Tinta Media

Selasa, 13 Desember 2022

Rencana Impor Beras di Tengah Penghargaan IRRI, Indonesia Gagal Mandiri?

Tinta Media - Sungguh heran dengan para pemangku kebijakan di negeri ini. Baru beberapa bulan lalu, tepatnya tanggal 14 Agustus 2022, pemerintah mendapatkan penghargaan dari International Rice Research Institute (IRRI) atas kemampuannya mencapai swasembada beras selama tiga tahun terakhir secara berturut-turut. 

Namun di tengah prestasinya ini, pemerintah melalui Kemendag, malah kembali berencana untuk membuka keran impor beras sebesar 500.000 ton. Dalihnya dalam rangka untuk memenuhi pasokan cadangan beras pemerintah (CBP) yang kian menipis.

Mengapa tak lama setelah mengumumkan swasembada pemerintah malah memutuskan impor beras? Apa artinya penghargaan IRRI jika nyatanya negeri ini masih harus mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhannya?

Keputusan mengimpor beras di tengah penghargaan IRRI, sungguh sangat ironis. Hal ini menunjukkan, pertama, buruknya pengelolaan pangan dalam negeri sehingga gagal dalam mengoptimalkan segala potensi baik SDA maupun SDM yang dimilikinya.

Indonesia merupakan negara agraris. Negeri ini memiliki lahan pertanian yang luas dan subur, beranekaragam komoditas pertanian, dan SDM petani yang banyak. Dengan potensi tersebut, seharusnya Indonesia sangat bisa mewujudkan ketahanan pangan. 

Kedua, buruknya kinerja pemerintah dalam memastikan ketersediaan stok beras nasional dan mengoordinasi data. Pasalnya kisruh data malah sering terjadi di antara pejabat pemerintah.

Ketiga, terlalu fokus pada pemenuhan stok tapi kurang memperhatikan distribusinya ke tengah-tengah masyarakat. Realitasnya, seringkali terjadi pemusnahan stok beras dengan alasan turunnya mutu. Padahal di lapangan, rakyat masih banyak yang kelaparan.

Keempat, inkonsistensi keberpihakan pemerintah terhadap rakyat dan lebih memihak pada oligarki kapitalis. Ketika kebijakan impor digolkan, justru yang kerap dirugikan adalah petani sendiri. 

Para pemburu (mafia) rente mengambil keuntungan dari impor. Tak sedikit yang berasal dari kalangan pejabat. Mereka berperan memuluskan kebijakan yang berpihak kepada siapa saja yang bisa memberikan rente, yaitu para oligarki pemilik modal. 

Kelima, negara tak memiliki visi ideologis untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan. Impor kerap dijadikan solusi pamungkas untuk memenuhi ketersediaan stok pangan dalam negeri. Bukannya mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.

Inilah yang terjadi jika sistem demokrasi kapitalisme menjadi landasan atas setiap kebijakan dan peraturan. Tak aneh jika pemangku kebijakan jauh dari kesan memihak kepada rakyat dan justru lebih condong pada kepentingan oligarki pemilik modal. Mahalnya biaya demokrasi, menciptakan simbiosis mutualisme antara pemangku kebijakan dengan para kapitalis. 

Negara pun akhirnya gagal dalam menciptakan kemandirian dan ketahanan pangan. Penghargaan swasembada hanya sebatas klaim.

Sistem Islam Wujudkan Kemandirian Pangan

Islam adalah sebuah sistem kehidupan yang memiliki aturan yang paripurna termasuk dalam mengatasi masalah pangan. Dengan kekuatan ideologinya, negara Islam (Khilafah) memiliki sejumlah mekanisme untuk mewujudkan kemandirian pangan.

Pertama, kebijakan optimalisasi produksi pangan dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi dengan menghidupkan lahan mati, misalnya. Sedangkan intensifikasi, meningkatkan produktivitas lahan dan memaksimalkan pengadaan saprodi serta sarana pertanian lainnya bagi petani.

Kedua, distribusi pangan yang adil dan merata. Negara menciptakan mekanisme pasar yang sehat, melarang praktik penimbunan, kartel, penipuan, praktik riba, dan monopoli. 

Ketiga, mengatur kebijakan ekspor impor antar negara. Ekspor boleh dilakukan jika seluruh rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adapun impor, hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri. Aspek yang dilihat dalam perdagangan luar negeri adalah pelaku perdagangan, bukan barang yang diperdagangkan. 

Semua ini, dilakukan negara berideologi Islam untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan. Sehingga tak bergantung impor, lagi dan lagi. Wallahu alam bish shawab.

Oleh: Lussy Deshanti Wulandari
Pegiat Literasi

Pemimpin dalam Kapitalisme, Pastilah Pemimpin yang Mengabaikan Rakyat

Tinta Media - Pemimpin adalah pelayan umat, tempat bersandarnya masyarakat dan yang terdepan dalam menghadapi masalah bersama. Bahkan, dia harusnya adalah sosok pahlawan yang mendahulukan kepentingan rakyat daripada urusan pribadi. Pemimpin ibarat penyelamat di tengah badai laut yang menggelora.

Membahas tentang negara, menurut Harold J. Laski, negara dibentuk dengan tujuan untuk membangun kondisi agar keinginan rakyat dapat dipenuhi secara maksimal. Maka dari itu, menurut hemat penulis, tanggung jawab pemimpin adalah menciptakan kondisi yang penuh kebahagiaan bagi rakyat. Kebahagiaan itu sendiri merupakan kesimpulan dari tujuan terbentuknya negara.

Namun, pada perjalanannya, tujuan ini tampak tidak mungkin bisa terealisir. Bayangkan, bagaimana mungkin, satu manusia bisa menjamin kebahagiaan ribuan bahkan jutaan nyawa di negaranya satu persatu?

Untuk mewujudkan tujuan ini, terbentuklah aturan. Sebuah aturan pada negara tercipta dari pandangan hidup tertentu. Perlu kita ketahui, secara garis besar, ada tiga pandangan hidup yang bisa diterapkan dalam ranah negara di dunia ini. Pandangan hidup tersebut meliputi kapitalisme, sosialisme, dan Islam.

Indonesia sendiri, memiliki aturan yang kurang lebih sama dengan kebanyakan negara di dunia. Negeri kita ini memiliki pandangan hidup kapitalisme sebagai dasar aturannya. Sayang sekali, sepanjang penerapannya di manapun dan kapanp un, kapitalisme membawa dampak buruk bagi umat manusia tanpa terkecuali.

Dalam kapitalisme, tidak ada yang lebih diperhatikan ketimbang keuntungan materi. Rakyat pun sebatas alat penghasil cuan. Rakyat sebatas batu loncatan untuk memuaskan hasrat uang dan jabatan. Maka, penguasa yang mengabaikan rakyat bak jamur di musim hujan di negara bersistem kapitalis.

Orang Baratlah yang menyimpulkan keberadaan negara adalah untuk menciptakan kebahagiaan bagi setiap orang. Barat pulalah tempat awal mula munculnya kapitalisme. Namun, kenyataannya negara berasasskan kapitalisme tidak akan pernah mampu mewujudkan kebahagiaan di hati setiap warganya. Mustahil.

Sejarah telah membuktikan hal ini. Sejak kemerdekaan Indonesia, tak terhitung betapa banyak elit-elit politik yang menghambur-hamburkan uang demi jabatan. Janji-janji membumbung tinggi. Mereka menyapa rakyat di berbagai tempat. Namun kenyataannya, mereka berusaha sekeras itu demi korporat, bukan rakyat, demi pihak yang mebiayai mereka agar naik kursi dengan mulus.

Alhasil, setelah menjabat, undang-undang yang dikeluarkan selalu saja pro-korporat dan anti-rakyat. Sebut saja UU TPKS, Omnibus Law, UU tentang KPK, UU KUHP dan lain-lain. Maka, jelas sekali bahwa yang dilayani para pejabat di negara kapitalis bukanlah rakyat, tetapi korporat, cukong-cukong besar.

Pemimpin Prorakyat Hanya Ada dalam Islam

Sudah saatnya umat berhenti berharap pada rezim kapitalis. Selamanya, masyarakat tidak akan sejahtera di bawah kepemimpinan mereka. Alih-alih Menyejahterakan, memikirkan saja sepertinya tidak mungkin. Karena tuan mereka adalah pengusaha besar, bukan rakyat.

Sejak kemerdekaan Indonesia, negeri ini telah bolak-balik ganti presiden. Faktanya, seribu kali pun ganti presiden, selama asas negara adalah kapitalis, maka hasilnya akan sama saja, ibarat masuk ke lubang yang sama ke dua kalinya.

Sebagaimana perumpamaan di atas, siapa pun, jika ia melewati jalan yang sama dengan jalan yang dilewati orang yang sebelumnya jatuh ke dalam lubang, ia pun akan masuk ke lubang yang sama. Maka, solusinya bukan pada ganti ‘pemain’, tetapi mengubah arah jalan.

Begitu pula masyarakat Indonesia. Mereka haruslah belajar dari pengalaman untuk segera berlepas diri dari sistem kapitalisme ini. Selama seluruh rakyat menginginkan, maka kapitalisme ini akan mudah untuk dirobohkan.

Namun, sebelum merobohkan kapitalisme, kita harus mencari dulu apa sistem pengganti yang cocok untuk negeri ini. Mari mengedarkan pandangan ke seluruh negara di dunia satu-persatu. Salah satu ciri negara kapitalis adalah mereka menerapkan demokrasi di negaranya. Maka, bentuk pemerintahan seperti dari republik, kementrian, kerajaan, dan yang lainnya merupakan negara berasaskan ideologi kapitalis yang nasibnya pasti sama dengan negara kita walaupun tidak nampak di depan layar.

Selain berasaskan kapitalisme, negara di dunia saat ini juga ada yang berasaskan sosialisme. Akan tetapi, kita bisa melihat bagaimana dulu negara berpaham kapitalisme seperti Nazi di Jerman. Dalam perjalanannya, negara tersebut selalu membawa pertumpahan darah. Jadi, jangan berharap kepada ideologi ini.

Selain kedua ideologi di atas, tersisa satu ideologi lagi, yaitu Islam. Tidak ada satu pun negara yang menerapkan aturan Islam secara menyeluruh saat ini. Namun, dalam sejarahnya, Islam pernah diterapkan di sebuah negara bernama Khilafah.

Memang seolah tidak mungkin negara bisa menjamin setiap individu di dalam sebuah masyarakat merasakan kebahagiaan dalam lubuk hati mereka. Namun, sejarah mencatat hal tersebut pernah terjadi dalam institusi khilafah.

Lebih dari seabad yang lalu, khilafah adalah negara adidaya yang dapat bertahan selama belasan ratus tahun lamanya. Dan para pakar dunia Barat atau pun dunia Islam sama-sama memuji bagaimana kesejahteraan yang dicapai oleh rakyatnya tanpa memandang suku, agama, ras, bahkan warna kulit dan bahasa.

Salah satu cendekiawan Barat, Emmanuel Deutschel dari Jerman mengatakan, ”Semua ini (yakni kemajuan peradaban Islam) telah memberikan kesempatan baik bagi kami untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Maka dari itu, sangat wajar bila kami senantiasa mencucurkan air mata ketika kami teringat akan saat-saat jatuhnya Granada.” (Granada merupakan benteng terakhir kekhilafahan Islam di Andalusia yang jatuh ke kekuasaan bangsa Eropa).


Maka, hanya negara yang berideologi Islam saja yang sekarang bisa menjadi tumpuan harapan rakyat. Hanya khilafah yang pantas menggantikan kapitalisme sebagai pemimpin Indonesia dan dunia karena mampu menciptakan kebahagiaan dalam setiap individu manusia.

Sebagaimana dulu pernah terjadi peristiwa tersebut di masa Umar Bin Abdul Aziz. Pada masa itu, sejarawan mencatat, bahkan tidak ada satu pun individu yang berhak menerima zakat. Ini berarti bahwa seluruh rakyat hidupnya telah tercukupi.

Apalagi sistem Islam berasal dari Allah Swt., Tuhannya manusia. Sebagai Pencipta, Dia pasti mengetahui apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Alhasil, tiada hukum yang cocok untuk mengatur umat manusia terkecuali hukum Islam.

Terakhir, sekarang tergantung pada rakyat apakah mereka mau segera terlepas dari kungkungan kapitalis dan menyongsong musim semi dalam balutan aturan Islam. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh: Wafi Mu’tashimah
Sahabat Tinta Media

Kekerasan terhadap Perempuan Tuntas dengan Penerapan Islam Kaffah

Tinta Media - Setiap bulan November digelar peringatan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKTP). Kampanye di Indonesia pertama kali dilansir Komnas Perempuan dan sudah berlangsung sejak 2001. Ini merupakan bagian dari pelaksanaan mandatnya sebagai lembaga negara Hak Asasisasi Manusia, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden No.181 tahun 1998 yang diperbaharui melalui Peraturan Presiden No.65 tahun 2005 tentang Komnas Perempuan. 

Karenanya, dalam rangkaian Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKTP) 2022, Komnas Perempuan dan jaringannya menyerukan “Ciptakan Ruang Aman, Kenali Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual”. Pemilihan tema ini merupakan bentuk komitmen untuk terus mengawal implementasi UU TPKS. 

K16HAKTP kini menjadi agenda gerak bersama lembaga pengadaan layanan, women crisis center, organisasi keagamaan, anak-anak muda, pemerintah, aparat penegak hukum, privat sektor, jurnalis, dan berbagai pihak lainnya. Beragam kegiatan yang dilakukan untuk memperingati kampanye 16 hari tahun ini mulai dari kampanye media sosial, seminar, diskusi publik, pementasan seni, launching video, aksi car free day, dan bentuk kegiatan lainnya yang dilakukan baik secara online ataupun offline. Kegiatan ini diselenggarakan di Aceh, Lampung, Medan, Banten, Semarang, Surabaya, Kalimantan, Bali, NTT, dan Makassar. 

Tak Menyentuh Akar Masalah

Faktanya, kekerasan terhadap perempuan terus saja terjadi, bahkan cenderung meningkat. Menurut situs Komnas Perempuan, pada Januari s.d November 2022 telah menerima 3.014 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, termasuk 860 kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas dan 899 kasus di ranah personal. 

Selain melalui kampanye ini, pemerintah juga telah melakukan upaya pencegahan dan perlindungan melalui payung hukum UU TPKS yang juga sudah disahkan. Namun, realitasnya hingga saat ini kasus kekerasan terhadap perempuan tidak juga menunjukkan penurunan.

Ini sekaligus menjadi bukti bahwa penyelesaian persoalan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak menyentuh pada akar masalahnya. Sungguh sebuah kekeliruan yang besar jika dinyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan itu karena berbasis gender. 

Indonesia sebagai bagian dari negeri muslim terbesar yang kental dengan budaya patriarki dianggap sebagai biang keladi kasus kekerasan terhadap perempuan. Ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga. (Antaranews.com, 9/12/2021)  

Sungguh naif karena kenyataan yang terjadi justru ketika berada di ruang publik tanpa ada aturan atau pembatasan, perempuan rentan mendapatkan kekerasan, baik fisik maupun mental. Atas nama HAM, keberadaan perempuan saat ini berada dalam kebebasan yang membahayakan dirinya. Dari sini muncul propaganda My Body is Mine, yang membuat para perempuan bebas mengumbar aurat yang menjadi perangsang syahwat laki-laki hidung belang. 

Selain itu, kondisi perekonomian keluarga yang memprihatinkan justru membutuhkan bantuan perempuan sehingga terpaksa bekerja di luar rumah, bahkan hingga keluar negeri menjadi TKW. Inilah yang justru menjadikan perempuan rentan mendapatkan kekerasan. Dalam ranah keluarga, terjadinya kekerasan pada perempuan juga seringkali dipicu oleh permasalahan keluarga yang membawa pada pertengkaran sehingga berujung terjadinya kekerasan. Seringkali hal itu terjadi karena persoalan ekonomi yang membelit keluarga, sebagaimana yang disampaikan oleh Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan KemenPPPA, Valentina Gintings. (Kompas.com, 19/2/2022) 

Solusi Tuntas

Persoalan ini jelas membutuhkan solusi tuntas yang menyentuh akar persoalan. Apalagi, regulasi saat ini pun ternyata tak bergigi. Secara nyata, solusi berbasis kesetaraan gender tak juga mampu menyelesaikan secara tuntas. Secara realitas, terbukti bahwa kekerasan pada perempuan bukan akibat bias gender.

Solusi tuntas hanya dapat diwujudkan dengan mengubah cara pandang yang salah terhadap kehidupan. Cara pandang yang sahih adalah cara pandang berdasarkan Islam, yang menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam menyelesaikan setiap problematika kehidupan karena berasal dari Sang Pencipta manusia, alam semesta, dan seisinya. Cara pandang yang sahih ini juga akan memberikan kekuatan pada regulasi yang dibuat. 

Islam memiliki sistem yang sempurna. Kekerasan terhadap perempuan akan tuntas saat aturan Islam diterapkan. Beberapa solusi yang diberikan adalah sebagai berikut: 

Pertama, Islam akan melindungi anak-anak perempuan maupun laki-laki dan menyamakan perlakuan di antara keduanya. Islam memiliki sistem pergaulan yang akan menjaga interaksi antara laki-laki dan perempuan. 

Dalam Islam, baik laki-laki atau pun perempuan harus menundukkan pandangan ketika bertemu. Di tambah lagi, mereka hanya boleh bertemu di kondisi-kondisi tertentu. Selain itu, dilarang campur baur antara laki-laki dan perempuan tanpa alasan syar’i (ikhtilat) maupun berdua-duaan dengan nonmahram (khalwat). Para Muslimahnya pun diwajibkan menutup aurat dengan sempurna, dilarang tabaruj, dan sebagainya. 

Selain memiliki aturan di ranah publik, Islam juga mengatur hubungan di ranah rumah tangga. Bagaimana anak bersikap kepada orang tuanya, dan begitu pula sebaliknya. Ada juga fikih suami dan istri yang apabila diterapkan akan menjamin sakinah, mawaddah wa rahmah dalam rumah tangga

Kedua, Islam menetapkan sanksi yang tegas pada pelaku kekerasan seksual. Hukuman tersebut memiliki dua fungsi, yaitu sebagai jawabir dan zawajir. Jawabir bermakna penebus dosa. Sedangkan zawajir berarti hukuman tersebut mampu mencegah orang lain melakukan tindakan yang sama. 

Misalnya, hukuman bagi pelaku perkosaan berupa had zina, yakni dirajam (dilempari batu) hingga mati, jika pelakunya telahh menikah (muhshan). Apabila pelakunya belum menikah (ghairu muhshon), maka akan dicambuk (dijilid) 100 kali dan diasingkan selama setahun. Sanksi rajam bagi pelaku juga tidak dilaksanakan sembarangan, harus secara terperinci, yaitu kasusnya harus ditangani oleh hakim (qadi) yang berwenang, harus ada saksi, dan lain-lain

Ketiga, kadangkala kekerasan terhadap perempuan terjadi tersebab ekonomi. Oleh karena itu, Islam akan menutup pintu ini dengan menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap rakyat, baik pangan, papan, sandang, keamanan, kesehatan hingga pendidikan. 

Bagi siapa pun yang tidak mempunyai pekerjaan, negara Islam akan membuka lapangan pekerjaan sehingga mereka akan mendapatkan pemasukan yang memadai. Selain itu, bagi mereka yang tidak mampu bekerja, mereka akan berada dalam tanggungan keluarga. Jika keluarga tidak mampu, maka negara yang akan menanggung segla kebutuhannya. 

Negara akan mengambil dari Baitul mal untuk semua pembiyaan tersebut. Badan keuangan ini mendapatkan pemasukan dari pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), harta tidak bertuan, jizyah, kharaj, ganimah, fai, harta dari perilaku curang, dan sebagainya. Semua pemasukan itu akan dipakai untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Dengan begitu, ekonomi tidak lagi menajadi alasan melakukan kekerasan. 

Hanya Khilafah 

Penerapan seluruh aturan Islam tidak bisa dilaksanakan dalam sistem saat ini, disebabkan cara pandang (landasan) bertumpunya aturan sudah berbeda. Aturan Islam hanya bisa diterapkan oleh sistem pemerintahan Islam, yaitu khilafah. Maka dari itu, cara satu-satunya untuk memutus rantai kekerasan terhadap perempuan dan semisalnya sebatas dengan menerapkan Islam secara sempurna dalam bingkai Khilafah. Allah Swt. Berfirman yang artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS Al-Baqarah 2: Ayat 208).
Wallahualam bissawab.

Oleh: Ummu Syakira
Sahabat Tinta Media  
  

Konferensi Internasional Pencapaian SDGs

Tinta Media - Bappelitbangda Kabupaten Bandung berkolaborasi dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran ( UNPAD ) menggelar konferensi internasional tentang kebijakan pembangunan berbasis ilmiah melalui riset dan inovasi, dengan tajuk "Science-Based Policy initiatives: bringing SDGs to rural Development Innovation" yang dilaksanakan secara hybrid.

Konferensi ini bertujuan untuk membangun dialog yang efektif dan komprehensif antara pembuat kebijakan, akademisi, praktisi dan memperkuat jaringan dan bertukar pengetahuan untuk menciptakan inovasi dalam pembangunan pedesaan. Sekda Kabupaten Bandung berharap kegiatan ini dapat dijadikan agenda tahunan ke depan dan menjadi wadah hilirisasi hasil penelitian. (Jabar.tribunnews.com)

SDGs (Sustainable Development Goals) secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah program pembangunan berkelanjutan. Di dalamnya terdapat 17 poin dan 168 target yang harus dimiliki dan dicapai setiap negara. Spirit SDGs inilah yang menjadi acuan berbagai negara di dunia (termasuk Indonesia) dalam menetapkan berbagai kebijakan, serta menentukan target-target pembangunan yang harus dicapai dalam rentang maksimal tahun 2030. Sejatinya, SDGs adalah proyek Barat yang sarat agenda sekulerisasi dan melanggengkan penjajahan kapitalis di dunia Islam. 

Kaum muslim harus cerdas dalam melihat program SDGs ini. Kelihatannya sangat manusiawi, tetapi di dalamnya terdapat program-program yang tidak sesuai syariat. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah yang benar adalah yang menempatkan syariat dalam kaca mata kewajiban, bukan kepentingan.

Dalam sistem Islam, kepala negara berkewajiban mengurusi urusan umat berdasarkan kitab Allah dan sunah Rasulullah, bukan kepanjangan tangan dari kebijakan Barat. 

Dalam sistem Islam, kekuasaan pemimpin betul-betul bulat. Agar kekuasaan tertinggi ini tidak merusak, maka syarat untuk menjadi pemimpin pun sangat ketat dan harus tunduk kepada hukum syara'.

Meskipun kekuasaannya begitu kuat, tetapi tidak berarti dia tidak tersentuh hukum, juga tidak mempunyai kekebalan hukum. Sebaliknya, dia tunduk kepada hukum karena kedaulatan negara di tangan hukum (syara') bukan di tangan manusia. Pemimpin dalam sistem Islam benar-benar independen dan hanya tunduk kepada Allah dan hukum syara', bukan kepada yang lain, apalagi kepada darul kufur. 

Seorang pemimpin mengurus rakyatnya tanpa pandang bulu. Satu-satunya yang menjadi pertimbangan adalah hukum syara'. Karena itu, negara yang menerapkan sistem Islam menjadi negara semua pemeluk agama, semua etnis, bangsa, kelompok, serta golongan, bukan negara bagi kelompok atau etnis tertentu, apalagi cukong. 

Inilah uniknya Islam. Penerapan sistemnya telah terbukti berabad-abad membawa kesejahteraan. Keunikan tersebut tidak terdapat dalam sistem mana pun di muka bumi ini. Hanya orang yang buta mata dan hatinya yang selalu menutup mata terhadap realitas ini.

Wallahu alam bishawab.

Oleh: Sri Mulyani
Sahabat Tinta Media

Musibah Harusnya Mendorong untuk Muhasabah Diri

Tinta Media - Senin, 21 November lalu, kita dikejutkan dengan kabar terjadinya gempa bumi di Cianjur dengan kekuatan 5.6 SR. Gempa itu menimbulkan korban meninggal dunia 331 orang, 14 orang belum ditemukan, ratusan orang terluka, dan ribuan rumah serta bangunan hancur.  Berbagai fasilitas publik, termasuk jalan dan jembatan rusak sehingga banyak tempat terisolasi dan warga tinggal di pengungsian. 

Gempa Cianjur terasa getarannya sampai di Jakarta, Sukabumi,  Bandung, dan sekitarnya, sehingga bantuan banyak berdatangan untuk membantu korban gempa. Hanya sayang, banyak bantuan yang tidak bisa didistribusikan ke seluruh korban karena akses ke posko-posko sulit. 

Secara keilmuan, gempa bumi Cianjur terjadi karena adanya pergeseran lempeng bumi. Negara Indonesia berada di wilayah pertemuan tiga lempeng bumi, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik yang dikenal dengan sebutan Cincin Api Pasifik. Ciri khas wilayah ini adalah banyaknya gunung berapi aktif dan rawan gempa bumi. 

Gempa Cianjur pun tidak selesai hari itu saja. Gempa susulan dengan kekuatan lebih kecil terus terjadi. Bahkan sampai tgl 4 Desember 2022, telah tercatat di BMKG sebanyak 232 kali gempa. 

Selain di Cianjur, di hari yang sama juga terjadi gempa di kepulauan  Aru, Maluku,  Jayapura Papua, Sulawesi Utara,  Sulawesi Selatan, Lampung, dan Tasikmalaya dengan kekuatan di bawah 5.0 SR. Di Garut terdeteksi gempa dengan kekuatan 6.4 SR. 

Secara teologis, kaum mukminin wajib mengimani bahwa tidak ada satu pun musibah terjadi tanpa izin atau kehendak Allah Yang Mahakuasa atas langit dan bumi, termasuk menggeser lempeng bumi.

Seperti firman Allah QS At-Taghabun ayat11, yang artinya:

"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin (kehendak) Allah."

Berarti musibah adalah bagian dari Qadha Allah Swt. (Qs Al Hadid: 22).

Sikap yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. terhadap qadha Allah adalah rida (menerima). 
Menurut para ulama, musibah gempa bumi mempunyai dua arti, yaitu sebagai ujian atau sebagai bentuk peringatan dari Allah Swt. 

Sebagai ujian, maka Allah memberi apresiasi bagi mukmin yang sabar, seperti firman-Nya: 

"Kami pasti akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan,  kelaparan serta kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.  Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (QS. Al-Baqarah: 155).

Jadi, sikap seorang muslim saat ditimpa musibah adalah harus sabar dan tawakal kepada Allah Swt. 

Selain sabar, saat terjadi musibah, seorang muslim juga diperintahkan untuk segera bertobat kepada Allah Swt. dan melakukan muhasabah. Ini karena Allah mengingatkan bahwa musibah terjadi bukan karena Allah kejam, tetapi karena perbuatan dosa manusia seperti yang tercantum dalam QS. Asy-Syura ayat 30, yang artinya:

 "Musibah (bencana)  apa saja yang menimpa kalian adalah akibat perbuatan (dosa) kalian sendiri. Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan - kesalahan kalian). 

Sungguh negeri ini sekarang sedang dilanda musibah yang bertubi-tubi. Sudah seharusnya kita bermuhasabah. Sekarang waktunya kita bertobat kepada Allah Swt. baik secara personal maupun kolektif. Itu karena tidak bisa dimungkiri bahwa negeri ini mayoritas muslim, tetapi banyak terjadi pelanggaran pada hukum- hukum Allah.  Di negeri ini banyak terjadi korupsi (pejabat tidak amanah), LGBT, penistaan agama Islam,  beragam kezaliman, adu domba antar golongan, dll. 

Kaum muslimin Indonesia harus melakukan taubatan nasuha,  kembali kepada Allah Swt. dengan menaati semua aturan-Nya. Kita harus menjadikan Al-Qur'an sebagai petunjuk, sebab pangkal dari segala musibah adalah berpalingnya manusia dari Al-Qur'an. Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Thaha ayat 124, yang artinya: 

"Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (Al Qur'an),  sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada hari Kiamat nanti dalam keadaan buta. 

Kondisi kehidupan yang sulit tidak boleh berlangsung seterusnya. Kaum muslimin harus segera mewujudkan ketaatan penuh kepada Allah Swt. dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah. 

Wallahu 'alam bisawab.

Oleh: Wiwin Widaningsih
Sahabat Tinta Media

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab