Tinta Media

Kamis, 21 Desember 2023

Bila Ada Faktanya Itu Menunjukkan Kejahilan, Bila Tidak Ada Faktanya Itu Menunjukkan Penistaan


.
Tinta Media - Pernyataan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang menyebut ada di kalangan pendukung Prabowo-Gibran diam (tidak mengeraskan kata "aamiin") saat shalat Maghrib dan mengacungkan dua telunjuk saat atahiyat sebagai bukti bahwa mereka itu sangat mendukung capres-cawapres nomor 2 sekaligus tidak mendukung capres-cawapres nomor 1 dengan slogan "AMIN"-nya, apakah sekadar menunjukkan fakta atau atau sekadar guyonan? Bila ada faktanya, itu menunjukkan fakta kejahilan (kebodohan). Bila tidak ada faktanya, itu termasuk menista Islam. 
.
Sekali lagi, kalau sekadar menunjukkan fakta, maka menunjukkan betapa jahilnya mereka terhadap ajaran Islam khususnya terkait shalat. Maka sudah menjadi kewajiban Zulhas dan timses Prabowo-Gibran untuk mengedukasi para pendukungnya agar tetap mengucap "aamiin" keras-keras ketika shalat Maghrib, Shubuh dan Isya berjamaah. 
.
Serta, mengedukasi mereka agar tetap menggerakkan satu telunjuk saja, jangan telunjuk dan jari tengah karena itu jadi bid'ah. Bila itu tidak dilakukan, maka tidak ada bedanya mereka yang jahil tersebut dengan Zulhas dan orang-orang berilmu di kalangan kubu Prabowo-Gibran. 
.
Kalau itu guyonan, berarti Zulhas telah menjadikan shalat ajaran Islam yang mulia sebagai bahan guyonan selera rendahan yang sangat kurang ajar terhadap Islam. Dan ini, menurut saya sudah termasuk penistaan terhadap ajaran Islam.
.
Karena Islam sangat melarang ajaran Islam dijadikan guyonan semacam itu. Allah SWT sangat mengecam orang-orang yang menjadikan ajaran Islam sebagai candaan, sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an surah at-Taubah ayat 65-66, yang artinya:
.
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: 'Sesungguhnya kami hanya BERSENDA GURAU dan BERMAIN-MAIN saja'. Katakanlah: 'Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu BEROLOK-OLOK?' Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman…"[]
.
Depok, 7 Jumadil Akhir 1445 H | 20 Desember 2023 M
.
Joko Prasetyo 
Jurnalis

Urgensi Akhiri Aksi Perundungan



Tinta Media - Di dunia pendidikan saat ini kian hari kian memprihatinkan. Bagaimana tidak, angka kasus aksi perundungan bukannya semakin berkurang, yang ada malah semakin bertambah. Korban perundungan bukan hanya kepada sesama siswa tapi juga ada yang dengan lancangnya melakukan perundungan kepada guru sendiri. Tak hanya terjadi di dalam institusi sekolah saja namun juga terjadi di lembaga pondok pesantren. 

Miris memang, di saat orang tua menyekolahkan anak untuk dididik dan dibina agar menjadi pribadi yang berwawasan luas dan budi pekerti yang luhur sesuai dengan cita-cita orang tua, malah jadi bumerang. 

Kurikulum pendidikan saat ini tersistematis membentuk kepribadian individu para siswanya menjadi individu yang sekuler. Tanpa disadari membentuk karakter penindas yang mengesampingkan iman. Mereka tak peduli aksinya itu berdosa atau tidak, tak peduli juga bisa membuat korbannya terkapar, yang penting bisa menyalurkan emosinya sampai puas. 

Sebelum makin banyak lagi korban perundungan, seluruh elemen yang memiliki wewenang dalam mengatur sistem pendidikan harus cepat tanggap beralih ke sistem pendidikan Islam yang mengutamakan pembentukan aqidah, pola pikir dan pola sikap sesuai dengan aturan Islam.

Oleh: Siti
Sahabat Tinta Media

Pengelolaan APBN Gagal dan Merugikan Keuangan Negara



Tinta Media  - APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tahun anggaran 2023 ditetapkan defisit Rp598,15 triliun, atau 2,84 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto). Jumlah ini di bawah ambang batas 3 persen yang dibolehkan oleh undang-undang. APBN tahun anggaran 2023 tersebut ditetapkan di dalam UU No 28 Tahun 2022 tentang APBN Tahun Anggaran 2023. 

Namanya Undang-Undang (UU), wajib ditaati. Begitu juga dengan UU APBN yang ditetapkan bersama DPR, pada hakikatnya mengikat dan wajib ditaati pemerintah dalam mengelola APBN, dan merealisasikan pengeluaran Belanja Negara. 

Tentu saja, APBN adalah sebuah “anggaran”, yang artinya bersifat perkiraan, sehingga tidak mungkin 100 persen tepat atau akurat. Artinya, realisasi APBN pasti berbeda dengan anggaran. Ini dapat dipahami sepenuhnya. 

Tetapi, persoalan APBN bukan masalah akurasi semata. Meskipun akurasi dalam perkiraan APBN tentu saja cukup penting. Agar realisasi pengeluaran (baca: belanja) dapat sebaik mungkin mendekati anggaran, agar target ekonomi dan sosial yang ditetapkan di dalam APBN dapat tercapai sesuai rencana. 

APBN terdiri dari dua komponen. Yaitu, Pendapatan Negara dan Belanja Negara. Dari dua komponen APBN tersebut, Pendapatan Negara bersifat perkiraan, atau disebut anggaran. Karena itu, realisasi penerimaan Pendapatan Negara bisa meleset dari anggaran yang ditetapkan. 

Artinya, anggaran atau perkiraan Pendapatan Negara di luar kendali pemerintah, bisa fluktuatif, karena dipengaruhi banyak faktor yang di luar kendali pemerintah. Antara lain, nilai tukar rupiah, harga minyak dunia, suku bunga global, perdagangan internasional (ekspor-impor), serta pertumbuhan ekonomi global, dan lainnya. 

Di lain sisi, komponen Belanja Negara sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah. Sebagai konsekuensi, maka defisit APBN juga sepenuhnya dalam kendali pemerintah. Karena, pemerintah dapat menyesuaikan jumlah Belanja Negara atas kelebihan atau kekurangan penerimaan Pendapatan Negara. 

Sebagai contoh, pada tahun tertentu, anggaran Pendapatan Negara ditetapkan Rp1.000 triliun dan anggaran Belanja Negara Rp1.100, sehingga rencana atau anggaran defisit APBN menjadi Rp100 triliun. 

Kalau realisasi Pendapatan Negara ternyata Rp50 triliun lebih rendah dari perencanaan (anggaran), menjadi Rp950 triliun, pemerintah dapat menyesuaikan Belanja Negara juga turun Rp50 triliun, menjadi Rp1.050, untuk mempertahankan defisit anggaran tetap Rp100 triliun (Rp950 triliun – Rp1.050 triliun), dengan asumsi defisit tersebut mendekati ambang batas yang dibolehkan UU sebesar 3 persen dari PDB. 
Cara seperti itu merupakan cara pengelolaan keuangan negara dan APBN yang bertanggung jawab dan taat UU APBN. Karena, perencanaan Belanja Negara merupakan bagian dari perencanaan pencapaian target ekonomi dan sosial, seperti target pengurangan angka stunting, tingkat kemiskinan, target pertumbuhan ekonomi dan inflasi, pemenuhan kebutuhan sanitasi layak, infrastruktur (desa), irigasi, dan sebagainya. 

Tetapi, realisasi APBN 2023 mengejutkan. Pemerintah mengumumkan realisasi defisit APBN per 12 Desember 2023 hanya Rp35 triliun, jauh lebih rendah dari rencana defisit anggaran sebesar Rp598,15 triliun. Padahal, realisasi Pendapatan Negara mencapai Rp2.553,2 triliun, lebih besar Rp90 triliun dari anggaran Rp2.463 triliun. Tetapi, realisasi Belanja Negara hanya Rp2.588,2 triliun, jauh lebih rendah dari anggaran Rp3.061,18 triliun. Lebih rendah Rp473 triliun. 

Profil realisasi APBN 2023 seperti itu menunjukkan pemerintah gagal mengelola APBN. Ada dua kemungkinan penyebab kegagalan ini. Pertama, pemerintah memang tidak kapabel. Atau, kedua, pemerintah sengaja tidak merealisasikan Belanja Negara sesuai rencana anggaran yang sudah disetujui DPR. Dalam hal ini, artinya, pemerintah sengaja melanggar UU APBN. 

Tampaknya, pemerintah memang sengaja melanggar UU APBN. Alasannya, pemerintah sampai 12 Desember 2023 sudah menarik utang Rp345 triliun untuk membiayai rencana defisit APBN 2023 sebesar Rp598 triliun. Tetapi tidak dipakai. Karena tidak ada defisit. Karena pemerintah menahan Belanja Negara. 

UU APBN secara eksplisit menyatakan, Rakyat (DPR) memberi wewenang kepada pemerintah menarik utang hanya sebesar untuk membiayai defisit anggaran. Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh menarik utang lebih besar dari defisit anggaran. Maka dinamakan utang Pembiayaan Anggaran. 

Karena itu, menarik utang Rp345 triliun untuk membiayai defisit anggaran Rp35 triliun sangat tidak masuk akal dan melanggar UU APBN. Selain itu juga merugikan keuangan negara dan menguntungkan pihak lain (kreditur pemilik modal). Karena pemerintah harus membayar bunga atas utang yang seharusnya tidak diperlukan untuk membiayai defisit anggaran. 

Patut dicurigai, pemerintah sengaja “menggelembungkan” anggaran Belanja Negara di APBN 2023 (Rp3.061 triliun), yang sebenarnya tidak diperlukan sebesar itu. Atau, pemerintah sengaja memangkas anggaran Belanja Negara yang sudah disepakati dengan DPR di dalam UU APBN, yang berakibat tidak tercapainya target ekonomi dan sosial, dan merugikan masyarakat kelompok bawah (miskin). 

Atau, alasan terakhir, mungkin juga utang Pembiayaan Anggaran tersebut terpaksa digunakan untuk membayar utang pemerintah yang jatuh tempo tahun 2023 sekitar Rp600 triliun, karena pemerintah tidak ada uang, karena tidak bisa refinancing alias menarik utang baru untuk membayar utang lama. 

Artinya, investor tidak tertarik memberi utang kepada Indonesia. Hal ini sejalan dengan laporan Bank Dunia, bahwa tahun ini, investor global menarik utang dari negara berkembang lebih besar dari meminjamkan, sehingga dapat memicu krisis. 

Kalau ini yang terjadi, maka krisis valuta dan moneter sudah di depan mata. 

--- 000 --- 

Oleh: Anthony Budiawan 
Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)

Sertifikasi Tanah Elektronik, Betulkah Solusi Agraria?



Tinta Media - Konflik sengketa tanah antara rakyat dan korporasi tahun demi tahun semakin masif, membuat masyarakat di negeri ini terus menjerit menjadi korban kekejaman pemerintah yang terus menekan bahkan menggusur dan mengusir rakyat dari tanah yang sudah menjadi hak milik-Nya dengan berbagai alasan dan tipu daya. 

Data terbaru yang disampaikan oleh Konsersium Pembaruan Agraria ( KPA) menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2015 hingga 2022 terjadi 2.710 kejadian konflik agraria. Yang artinya menurut penguasa tanah atau lahan yang sudah dimiliki oleh rakyat di anggap belum ada kejelasan Nya padahal rakyat sudah bertahun-tahun lamanya tinggal di tempat tersebut. 

Kasus sengketa lahan sampai saat ini belum selesai,  pemerintah beberapa hari yang lalu malah mengeluarkan kebijakan baru tentang kepemilikan tanah yakni dengan mengeluarkan sertifikasi tanah elektronik, dengan tujuan agar tanah yang sudah dimiliki rakyat bisa teridentifikasi sebagai bukti kepemilikan-Nya dan pemerintah menganggap dengan adanya sertifikasi tanah ini mampu menekan terjadinya sengketa tanah. 

Jelas hal ini menambah runyam masalah ini. Karena sertifikasi tanah elektronik ini sama sekali tidak memberikan solusi dari masalah sengketa tanah ini. Bahkan tidak menjamin keamanan rakyat, dalam hal data pribadi dan lainnya tidak menutup kemungkinan akan sangat lebih mudah untuk di retas atau disalahgunakan. 

Runyamnya Hidup dalam Sistem Kapitalis 

Sungguh sangat disayangkan negeri tercinta ini, yang kayak akan Sumber Daya Alam (SDA) yang tumbuh subur dari Sabang sampai Merauke segala Aset negara yang begitu banyak dengan sangat mudahnya diberikan oleh penguasa kepada orang-orang kapital. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa akar dari segala problematika yang ada salah satunya dalam sengketa tanah yaitu penerapan Sistem yang diadopsi di negeri ini ialah Sistem Kapitalisme yang berasaskan manfaat / keuntungan. 

Hal ini dapat dibuktikan bahwa pemerintah lebih mengutamakan kepentingan korporat yang menguntungkan dibandingan memberikan jaminan kesejahteraan bagi rakyatnya. Akibatnya rakyat terus menjadi korban atas kerakusan dan kezaliman yang dilakukan penguasa khususnya bagi generasi dan perempuan. 

Islam Solusi Konflik Agraria 

Islam adalah agama yang memberikan rahmat bagi seluruh alam, semua permasalahan dapat terselesaikan dengan solusi sesuai dengan Al-Qur'an dan as sunah. 

Dengan fakta yang terjadi harusnya kita sadari bahwa solusi atas segala masalah rakyat itu harus kembali kepada penerapan Islam yang Kaffah.  Dalam Islam negara berkewajiban untuk menjaga dan mengakui kepemilikan individu sebagai tanah hak milik, hak pakai, serta hak untuk mewariskan. 

Dengan tanah yang dimilikinya individu dapat leluasa membangun rumahnya sendiri dengan aman nyaman sesuai tuntutan kehidupan keluarga muslim, dan negara tidak akan menyalahgunakan kepemimpinan dengan sewenang-wenang. 

Dalam Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Dalam firman Allah SWT
"Dan kepunyaan Allahlah kepunyaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk)" (QS. An-Nur ayat 42) 

Wallohu a'lam biashowwab 

Oleh : Dewi Susanti 
Sahabat Tinta Media

Ketika Rumah Tak Lagi Menjadi Tempat Bernaung



Tinta Media - Rumah sejatinya adalah tempat ternyaman yang dimiliki ketika kita lelah menghadapi dunia luar, tempat kita mengistirahatkan tubuh dari lelahnya menjalani kehidupan yang berat. Pun tempat untuk mengukir masa-masa membahagiakan karena di tempat itulah kita bisa menjalin kedekatan dan keharmonisan bersama keluarga tercinta. Namun apa yang terjadi jika justru rumah tersebut tidak memberikan keamanan dan kenyamanan bagi kita? 

Mungkin begitulah yang dirasakan oleh anak dan istri yang menjadi korban kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Jakarta Selatan baru-baru ini. Rumah yang harusnya menjadi tempat mereka berlindung justru berubah menjadi tempat yang menakutkan bagi mereka. Sebab di rumah tersebutlah justru nyawa mereka terancam. Bukan karena orang lain, namun karena anggota keluarga di rumah itu sendiri. 

Beberapa waktu lalu di wilayah Kebayoran Lama seorang suami tega membakar istrinya hidup-hidup di kediamannya. Hal itu terjadi karena terbakar rasa cemburu saat mengetahui istrinya ‘chattingan’ dengan pria lain. Alhasil, istrinya tersebut mengalami luka bakar hingga 70% dan akhirnya meninggal setelah sempat dirawat di rumah sakit. 

Yang juga tidak kalah mengagetkan seorang ayah yang membunuh keempat anaknya secara bergantian di dalam rumah kontrakannya. Anak-anak di bawah umur itu meregang nyawa di tangan ayah kandungnya sendiri. Setelah aksi keji itu dilakukan ia berusaha untuk melakukan bunuh diri hingga dua kali namun gagal. Dan diketahui sebelumnya istrinya juga mengalami KDRT yang harus di rawat intensif di rumah sakit kala itu. Hal tersebut dilakukan karena cemburu pada istrinya hingga anak-anaknya pun menjadi korban. 

Beratnya Beban Hidup Hari Ini 

Sungguh miris potret keluarga yang kita saksikan hari ini. Ayah tidak mampu lagi menjadi tameng bagi keluarga. Dan ibu yang tak mampu lagi menjadi tempat mencari kehangatan. Sementara anak yang tak mengerti apa-apa pun ikut menjadi korban sebagai pelampiasan kekecewaan dan kemarahan orang tua. 

Tindakan keji seperti ini pasti ada sebabnya, baik faktor internal ataupun eksternal. Faktor internal sendiri muncul karena permasalahan ekonomi. Hari ini sulitnya bagi laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan. Sehingga banyak para lelaki/suami yang pengangguran, entah itu karena di PHK atau karena memang sulitnya mendapatkan lowongan pekerjaan. Hal ini akhirnya mengharuskan istri turut membantu perekonomian keluarga dengan bekerja di luar rumah. Apalagi pekerjaan bagi wanita cenderung mudah untuk didapatkan. Sementara faktor eksternal terjadi diakibatkan oleh tata pergaulan yang terjalin saat di luar rumah, seperti adanya perselingkuhan. 

Hidup di zaman sekarang sungguh berat. Jangankan yang hidup miskin dan tidak punya penghasilan apa pun, yang sudah memiliki pekerjaan saja masih juga merasakan beratnya beban hidup hari ini. Sebab penghasilan yang mereka dapatkan hanya remah-remah kue ekonomi, yang sekedar untuk bertahan hidup. Artinya, mereka mendapatkan gaji namun habis dalam sekejap untuk memenuhi kebutuhan hidup –kebutuhan dasar- mereka. Dan begitu terus yang terjadi setiap bulannya. Sehingga sangat sulit bagi para suami memenuhi tuntutan hidup yang lainnya.  

Dan hal ini semakin diperparah dengan penerapan sistem kapitalisme-sekularisme hari ini. Dimana rakyat harus berjuang sendirian untuk mempertahankan hidup mereka. Sementara negara seakan tidak peduli dengan penderitaan rakyatnya. Namun justru sering kali lebih memihak kepada pemilik modal. Wajar jika penderitaan rakyat tak kunjung bisa teratasi. 

Belum lagi standar hidup masyarakat hari ini yang serba materialistis. Sehingga pandangan kebahagiaan selalu diukur dengan materi. Hal inilah yang mendorong masyarakat untuk terus mengejar materi, materi dan materi demi mendapatkan kekayaan dengan jalan apa pun bahkan meski harus bertentangan dengan aturan Sang Pencipta. 

Inilah dampak dari sekularisme yang di terapkan negara hari ini. Paham ini telah berhasil menghilangkan rasa kasih sayang di antara manusia bahkan di antara anggota keluarga sekalipun. Buruknya sekularisme ini juga terlihat dari ketidakmampuan manusia mengendalikan emosinya. Sehingga menjadikan manusia hanya memperturutkan hawa nafsu ketimbang syariat. Melampiaskan amarah dengan jalan kejahatan. 

Sehingga potret buruk hari inilah yang kita saksikan. Seorang suami membunuh istri, ayah membunuh anak dan sebaliknya. Terlebih paham ini telah menghilangkan rasa takut manusia kepada Tuhannya. Harusnya takut jika kelak Allah akan memintai pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya pada keluarga (anak dan istri), atas sikapnya kepada suami dan lainnya. Inilah yang menjadikan bertambah beratnya kehidupan hari ini. Sudahlah beban ekonomi yang berat ditambah paham sekularisme yang merusak perilaku manusia. 

Saatnya Beralih Kepada Islam 

Islam satu-satunya agama yang memiliki konsep dan tata cara yang jelas dalam mengatur kehidupan suami istri. Seperti yang di jelaskan oleh Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Ijtima’iy fil Islam, seorang istri bukanlah mitra (syarikah) hidup suami. Melainkan istri lebih merupakan sahabat (shahibah) suami. Pergaulan di antara mereka keduanya bukanlah pergaulan kemitraan (perseroan). Mereka juga tidak dipaksa untuk menjalani pergaulan itu sepanjang hidup mereka. Pergaulan di antara keduanya tidak lain adalah pergaulan persahabatan. Satu sama lain merupakan sahabat sejati dalam segala hal. Yaitu persahabatan yang dapat memberikan kedamaian dan ketenteraman satu sama lain. 

Kehidupan suami istri adalah kehidupan yang sarat ketenangan, ketenteraman, kasih sayang dan persahabatan. Interaksi suami istri tegak di atas prinsip ta’awun (tolong-menolong), saling menopang, bersahabat, harmonis, menyegarkan, tidak kaku dan formalitas. Jadi kehidupan suami istri sebenarnya adalah kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan. Sebab pergaulan suami istri adalah pergaulan yang penuh persahabatan dalam segala hal. Kepemimpinan suami atas istri adalah kepemimpinan yang bertanggung jawab, bukan kepemimpinan layaknya seorang penguasa diktator kepada rakyatnya. Begitu pun istri juga diwajibkan taat kepada suami dalam batas-batas yang telah ditetapkan. Rasulullah SAW bersabda: 

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik kepada keluarganya. dan aku orang yang paling baik kepada keluargaku." (HR Tirmidzi). 

Untuk mewujudkan keluarga yang harmonis ini tidak terlepas dari kondisi lingkungan dan masyarakat yang baik. Sehingga akan mudah bagi suami dalam mendidik anggota keluarganya agar menjadi pribadi yang bertaqwa kepada Allah swt. Sebab contoh kebaikan akan ada wujudnya di tengah masyarakat. Hal itu akan mampu mempengaruhi kepribadian individu yang lainnya. Apalagi ini akan semakin menguatkan dan menajamkan pemahaman Islam yang diterima dari keluarga. 

Namun justru akan berat jika kondisi lingkungan dan masyarakat yang rusak seperti hari ini.  Masyarakat menganggap biasa perihal kemaksiatan dan keburukan yang terjadi. Sehingga menimbulkan konflik sosial dan pergaulan yang tidak sehat bahkan membahayakan terhadap anak dan perempuan. Seperti maraknya perzinaan, narkoba, minum khamar, perjudian, riba dll. 

Untuk itulah pentingnya bagi kita mewujudkan suasana lingkungan dan masyarakat yang baik. Dan hal ini mengharuskan adanya peran negara. Maka negara yang akan menjaga rakyatnya agar terwujud kebaikan sehingga akan mendatangkan keridhaan Allah swt. Di tengah keluarga akan terwujud baiti jannati. Rumah pun akan kembali sebagaimana fungsinya, mendatangkan ketenangan dan ketenteraman. 

Kepala negara dengan sistem kepemimpinan Islam (Khilafah) akan memberikan ruang yang aman dan nyaman bagi masyarakat termasuk anak dan perempuan.  Khilafah akan memberikan fasilitas pendidikan formal dan nonformal bagi masyarakat sebagai bekal untuk menjalani kehidupan. Sehingga masyarakat tidak hanya akan menguasai ilmu pengetahuan melainkan juga mampu mengendalikan dirinya agar senantiasa taat kepada aturan Allah dan tidak mengambil jalan yang justru membahayakan jiwa. 

Sebagai salah satu bentuk memberikan pendidikan kepada masyarakat adalah khilafah akan mengatur secara tegas terkait media. Setiap media yang tersebar di tengah masyarakat wajib hanya menyajikan informasi yang baik. Sehingga akan semakin mendorong masyarakat untuk berlomba-lomba melaksanakan kebaikan dengan penuh ketaatan kepada Allah swt. 

Oleh karena itu, sudah saatnya kita berjuang bersama untuk menegakkan sistem Islam dalam naungan Khilafah. Hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan keluarga harmonis. Anggota keluarganya akan saling membantu dalam kebaikan dan ketaqwaan. Saling menyayangi antara yang tua dan yang muda. Saling menasihati ketika terjadi kesalahan, pun yang mendapatkan nasehat akan menerima dengan lapang dada. Bukankah ini keluarga yang kita harapkan?[] 

Oleh: Harne Tsabbita 
(Aktivis Muslimah Solok)
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab