Tinta Media: Tanya Jawab
Tampilkan postingan dengan label Tanya Jawab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tanya Jawab. Tampilkan semua postingan

Senin, 04 Desember 2023

HUKUM MAKAN UDANG, LOBSTER, DAN SEBAGAINYA YANG DIMASAK DALAM KEADAAN HIDUP



Tanya :

Ustadz, apa hukumnya makan daging yang ketika proses memasaknya, masih dalam keadaan hidup, seperti udang, lobster, kepiting, cumi, dan lain-lain, karena memang mindset yang ada, seafood disebut segar apabila dalam keadaan hidup sebelum dimasak. Contohnya udang, beberapa kasus, dalam keadaan hidup, hanya cukup disiram air bersih, langsung dimasukkan ke dalam wajan berisi minyak panas, dalam kasus lain, kepiting atau lobster, dipotong-potong, namun masih keadaan bergerak juga langsung dimasukkan ke dalam wajan berisi minyak panas. PS : soalnya enak dan saya suka, Ustadz, tapi apakah halalan thayiban? Syukron. (Hamba Allah).

Jawab :

Tidak mengapa atau boleh (mubāh) hukumnya menurut syariah kita memakan seafood yang dimasak dalam keadaan hidup, sebagaimana yang ditanyakan dalam pertanyaan di atas. Pendapat inilah yang kami pilih sebagai pendapat yang lebih kuat (rājih), dari dua pendapat ulama dalam masalah ini, yaitu memakan ikan (atau hewan laut secara umum) yang dimasak dalam keadaan hidup. Pendapat pertama, hukumnya makruh. Ini pendapat mazhab Syafi’i, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmū’. Pendapat kedua, hukumnya boleh (mubāh) tanpa ada kemakruhan. Ini pendapat mazhab Maliki, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Muḥammad bin Muḥammad Ḥaṭṭāb penulis kitab Mawāhib Al-Jalīl Syarah Mukhtashar Al-Khalīl.

Pendapat yang memakruhkan, adalah pendapat mazhab Syafi’i. Imam Nawawi yang bermazhab Syafi’i berkata :

وَلَوْ ابْتَلَعَ سَمَكَةً حَيَّةً أَوْ قَطَعَ فِلْقَةً مِنْهَا وَأَكَلَهَا أَوْ ابْتَلَعَ جَرَادَةً حَيَّةً أَوْ فِلْقَةً مِنْهَا فَوَجْهَانِ (أَصَحُّهُمَا) يُكْرَهُ وَلَا يَحْرُمُ

“Kalau seseorang menelan seekor ikan dalam keadaan hidup, atau memotong satu potongan dari ikan hidup itu lalu memakannya, atau misalnya seseorang menelan belalang dalam keadaan hidup, atau memotong satu potongan dari belalang hidup itu lalu memakannya, maka ada dua pendapat. Pendapat yang paling sahih dari kedua pendapat yang ada, hukumnya makruh, bukan haram.” (Imam Nawawi, Al-Majmū’ Syarah Al-Muhadzdzab, 9/81). 

Pendapat yang membolehkan tanpa kemakruhan, adalah pendapat mazhab Maliki. Imam Muḥammad bin Muḥammad Ḥaṭṭāb dalam kitabnya Mawāhib Al-Jalīl Syarah Mukhtashar Al-Khalīl, meriwayatkan pendapat Imam Malik RA sebagai berikut :

وَسُئِلَ مَالِكٌ عَنْ الْحُوتِ يُوجَدُ حَيًّا، أَيُقْطَعُ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ؟ قَالَ: لَا بَأْسَ بِهِ لِأَنَّهُ لَا ذَكَاةَ فِيهِ وَأَنَّهُ لَوْ وُجِدَ مَيِّتًا أَكَلَ فَلَا بَأْسَ بِهِ أَنْ يُقْطَعَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ وَأَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ وَهُوَ حَيٌّ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ

“Imam Malik pernah ditanya mengenai ikan yang ditemukan dalam keadaan hidup, apakah harus dipotong dulu sebelum ikan itu mati? Imam Malik menjawab,”Tidak mengapa itu dilakukan (memotong ikan sebelum ikannya mati), karena ikan itu tidak memerlukan penyembelihan, dan bahwa kalau ikan itu ditemukan dalam keadaan sudah menjadi bangkai, lalu ada orang yang memakannya, tidak mengapa. (Kalau orang itu) memotong sebelum ikannya mati, atau dia melemparkan ikan itu ke dalam api dalam keadaan hidup, maka tidak mengapa hal yang demikian itu.” (Muḥammad bin Muḥammad Ḥaṭṭāb, Mawāhib Al-Jalīl Syarah Mukhtashar Al-Khalīl, 4/346).

Kutipan dari Imam Malik di atas yang terkait dengan pembahasan kita, adalah :

وَأَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ وَهُوَ حَيٌّ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ

“Kalau dia melemparkan ikan itu ke dalam api dalam keadaan hidup, maka tidak mengapa hal yang demikian itu.” (Muḥammad bin Muḥammad Ḥaṭṭāb, Mawāhib Al-Jalīl Syarah Mukhtashar Al-Khalīl, 4/346).

Dari kutipan tersebut, menurut Imam Malik, tidak mengapa (lā ba`sa bi-dzālika), yaitu boleh hukumnya, seseorang memasak ikan dengan cara memasukkan ikan yang masih hidup ke dalam api, atau yang semisalnya, misalnya memasukkan ke dalam wajan berisi minyak goreng panas untuk menggoreng ikan tersebut.

Kami cenderung kepada pendapat Imam Malik ini, radhiyallāhu ‘anhu, yang menghukumi boleh tanpa kemakruhan, karena terdapat dalil khusus bahwa hewan-hewan laut itu tidak memerlukan penyembelihan (tadzkiyah), sehingga kalaupun hewan laut itu ditemukan dalam keadaan sudah menjadi bangkai (al-maytah), hukumnya halal untuk dimakan.

Kehalalan bangkai hewan laut ini didasarkan pada hadits shahih dari Rasulullah SAW : 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ، الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Dari Abu Hurairah RA, dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda mengenai laut (al-bahr),”Dia (laut itu) suci airnya, dan halal bangkainya.” (HR. Abu Dawud, no. 83; Ibnu Majah, no. 386; Ahmad, no. 8720; Al-Tirmidzi, no. 69; Al-Nasa`i, no. 59).

Hadits ini menunjukkan bahwa bangkai (al-maytah) dari hewan laut itu halal untuk dimakan. Sedangkan pengertian bangkai (al-maytah) dalam istilah syariah adalah :

اَلْمَيْتَةُ هِيَ الْحَيَوَانُ الَّذِيْ مَاتَ حَتْفَ أَنْفِهِ أَوْ قُتِلَ مِنْ غَيْرِ ذَكَاةٍ شَرْعِيَّةٍ

“Bangkai (al-maytah) adalah hewan yang mati dengan sendirinya, atau hewan yang dimatikan tanpa penyembelihan syar’i.” (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqahā`, hlm. 440).

Berdasarkan definisi bangkai di atas, jelaslah bahwa memasukkan hewan laut hidup-hidup ke dalam wajan berisi minyak goreng panas, jelas akan mematikan hewan laut tersebut tanpa melalui penyembelihan syar’i. Artinya, tindakan tersebut akan mengakibatkan hewan laut yang hidup itu otomatis menjadi bangkai (al-maytah). Padahal ada dalil khusus bahwa bangkai (al-maytah) dari hewan laut itu, hukumnya halal untuk dimakan dan tidak ada masalah.  

Kesimpulannya, tidak mengapa atau boleh (mubāh) hukumnya tanpa disertai kemakruhan, kita memakan seafood yang dimasak dalam keadaan hidup. Demikian pendapat yang kami pilih sebagai pendapat yang rājih dalam masalah ini. Wallāhu a’lam.

 
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Kontemporer

Jakarta, 5 Nopember 2023

Minggu, 12 November 2023

Hukum Memisahkan Pelanggan Pria dan Wanita di Kafe

Tinta Media - Tanya: Ustaz, saya punya usaha kuliner yaitu kafe. Apakah harus ada pemisahan antara tamu laki-laki dan wanita di kafe saya? Apakah selaku pemilik kafe saya berdosa jika membiarkan pelanggan saya berikhtilat (campur baur antara pria dan wanita)? (Firli, Sleman)

Jawab: 

Wajib hukumnya pemisahan (infishal) pelanggan pria dan wanita di sebuah kafe. Kewajiban pemisahan pelanggan pria dan wanita ini didasarkan pada hukum syariah yang berlaku umum yang mewajibkan pemisahan pria dan wanita, baik dalam kehidupan khusus (al hayaat al ‘aamah) seperti di rumah, kos-kosan, dsb; maupun dalam kehidupan umum (al hayaat al khaashah) seperti di kafe, jalan raya, kendaraan umum, dsb.

Hukum umum ini berlaku untuk segala macam kegiatan dan tempat, seperti menghadiri pengajian di sebuah masjid atau gedung, melakukan kegiatan aksi damai (masirah), sholat berjamaah di masjid, belajar di sekolah, berolahraga di lapangan, rapat di kantor, rapat perusahaan, dan sebagainya. Termasuk makan di sebuah kafe atau warung makan. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Kewajiban pemisahan pria dan wanita tersebut didasarkan pada sejumlah dalil syariah, di antaranya: 

Pertama, Rasulullah ﷺ telah memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita di masjid ketika shalat jamaah, yaitu shaf-shaf pria berada di depan, sedangkan shaf-shaf wanita berada di belakang shaf-shaf pria. (HR Bukhari no 373, dari Anas bin Malik); 

Kedua, Rasulullah ﷺ memerintahkan para wanita untuk keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat di masjid, baru kemudian para pria. (HR Bukhari no 828, dari Ummu Salamah); 

Ketiga, Rasulullah ﷺ telah memberikan jadwal kajian Islam yang berbeda antara jamaah pria dengan jamaah wanita (dilaksanakan pada hari yang berbeda). (HR Bukhari no 101, dari Abu Said Al Khudri). (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Berdasarkan dalil-dalil ini, disimpulkan sebuah hukum umum, yaitu dalam kehidupan Islam terdapat kewajiban memisahkan jamaah pria dengan jamaah wanita. Dan pemisahan ini berlaku secara umum, yaitu tidak ada perbedaan antara kehidupan umum (al hayaat al ‘aamah) seperti di di kafe, jalan raya, kendaraan umum, dengan kehidupan khusus (al hayaat al khaashah) di rumah, kos-kosan, dan apartemen. 

Maka dari itu, keumuman hukum ini berlaku pula pada kasus makan di sebuah kafe sehingga di sebuah kafe wajib ada pemisahan antara pelanggan pria dan wanita. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Ijtima’i fi Al Islam, hlm. 36).

Dikecualikan dari hukum tersebut, yaitu jika pria dan wanita yang makan di kafe tersebut adalah suami istri, atau mempunyai hubungan mahram, seperti seorang anak laki-laki dengan ibunya. Dalam kondisi seperti ini, boleh hukumnya pria dan wanita tersebut makan bersama di satu meja tanpa ada pemisahan.

Jadi, kafe syariah sudah seharusnya tidak hanya sesuai syariah dalam hal makanan atau minumannya, tapi juga harus sesuai syariah dalam pengaturan tempat duduk para pelanggannya. 

Di sebuah kafe dapat diatur ada dua ruangan. Pertama, ruangan untuk pelanggan umum, yaitu pelanggan pria dan wanitanya yang bukan mahram, mereka menempati meja dan kursi yang terpisah.

Kedua, ruangan untuk pelanggan keluarga, yaitu untuk pelanggan pria dan wanita yang mempunyai hubungan mahram. Mereka boleh makan satu meja.

Pemilik kafe turut berdosa jika membiarkan pelanggannya berikhtilat (campur baur), karena membiarkan terjadinya dosa atau kemungkaran di hadapannya padahal dia mampu untuk menghilangkan kemungkaran itu dan mengatur kafenya agar sesuai syariah. Wallahualam Bissawab

Oleh: KH. M Shiddiq Al Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 

Jumat, 03 November 2023

HUKUM SIMBOL SEMANGKA UNTUK PALESTINA




Tanya :

Ustadz, saat ini sedang ramai animasi simbol Palestina = semangka, Tadz. Ada yang bertanya hukum membuat anime seperti ini, apa sudah pernah dibuat tulisannya oleh Ustadz? Karena saya mencoba mencari, tapi adanya hukum tashwir (melukis) secara umum. (Hamba Allah)

 

Jawab :

Haram hukumnya membuat simbol Palestina dalam bentuk semangka, baik simbol itu kemudian diwujudkan dalam bentuk gambar atau anime atau film, atau bendera, atau umbul-umbul, atau kaos, atau tas, atau gelang, kalung, atau apa pun juga. Alasannya, simbol tersebut adalah representasi dari bendera Palestina yang ada saat ini, padahal bendera tersebut adalah simbol dari negara Palestina sebagai negara-bangsa (nation-state) dan negara sekuler, sebuah negara yang tidak mengikuti ajaran Islam, melainkan mengikuti konsep Barat. (Lihat Ian Adams, Ideology Political Today, Bab/Chapter “Nasionalisme”).

Seorang muslim tidak boleh memberi dukungan kepada negara apa pun dan negara mana pun di seluruh dunia saat ini, kecuali negara Khilafah, dengan benderanya berupa liwā` dan rāyah, bukan yang lain secara mutlak. Liwā` adalah bendera berwarna putih dengan tulisan hitam berbunyi “Lā ilāha illallāh Muhammad Rasūlullah”. Sedangkan Rāyah adalah bendera berwarna hitam dengan tulisan berwarna putih berbunyi “Lā ilāha illallāh Muhammad Rasūlullah.” Dalam beberapa riwayat disebutkan, “Rāyah yang dipakai Rasulullah SAW berwarna hitam, sedangkan liwā` berwarna putih.” (HR Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/182. Bab “Al-Alwiyah wa Al-Rāyāt”).

Berdirinya negara Palestina sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state) jelas akan semakin memecah belah umat Islam seluruh dunia yang seharusnya wajib hidup dalam satu negara saja (Khilafah). (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘Alā Al-Madzāhib Al-Arba’ah, 5/366).

Firman Allah SWT :

وَاعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰهِ جَمِيۡعًا وَّلَا تَفَرَّقُوۡا‌

”Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS Āli ’Imrān : 103).

Berdirinya negara Palestina sebagai sebuah negara sekuler juga sangat bertentangan dengan Islam. Karena negara sekuler yang memisahkan agama dari negara, hanya akan menerapkan Syariah Islam secara parsial, khususnya hukum privat seperti ibadah mahdhah (sholat, doa, dsb), mustahil diharapkan menerapkan Syariah Islam secara keseluruhan (kāffah), yang mengatur hukum publik dalam berbagai aspek kehidupan, seperti sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem kesehatan, politik luar negeri, dan sebagainya. Padahal Islam telah mewajibkan penerapan Syariah Islam secara keseluruhan (kāffah), sesuai firman Allah SWT :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا ادۡخُلُوۡا فِى السِّلۡمِ کَآفَّةً

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kāffah).” (QS Al-Baqarah : 208).

Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam tidak pernah mengakui sebuah negara yang berupa negara-bangsa (nation state) dan negara sekuler di sekluruh dunia ini secara mutlak. Maka dari itu, segala sarana, atau simbol, atau bendera, atau anime, atau film, atau apa pun juga yang melambangkan negara-bangsa dan negara sekuler, hukumnya mengikuti hukum tujuannya, yaitu memberikan dukungan pada negara-bangsa (nation state) dan negara sekuler, yang secara nomatif tidaklah diperbolehkan dalam Syariah Islam. Kaidah fiqih yang terkait masalah ini menyatakan :

اَلْوَسَائِلُ تَتْبَعُ الْمَقَاصِدَ فِيْ أَحْكَامِهَا

“Segala sarana (wasīlah) itu hukumnya mengikuti hukum tujuan-tujuannya.” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, 12/199).

Wallāhu a’lam.


Ambon, 3 Nopember 2023 Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Mu’amalah dan Kontemporer

 

Kamis, 20 April 2023

HUKUM TARAWIH DAN TAKBIRAN SEBELUM TERBUKTINYA HILAL SYAWAL


Tinta Media - Tanya :
Ustadz, bolehkah kita melakukan takbiran atau sholat tarawih, pada malam hari menjelang masuknya Idul Fitri (malam 30 Ramadhan), tapi belum ada pengumuman rukyatul hilal secara global untuk bulan Syawal ? (Nanang Syaifurozi, Jogjakarta).
 
Jawab :

Tidak boleh atau haram hukumnya melakukan takbiran jika belum terbukti adanya rukyatul hilal untuk bulan Syawal.

Sebaliknya, selama belum ada rukyatul hilal untuk bulan  Syawal, malam 30 Ramadhan itu masih dianggap bulan Ramadhan. Maka pada malam itu masih disyariatkan sholat tarawih, niat puasa, dan bersahur.

Ketidakboleh takbiran, dan sebaliknya tetap disyariatkannya sholat tarawih, niat puasa, dan bersahur pada malam itu, sebelum terbukti rukyatul hilal global, melakukan didasarkan pada 2 (dua) alasan sbb: 

*Pertama,* karena sebelum terbuktinya rukyatul hilal untuk bulan Syawal, berarti malam itu masih dianggap bulan Ramadhan. Ini adalah pengamalan *istis-haabul ashl*, yakni kaidah fiqih yang digunakan untuk mempertahankan berlakunya hukum asal sebelum adanya dalil yang mengubah hukum asal menjadi hukum baru. 

Kaidah fiqih yang termasuk *istis-haabul ashl* misalnya :
 
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلىَ مَا كَان

"Al-ashlu baqaa`u maa kaana ‘ala maa kaana."(yang menjadi hukum asal untuk sesuatu, adalah tetapnya hukum yang sudah ada mengikuti hukum sebelumnya). (Tajuddin As Subki, _Al-Asybah wa An-Nazha`ir,_ 1/49).
 
Berdasarkan kaidah fiqih tersebut, berarti hukum asalnya adalah tetapnya bulan Ramadhan, yaitu tidak berubah menjadi bulan Syawal sebelum terbuktinya rukyatul hilal untuk bulan Syawal. 

Jika rukyatul hilal Syawal belum terbukti, berarti kita masih disunnahkan shalat tarawih dan makan sahur, dan masih diwajibkan niat puasa Ramadhan. 

Sebaliknya, jika seseorang sudah takbiran padahal belum terbukti rukyatul hilal Syawal, berarti dia telah perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim, sesuai sabda Rasulullah SAW :
 
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌ

”Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (‘amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR Bukhari no 2550; Muslim no 1718). 
 
*Kedua,* karena sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal, berarti “sebab” masuknya bulan Syawal itu belum ada. 

Dengan demikian, hukum-hukum syariah yang menjadi akibat hukumnya (“musabbab”) juga belum ada. Misalnya, takbiran, pelaksanaan sholat Idul Fitri, dan berbagai cabang-cabang hukum syara' yang terkait dengan sholat Idul Fitri.
 
Dalam ilmu ushul fiqih, “sebab” adalah apa-apa yang jika ada maka hukum syara’ yang menjadi akibat hukumnya (“musabbab”) akan ada (terwujud/terlaksana). 

Sebaliknya jika “sebab” tidak ada, maka “musabbab” (akibat hukum) juga tidak ada. 

Contoh “sebab”, misalnya masuknya waktu adalah sebab pelaksanaan shalat, tercapainya nishab adalah sebab pelaksanaan zakat mal, safar adalah sebab bolehnya mengqashar atau menjamak sholat, akad nikah adalah sebab bolehnya jima’, akad syar’i adalah sebab sahnya kepemilikan barang, dst. (Imam Ghazali, Al-Mustashfa fi ‘Ilmi Al Ushul, hlm.75; Imam Syathibi, Al-Muwafaqat, 1/187).
 
Dalam hal ini hadits-hadits shahih telah menunjukkan dengan jelas bahwa yang menjadi “sebab” bagi kita untuk ber-Idul Fitri, adalah rukyatul hilal, bukan yang lain (misalnya wujudul hilal, melalui hisab hakiki). 

Di antaranya sabda Rasulullah SAW :
 
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين

"Berpuasalah kamu karena melihat hilal [Ramadhan], dan berbukalah kamu (beridul fitrilah) karena melihat hilal [Syawal]. Maka jika hilal menghilang dari pandangan kalian, sempurnakanlah bilangan Sya’ban sebanyak 30 hari.” (HR Bukhari no 1810; Muslim no 1080). (Muhammad Husain Abdullah, Mafahim Islamiyyah, 2/64).
 
Maka dari itu, jika rukyatul hilal bulan Syawal telah terbukti, berarti segala akibat hukumnya dapat dilaksanakan. Sebaliknya jika rukyatul hilal Syawal itu tidak terbukti, maka segala akibat hukumnya tidak sah untuk dilaksanakan. 

Kaidah fiqih yang terkait masalah “sebab” menetapkan :
 
لاَ يَبْقَى الْحُكْمُ بَعْدَ زَوَالِ سَبَبِهِ

"Laa yabqaa al hukmu ba’da zawaali sababihi." (suatu hukum tidak berlaku jika sudah hilang / sudah tidak ada lagi sebabnya). (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausu’ah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, 2/949).
 
Walhasil, tidak boleh hukumnya melakukan takbiran sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal.

Sebaliknya, sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal, masih disyariatkan tarawih, makan sahur, atau niat puasa Ramadhan sebelum terbuktinya rukyatul hilal Syawal. Ini karena bulan yang ada masih bulan Ramadhan dan apa yang menjadi sebab hukum untuk memasuki bulan Syawal, yaitu terbuktinya rukyatul hilal bulan Syawal, belum ada. Wallahu a’lam.

Yogyakarta, 20 April 2023

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Pakar Fiqih Muamalah 

Minggu, 26 Maret 2023

USAJ: Hukum Asal Karyawan Mendapat Hadiah adalah Haram

Tinta Media - Founder Institut Muamalah Indonesia, KH M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si., M.Si. (USAJ) menjelaskan tentang hadiah bagi karyawan yang sudah mendapatkan gaji, hukum asalnya haram.

"Hukum asalnya haram karyawan/pekerja tersebut menerima hadiah, baik hadiah yang berupa barang maupun yang berupa fasilitas," tuturnya pada saat menjadi narasumber di Kajian Ba'da Subuh, Life Hack: Hukum Menerima Hadiah bagi Pegawai yang Sudah Digaji, live on zoom, Sholdah TV, Jumat (17/03).

Dalil keharamannya, kata USAJ, adalah beberapa hadits Nabi SAW yang mengharamkan karyawan (al-ajīr/ al-’āmil) yang sudah digaji oleh pihak pemberi kerja (al-musta`jir) untuk menerima hadiah (al-hadiyyah) atau tips (al-ikrāmiyāt) dari pihak rekanan (bukan dari pihak pemberi kerja).

Selanjutnya ia menyebutkan beberapa hadits berkenaan dengan larangan harta khianat atau harta ghulul.

"Berikut hadits-hadits yang berkenaan dengan larangan harta khianat," ujarnya.

Pertama, adalah hadits dari Abu Humaid As-Sa’idi RA :

عن أبي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رضي الله عنه قَالَ : اسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلا مِنْ بَنِي أَسْدٍ يُقَالُ لَهُ ابن اللُّتْبِيَّة عَلَى صَدَقَةٍ فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ : هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي ، فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ : ( مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ فَيَأْتِي يَقُولُ : هَذَا لَكَ وَهَذَا لِي ، فَهَلا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لا ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لا يَأْتِي بِشَيْءٍ إِلا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ أَلا هَلْ بَلَّغْتُ ثَلاثًا.رواه مسلم برقم 3413.

Dari Abu Humaid As-Sa’idi RA, bahwa Rasulullah SAW telah mempekerjakan seorang laki-laki dari Bani Asad bernama Ibnu Luthbiyah untuk mengumpulkan zakat (dari Bani Sulaim). Ketika dia menyetorkan zakat yang dipungutnya, dia berkata kepada Rasulullah SAW, “Zakat ini kuserahkan kepada Anda, dan ini hadiah orang kepadaku.” Abu Humaid berkata, “Rasulullah SAW lalu berdiri di atas mimbar, kemudian beliau memuji dan menyanjung Allah, serta bersabda, “Bagaimana bisa ada seorang petugas zakat yang sudah aku tugaskan memungut zakat, lalu dia berkata, ‘Zakat ini kuberikan kepada Anda, dan ini hadiah dari orang untukku.’ Mengapa dia tidak duduk-duduk saja di rumah ibunya atau bapaknya menunggu orang mengantarkan hadiah kepadanya? Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangannya, tidak ada seorangpun di antara kalian yang mengambil harta secara khianat, melainkan kelak dia akan memikul harta itu di atas lehernya pada hari Kiamat, jika harta itu berupa unta, unta itu akan menguak, atau jika sapi maka sapi itu akan melenguh, atau jika kambing maka kambing itu akan mengembik.” Kemudian Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya sehingga kami dapat melihat warna putih pada kedua ketiaknya, kemudian Rasulullah SAW bersabda,’Ya Allah, telah aku sampaikan.’ Beliau mengatakan itu tiga kali. (HR Muslim, no. 3413).

Selanjutnya ia menyampaikan sarah hadits dari Imam Nawawi. "Imam Nawawi, memberi syarah (penjelasan) mengenai hadits tersebut dengan berkata,
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ بيانُ أنَّ هَدَايَا الْعُمَّالِ حَرَامٌ وَغُلُولٌ ؛ لِأَنَّه خَانَ فِي وِلَايَتِهِ وَأَمَانَتِه ، وَلِهَذَا ذَكَرَ فِي الْحَدِيثِ فِي عُقُوبَتِهِ وحَمْلِهِ مَا أُهْدِيَ إلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، شرح مسلم للنووي ج 12 ص 219.

Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa hadiah yang diterima oleh karyawan (pekerja) adalah haram dan khianat (ghulūl), karena dia telah berkhianat dalam tugasnya dan amanatnya. Karena itulah, disebutkan dalam hadits ini hukumannya, yaitu memikul harta yang dihadiahkan kepadanya itu di lehernya pada Hari Kiamat.” (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 12/219)," bebernya.

Kedua, hadits dari Abu Humaid As-Saidi RA.

Hadits dari dari Abu Humaid As-Saidi RA :

عن أبي حميد الساعدي أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُوْلٌ . مسند الإمام أحمد ج 5 ص 424 برقم 23090 وصحَّحه الألباني في ارواء الغليل 2622

Dari Abu Humaid As-Sa’idi RA, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, ”Hadiah-hadiah yang diterima oleh para karyawan, adalah harta khianat (ghulūl).” (HR Ahmad, dalam Al-Musnad, 5/424, nomor 23090, dinilai sahih oleh Syekh Nashiruddin al-Albani, dalam kitab Irwa`ul Ghalil, no. 2622).

Ketiga, hadits dari Buraidah ra:

عن بُرَيدَةَ رَضِيَ اللهُ عنه، عنِ النبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم أنَّه قال: مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلىَ عَمَلٍ فَرَزقْنَاهُ رِزْقًا؛ فَمَا أَخَذَهُ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُوْلٌ. رواه أبو داود برقم 2943 وابن خزيمة ج 4 ص 70 برقم 2369، والحاكم ج 1 ص 563 ، والبيهقي ج 6 ص 355 برقم 13401.وقال الشوكاني في نيل الأوطار ج 4 ص 232: رجال إسناده ثقات، وصحَّحه الألباني في صحيح سنن أبي داود برقم 2943.

Dari Buraidah ra, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Barangsiapa yang telah kami berikan pekerjaan kepadanya, lalu kami sudah memberikan gaji kepadanya, maka apa saja yang dia ambil sesudah gaji itu, maka itu adalah harta khianat (ghulūl).” (HR Abu Dawud, no 2943; Ibnu Khuzaimah, 4/70; Al-Hakim, 1/563, Al-Baihaqi, 6/355; hadits ini sahih menurut Imam Syaukani dan Syekh Nashiruddin al-Albani).

Keempat, hadits dari ‘Adiy bin ‘Amirah al-Kindi ra. Yang berbunyi :

عن عَديِّ بنِ عَمِيرةَ الكِنديِّ، قال: سمعتُ رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلَّم يقول« مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » ، قَالَ: « فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟)) ، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ:  وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى» رواه البخاري ومسلم

Dari dari ‘Adiy bin ‘Amirah al-Kindi RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah harta khinat (ghulūl) yang akan dia bawa pada hari kiamat.” (‘Adiy) berkata. ”Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi SAW seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata, ”Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.” Nabi SAW bertanya, ”Ada apa gerangan?” Dia menjawab,”Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas).” Nabi SAW pun berkata, ”Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya [dari kami], dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang [oleh kami], maka tidak boleh [dia mengambilnya].” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sebagai pakar fiqih kontemporer, USAJ menegaskan kembali bahwa hadits-hadits yang telah disebutkannya adalah menunjukkan keharaman seorang karyawan yang sudah digaji menerima hadiah dari pihak lain yang bukan pemberi kerja.

"Hadits-hadits di atas menunjukkan haramnya seorang karyawan (al-ajīr/ al-’āmil) yang sudah digaji oleh pihak pemberi kerja (al-musta`jir) untuk menerima hadiah (al-hadiyyah) atau tips (al-ikrāmiyāt) dari pihak rekanan (pihak lain yang bukan pihak pemberi kerja). (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Shakhṣiyyah al-Islāmiyyah, 2/337)," bebernya.

Kecuali...

Dikecualikan kata Ustadz Shidiq, dari hukum asal haramnya karyawan yang sudah digaji oleh pemberi kerja, yakni boleh hukumnya karyawan menerima hadiah dari pihak lain di luar pihak pemberi kerja dalam 2 (dua) kondisi sebagai berikut :

Pertama, ia mengatakan bahwa kebolehan itu jika hadiah yang diterima berasal dari pihak yang sudah terbiasa memberi hadiah kepada karyawan tersebut. "Jika hadiah itu berasal dari pihak yang sudah terbiasa memberi hadiah kepada karyawan itu, misalnya keluarganya atau sahabatnya," jelasnya.

Adapun dalilnya adalah, lanjut USAJ, Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :

إلَّا أَنْ الْهَدِيَّةَ لِهَؤُلَاءِ تَكُوْنُ حَرَاماً إذَا لَمْ يَكُنْ مِنْ عَادَةِ الْمُهْدِي أَنْ يُهْدِيَ لَهُم ، أمَّا إنْ كَانَ مِنْ عَادَتِهِ أَنْ يُهْدِيَ لَهُمْ سَوَاءٌ أَكَانُوا يَتَوَلَّوْنَ قَضَاءَ مَصَالِحَ أَمْ لَا ، فَإِنَّهُ تَجُوْزُ الْهَدِيَّةُ لَهُمْ وَلَا شَيْءَ فِيهَا ، لِأَنَّ الرَّسُوْلَ ﷺ يَقُولُ فِي الْحَدِيْثِ : فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أبِيكَ وَأُمِّكَ ، حتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إنْ كُنْتَ صَادِقًا . وَمَفْهُومُهُ أَنَّ الْهَدِيَّةَ الَّتِيْ تُهْدَى لَهُ وَهُوَ جَالِسٌ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ دُونَ أَنْ يَكُونَ عاملاً جَائِزَةٌ.

“Namun, hadiah kepada mereka ini (karyawan/pekerja) hukumnya haram, jika bukan merupakan kebiasaan pemberi hadiah untuk memberi hadiah kepada karyawan itu. Adapun jika pemberi hadiah sudah terbiasa sebelumnya memberi hadiah kepada karyawan itu, sama saja apakah pemberi hadiah itu berwenang mengurus urusan publik atau tidak, boleh hukumnya karyawan itu menerima hadiah, karena Rasulullah SAW bersabda, ”Jadi mengapa Anda tidak duduk saja di rumah ayah dan ibu Anda sampai Anda menerima hadiah Anda, jika Anda jujur?” Mafhūm mukhālafah (pengertian sebaliknya) dari hadits ini, jika hadiah yang diberikan kepada karyawan itu datang saat dia sedang duduk di rumah ayah dan ibunya tanpa dia menjadi pekerja, maka hukumnya boleh.” (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Shakhṣiyyah al-Islāmiyyah, 2/337)

Kedua, ia mengatakan bahwa hadiah untuk pekerja boleh, jika pihak pemberi kerja memberikan izin kepada karyawan tersebut. "Jika pihak pemberi kerja (al-musta`jir) memberi izin kepada karyawan untuk menerima hadiah itu," tegasnya.

Terakhir ia mengutip dalil sebagai landasan hukumnya.

"Imam Taqiyuddin An-Nabhani menjelaskan :

وَلَيْسَ مِنَ السَّمْسَرَةِ مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ الْأُجَرَاءِ ، وَهُوَ أَنْ يُرْسِلَ التَّاجِرُ رَسُوْلاً عَنْهُ لِيَشْتَرِيَ لَهُ بِضَاعَةً مِنْ آخَرَ ، فَيُعْطِيْهِ الْآخَرُ مَالاً مُقَابِلَ شِرَائِهِ مِنْ عِنْدِهِ فَلَا يَحْسِبَهُ مِنْ الثَّمَنِ بَلْ يَأْخُذُهَا لَهُ بِاعْتِبَارِه سَمْسَىرَةً مِنَ التَّاجِرِ ، وَهُوَ مَا يُسَمَّى عِنْدَهُم الْقَامِسِيُّوْنَ . فَهَذَا لَا يُعْتَبَرُ سَمْسَرَةً ، لِأَنَّ الشَّخْصَ وَكِيْلٌ عَنِ التَّاجِرِ الَّذِيْ يَشْتَرِيْ لَهُ ، فَمَا يَنْقُصُ مِنَ الثَّمَنِ هُوَ لِلْمُشْتَرِي ، وَلَيْس لِلرَّسُوْلِ . وَلِذَلِكَ يَحْرُمُ عَلَيْهِ أَخْذُهُ ، بَلْ هُوَ لِلْمُرْسِلِ الَّذِيْ أَرْسَلَهُ إلَّا أَنْ يُسَامِحَ بِهِ الْمُرْسِلُ فَيَجُوْزُ

“Tidak termasuk samsarah (perantara jual beli),  apa yang dilakukan oleh sebagian karyawan (pekerja), yaitu seorang pedagang mengirim seorang utusan untuk membeli suatu barang dari orang lain untuknya, kemudian orang lain ini memberi harta kepada utusan tersebut sebagai imbalan karena dia telah membeli barang kepadanya, maka orang lain itu memberikan potongan harga kepadanya, lalu karyawan mengambil potongan harga itu sebagai fee samsarah dari pedagang. Ini tidak dapat dianggap samsarah, karena utusan tadi hakikatnya adalah wakil dari pihak pedagang untuk membeli barang atas nama dia (pihak yang mengutus). Maka potongan harga tadi sebenarnya adalah haknya pihak yang mengutus, bukan haknya utusan. Jadi, haram hukumnya utusan tadi mengambil potongan harga itu, dan potongan harga itu sebenarnya adalah hak pihak yang mengutus, kecuali pihak yang mengutus membolehkan potongan harga itu diambil oleh utusan.  (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Niẓām al-Iqtiṣādi fi al-Islām, hlm. 70)," pungkasnya. [] L. Nur Salamah

Rabu, 22 Maret 2023

KH M. Shiddiq Al-Jawi: Berdosa Menunda Qadha’ Puasa Hingga Ramadhan Berikutnya

Tinta Media - Pakar Fiqh Kontemporer KH M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si., M.SI. menyatakan berdosa bagi seseorang yang menunda qadha' puasa hingga masuk Ramadhan berikutnya.

“Adapun dalam hal waktu mengqadha', qadha', wajib dilaksanakan selambat-lambatnya pada bulan Sya’ban dan berdosa jika seseorang menunda qadha' hingga masuk Ramadhan berikutnya,” tuturnya pada program Kajian Soal Jawab Fiqih: Belum Qadha` Puasa Ramadhan Sudah Datang Lagi, Kamis(16/03/2023) di kanal YouTube Ngaji Shubuh.

Namun demikian, menurut Ustadz Shiddiq, barangsiapa yang belum meng-qadha' puasa Ramadhan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadhan berikutnya, maka harus dilihat dulu alasan penundaan (ta'khir) qadha tersebut. Jika penundaan itu karena ada udzur syar’i (alasan syar’i), seperti karena sakit, nifas, menyusui, atau hamil, maka tidak mengapa. “Tidak masalah, tidak ada dosa,” tegasnya. 

“Demikian menurut seluruh mazhab tanpa ada perbedaan pendapat, sebab yang bersangkutan dimaafkan karena ada udzur dalam penundaan qadha'-nya,” lanjutnya.

Namun, lanjutnya, jika penundaan qadha` itu tanpa ada udzur syar’i, maka para ulama berbeda pendapat dalam dua pendapat. Pendapat Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain.

“Bahwa, orang tersebut di samping tetap wajib mengqadha`, dia wajib juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa. Fidyah ini adalah sebagai kaffarah (penebus) dari penundaan qadha`-nya,” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, II/81, Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hlm. 64). 

Ustadz Shiddiq kemudian menjelaskan bahwa pendapat pertama ini terbagi lagi menjadi dua: Menurut ulama Syafi’iyah, fidyah tersebut berulang dengan berulangnya Ramadhan (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala al-Mazahib Al-Arba’ah Kitabush Shiyam (terj), hal.109).

Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni tidak berulang dengan berulangnya Ramadhan (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/680).

Berikutnya, Kiai menyampaikan pendapat Kedua, yaitu pendapat Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha`i, Imam al-Hasan Al-Bashri, Imam Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa orang yang menunda qadha' hingga datang Ramadhan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha'. Tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/240).

Disampaikannya dalil pendapat pertama yang mewajibkan fidyah di samping qadha’ karena adanya penundaan qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya, adalah perkataan sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah. (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 872). 

Ath-Thahawi meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam: "Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka." 

Selain itu, Kiai menyampaikan pendapat Imam Syaukani yang menjelaskan dalil lain bagi pendapat pertama ini. Yaitu sebuah riwayat dengan isnad dhaif dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW tentang seorang laki-laki yang sakit di bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat namun tidak mengqadha` hingga datang Ramadhan berikutnya. Maka Nabi SAW bersabda : "Dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa]." (yashuumu alladziy adrakahu tsumma yashuumu asy-syahra alladziy afthara fiihi wa yuth’imu kulla yaumin miskiinan). (HR Ad-Daruquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, II/689).

Dalil pendapat kedua (ulama Hanafiyah), bahwa orang yang menunda qadha` hingga datang Ramadhan berikutnya, tidak ada kewajiban atasnya selain qadha`. Dikarenakan adanya kemutlakan nash Al-Qur`an yang berbunyi: "fa-‘iddatun min ayyamin ukhar" yang berarti "maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (QS Al-Baqarah [2] : 183). 

“Jadi boleh meng-qadha' puasa kapan saja dan tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah) apa pun,” jelasnya.

Menurut kiai, perlu ditambahkan bahwa dalam masalah menunda qadha' (ta'khir al-qadha'), Imam Abu Hanifah memang membolehkan qadha` puasa Ramadhan kapan saja walau pun sudah datang lagi Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah kemutlakan nash Al-Baqarah : 183.

“Kewajiban mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya." (wujuubu al-qadhaa`i muwassa’un duuna taqyiidin walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy). Mahmud Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122.

Sedangkan jumhur berpendapat bahwa penundaan qadha` selambat-lambatnya adalah hingga bulan Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad dari ‘A`isyah RA dia berkata : "Aku tidaklah mengqadha` sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW." 

Dari dalil-dalil di atas,Ustadz Shiddiq menyampaikan dalil yang _rajih_ (kuat). Mengenai wajib tidaknya fidyah atas orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga datang Ramadhan berikutnya, pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Ibrahim An-Nakha`i, dan lain-lain, yaitu bahwa orang yang menunda qadha hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`. “Ttidak wajib membayar fidyah,” tuturnya.

Menurutnya itu dikarenakan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga masuk Ramadhan berikutnya, membutuhkan adanya dalil khusus dari nash-nash syara’. “Padahal tidak ditemukan nash yang layak menjadi dalil untuk kewajiban fidyah itu,” terangnya.

Adapun dalil hadits Abu Hurairah yang dikemukakan, yaitu sabda Nabi SAW : "Dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari [dia tidak berpuasa]." (HR Ad-Daruquthni, II/197).
“Maka hadits ini adalah hadits dhaif yang tidak layak menjadi hujjah (dalil),” tegasnya.
 
Disampaikannya bahwa Imam Syaukani berkata,"…telah kami jelaskan bahwa tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadits shahih] dari Nabi SAW." (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 872). 

Dijelaskannya pula dari Yusuf al-Qaradhawi meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun An-Nadiyah (I/232),"…tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun [hadits sahih] dari Nabi SAW." (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, hal. 64).

Menurutnya, pendapat beberapa sahabat yang mendasari kewajiban fidyah itu, adalah dasar yang lemah. “Sebab pendapat sahabat --yang dalam ushul fiqih disebut dengan mazhab ash-shahabi atau qaul ash-shahabi— bukanlah hujjah (dalil syar’i) yang layak menjadi sumber hukum Islam,” paparnya. 

Kiai menyampaikan perkataan Imam Syaukani, "Pendapat yang benar bahwa qaul ash-shahabi bukanlah hujjah [dalil syar’i]." (Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 243). 

Sedangkan Imam Taqiyuddin an-Nabhani menegaskan,"…mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i." 

Mengenai periwayatan ath-Thahawi dari Yahya bin Aktsam bahwa dia berkata, "Aku mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka", tidaklah dapat diterima. Kata Syekh Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, "Sesungguhnya riwayat-riwayat dari sahabat ini tidaklah terbukti, sebab riwayat-riwayat itu berasal dari jalur-jalur riwayat yang lemah [dhaif]. Maka ia wajib ditolak dan tidak boleh ditaqlidi atau diikuti.“(Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal.210).

Masalah Waktu Qadha menurut Kiai Shiddiq yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur, bukan pendapat Imam Abu Hanifah, rahimahullah. Jumhur mengatakan bahwa mengqadha` puasa Ramadhan itu waktunya terbatas, bukan lapang (muwassa`) sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah. 
“Maka qadha wajib dilakukan sebelum masuknya Ramadhan berikutnya. Jika seseorang menunda qadha tanpa udzur hingga masuk Ramadhan berikutnya, dia berdosa,” pungkasnya.[] Raras

Minggu, 26 Februari 2023

Ustadz Shiddiq: Tak Boleh Jual Beli dengan Kartu Debit pada Mata Uang Lokal Saat Safar

Tinta Media - Pakar Fiqih Kontemporer Ustaz Shiddiq Al-Jawi menegaskan, tidak boleh bertransaksi jual beli menggunakan kartu debit atau ATM untuk berbelanja dalam mata uang lokal yang terjadi saat safar ke luar negeri.

"Hukum jual beli tersebut tidak boleh, karena pada muamalah terjadi dua akad secara mengikat,” ujarnya di Tabloid  Media Umat dalam rubrik Ustad Menjawab edisi 327, 6-19 Januari 2023.

Ustad Shiddiq Al-Jawi membeberkan dua jenis akad yang terjadi dalam transaksi secara bersamaan. Pertama, akad penukaran rupiah ke mata uang local (akad saraf). Kedua, akad jual beli, yaitu membayar barang yang dibeli dengan uang lokal.

”Padahal sudah terdapat dalil tentang menggabungkan dua akad secara mengikat seperti ini dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah saw  telah melarang dua kesepakatan dalam satu kesempatan (HR.ahmad, Al-Musnad, I/398, hadist shahih)," ujarnya.

Ia pun menyarankan, untuk menarik uang tunai di ATM dalam mata uang lokal terlebih dahulu, lalu bertransaksi dengan uang tunai tersebut.

“Lakukan tarik tunai uang Anda dalam mata uang lokal, yaitu Turkish Lira, lalu belilah dengan Turkish Lira itu Baklava (snack khas Turki) yang Anda inginkan,” pungkasnya.[] Beryl

Kamis, 16 Februari 2023

BISAKAH PIAGAM PBB MENJADI SUMBER HUKUM ISLAM?

Tanya :
Ustadz, apakah benar Piagam PBB bisa menjadi sumber hukum Islam untuk menolak wajibnya Khilafah? (Achmad Mu'it, Bumi Allah).

Jawab :
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tertolak sebagai sumber hukum Islam, berdasarkan 4 (empat) alasan sbb :

Pertama, tertolak secara normatif, yaitu tertolak berdasarkan ilmu Ushul Fiqih. Imam Syafi’i, berkata”Sesungguhnya suatu pendapat tidaklah menjadi keharusan (berlaku mengikat) dalam setiap-tiap keadaan, kecuali berdasarkan Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya SAW, dan sesungguhnya apa saja selain keduanya [haruslah] mengikuti keduanya (Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya).” (Imam Syafi’i, Jimā’ al-’Ilmi, hlm. 11; Al-Umm, Juz VII, hlm. 285). 

Ini berarti sumber hukum Islam wajib bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, sesuai dalil-dalil yang memerintahkan umat Islam untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya. (Lihat QS An-Nisā` : 59, QS An-Nisā` : 69, dsb). 

Maka Piagam PBB tak dapat menjadi sumber hukum Islam, karena Piagam PBB tidak bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, melainkan bersumber dari kesepakatan wakil 50 negara yang hadir dalam dalam Konferensi PBB di San Francisco pada tanggal 26 Juni 1945. (https://www.un.org/en/about-us/history-of-the-un/preparatory-years).

Kedua, tertolak secara historis, karena cikal bakal PBB justru adalah aliansi negara-negara kafir yang menjadi musuh Islam. Aliansi ini terdiri dari negara-negara Kristen Eropa untuk menghadapi futūḥāt Khilafah Utsmaniyah yang pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16 M, berhasil menaklukkan negeri-negeri Kristen Eropa, seperti Yunani, Romania, Albania, Yugoslavia dan Hungaria. Aliansi ini bertransformasi menjadi LBB (Liga Bangsa-Bangsa) pada tahun 1920, lalu pada menjadi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada tahun 1945. (Taqiyuddin An-Nabhani, Mafāhīm Siyāsiyyah, hlm. 160-163). 
Jadi mengikuti PBB dan Piagamnya, berarti memberikan walā’/muwālah (loyalitas) kepada kaum kafir, sesuatu yang jelas haram dilakukan seorang muslim. (Lihat QS Ali ‘Imrān : 28; QS Al-Mā’idah : 51, dsb). 

Ketiga, tertolak secara empiris, yaitu tertolak berdasarkan fakta empiris bahwa PBB telah gagal mewujudkan perdamaian dan mencegah berbagai perang di berbagai kawasan dunia. PBB akhirnya dinilai lembaga yang “impoten”, gagal (failure), serta “un-faedah/useless” (tak berguna), dengan contoh nyata perang Rusia-Ukraina yang terus berlangsung sejak Pebruari 2022 lalu. (https://edition.cnn.com/2022/04/15/politics/united-nations-ukraine-russia/index.html).
Kegagalan PBB mencegah perang, artinya PBB adalah lembaga sumber dharar (bahaya) karena banyak terjadi kematian akibat perang. Padahal Islam telah melarang terjadinya dharar (bahaya), sesuai sabda Nabi SAW,”Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri (dharar) dan bahaya bagi orang lain (dhirār).” (HR Ahmad, al-Musnad, no. 2865; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 2341).

Keempat, tertolak secara politis, yaitu tertolak karena PBB sebenarnya sekedar alat politik negara-negara kafir penjajah, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis, untuk terus mendominasi dan menghisap kekayaan alam di seluruh dunia. (Taqiyuddin An-Nabhani, Mafāhīm Siyāsiyyah, hlm. 169-170). 
Mendukung PBB dan Piagamnya berarti melanggengkan dominasi kafir atas umat Islam, sesuatu yang haram hukumnya dilakukan muslim. (Lihat QS An-Nisā` :141).
Kesimpulannya, PBB adalah organisasi yang didirikan oleh negara-negara kafir penjajah dan Piagamnya tidak bersumber dari Islam. Maka dari itu, Piagam PBB tidak boleh dijadikan sumber hukum Islam secara mutlak. Berhukum kepada PBB dan Piagam PBB, untuk menolak Khilafah misalnya, hakikatnya adalah berhukum kepada thāghūt dan syariah kufur yang sama sekali tidak halal dilakukan oleh muslim mana pun di seluruh penjuru dunia hingga Hari Kiamat kelak. (Lihat QS An-Nisā` : 60). Wallāhu a’lam.

Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi 
Pakar Fikih Muamalah 

Selasa, 10 Januari 2023

BERDAKWAH DALAM SUATU EVEN YANG MENGANDUNG KEHARAMAN

Tinta Media - Tanya : 

Assalamualaikum wr wb,

Ustadz, izinkan kami mengajukan sejumlah pertanyaan :

Apakah seorang da’i dibolehkan datang mengisi pengajian di suatu even yang punya beberapa rangkaian acara, termasuk pentas musik yang menampilkan biduan?
Jika jawaban pertanyaan pertama adalah boleh, maka apa saja yang menjadi ketentuannya?

Bolehkah membuat kepanitiaan bersama dengan pihak lain untuk menyelenggarakan even hiburan agar ada kesempatan ceramah di antara even itu walaupun acara tersebut akan menampilkan penyanyi dan penari, aurat, tabarruj dan ikhtilathh dengan mempublikasikan, menarik peserta, menjual tiket dan ikut mempersiapkan pelaksanaannya?

Apakah ketentuan syar’i yang harus dipedomani dalam memilih uslub dakwah yang sesuai dengan ragam kecenderungan objek dakwah?

Demikian pertanyaan kami, Ustadz. Atas perhatian dan jawabannya kami berdoa jazakallahu khairan katsira. (Hamba Allah).

Jawab :

Jika pertanyaan nomor 1, 2, dan 3, dapat kami ringkas, sebenarnya pertanyaan yang terpenting hanya satu saja, yaitu,”Apakah seorang da’i dibolehkan datang mengisi pengajian di suatu even hiburan agar ada kesempatan ceramah di antara even itu walaupun acara tersebut akan menampilkan penyanyi dan penari, aurat, tabarruj dan ikhtilathh?”

Jawabannya adalah tidak boleh, atau diharamkan oleh syara’. Jadi tidak boleh seorang da’i datang mengisi pengajian di suatu even hiburan yang akan menampilkan penyanyi dan penari, aurat, tabarruj dan ikhtilathh, baik posisi da’i itu sekedar sebagai pihak yang diundang, maupun sebagai pihak yang turut menyelenggarakan even atas dasar kepanitiaan bersama. Semuanya diharamkan, tidak dibenarkan secara syariah.

Dalil keharamannya karena syara’ tidak memperbolehkan mencampurkan kegiatan yang halal, dalam hal ini dakwah, dengan kegiatan yang haram, seperti berbagai hiburan yang menampilkan penyanyi dan penari, aurat, tabarruj dan ikhtilathh. Jika yang halal dan yang haram bercampur dalam suatu even seperti ini, maka hukum akhirnya sebagai resultante (hukum final) adalah haram, sesuai kaidah fiqih sebagai berikut :

إِذَا اجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ غُلِّبَ الْحَرَامُ

“Jika yang halal bertemu dengan yang haram, maka dimenangkan hukum haramnya.” (Arab : idza [i]jtama’a al-ḥalālu wa al-ḥarāmu ghulliba al-ḥarāmu). (Imam Jalāluddīn al-Suyūṭiy, Al-Ashbāh wa al-Naẓā`ir, hlm. 105; Imam Ibnu Nujaym, Al-Ashbāh wa al-Naẓā`ir, hlm. 109; Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Al-Wajīz fī Ῑḍāh Qawā’id al-Fiqh al-Kulliyyah, hlm. 209; ‘Aliy Aḥmad al-Nadwiy, Al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, hlm. 309; Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Mausū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, 1/421).

Berdasarkan kaidah tersebut, berarti da’i yang berceramah dalam suatu even tersebut, sudah terjerumus ke dalam keharaman, karena ceramah yang dia lakukan bukanlah acara yang berdiri sendiri, atau sebagai acara tunggal, namun hanya sebagai bagian (the part of) dari gabungan acara-acara yang menjadi satu kesatuan even yang diselenggarakan. Kondisi yang ada akhirnya adalah percampuran antara yang halal dengan yang haram. Yang halal adalah ceramahnya si da’i, sedang yang haram adalah rangkaian acara-acara hiburan yang ada, bisa saja sebelum atau sesudah ceramahnya si da’i, yang menampilkan aurat dalam nyanyian dan tarian, juga terjadinya tabarruj dan ikhtilath. Dan sesuai kaidah fiqih yang kami sebut di atas, maka hukum akhirnya adalah hukum haram untuk even tersebut secara keseluruhan, termasuk kedatangan dan kegiatan ceramah yang dilakukan oleh si da’i.

Kaidah fiqih yang kami sampaikan tersebut merupakan kaidah fiqih yang masyhur yang terdapat di dalam berbagai kitab ushul fiqih, sebagaimana kami sebutkan juga di atas kitab-kitab ushul fiqh sebagai marāji’ yang memuatnya. Dan jika kita memperhatikan contoh-contoh dari para ulama mengenai aplikasi dari kaidah fiqih itu, akan terdapat dugaan kuat (ghalabat al-ẓẓann) bahwa kaidah fiqih tersebut memang merupakan kaidah yang tepat atau cocok untuk menghukumi kegiatan da’i dan even hiburan yang ditanyakan.

Mari kita lihat beberapa contoh aplikasi dari kaidah fiqih tersebut, yang kami ambil dari kitab Qā’idah Idzā Ijtama’a al-Ḥalālu wa al-Ḥarāmu Ghulliba al-Ḥarāmu karya Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Sarāh. (Lihat Ahmad bin Muhammad Al-Sarāh, Qā’idah Idzā Ijtama’a al-Ḥalālu wa al-Ḥarāmu Ghulliba al-Ḥarāmu, Riyāḍ : Dār al-Shamīmīy, Cetakan I, tahun 1436 H).

Contoh pertama, jika ada hewan yang dilahirkan dari kawin silang antara hewan yang halal dimakan, dengan hewan yang haram dimakan, seperti baghal (peranakan hasil perkawinan silang antara kuda dan keledai), maka baghal itu haram dimakan.

Contoh kedua, jika ada hewan yang dilahirkan dari hewan liar (wahsyi) dan hewan tidak liar (ghairu wahsyi), maka hewan peranakan itu haram dimakan bagi orang yang berihram (yang sedang berumroh atau berhaji).

Contoh ketiga, jika bercampur daging-daging antara bangkai (yang haram dimakan) dengan sembelihan yang syar’i (yang halal dimakan), maka haram hukumnya memakan daging yang terdapat dalam campuran daging-daging itu.

Contoh keempat, jika orang muslim dan orang Majusi sama-sama berburu dan menyembelih binatang, maka haram hukumnya memakan hewan hasil buruan dan sembelihan tersebut.

Contoh kelima, jika bercampur baur dan tersamar istri dari seseorang dengan perempuan-perempuan yang lain di suatu kamar yang gelap, maka haram hukumnya seseorang (suami dari istri tersebut) menggauli salah satu dari perempuan-perempuan yang ada.

Demikian contoh-contoh dari kitab Qā’idah Idzā Ijtama’a al-Ḥalālu wa al-Ḥarāmu Ghulliba al-Ḥarāmu karya Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Sarāh. (lihat https://dorar.net/article/1862/قاعدة-إذا-اجتمع-الحلال-والحرام-غلب-الحرام).

Kami tambahkan dua contoh dari kitab karya Syekh Muhammad Shidqiy al-Būrnū, yang berjudul Mausū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah :

Contoh keenam, jika seseorang dalam berburu melepaskan dua anjing, yaitu anjing terlatih dengan anjing yang tidak terlatih, maka haram hukumnya memakan hewan buruan yang ditangkap oleh kedua anjing tersebut.

Contoh ketujuh, jika seorang laki-laki hendak menikah dengan seorang perempuan dari kampungnya, sementara di kampungnya itu ada beberapa perempuan yang kemungkinan menjadi mahramnya karena persusuan namun sudah sulit dilacak atau dibedakan lagi mana yang mahram dan mana yang bukan mahram karena persusuan, haram hukumnya laki-laki tersebut menikahi perempuan dari kampungnya itu. (Muhammad Shidqiy al-Būrnū, Mausū’ah al-Qawā’id al-Fiqhiyyah, 1/421-422).

Dari contoh-contoh tersebut, dapat tergambar kiranya dalam pemahaman kita, bagaimana menerapkan kaidah fiqih yang berbunyi :

إِذَا اجْتَمَعَ الْحَلاَلُ وَالْحَرَامُ غُلِّبَ الْحَرَامُ

“Jika yang halal bertemu dengan yang haram, maka dimenangkan hukum haramnya.”

Berdasarkan kaidah fiqih dan contoh-contoh aplikasinya tersebut, kiranya cukup tepat jika kaidah tersebut dapat diterapkan juga untuk kasus seorang da’i yang berceramah dalam suatu even yang dalam rangkain acaranya mengandung hal-hal yang diharamkan syariah, seperti menampilkan aurat dalam nyanyian dan tarian, juga terjadinya tabarruj dan ikhtilath di antara peserta even.

Dapat kami tambahkan, bahwa andaikata da’i tersebut berniat baik untuk menyampaikan dakwah, maka niat yang baik tersebut tetap tidak dapat membenarkan hal-hal yang diharamkan, termasuk juga tidak dapat membenarkan kedatangan si da’i tersebut dalam even yang mengandung keharaman-keharaman tersebut. Dasarnya adalah kaidah fiqih :

اَلنِّيَّةُ الْحَسَنَةُ لَا تُبَرِّرُ الْحَرَامَ

“Al-niyyat al-ḥasanah lā tubarrir al-ḥarām” (niat yang baik tidak dapat membenarkan yang haram, Eng : The good will does not justify the unlawful). (Yūsuf al-Qaraḍāwiy, Al-Ḥalāl wa al-Ḥarām fī al-Islām, hlm. 33).

Mengenai membuat kepanitiaan bersama dengan pihak lain untuk menyelenggarakan even hiburan yang mengandung berbagai keharaman, hukumnya juga haram, berdasarkan dalil Al-Qur`an yang melarang kerjasama atau tolong menolong dalam dosa, sesuai firman Allah SWT :

وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS Al-Ma`idah [5] : 2).

Yang terakhir, mengenai uslūb (cara) dalam dakwah, maka kaidahnya adalah carilah cara (uslūb) yang dihalalkan syariah, bukan uslūb yang haram, atau uslūb yang halal tetapi berpotensi kuat dapat membawa kepada yang diharamkan. (Aḥmad Al-Maḥmūd, Al-Da’wah Ilā al-Islām, hlm. 36).

Tidak diperbolehkan berdakwah dengan menggunakan cara-cara (uslūb) yang diharamkan syariah. Misalnya, berdakwah kepada para peminum khamr dan pemabok dengan mendatangi majelis-majelis mereka yang dihidangkan khamr di situ atau bahkan turut menenggak khamr di tempat itu; atau berdakwah kepada para pelacur (PSK) di tempat-tempat pelacuran atau lokalisasi mereka; atau berdakwah kepada para penjudi di tempat-tempat perjudian mereka seperti kasino-kasino; berdakwah kepada kaum LGBT (la’natullāhi ‘alayhim, semoga Allah mengutuk mereka) pada saat ada even-even mereka, seperti pawai Gay Pride; atau berdakwah kepada kaum muda yang fanatik pada budaya K-Pop (budaya pop Korea), dengan berceramah dalam suatu even yang di situ terdapat berbagai penyimpangan syariah seperti ikhtilath, tabarruj, menampakkan aurat, dan sebagainya. Semua cara-cara yang diharamkan seperti ini tidak boleh ditempuh dalam berdakwah, walaupun tujuannya baik, yaitu menyampaikan dakwah Islam, karena Islam menolak dengan tegas kaidah yang umum dalam Peradaban Barat, yaitu “tujuan dapat menghalalkan segala cara” (the end justifies the means) ala Niccolo Machiaveli (w. 1527) dalam bukunya Il Principe (Sang Penguasa).

Imam Taqiyuddin An-Nabhani, raḥimahullāh, menegaskan suatu kaidah fiqih yang sebaliknya, yang menjadi ciri khas Peradaban Islam, yang berbunyi :

اَلْغَايَةُ لَا تُبَرِّرُ الْوَاسِطَةَ

“Al-ghāyah lā tubarrir al-wāsiṭah” (tujuan tidak dapat membenarkan segala macam cara, Eng : the end does not justify the means). (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Al-Dustūr, Juz II, hlm. 181).

Kaidah fiqih yang semakna dikemukakan juga oleh Syekh Ahmad al-Mahmud dalam kitabnya Al-Da’wah Ilā al-Islām :

لاَ يُتَوَصَّلُ إِلىَ الْحَلاَلِ بِالْحَرَامِ

“Lā yutawaṣṣalu ilā al-halāl bi al-harām”, (tidak boleh meraih yang halal melalui cara yang haram, Eng : it is not permissible to reach the halal by the haram). (Aḥmad Al-Maḥmūd, Al-Da’wah Ilā al-Islām, hlm. 101).

Demikianlah jawaban kami, semoga Allah memberikan hidayah dan taufik-Nya kepada kita semua. Āmīn.

Yogyakarta, 5 Januari 2023

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fikih Muamalah 

Selasa, 27 Desember 2022

HUKUM MENAIKKAN PEMBIAYAAN KBM (KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR) BAGI SEKOLAH SWASTA

Tinta Media - Tanya :
Ustadz, afwan mohon pencerahannya. Kami di sebuah sekolah Islam swasta sedang membahas pembiayaan KBM (Kegiatan Belajar Mengajar), yaitu ada perubahan (penambahan/naik) di semester genap. Sementara dalam aqad awal sudah disosialisasikan untuk pembiayaan selama 1 tahun. Mohon penjelasan dalam tinjauan fiqh boleh tidaknya ada kenaikan pembiayaan KBM tersebut. Syukron atas jawabannya. (Edi Sukmayadi, Bogor).

Jawab :

Jika di antara pihak sekolah dan orang tua murid sudah terdapat kesepakatan (akad) mengenai besarnya pembiayaan KBM selama 1 tahun (atau dua semester), maka besarnya pembiayaan tersebut bersifat mengikat (mulzim) bagi kedua belah pihak, dalam jangka waktu yang sudah disepakati, yaitu 1 tahun atau 2 semester.

Dengan demikian, tidak boleh ada penaikan besarnya pembiayaan tersebut oleh pihak sekolah yang sifatnya sepihak. Jika sekolah hendak menaikkan pembiayaan KBM sedangkan pihak orang tua murid tidak menyetujuinya, maka pihak sekolah tidak boleh memaksakan kehendaknya secara sepihak, dan wajib menerima terjadinya kerugian dalam pembiayaan sebagai suatu risiko yang wajar dari suatu akad komersial (al-mu’awadhat / al-tijarah) dalam muamalah, yaitu dalam hal ini akad ijarah dalam bidang pendidikan.

Hadits Nabi SAW yang juga sekaligus kaidah fiqih dalam masalah ini menetapkan :

الخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

Al-Kharaaj bi al-dhamaan (keuntungan itu diperoleh dengan diimbangi kesediaan menerima risiko/kerugian). (Eng : no gain without risk). (HR Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Hadits ini dinilai shahih oleh Imam Tirmidzi).

Adapun jika pihak sekolah dapat meyakinkan orang tua murid mengenai perlunya kenaikan pembiayaan KBM, disertai penjelasan alasan-alasannya yang rasional dengan berbagai manfaatnya, lalu para orang tua ridho dengan kenaikan itu tanpa ada keterpaksaan, maka dalam kondisi demikian ini boleh hukumnya pihak sekolah menaikkan besarnya pembiayaan KBM.

Yang demikian itu dikarenakan berbagai muamalah dalam Islam itu telah mewajibkan keridhoan di antara dua pihak yang bermuamalah, sesuai firman Allah Ta’ala :

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ اِلَّآ اَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ ۗ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar secara syariah), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka (saling ridho) di antara kamu.” (QS An-Nisa’ : 29).

Demikian jawaban kami.

Yogyakarta, 22 Desember 2022

Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Pakar Fikih Muamalah 

Sumber:
https://shiddiqaljawi.id/hukum-menaikkan-pembiayaan-kbm-kegiatan-belajar-mengajar-bagi-sekolah-swasta/

Jumat, 16 September 2022

Ini Penjelasan Khalwat yang Diharamkan...

Tinta Media - Menjawab pertanyaan tentang khalwat, Mudir Ma’had Khodimus Sunnah Bandung Ajengan Yuana Ryan Tresna (YRT) menjelaskan khalwat yang diharamkan.

“Pertama, berduaan laki-laki dan perempuan bukan mahram di tempat khusus, seperti rumah. Kedua berduaan laki-laki dan perempuan di tempat umum, seperti jalan, namun dengan menyepi dan tertutup dari pandangan manusia yang lain,” jelasnya kepada Tinta Media, Kamis (15/9/2022).

YRT mengatakan, namun jika laki-laki dan perempuan bukan mahram bertemu di jalan lalu ngobrol, namun tidak sampai menyepi dan terbuka dari pandangan manusia, maka itu bukan khalwat yang diharamkan.

“Namun pada kondisi tersebut  ada hukum lain, yaitu hukum pertemuan dan interaksi. Jika interaksi dalam perkara yang tidak syar'i dan berbicara perkara yang tidak dibenarkan syariat, seperti ngobrol soal pribadi, maka itu haram,” tegasnya. 

Jika komunikasi dalam perkara yang dibenarkan syariat, jelas YRT, seperti soal pekerjaan, dan sifatnya secukupnya dibatas pada perkara itu saja, maka boleh.

“Jawaban saya di atas di dasarkan pada riwayat dari Anas bin Malik, dimana beliau berkata,
 
جاءت امرأة من الأنصار إلى النبي صلى الله عليه وسلم فخلا بها فقال والله إنكم لأحب الناس إلي
 
“Datang seorang wanita dari kaum Anshar kepada Nabi Saw. lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkhalwat dengannya, lalu Nabi Saw. berkata, ‘Demi Allah kalian (kaum Anshar) adalah orang-orang yang paling aku cintai.'” (HR. Al-Bukhari no. 5234, Kitabun Nikah)
 
Imam Al-Bukhari memberi judul hadis ini dengan perkataannya,

 باب ما يجوز أن يخلو الرجل بالمرأة عند الناس

Bab dibolehkannya seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita jika di hadapan khalayak,” bebernya.
 
YRT mengutip juga perkataan Ibnu Hajar, “Imam Al-Bukhari menyimpulkan hukum (dalam judul tersebut dengan perkataannya) “di hadapan khalayak” dari perkataan Anas bin Malik dari riwayat yang lain, “Maka Nabi pun berkhalwat dengannya di sebagian jalan atau sebagian السكك (sukak).” Dan السكك, adalah jalan digunakan untuk berjalan yang biasanya selalu dilewati manusia.”
 
“Penggunaan kata khalwat dalam riwayat hadis tersebut adalah dalam makna bahasanya, yakni berduaan. Namun bukan termasuk yang diharamkan karena tidak menyepi dari pandangan manusia dan hal yang dibicarakan adalah terkait pendidikan dan nasihat,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun
 
 
 
 

Kamis, 01 September 2022

HUKUM MENGHADIRI WALIMAH TANPA DIUNDANG

Tinta Media - Tanya :
Ustadz, bolehkah seseorang datang ke walimah tanpa diundang? (Saiful, Jogjakarta).

Jawab :
Haram hukumnya seorang muslim datang ke walimah seperti walimah nikah (walîmatul ‘urs) atau walimah-walimah lainnya seperti walîmatul khitân, walîmatus safar, dan berbagai hajatan lainnya yang pada pokoknya termasuk dalam undangan makan-makan (walîmah) jika dia tidak diundang. Hal ini karena orang yang datang tanpa undangan itu telah memakan makanan milik pihak pengundang tanpa seizin dia. Kecuali jika pihak pengundang itu ridho dan mengizinkan, maka hukumnya tidak mengapa.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Tuhfatul Muhtâj fi Syarh al-Minhâj berkata : 

وَعُلِمَ مِمَّا تَقَرَّرَ أَنَّهُ يَحْرُمُ اَلْتَّطَفُّلُ وَهُوَ الدُّخولُ إِلَى مَحَلِّ الغَيْرِ لِتَنَاوُلِ طَعامِهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ وَلَا عُلِمَ رِضَاه أَوْ ظَنُّهُ بِقَرينَةٍ مُعْتَبَرَةٍ بَلْ يُفَسَّقُ بِهَذَا إِنْ تَكَرَّرَ مِنْهُ 

“Telah diketahui dari pengetahuan yang sudah tetap, bahwa haram hukumnya melakukan at-tathofful (menyusup), yaitu masuk ke tempat orang lain untuk memakan makanan yang ada di tempat itu tanpa seizin pemiliknya dalam keadaan tak diketahui keridhoan pemiliknya atau tak diketahui dugaan keridhoannya dia berdasarkan petunjuk (qarînah) yang diakui. Bahkan penyusup itu difasikkan dengan perbuatan itu jika dia melakukan perbuatan ini secara berulang-ulang.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj fî Syarh al-Minhâj, Juz 9, hlm. 472).

Perbuatan mendatangi undangan walimah tanpa diundang dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah at-tathafful (اَلْتَّطَفُّلُ) yang secara bahasa bermakna “penyusupan”, dan orangnya disebut ath-thufaili (اَلطُّفَيْلِيّ) atau “penyusup” (Inggris : intruder) dinisbatkan (dikaitkan) dengan orang yang bernama Ath-Thufail bin Bani Abdullah bin Al-Ghathafân, orang dari kota Kufah (Irak) yang sering datang untuk makan-makan di suatu walimah padahal dia tidak diundang. (Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bârî Syarah Shahîh Al-Bukhârî, Juz 9, hlm. 470; Rawwâs Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat Al-Fuqohâ`, hlm. 262).

Keharaman mendatangi undangan walimah tanpa undangan ini didasarkan pada beberapa hadis Nabi SAW. Dalam kitab Sunan Abu Dawud, diriwayatkan bahwa Nabi SAW telah bersabda :

مَنْ دُعِيَ فَلَمْ يُجِبْ ، فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسولَهُ ، وَمَن دَخَلَ عَلَى غَيْرِ دَعْوَةٍ ، دَخَلَ سَارِقًا ، وَخَرَجَ مُغِيْرًا

“Barangsiapa yang diundang (untuk menghadiri walimah) namun dia tidak datang, maka sungguh dia telah durhaka (tidak taat) kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang masuk (ke suatu walimah) tanpa undangan, sungguh dia telah masuk sebagai pencuri, dan keluar sebagai perampas.” (HR Abu Dawud, no. 3741).

Namun hadits ini dinilai lemah (dhaif) oleh para ulama karena dalam sanad hadits ini terdapat seorang periwayat hadits yang bernama Abbân bin Thâriq, yang dinilai sebagai periwayat hadits yang tidak diketahui identitasnya (syaikh majhûl). (Imam Syaukani, Nailul Authâr, hlm. 1296).

Namun walaupun hadits tersebut lemah, makna yang terkandung dalam hadits ini, yaitu adanya “larangan mendatangi walimah tanpa undangan”merupakan makna yang shahih yang dapat disandarkan pada hadits-hadits lain yang shahih. Dalam Shahih Al-Bukhâri terdapat hadits dari Abu Mas’ûd Al-Anshâri RA berikut ini :

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ كَانَ مِنْ الْأَنْصَارِ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو شُعَيْبٍ وَكَانَ لَهُ غُلَامٌ لَحَّامٌ فَقَالَ اصْنَعْ لِي طَعَامًا أَدْعُو رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَدَعَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَامِسَ خَمْسَةٍ فَتَبِعَهُمْ رَجُلٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ دَعَوْتَنَا خَامِسَ خَمْسَةٍ وَهَذَا رَجُلٌ قَدْ تَبِعَنَا فَإِنْ شِئْتَ أَذِنْتَ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ تَرَكْتَهُ قَالَ بَلْ أَذِنْتُ لَهُ

Dari Abu Mas’ûd Al-Anshâri RA, dia berkata,”Ada seorang laki-laki yang bernama Abu Syu’aib dari kalangan Anshar, ia mempunyai seorang budak yang pandai memasak daging, ia lalu berkata kepada budaknya,’Buatlah makanan, aku ingin mengundang Rasulullah SAW dengan menyiapkan lima porsi.’ Dia lalu mengundang Rasulullah SAW dengan menyiapkan lima porsi tersebut. Lalu ada seorang laki-laki yang mengikuti Rasulullah SAW, maka Rasulullah SAW pun bersabda,’Engkau mengundang kami dengan lima porsi, padahal ini ada seorang laki-laki (lain) yang ingin ikut bersama saya. Sekarang terserah kamu, kamu memberi izin kepada dia atau tidak.’ Abu Syu’aib menjawab,’Aku memberinya izin.’ (HR Bukhari, no. 5014).

Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani menjelaskan hadits tersebut dengan berkata :

وَأَنَّ مَنْ تَطَفُّلَ فِي الدَّعْوَةِ كَانَ لِصَاحِبِ الدَّعْوَةِ الِاخْتيارُ فِي حِرْمانِهِ فَإِنْ دَخَلَ بِغَيْرِ إِذْنِهِ كَانَ لَهُ إِخْراجُهُ

“(Dalam hadits ini terdapat dalil) bahwa barangsiapa yang menyusup dalam suatu undangan walimah, maka pihak pengundang berhak memilih untuk mencegah penyusup itu. Jika penyusup itu kemudian masuk tanpa seizin pihak pengundang, maka pihak pengundang berhak mengusirnya.” (Imam Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bârî Syarah Shahîh Al-Bukhârî, Juz 9, hlm. 470).

Berdasarkan penjelasan dalil-dalil tersebut, jelaslah bahwa haram hukumnya seseorang masuk ke tempat walimah untuk memakan makanan tanpa seizin pihak pengundang. Kecuali pengundangnya kemudian ridho berdasarkan petunjuk-petunjuk (qarînah) yang ada. Misalnya pengundangnya mengetahui kehadiran penyusup itu dan diam saja tanpa menunjukkan kemarahan karena yang datang itu ternyata saudaranya, atau sahabatnya. Atau pihak pengundang hanya tersenyum, atau dengan jelas pengundang berkata kepada orang itu,”Silahkan, silahkan,” dan sebagainya yang intinya menjadi petunjuk (qarînah) yang menunjukkan keridhoan pengundang. Wallâhu a’lam.

Yogyakarta, 28 Agustus 2022

KH M. Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fikih Kontemporer 


Referensi:
https://shiddiqaljawi.id/hukum-menghadiri-walimah-tanpa-undangan/

Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab