atau tidak, karena faktanya sudah dikuasai sejak lama. 

4. Bagaimana hukum memilih capres dan caleg dalam pandangan Islam?

Jadi sederhananya gini memilih itu sebenarnya dalam hukum Islamnya adalah fardhu kifayah dari kaum muslimin untuk mengangkat, membaiat seorang pemimpin dalam Islam. 

Nah seperti yang saya sampaikan memilih pemimpin, mengangkat seorang pemimpin dalam Islam itu wajib yang disebut dalam fardhu kifayah dalam rangka menegakkan syariat Allah SWT, menegakkan hudud Islam, hukum-hukum dalam Islam dalam rangka riayah su'unil ummah, mengelola menjaga, mengurusi ummah dengan syariat Islam. 

Imam Al Mawardi itu mengatakan bahwa khilafah atau imamah itu mengganti kenabian dalam arti menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia dengan agama. 

Sekarang masalahnya bukan masalah memilih seorang capres/cawapres. Masalahnya adalah bagaimana hukumnya kita mendorong orang, mengajukan orang, mendukung orang, untuk menegakkan syariat selain hukum Allah itu, bagaimana? 

Kalau Kita sudah tahu kalau menerapkan selain hukum Allah  SWT sebuah kemungkaran atau kemaksiatan yang sangat besar. Lantas bagaimana jika mendorong memilih mendukung kemaksiatan yang lebih dari kemaksiatan kan begitu, silakan jawab sendiri bagaimana hukum memilih pemimpin dalam rangka menerapkan selain menerapkan hukum Allah SWT. 

5. Apa syarat pemimpin yang layak dipilih?

Syaratnya adalah seorang muslim, laki-laki, merdeka bukan budak, berakal bukan gila, dan adil bukan fasik. 

Fasik artinya melakukan dosa-dosa besar dan mengulangi dosa-dosa kecil itu namanya fasik. Adakah yang dilakukan para calon ini atau kemudian yang dilakukan para pemimpin di negeri ini yang menjadikan mereka gugur keadilannya dan kemudian jadi fasik. 

Jawabannya jelas kita lihat di depan mata kita sendiri para pemimpin sering melakukan dosa-dosa besar dan tentu yang paling nyata dan tampak adalah menerapkan hukum selain hukum Allah SWT itu sudah bagian dari dosa besar, kalau dilakukan dengan sukarela dengan lapang dada, senang hati, dan menganggap hukum-hukum itu adalah hukum yang baik justru itu mengantarkan kita pada dosa besar. 

Nah dititik ini dalam pernyataan tidak ada yang bisa memenuhi syarat ini. Saat ini para pemimpin menjalankan atau menerapkan hukum-hukum selain hukum Allah SWT dan itu hukumnya dosa besar dan ditambah lagi syarat kelima mampu tidak untuk menjalankan tugas-tugas kenegaraan. 

6. Wajibkah memilih pemimpin yang buruk di antara yang terburuk, dengan alasan: ahwan as-syarrayn, atau akhaffu ad-dhararayn?

Wajib memilih yang paling ringan keburukannya dan meninggalkan keburukannya itu jika pilihannya ada 2, jadi itu maknanya adalah ketika ada harapan kita tidak ada jalan lain yang halal yang ada yang haram, tapi haram yang lebih berat, ada haram yang lebih ringan. 

Misalnya seorang yang berada dihutan kehabisan makanan dan tidak ada yang bisa dimakan kecuali bangkai misalnya kijang yang kedua bangkai babi misalnya, dari sini sama-sama haramnya karena bangkai. 

Namun ada bangkai lebih parah itu adalah babi dan kijang adalah paling ringan. Nah di sinilah milih yang ringan. Sedangkan dalam konteks memilih pemimpin, memilih itu tidak wajib setiap orang tapi hukumnya fadhu kifayah, ini pun untuk memilih pemimpin yang akan menerapkan syariat Allah SWT bukan yang lain. Oke gitu jadi tadi tidak tepat memakai kaidah ini. 

Yang kedua dihadapkan kita ditengah-tengah untuk memperbaiki bangsa ini, memperbaiki kondisi negara ini tentu saja masih ada jalan yang jauh lebih baik yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, tidak harus melalui pencalonan capres/cawapres ataupun melalui caleg atau kemudian calon legislatif yang nanti tugasnya membuat hukum  yang tidak berlandaskan pada kitab Allah SWT yang itu merupakan kehancuran. 

Jadi dihadapkan kita masih banyak jalan yang halal, jalan-jalan yang bahkan wajib diwajibkan oleh Allah Ta'ala untuk kita lakukan yaitu melalui jalan pemikiran, jalan dakwah, jalan melakukan perubahan-perubahan di tengah masyarakat sehingga menggunakan kaidah ini sama sekali tidak tepat. 

7. Apakah hukum wajibnya “nashb al-imam” dalam kitab-kitab  Muktabar bisa diberlakukan dalam konteks pemimpin  sekarang?

Tidak bisa sama sekali, karena hukum wajibnya mengangkat imam di dalam kitab-kitab muktabar itu konteksnya dalam rangka menegakkan hukum Allah SWT menegakkan syariat Allah SWT. 

Tidak mungkin para ulama itu ber-ijma' atau mustahil mereka ber-ijma' memilih pemimpin untuk menerapkan syariat selain syariat-nya Allah Ta'ala.  Jadi tidak mungkin mereka mengangkat ber-ijma wajibnya mengangkat seorang pemimpin untuk menerapkan syariat selain syariat-nya Allah Ta'ala. Itu sama saja mereka akan memberi pernyataan hukum wajibnya menyembelih babi lalu dimakan atau wajibnya menyembelih anjing lalu dimakan itu tidak mungkin. 

Jadi yang diambil jangan hukum wajibnya mengangkat pemimpin saja, tapi lihat untuk apa, dalam rangka apa pemimpin itu diangkat, dipilih  itulah wajib yang kita pahami sehingga kita tidak sekedar mencatut mengangkat/mengambil pernyataan para fuqaha lalu kita tempatkan yang tidak sesuai pada konteksnya. 

8. Benarkah Islam tidak memiliki metode baku dalam memilih pemimpin?

Memilih seorang pemimpin, kalau yang dimaksud adalah bagaimana mengetahui apa yang diinginkan oleh masyarakat, siapakah calonnya yang diridhoi oleh masyarakat tentu tidak ada cara yang baku. 

Kita bisa melakukan polling, kita bisa melakukan pemilihan secara langsung yang dilakukan dalam seperti konteks demokrasi ini misalnya, bisa juga kita melakukan itu. 

Intinya adalah bagaimana kita tahu bahwa masyarakat itu menginginkan seseorang tertentu untuk menjadi pemimpin. Jadi itu kalau yang dimaksud memilih ya seperti itu. Adapun kalau itu adalah termasuk mengangkat, maka Islam memiliki konsep baku yaitu baiat. 

Baiat ini baku dalam artian sudah ditegaskan oleh Nabi SAW dalam hadist-hadist dan sudah dijelaskan para fuqaha dalam kitab-kitabnya yang visi dari baiat itu adalah intinya kaum muslimin membaiat mengambil janji dari seseorang pemimpin agar pemimpin ini menegakkan hukum Allah SWT. 

Lalu dijawab apa ada metode secara langsung, ya intinya dijawab dari kesiapan pemimpin itu untuk menerapkan kitabullah sunnah Rasulullah SAW begitu. 

9. Apa yang seharusnya dilakukan umat Islam dalam menghadapi pemilu?

Pemilu adalah kegiatan 5 tahunan dan terus terjadi yang itu menguras energi, menguras  dana kaum muslimin menghambur-hamburkan uang yang begitu besar, begitu banyak dan hasilnya bisa kita katakan tidak pernah sesuai dengan harapan yang dikampanyekan selama ini. 

Maka apa yang seharusnya dilakukan oleh kaum muslimin, seharusnya yang dilakukan itu fokus membangun kesadaran, fokus membangun pemahaman, fokus memperjuangkan bagaimana syariat Allah SWT tegak, bagaimana menuju kepada kebangkitan Islam sesungguhnya, bagaimana cara menuju baldatun thoyyibatun warabbun ghafur negeri yang baik dan tuhan mengampuni penduduknya dan itu tidak mungkin terjadi jika tidak lewat penerapan hukum-hukum Allah SWT. 

Bagaimana baldatun thoyyibatun warabbun ghafur tercapai dengan baik sementara warrabun ghafur ini di negeri ini tidak menegakkan hukumnya Allah yang maha pengampunan tadi. 

Bagaimana negeri yang baldatun thoyyibatun warabbun ghafur bisa tercapai di negeri ini dan mendapatkan pengampunan bagi penduduknya sementara kedaulatan yang ada bukan kedaulatan Allah SWT bukan syariat Allah SWT yang tegak tapi syariat selain syariat-nya Allah Ta'ala. 

Bagaimana ada baldatun thoyyibatun warabbun negeri yang baik dan tuhan yang Pengampun sementara penguasanya menerapkan selain syariat-nya Allah Ta'ala. Melakukan berbagai macam kejahatan dan kefasikan, merampas hartanya rakyat dan kemudian mengeksploitasi dan menyerahkan eksploitasi alam itu yang merupakan hak kaum muslimin malah diserahkan kepada orang-orang non muslim, swasta asing ada juga aseng itu jelas mencela Allah SWT. 

Apakah ada harapan baldatun thoyyibatun warabbun ghafur dengan cara seperti itu? 

Jadi yang harus dilakukan kaum muslimin harusnya mereka fokus memperjuangkan syariat Allah SWT, fokus mendakwahkan syariat Allah SWT, fokus bagaimana agar ditengah-tengah kaum muslimin ini bangkit kesadaran keinginan untuk menerapkan syariat Allah SWT dalam layanan kepentingan Islam yang disebut oleh para fuqaha itu adalah khilafah atau imamah yang disebut oleh Nabi SAW secara shahih dan disebut oleh Al Qur'an dengan secara tidak shoruf, tapi mengarahkan apa yang disampaikan Allah SWT ataupun yang dijelaskan oleh para fuqaha itu seharusnya yang dilakukan. 

Bukan menghabiskan energi dan dana untuk pesta demokrasi yang menghamburkan harta yang tidak jelas hasilnya. []

Keamanan Obat Tersendat Kebijakan ala Korporat

Tinta Media - Kasus gagal ginjal akut masih terus berlanjut. Pasalnya kasus belum juga adil tertuntaskan. Banyak keluarga korban mendesak Bareskrim Polri agar membawa pihak yang mengedarkan obat batuk sirop beracun ke pengadilan. Namun, bisakah keadilan mampu ditegakkan? 

Jaminan Keamanan Obat Patut Dipertanyakan 

Tragedi obat sirop yang menyebabkan lonjakan penderita gagal ginjal akut pada anak pada Agustus hingga Oktober 2022 lalu masih menyisakan banyak pertanyaan. Produsen dan pihak farmasi dianggap lalai dalam kejadian tersebut. Bahkan disebutkan juga bahwa BPOM dianggap abai dalam mengawasi bahan baku obat sirop sampai dikeluarkannya nomor izin edar. 

Sebetulnya, Kasubdit I Dittipidter Bareskrim Polri, Indra Lutrianto Amstono, mengungkapkan bahwa pihak kepolisian telah mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik). Artinya akan ada tersangka baru dalam kasus tersebut (cnnindonesia.com, 21/12/2023). Dugaan kuat tertuju pada prosedur penerbitan izin edar oleh BPOM yang tidak sesuai standar. 

Fakta perkembangan kasus per 5 Februari 2023 menunjukkan, setidaknya ada 326 kasus gagal ginjal anak dan satu suspek yang menyebar di 27 provinsi di Indonesia (cnnindonesia.com, 21/12/2023). Dan dilaporkan terdapat 204 anak meninggal dunia. Keluarga korban pun harus menelan pil pahit menerima kenyataan meninggalnya buah hati kesayangan. Kelalaian pengawasan ditengarai menjadi sebab utama kejadian ini. Keluarga korban pun berharap agar berbagai pihak yang terlibat dapat diganjar dengan ganjaran yang setimpal. Keadilan harus ditegakkan. Demikian ungkap salah satu keluarga korban. 

Kasus gagal ginjal pada anak berbuntut panjang. BPOM diklaim sebagai salah satu lembaga yang harus bertanggung jawab atas kejadian ini. BPOM diklaim tidak sesuai standar dalam menetapkan prosedur penetapan izin edar obat. Aturan yang parsial memudahkan pihak tidak bertanggung jawab untuk "membonceng" kebijakan. Sehingga regulasi yang tercipta hanya terfokus pada kepentingan para korporat pemilik modal. Tidak hanya itu, lembaga BPOM pun tidak mampu menetapkan standar mutu yang tinggi untuk menjamin keamanan obat dan makanan. Padahal hal tersebut sangat penting karena berhubungan dengan keselamatan nyawa masyarakat. 

Mengularnya masalah gagal ginjal pun menunjukkan betapa lalainya negara menjaga nyawa rakyat. Negara pun lalai mengedukasi rakyat perihal keamanan obat dan makanan yang beredar di tengah masyarakat. Sehingga rakyat tidak mampu cerdas dan waspada pada keadaan yang mengancam keselamatan nyawanya. 

Semua ini terjadi karena diterapkannya sistem kapitalisme. Konsep yang hanya mengutamakan keuntungan materi tanpa memperhitungkan bahaya yang akan terjadi. Dan setiap kebijakan yang ada hanya berfokus pada kepentingan para korporat kapitalis. Mereka dengan sesuka hati menetapkan kebijakan sesuai kepentingan bisnis semata. Inilah sumber kerusakan. Nyawa rakyat pun melayang. 

Sistem sanksi pun tidak mampu menebas setiap bentuk pelanggaran. Karena keputusan dalam hukum dipengaruhi keinginan para pemilik modal. Setiap kebijakan bisa dibeli. Alhasil, masalah yang ada terus berlarut-larut. Tidak menemukan keadilan yang sesungguhnya. 



Islam menetapkan bahwa rakyat adalah prioritas utama. Nyawanya wajib dijaga oleh negara. Semua diusahakan negara untuk penjagaan optimal. Dalam Islam, negara adalah pengurus dan pelindung rakyat. Setiap kebijakan ditetapkan demi menjaga nyawa rakyat. 

Rasulullah SAW. bersabda, 

"Pemimpin adalah ra'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab pada rakyatnya". (HR. Ahmad, Bukhori) 

Sistem Islam dalam wadah khilafah akan menetapkan standar tinggi terkait penetapan kualitas penjaminan keamanan obat dan makanan. Karena hal tersebut berhubungan erat dengan nyawa rakyat. Para ahli disiapkan untuk penetapan tersebut. Sumber daya profesional dan amanah akan melakukan riset yang rinci dan detail terkait keamanan obat dan makanan. Sehingga tercipta sistem kewaspadaan yang mumpuni dalam kualitas dan peredaran obat dan makanan. 

Setiap pelanggaran yang terjadi akan disanksi tegas oleh negara. Tidak akan ada transaksi curang dan membahayakan yang akan mengancam nyawa rakyat. Karena semua berada dalam pengawasan ketat khilafah. Rakyat pun diberi edukasi yang menyeluruh terkait keamanan obat dan makanan. Semua kebijakan yang ditetapkan mampu meminimalisir atau bahkan men-zero-kan tingkat keracunan akibat konsumsi obat dan makanan. 

Demikian strategi khilafah menjaga nyawa rakyat. Setiap kebijakannya mampu menjadi support system yang membentuk benteng penjagaan yang sempurna bagi seluruh rakyat. 

Wallahu a'lam bisshowwab.

Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor 

Jumat, 29 Desember 2023

Mengentaskan Kemiskinan, Mustahil dalam Sistem Demokrasi


Tinta Media - Tingkat Kemiskinan Kabupaten Bandung berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional mengalami penurunan sebesar 0,3%, dari 1,78% pada 2021 menjadi 1,48% pada Tahun 2022. Hal ini disampaikan oleh Bupati Bandung Dadang Supriatna di Hotel Emte Rancabali, Bandung, Senin (11/12/2023) saat menghadiri pelantikan pengurus Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat (IPSM). 

Dalam upaya menekan angka kemiskinan ekstrem, Pemkab Bandung mengadakan berbagai program, seperti Program Insentif Guru Ngaji, Pinjaman Modal Bergulir Tanpa Bunga dan Tanpa Jaminan, serta Kartu Tani Si Bedas. (RadarOnline.id, BANDUNG) 

Menurut  Dadang Supriatna, hadirnya IPSM inilah yang menjadi bukti dan tanggung jawabnya terhadap elemen pembangunan demi terwujudnya Kabupaten Bandung Bedas yang selaras dengan misi ketiga, yaitu mengoptimalkan pembangunan daerah berbasis partisipasi masyarakat berkreativitas tinggi dalam bingkai kearifan lokal. 

Kesejahteraan dan hidup berkecukupan adalah sesuatu hal yang didambakan seluruh manusia, karena pada fitrahnya tidak ada seorang manusia yang ingin hidupnya susah dan kekurangan. Adapun survei yang dilakukan oleh pihak pemerintah, itu hanya sebuah angka dan tidak bisa dijadikan tolok ukur keberhasilan. 

Hal ini karena pada kenyataannya, kesenjangan ekonomi masih tidak seimbang,  pengangguran masih tinggi, serta masalah stunting yang terus menjadi polemik berkepanjangan. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan pihak pemerintah untuk menyesuaikan persoalan tersebut, tetapi semua solusi yang ditawarkan tidak menyentuh akar masalah. 

Kemiskinan ekstrem pada dasarnya membuktikan betapa lalainya penguasa dalam mengurus rakyatnya. Padahal, negara ini kaya akan sumber daya alam yang seharusnya sangat mencukupi kebutuhan manusia sebagai bentuk karunia dari Allah Swt. 

Namun, ketika yang digunakan adalah aturan manusia, yaitu sistem ekonomi kapitalis, maka wajar jika yang dihasilkan adalah kerusakan dengan berbagai keruwetan dan masalah. Inilah akar masalah yang menjadi penyebab berbagai karut-marut kehidupan hari ini. 

Namun, faktanya mencari pekerjaan sekarang sulit, harga-harga kebutuhan pokok mahal, kesehatan mahal, pendidikan yang berkualitas juga tidak murah. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmati atau menjangkau semua itu, sedangkan masyarakat kalangan ekonomi menengah ke bawah tidak bisa menikmatinya. Uang pajak yang ditarik dari rakyat pun tidak dikelola dengan baik untuk kepentingan publik, tetapi justru banyak terjadi kecurangan yang dilakukan oleh oknum tak bertanggung jawab. 

Terbukti, maraknya korupsi di sistem kapitalisme demokrasi menjadi hal tak terelakkan dan semakin merajalela walaupun para pejabatnya beragam Islam. 

Begitulah ketika agama tidak dijadikan tolok ukur perbuatan, maka rusaklah tatanan kehidupan. Adapun survei turunnya angka kemiskinan ekstrem, hal itu bagus, tetapi akan lebih baik jika penyelesaiannya dilakukan secara struktural dan mendasar dengan mengubah sistem buatan manusia menjadi sistem buatan Allah, Sang Pencipta alam semesta. 

Dengan penerapan Islam kaffah, maka rakyat akan diurus dengan baik sesuai syariat Islam. Lapangan pekerjaan untuk laki-laki akan terbuka luas sehingga sangat minim adanya pengangguran. Seorang pemimpin dalam Islam akan betul-betul memantau rakyat. Jika ada yang tidak mempunyai pekerjaan, maka akan diberikan pekerjaan sesuai dengan keahlian. 

Masalah sandang, pangan, dan papan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya. Negara tidak boleh lepas tangan dalam masalah ini. Dengan dana dari baitul mal yang dihasilkan dari harta kepemilikan umum, seperti  barang tambang, hasil hutan, hasil laut, dan sebagainya, sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Semua dikelola sesuai aturan Islam untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk berbagai pelayanan, seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. 

Dalam Islam, kepemilikan  terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan umum, pribadi, dan negara. Dalam Islam, pihak asing tidak mempunyai hak kebebasan memiliki. Ini tidak seperti dalam sistem kapitalisme liberal yang bebas memiliki dan mengelola sumber daya alam asalkan punya modal. Maka dari itu, ketika semua aturan sesuai syariat, kesejahteraan, keadilan, dan keberkahan akan terwujud nyata. Hanya sistem ekonomi Islam satu-satunya solusi terbaik yang harus diupayakan agar bisa diterapkan dalam sebuah negara. 

Wallahu a'lam bishawab.

Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media 

ODGJ Ikut Pemilu, Apa Perlu?



Tinta Media - Apa pendapat Anda jika orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) mendapatkan kesempatan untuk memilih pemimpin? Tentu hal ini akan menjadi buah simalakama. Di satu sisi, mereka adalah rakyat Indonesia yang mempunyai hak suara. Di sisi lain, mereka mengalami gangguan kejiwaan yang tingkah mereka tak bisa dipertanggungjawabkan. Lantas harus bagaimana? 

Ada Pendampingan 

Hak pilih ODGJ dijamin oleh beberapa peraturan, seperti UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas, Pasal 5 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dan dikukuhkan didata sebagai pemilih dalam Putusan MK Nomor 135/PUU-XIII/2015. Beberapa aturan itulah yang membuat ODGJ mendapatkan kesempatan dalam pemilu 2019 dan pemilu yang akan datang. Berdasarkan kebijakan itu, 22.871 ODGJ di Jakarta akan mengikuti pemilu 2024 (Kompas, 20-12-2023). 

Ketua KPU, Hasyim Asy'ari menyampaikan bahwa para penyandang disabilitas mental akan mendapatkan hak yang sama. Agar memudahkan proses pemilihan, mereka akan mendapatkan pendampingan dari para perawatnya. Selain itu, para dokter akan memberikan surat pernyataan bahwa ODGJ tersebut bisa ikut pemilihan (Tirto, 21-12-2023). 

Prihatin 

Keputusan ini tentu menimbulkan keprihatinan. Kita pasti masih ingat, sebelumnya, ketika ada tindakan penyerangan terhadap ulama atau membuat keonaran di masjid, para penegak hukum mengidentifikasi mereka sebagai orang gila. Karena itu, segala perbuatan mereka tidak melanggar hukum dengan alasan kejiwaan.
Namun, ketika angka golput mulai mencapai 30,8 persen di tahun 2014, keberadaan mereka mulai diperhitungkan. Dengan alasan, mereka juga warga negara Indonesia yang mempunyai hak memilih. Akhirnya, aturan itu gol dua tahun kemudian. 

Konsekuensinya, pada pemilu 2019, suara mereka mulai diakui. Keputusan itu pun berlanjut hingga pemilu tahun depan. Kondisi ini tentu membuat kita _orang yang waras_ merasa prihatin. Ada ketimpangan pengambilan keputusan dalam masalah ini. Jangan salahkan masyarakat jika menganggap hal ini terjadi karena kepentingan. 

Padahal, kalau kita perhatikan lebih dalam, para ODGJ tersebut bisa jadi tidak mengenal calon wakilnya. Mereka ada di RSJ, dalam keadaan sakit mental dan sedang menjalani proses penyembuhan. Para perawat dan dokter merawat mereka, membantu mengurusi kebutuhan sehari-hari, mulai makan, ke kamar mandi hingga urusan tidur pun dibantu. 

Jadi, rasanya janggal jika mereka mendapat hak pilih. Ketika mereka ada di dalam kotak suara, dengan banyaknya gambar, mereka bisa saja asal coblos, atau lebih parahnya dicoblosi semua karena dikira permainan. Bahkan, bisa saja mereka memilih gambar yang paling unik, aneh, tua, tampan atau cantik. Lebih parah lagi, jika ada yang memanfaatkan suara mereka untuk keperluan golongan tertentu agar mendapatkan suara besar. 

Lemahnya Demokrasi 

Inilah pemilu dalam demokrasi, apa pun dapat terjadi. Dengan standar untung dan rugi, aturan bisa berubah-ubah sesuai kondisi. Pemilu dalam demokrasi bertujuan untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak, dialah yang menang. 

Artinya, jumlah pemilih adalah hal yang sangat diperhatikan. Ketika penguasa menemukan kecenderungan warga memilih golput di tahun 2014, mereka perlu melakukan sesuatu agar jumlah pemilih bertambah. Jika yang menang golput, ini menandakan matinya demokrasi. 

Kebolehan ODGJ untuk memberikan hak suara justru menunjukkan kelemahan demokrasi. Ini memperlihatkan bahwa aturan dalam demokrasi dapat berubah sesuai kondisi atau kepentingan. Selain itu, demokrasi juga memberikan peluang pada pihak-pihak tertentu untuk melakukan trik agar mereka menang. Beginilah jika aturannya bersandar pada akal manusia, sering tidak masuk akal. 

Kedudukan dalam Islam 

Orang yang terganggu kejiwaannya memiliki kedudukan khusus dalam Islam. Berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw. yang berbunyi, 

"Dari Aisyah, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, 'Diangkat pena (tidak dikenakan dosa) atas tiga kelompok: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh (mimpi basah), dan orang gila hingga berakal.'” (HR Ahmad, Ad Darimi dan Ibnu Khuzaimah). 

Hadis di atas jelas menunjukkan bahwa orang gila, baik gila permanen atau sementara tidak dicatat amalnya. Dari sini terlihat jelas bahwa Islam sangat memperhatikan akal. Hal ini karena akal akan mengantarkan seseorang dapat memilih mana yang benar dan salah sesuai pandangan Islam. 

ODGJ tidak dapat menentukan perilakunya benar atau salah, karena akalnya terganggu. Jadi, Islam tidak memberikan beban hukum pada ODGJ. Islam justru mewajibkan negara mengurusi dan mengobati para ODGJ. 

Berkaitan pemilihan suara atau pemilu, memilih wakil rakyat atau pemimpin hukumnya adalah boleh. Namun, menjadi pemimpin itu bukanlah hal sepele. Ia harus mengurusi kebutuhan rakyat. Tidak hanya itu, pemimpin dalam Islam wajib menerapkan aturan Islam secara menyeluruh. Oleh karena itu, memilih calon pemimpin yang seperti ini tidak bisa asal-asalan. 

Oleh karena itu, Islam memiliki metode sendiri dalam memilih pemimpin. Metode ini tidak menghabiskan waktu, tenaga, dan dilakukan secara sederhana dan masuk akal. Semua dilakukan hanya bertujuan untuk menerapkan aturan Allah karena nantinya akan dimintai pertanggungjawaban.

Oleh: Asy-Syifa Ummu Shiddiq
Sahabat Tinta Media 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab