Tinta Media: Rakyat
Tampilkan postingan dengan label Rakyat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rakyat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Maret 2024

Harga Beras Tembus Rekor, Rakyat Makin Tekor



Tinta Media - Tidak lama lagi kaum muslimin akan menyambut bulan suci Ramadan, bulan istimewa yang paling ditunggu karena hari-harinya akan berlimpahan pahala dari Allah Swt. Namun, ada fenomena yang juga sering terjadi menjelang momen-momen penting seperti ini, yaitu meroketnya harga kebutuhan pokok masyarakat. Ini seakan sudah menjadi hal lumrah terjadi, khususnya di Indonesia. 

Sebagaimana yang terjadi saat ini, harga beras di pasaran meroket tajam. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat melakukan sidak (inspeksi mendadak) di pasar tradisional Cihapit Bandung dan Griya Pahlawan Bandung mendapati adanya kenaikan harga pada komoditas gula konsumsi, beras serta cabai merah keriting.

Hasil dari sidak tersebut ditemukan kenaikan harga pada komoditas beras premium sebesar 21,58% menjadi Rp 16.900/kg. Sementara, HET beras premium sebesar Rp13.900/kg sebagaimana telah ditetapkan oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas). Sedangkan beras medium mengalami kenaikan sebesar 28,44% dari HET sebesar Rp10.900/kg menjadi Rp14.000/kg. (Katadata co.id/ 11-2-24)

Setahun terakhir ini, harga beras memang mengalami kenaikan, Bahkan di tahun 2023 nyaris mencapai 20%.  Mahalnya beras tentu menyusahkan setiap orang karena beras adalah salah satu kebutuhan pokok rakyat, sehingga keberadaan beras sangat urgen untuk didapatkan. Dengan kenaikan harga beras ini, rakyat semakin sulit memiliki, khususnya bagi kalangan menengah ke bawah. Kenapa kenaikan harga ini sering terjadi?

Rusaknya Rantai Distribusi

Salah satu penyebab terus melonjaknya harga beras adalah rusaknya rantai distribusi beras yang hari ini dikuasai oleh sejumlah pengusaha (ritel). Akhirnya, sejumlah pengusaha ritel inilah yang menguasai produksi kebutuhan pokok rakyat. 

Dengan mudahnya, pengusaha ritel mempermainkan harga di pasaran. Apalagi, perusahaan besar telah memonopoli gabah dari petani, sehingga mampu membeli gabah dari petani dengan harga yang tinggi. Sementara, penggilingan padi kecil tidak berkesempatan untuk mendapatkan gabah sehingga harus gulung tikar. 

Tidak hanya di sektor hulu, ternyata sektor hilir pun telah dikuasai oleh perusahaan besar ini. Dengan modal besar yang dimiliki, mereka mampu memiliki teknologi canggih. Alhasil, kualitas beras yang dihasilkan ada di tingkat premium. Sementara penggilingan padi kecil hanya mampu menghasilkan beras kualitas medium.

Hal ini pun semakin diperparah dengan adanya larangan  bagi petani untuk menjual langsung ke konsumen. Dengan panjangnya rantai distribusi, maka harga beras tak kunjung turun. Lantas, apakah dengan tingginya harga beras ini justru menjadikan petani bisa bernapas lega? 

Nyatanya, tidak. Justru para petani banyak mengalami impitan. Para petani sulit mendapatkan saprotan, kepemilikan lahan yang minim, dan harga jual panen yang tidak menguntungkan.

Hilangnya Peran Negara

Beras sebagai kebutuhan pokok merupakan salah satu komoditas strategis sehingga wajib dikelola oleh negara, termasuk distribusinya. Memang, negara sudah melakukan upaya dengan banyaknya program yang dilakukan. Di antaranya melalui penetapan harga, operasi pasar, pendistribusian beras SPHP, hingga bantuan sosial berupa beras 10 kg per keluarga. Hanya saja, apa yang dilakukan oleh pemerintah tidak mampu memengaruhi turunnya harga beras. Sebab, apa yang dilakukan tersebut hanya masalah teknis yang tidak menyentuh pada akar permasalahan. 

Jika kita mengamati lebih mendalam, sebenarnya penyebab utama dari kenaikan harga beras ini adalah akibat penerapan sistem politik pangan ala kapitalistik neoliberal. Peran negara tidak lain hanya sebagai fasilitator dan regulator semata. Sementara, pengurusan urusan rakyat diserahkan kepada korporasi yang berorientasi pada bisnis dengan mencari keuntungan.

Ekonomi kapitalistik ini pun mengusung paham kebebasan dan mekanisme pasar bebas. Wajar jika banyak bermunculan korporasi-korporasi yang bermodalkan besar dan mengalahkan perusahaan kecil yang mayoritas dimiliki rakyat dengan modal tidak besar. 

Inilah yang menjadikan korporasi bermodal besar mampu menguasai berbagai sektor, mulai dari produksi, distribusi, konsumsi, bahkan importasi. Korporasi seperti ini pula yang akhirnya memainkan peran sesungguhnya dalam mengambil kendali pasokan pangan dan harga pasar. Penerapan sistem seperti ini telah melahirkan pemerintahan lemah dan kehilangan perannya sebagai pengurus urusan rakyat. 

Sungguh, negara telah abai terhadap kepentingan rakyat. Negara dalam sistem ekonomi kapitalistik yang didukung oleh sistem politik demokrasi justru lebih mengutamakan kepentingan korporasi dengan memudahkan regulasi untuk mereka. Sementara, rakyat hanya mendapatkan 'remah-remah' dan hidup dalam perekonomian yang semakin hari makin 'tekor'. Jelas sistem seperti ini tidak layak untuk dipertahankan. Sudah saatnya beralih kepada sistem yang lebih menjanjikan untuk kesejahteraan bagi seluruh individu masyarakat.

Politik Pangan Islam

Politik pangan Islam jelas berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis. Tujuan politik ekonomi Islam adalah untuk menjamin kebutuhan pokok bagi seluruh individu rakyat, tidak terkecuali muslim maupun nonmuslim. 

Islam dalam naungan negara Islam (Khilafah) menjadikan pemenuhan kebutuhan pokok sebagai satu kewajiban bagi negara. Untuk itulah negara akan memastikan terpenuhi kebutuhannya masyarakat, 
individu per individu.

Sebab, negara dalam Islam adalah raa'in (pelayan) dan penanggung jawab atas urusan rakyat, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya: 

“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Maka dari itu, haram hukumnya bagi negara menyerahkan urusan rakyat kepada korporasi, sebab bertentangan dengan aturan Islam.

Politik pangan Islam akan menjamin ketersediaan pasokan pangan dan kestabilan harga. Sebab itu, negara akan hadir dalam pelaksanaan produksi, distribusi, dan konsumsi. 

Dalam hal produksi, negara akan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Hal ini juga akan terwujud dengan adanya penerapan hukum pertanahan yang menjamin lahan pertanian untuk berproduksi dengan optimal dan kepemilikan yang jelas. 

Negara juga akan memberikan bantuan pertanian kepada rakyat, mulai dari lahan, modal, saprotan, bahkan teknologi yang dibutuhkan agar bisa mengelola pertanian dengan optimal.

Khilafah akan memperhatikan  setiap rakyat dan menelaah adanya bantuan dari negara karena perannya sebagai pelindung semua rakyat dengan memastikan bahwa tidak ada satu pun individu rakyat yang tidak mendapatkan akses untuk memenuhi kebutuhan pokok. Ini sebagaimana peristiwa mahsyur pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang memanggul sendiri gandum untuk sebuah keluarga yang didapati tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok.

Dalam aspek distribusi, negara akan mengawasi praktik perdagangan dan pembentukan harga yang wajar. Islam mengatur perdagangan dalam negeri, termasuk beras. Negara membiarkan harga ditetapkan oleh permintaan dan penawaran di pasar. Islam juga melarang adanya praktik monopoli dan menimbun beras atau komoditas lainnya, melarang praktkk tengkulak, kartel dan riba. 

Untuk bisa mewujudkan ini semua, negara akan mengangkat Qadhi Hisbah untuk melakukan pengawasan secara langsung, serta penegakan hukum secara tegas dan menimbulkan efek jera.

Begitulah politik pangan Islam yang akan mampu mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan, baik bagi para petani ataupun rakyat secara keseluruhan. Negara Islam akan lahir sebagai institusi yang melindungi rakyat dan berusaha sungguh-sungguh memenuhi kebutuhan pokoknya. Wallahu alam bishawab []


Oleh: Harne Tsabbita 
(Aktivis Muslimah)

Selasa, 05 Maret 2024

Biaya Hidup Menggila, Derita Rakyat Semakin Bertambah



Tinta Media - Miris dan sedih, inilah gambaran perasaan yang rakyat saat ini. Bagaimana tidak, negara yang kaya akan sumber daya alam, lahan pertanian yang subur, lautan yang luas, dan berbagai kekayaan alam lainnya tidak bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyat. Yang ada, justru beban rakyat semakin tinggi dan derita rakyat pun semakin bertambah. Betapa sedih, di tengah kekayaan alam yang melimpah, terdapat banyak rakyat yang meronta-ronta dalam kesulitan.

Baru-baru ini, masyarakat dihadapkan pada kenaikan harga beras yang melambung tinggi. Padahal, beras adalah bahan pokok utama yang begitu dibutuhkan oleh seluruh masyarakat. Tidak lama, kenaikan itu diikuti pula dengan tingginya harga bahan-bahan pokok yang lain, seperti telur, cabai, dan sebagainya. 

Di tengah mahalnya harga bahan-bahan pokok, masyarakat pun kembali dikejutkan dengan kabar naiknya tarif listrik mulai Maret 2024. Penyesuaian tarif tenaga listrik memang dilakukan setiap tiga bulan. Adapun beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam penetapan tarif listrik adalah nilai tukar mata uang dollar AS terhadap mata uang rupiah (kurs), Indonesian Crude Price, Inflasi dan/atau harga batu bara acuan. (kompas.com, Jumat 23/02/2024).

Listrik sebagai sumber energi, seharusnya diberikan dengan harga murah atau gratis. Negara seharusnya mengelola sendiri kebutuhan energi rakyat. Sayangnya, hari ini pasokan listrik PLN juga tergantung pada pasokan swasta, sementara swasta orientasinya adalah keuntungan. Maka, sudah pasti inilah salah satu faktor yang membuat naiknya tarif listrik.

Naiknya tarif listrik di saat harga pangan naik jelas akan menambah derita rakyat. Apalagi, saat ini juga marak adanya PHK sehingga kehidupan rakyat semakin sulit. 

Dalam sistem kapitalisme, negara tidak berperan sebagai raa'in sehingga rakyat dibiarkan berjuang sendirian untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, kalaupun ada subsidi, sejatinya hanya sekadar tambal sulam, tidak menjamin terpenuhinya kebutuhan rakyat.

Ini berbeda dengan sistem Islam. Islam menjadikan negara sebagai raa'in (pengurus) yang akan menjamin kesejahteraan rakyat dengan berbagai mekanisme sesuai dengan sistem ekonomi islam. 

Negara juga akan menjamin terpenuhinya energi melalui pengelolaan sumber daya alam secara mandiri, tidak bergantung kepada negara lain. Hasilnya dikembalikan kepada rakyat dengan harga murah, bahkan gratis. 

Dalam Islam, negara benar-benar menjamin kebutuhan pokok rakyat individu per individu, karena tugas negara adalah melayani rakyat dengan sebaik-baiknya.

Demikianlah, betapa indahnya hidup dalam naungan Islam. Khilafah benar-benar menunaikan tugasnya sebagai raa'in bagi rakyat, sehingga berbagai kesulitan yang menimpa saat ini akan tuntas dengan sempurna. Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Agustriany Suangga
Sahabat Tinta Media

Minggu, 03 Maret 2024

Tarif Dasar Listrik Ikut Naik, Hidup Rakyat Kian Sulit



Tinta Media - Lagi-lagi rakyat yang harus menanggung beban dari rusaknya sistem yang di pakai negeri kita saat ini. Ibarat "Sudah jatuh tertimpa tangga". Sebelumnya harga kebutuhan pokok yang merangkak naik, terutama harga beras yang terus saja naik itu sudah menjadi beban hidup bagi rakyat. Dan sekarang akan di tambah lagi dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang bisa di pastikan akan menambah penderitaan bagi rakyat. Apalagi rakyat yang hidup di kalangan menengah ke bawah. Tentu saja kian hari kian terasa betapa sulitnya hidup ini.

Pemerintah menegaskan tidak akan ada kenaikan TDL dan BBM hingga Juni 2024 itu setelah wacana kenaikan tarif listrik pada Maret mengemuka. Dan pada ketentuan Peraturan Menteri ESDM yang menyebutkan penyesuaian tarif dasar listrik bagi pelanggan nonsubsidi di lakukan setiap tiga bulan mengacu pada perubahan terhadap realisasi parameter ekonomi makro yakni kurs, inflasi serta Harga Batubara Acuan (HBA). Tapi apakah setelah bulan Juni TDL tidak akan naik ? Jika semua berpatokan pada penyesuaian setiap tiga bulan maka kebijakan menaikkan TDL atau tidaknya tidak bisa dipastikan apalagi dari pemerintah yang tidak menjamin.

Padahal kita tinggal di negara yang mempunyai sumber daya alam (SDA) yang sangat melimpah dan tentu saja kita juga punya sumber energi listrik yang melimpah juga. Tapi pada saat ini PLN harus memutar otak untuk mendapatkan pasokan batu bara dalam memenuhi kebutuhan sumber energi listrik, karena batu bara yang di keruk dari perut bumi Indonesia yang dikuasai / dikelola oleh swasta. Selain batu bara terdapat banyak sumber energi lain yang juga sama di kuasai oleh swasta.

Di dalam sistem kapitalis, SDA yang melimpah bisa di miliki satu individu asalkan dia memiliki modal. Kekayaan rakyat di perjual belikan sehingga rakyat yang terkena imbasnya. Semua ini akibat dari negara yang tidak melindungi SDA, dan malah membiarkannya di eksploitasi dan di swastanisasi atas nama liberalisasi. Padahal dengan keberlimpahan ini sebenarnya cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik setiap warga jika pengelolaannya benar yakni di kelola oleh negara lalu di salurkan kepada rakyat melalui PLN.

Berbeda hal jika aturan / sistem Islam yang di pakai. Di dalam Islam, listrik merupakan harta kepemilikan umum dan batu bara yang merupakan bahan pembangkit listrik tentu saja termasuk dalam barang tambang yang jumlahnya sangat besar maka haram hukumnya di kelola oleh individu atau swasta. Dan jika pengelolaan listrik berdasarkan syariat Islam maka rakyat dapat merasakan kekayaan alam yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan listrik dalam kehidupan sehari hari.

Selama kita berada dalam sistem ini maka selamanya rakyat akan menderita. Mari perjuangkan Islam agar kemaslahatan hidup kembali di rasakan oleh umat. Karena tidak ada solusi yang hakiki dari semua problematik kehidupan kecuali jika kembali diterapkannya Islam sebagai aturan hidup.

Wallahu a'lam bish shawwab


Oleh: Ummu Arkaan
Sahabat Tinta Media 

Harga Beras Makin Mengganas, Rakyat Semakin Melas



Tinta Media - Naiknya harga beras membuat ibu-ibu rumah tangga ketar-ketir, ditambah lagi dengan langkanya beras yang beredar di supermarket. Namun, stok cadangan beras akan dipastikan dalam kondisi aman hingga tiga bulan ke depan. Agar kenaikan tidak terlalu melambung, monitoring akan terus dilakukan ke sejumlah pasar oleh Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disperdagin) Kabupaten Bandung. Setelah monitoring ke beberapa pasar, harga beras naik di kisaran Rp16 ribu hingga Rp17 ribu perkilo. Hal ini disampaikan oleh Bupati Bandung Dadang Supriatna kepada wartawan di Jalan Raya Sapan Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Rabu (14/2/2024). 

Menurut Bupati Dadang Supriatna, kelangkaan beras diakibatkan karena langkanya produksi padi sehingga Bulog yang notabene sebagai penampung mengalami keterbatasan penyediaan beras. 

Sementara, Dicky Anugerah selaku Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Bandung mengatakan bahwa bantuan sebanyak 44 ribu ton yang per bulannya akan disalurkan oleh Perum Bulog Kanwil Jabar merupakan salah satu langkah yang diambil untuk mengatasi kelangkaan dan mahalnya harga beras di pasaran.

Beras merupakan salah satu dari makanan pokok masyarakat Indonesia. Karena itu, beras harus selalu ada. Dengan adanya kenaikan harga beras di tengah kondisi ekonomi yang semakin sulit, tentu saja hati rakyat sangat terpukul. Bukan hanya mahal, tetapi juga terjadi kelangkaan di beberapa supermarket.

Naiknya beras memang sangat dirasakan oleh sebagian masyarakat, terutama kalangan ekonomi rendah. Dengan penghasilan suami yang pas-pasan, seorang ibu rumah tangga tentu kesulitan mengatur keuangan. Belum lagi harga-harga kebutuhan lain yang juga mengalami kenaikan, terlebih menjelang datangnya bulan Ramadan. Kenaikan ini seolah sudah menjadi tradisi setiap menjelang bulan Ramadan. 

Kondisi ini sungguh sangat memilukan, mengingat negeri ini merupakan negeri agraris karena memiliki daerah lahan pertanian yang sangat subur dan luas. Namun, sebagian besar rakyat justru  menderita. Sebuah pertanyaan yang menggelitik bagi kita, kenapa bisa seperti itu? Semua harus diuraikan sebab atau akar masalahnya agar bisa terlihat jelas penyebabnya. 

Sebenarnya, penyebab kelangkaan dan mahalnya harga beras bukan karena langkanya produksi padi sehingga persediaan di Bulog menipis. Lagi pula, pemerintah juga rajin melakukan impor beras, tetapi beras tetap mahal dan langka. Ke manakah larinya beras-beras tersebut? Pertanyaan itu sering kali muncul di tengah masyarakat. 

Ada juga bansos yang katanya sebagai solusi dari pemerintah. Faktanya, tidak semua orang mendapatkannya. Bahkan, warga yang seharusnya mendapatkan, justru tidak mendapatkan bansos. Dampak dari pemberian bansos yang sering dirasakan adalah adanya kecemburuan sosial di masyarakat. 

Karena itu, kita harus melek dengan sistem yang diterapkan saat ini, yaitu sistem demokrasi kapitalis. Dalam sistem ini, asas kebebasan dan manfaat menjadi hal yang biasa dan diagungkan. Maka, wajar jika terjadi kesemrawutan seperti sekarang. 

Pengelolaan lahan secara brutal yang dilakukan oleh para kapitalis telah merenggut dan mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi lahan industri. Karena itu, lahan pertanian menjadi semakin sempit sehingga hasilnya pun semakin sedikit.

Di samping itu, distribusi beras juga menjadi salah satu penyebabnya. Rusaknya distribusi beras terjadi karena dikuasai oleh perusahaan bermodal besar. Adanya monopoli pasar mengakibatkan para pemilik perusahaan besar bisa dengan mudah memainkan harga. Hal itu sangat wajar terjadi di sistem kapitalis. 

Intinya, dari hulu hingga hilir sudah dikuasai dan dikendalikan oleh para kapitalis. Rakyat tetap menjadi korban dari semua kebijakan dan permainan pasar yang dikendalikan oleh perusahaan berduit. Itulah bukti kegagalan sistem  kapitalistik neoliberal buah dari sistem demokrasi.

Jadi, bansos dan berbagai upaya seperti bantuan beras setiap bulan bukanlah sebuah solusi yang mendasar dan tidak bisa menyelesaikan masalah secara tuntas. Itu hanyalah sebuah solusi pragmatis yang justru akan menimbulkan masalah baru.

Akan berbeda jika pengelolaan diatur oleh syariat Islam. Beras adalah keperluan hidup orang banyak yang wajib dipenuhi oleh negara. Begitu juga dalam hal sandang dan papan. 

Negara sangat memperhatikan kebutuhan pokok masyarakat, terutama beras. Kepala negara dalam hal ini adalah khalifah akan memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat hingga betul-betul sampai ke tangan rakyat karena sudah menjadi kewajibannya. Dalam Islam, pemimpin adalah pengurus urusan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt.

Islam adalah aturan yang sempurna. Islam mengatur semua hal sektor hulu hingga hilir. Untuk masalah beras, di sektor hulu negara menyediakan pupuk, bibit unggul, dan menyediakan lahan pertanian untuk diolah oleh petani. 

Sementara, di sektor hilir, negara mengatur distribusi yang baik, melarang penimbunan barang dan monopoli sehingga sangat sedikit kemungkinan adanya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh segelintir orang. 

Selain itu, adanya sanksi yang tegas juga akan membuat masyarakat takut ketika akan berbuat curang. Ini akan meminimalisir terjadinya korupsi sehingga rakyat pun aman dan terjamin kebutuhan pokoknya. Itulah solusi tuntas yang ditawarkan Islam sebagai aturan pemecah problematika kehidupan. Semua akan terwujud hanya dalam sebuah negara yang menerapkan Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan. Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media

Sabtu, 02 Maret 2024

Harga Beras Naik, Rakyat Menjerit


Tinta Media - Harga beras yang terus naik dengan kenaikan yang sangat signifikan membuat masyarakat terus menjerit dan mengeluh karena bahan pokok utama sehari hari yang terus menerus naik. Sedangkan penghasilan tiap harinya enggak ada kenaikan bahkan tak sedikit yang berkurang dan juga kehilangan penghasilan. Akibatnya besar pasak daripada tiang. Sebuah keluarga yang biasanya uang seratus ribu bisa beli beras 10 kg sekarang ini hanya cukup untuk beli beras kurang lebih lima kg. Mereka harus putar otak agar keluarganya tetap bisa makan dengan berbagai cara.

Di balik kenaikan harga beras yang dialami sekarang ini, kita tidak bisa menyalahkan salah satu pihak saja. Tapi harus kembali ke pemikiran masing-masing, kadang masyarakat suka memandang sebelah mata kepada profesi seorang petani, yang kehidupan kesehariannya selalu bergelut dengan cangkul berlumur  lumpur dan berbalut baju yang penuh dengan tanah sawah dan kaki telanjang tanpa beralaskan sandal ataupun sepatu. Berbeda dengan memandang orang yang berpakaian perlente, berdasi, pakai tas bermerk dan bermobil mewah. Masyarakat selalu tersenyum lebar dan kepala mengangguk pertanda hormat. Padahal petani yang kucel sebenarnya yang lebih mulia dan berjasa. Karena dengan profesinya mereka tak kunjung lelah mengelola sawahnya sehingga menghasilkan hamparan padi yang menguning, merunduk berisi, yang membuat persediaan beras di pasar tidak kekurangan.

Berbeda dengan sistem sekarang yang digunakan adalah sistem kapitalis dengan sekularismenya yang liberal, tidak ada lagi sawah yang hijau. Tidak ada lagi pemandangan indah di kala padi menguning, tidak ada lagi cicitan burung di tengah sawah. Yang ada sekarang adalah kepulan asap yang membumbung tinggi dari cerobong-cerobong asap dari pabrik-pabrik, deretan perumahan-perumahan mewah yang notabenenya semua punya orang berduit.
Para petani kucel pemilik sawah tersebut telah menjual semua lahan suburnya pada mereka kaum penguasa dan oligarki, dengan di iming-imingi harga yang tinggi dan mereka para petani merasakan kaya mendadak dengan menjual lahan tersebut. Tapi cuma sesaat dengan seiring waktu uang tersebut habis karena enggak bisa mengembangkannya dan ujungnya jatuh miskin jadi pengangguran. Mereka kaum penguasa dan pengusaha bersorak menang dan menari di atas penderitaan orang lain.

Itulah jahat dan sadisnya sistem kapitalis sekularisme yang semuanya hanya mengutamakan kepentingan pribadi dan asas manfaat.

Dalam pandangan Islam semua urusan kehidupan diatur sesuai syariat Islam yang sesuai dengan hukum syara.
Lahan pertanian dikelola oleh para petani di bawah perlindungan negara. sawah-sawah digarap dengan bibit unggul dan pemeliharaan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi sehingga menghasilkan hasil yang memuaskan.
Harga beras di pasaran merata, rakyat makmur tidak ada yang kelaparan.
Pembangunan, sumber daya alam di kelola oleh negara demi kepentingan rakyat agar terciptanya negeri yang gemah ripah loh jinawi. Tidak ada lagi teriakan kenaikan beras yang bunyinya seperti kicauan burung yang lagi gacor. Semua masyarakat hidup tenteram, karena hanya dengan Islamlah semua permasalahan dapat dipecahkan.

Wallahu a'lam bish shawwab

Oleh: Ana Sholihah
Sahabat Tinta Media 

Minggu, 25 Februari 2024

Kebahagiaan Para Kades di Atas Penderitaan Rakyat



Tinta Media - Di tengah kondisi masyarakat yang semakin sulit akibat kenaikan harga bahan pokok, terutama harga beras yang semakin melambung Massa Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia menggelar unjuk rasa. Unjuk rasa tersebut  terkait tuntutan revisi  Undang-Undang Desa di DPR RI, pada hari Selasa (6/2/2024). Poin pentingnya adat perpanjangan jabatan kades menjadi 8 tahun dan bisa 2 periode. 

Menurut Dedi Bram, Ketua Apdesi Kabupaten Bandung, tuntutan revisi Undang-Undang Desa No 6 Tahun 2014 tersebut telah diterima dan ditandatangani oleh sejumlah pihak. Bahkan, Dedi pun turut serta berdemo ke DPR RI bersama dengan 100 lebih Kades se Kabupaten Bandung. Mereka tinggal menunggu ketok palu saja. 

Menurut Dedi, yang juga sebagai Kades Cikoneng, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, pada tanggal 9 Februari akan digelar syukuran atas diterimanya revisi Undang-Undang Desa ini. Sejumlah massa Apdesi sujud syukur di depan gerbang gedung DPR RI di Jakarta Pusat setelah selesai pembahasan revisi UU Desa No 6 Tahun 2014 dilaksanakan. 

Dedi mengungkapkan bahwa setelah selesai pembahasan revisi, berarti masa jabatan Kades menjadi 8 tahun dan 2 periode. Persetujuan revisi Undang-Undang Desa ini sebelumnya telah disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) dan pemerintah dalam rapat, pada Senin ( 5/2/2024). Hal ini juga disampaikan oleh Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi.

Sangat miris memang, apabila menelaah tuntutan yang mereka ajukan. Di tengah kondisi masyarakat yang semakin berat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, seharusnya tuntutan para Kades berkaitan dengan kemaslahatan warga, bukan malah ikut mendesak revisi pada pasal 39 UU 6/2014 tentang Desa, yang poin pentingnya adalah menuntut perpanjangan masa jabatan kades. 

Demonstrasi ini pun menuai kritikan karena dianggap tidak penting dan berpotensi dipolitisasi sehingga melanggengkan oligarki. 

Unjuk rasa di depan Gedung DPR RI ini diterima dan langsung diakomodasi. Para wakil di DPR RI menjanjikan akan ada revisi UU Desa. Politisi PDIP Budiman Soejatniko berpendapat bahwa karena konflik sosial di awal kemenangan menyebabkan masa efektif Kades hanya 2-3 tahun. Walhasil, pembangunan di desa dianggap nanggung atau belum selesai, tetapi sudah harus ganti pemimpin. Padahal, pemilihan membutuhkan konsentrasi dan biaya yang besar. Akhirnya, pemilihan kades enam tahun sekali dianggap tidak produktif dan boros anggaran. 

Bahkan, Presiden Jokowi pun menyepakati perubahan tersebut. Jokowi beralasan bahwa, dinamika di desa berbeda dengan di kota, seperti pemilihan gubernur. Sehingga, menurut Jokowi tuntutan para Kades dianggap masuk akal. 

Ini berbeda dengan demo-demo yang dilakukan oleh kaum buruh dan mahasiswa yang menuntut kemaslahatan untuk mereka. Jangankan dipenuhi, diapresiasi pun tidak.

Jabatan Kades memang menjadi lahan basah untuk meraup cuan. Makanya, mereka ingin masa jabatannya diperpanjang. Ini terbukti dengan adanya rumor politik terkait data dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Dari hasil pemantauannya dilaporkan tentang tren penindakan korupsi semester I/2022. Kasus penyalahgunaan anggaran menunjukkan 134 dari 252 kasus yang terungkap, 62 dari 192 kasus menyasar pada desa. 

Pada tahun 2021, terjadi peningkatan angka korupsi desa. Sehingga, apabila masa jabatan diperpanjang, potensi korupsi pun semakin besar. Sangat mungkin terjadi adanya kerja sama yang erat antara parpol yang berkuasa dan para kades. 

Ini terbukti dengan adanya gerakan kades mendukung tiga periode pada beberapa waktu lampau. Keduanya akan sama-sama diuntungkan karena berpeluang menduduki jabatan yang lebih lama. Sehingga, kebijakan ini sangat rentan dipolitisasi oleh segelintir elite yang berkuasa atau oligarki.

Sebenarnya, permasalahannya bukan terletak pada masa jabatan, tetapi pada  buruknya pengurusan pejabat desa pada warga. Terbukti ketika masyarakat mengeluh akan tingginya biaya hidup, para pejabat desa tidak merespons. Bahkan, ketika ada bansos pun, selain tidak mencukupi, selalu terjadi salah sasaran dan tidak  merata. 

Inilah akibat dari sistem politik yang menerapkan demokrasi. Kebijakannya lahir bukan untuk kemaslahatan umat, tetapi hanya untuk segelintir elite berkuasa dan para kapitalis. 

Sistem demokrasi hanya menghasilkan para pemimpin yang miskin visi, sehingga kebijakan ditetapkan hanya untuk kepentingan partai dan dirinya saja. 

Politik transaksional yang menjadi pendorong berjalannya partai akan menghadirkan para pemilik modal yang harus diladeni kepentingannya. Karena sistem demokrasi lahir dari ideologi sekularisme, maka agama tidak boleh mengatur perpolitikan. Mereka tidak mengenal halal haram. Apa pun dilakukan untuk mengejar dunia.

Masalah gratifikasi, suap, dan korupsi- korupsi lainnya akan tumbuh subur. Semua ini akan menghilangkan rasa empati dan nurani kepada rakyat yang sedang kesusahan.

Islam adalah agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dengan kesempurnaannya, sistem Islam akan memunculkan para pemimpin yang peduli umat. 

Di dalam Islam, menjadi pemimpin adalah amanah yang besar dan berat yang nantinya akan dihisab dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah 'azza wa jalla. 

Karena itu, banyak pemimpin Islam yang menolak amanah tersebut. Satu-satunya motivasi dalam menjabat adalah keridaan Allah Ta'ala. Di dalam Islam, pemimpin adalah ra'in, yang bertugas melayani umat secara adil dengan menerapkan hukum-hukum Islam di tengah-tengah masyarakat sehingga rakyat tidak diabaikan dan terpenuhi semua kebutuhannya. 

Inilah urgensi penerapan sistem Islam, agar dalam memilih pemimpin, betul-betul dicari yang beriman dan bertakwa kepada Allah Ta'la, sehingga bisa menjalankan amanah kepemimpinan sesuai dengan apa yang Allah Ta'ala perintahkan. Wallahu'alam bisshawab.


Oleh: Enung Sopiah
Sahabat Tinta Media

Jumat, 16 Februari 2024

Kampus Dibungkam, PAKTA: Ini Kezaliman!



Tinta Media - Terungkapnya kasus yang dialami oleh rektor Unika Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah, Bapak Ferdinandus Hindiarto, yang diminta untuk membuat video testimoni dan ajakan pemilu damai, hingga narasi positif untuk pemerintah Presiden Joko Widodo  dinilai merupakan kezaliman. 

“Ini merupakan salah satu bentuk kezaliman pemerintah terhadap rakyat,” tutur Direktur PAKTA  Dr. Erwin Permana di Kabar Petang: Kampus Dibungkam? Melalui kanal Youtube Khilafah News, Sabtu (10/2/2024). 

Dengan kejadian tersebut, lanjutnya, rakyat hanya bisa diam tidak bisa mengungkapkan kebenaran sesuai dengan fakta-fakta yang terjadi.  


"Cara-cara tersebut adalah cara kampungan, ketika ada orang menyampaikan ketertindasan dengan fakta-fakta yang ada justru kemudian dilawan dengan opini tandingan sehingga menciptakan masalah yang semakin rumit," pungkasnya.[] Hendy Liem

Kamis, 15 Februari 2024

Anggaran Pemilu 2024 untuk Kepentingan Rakyat?



Tinta Media - Kementerian Keuangan telah mengalokasikan anggaran hingga Rp 71,3 triliun untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Anggaran ini telah diberikan sejak 20 bulan sebelum hari H pemilu, yaitu mulai tahun 2022 sampai dengan 2024, dengan rincian Rp 3,1 triliun pada 2022, Rp 30,0 triliun pada 2023, dan Rp 38,2 triliun pada 2024. Diakses dari https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis

Pada hakikatnya pemilu itu dari pajak rakyat dan untuk kebaikan rakyat karena 80 % APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) adalah dari pajak. Ukuran kebaikan salah satunya adalah tingkat kesejahteraan rakyat yang terus naik, kalau terjadi pergantian pemimpin saat pemilu. Fakta menunjukkan pergantian pemimpin sejak zaman Indonesia merdeka hutang Indonesia tahun 1945 sekitar Rp 50 triliun lebih, sampai saat ini 2024 sudah mencapai Rp 6.235,95 triliun adalah fakta yang tidak terbantahkan. Lalu efektifkah anggaran pemilu yang dari rakyat, yang konon katanya untuk kebaikan rakyat, justru hutang yang makin besar bukan makin turun, apalagi biaya pemilu dibebankan kepada rakyat juga? 

Aktivitas pemilu itu menjadi penting tidak penting tergantung persepsi dari mana ukuran kacamata kepentingan  melihatnya. Dalam kaca mata oligarki, kekuasaan itu menjadi sangat penting karena pemilu menjadi agenda penentu sikap seorang pengusaha yang mengincar jadi penguasa, untuk melanggengkan usahanya seperti kata calon presiden saat itu, “ketika menjadi oposisi usahanya mandek”. Dari kaca mata kesejahteraan rakyat tentu ini hanya menghabiskan anggaran karena salah satu ukuran kesejahteraan rakyat adalah negara tidak punya hutang sehingga beban pajak berkurang, faktanya hutang negara semakin besar sejak era pak Soekarno sampai era pak Jokowi. 

Bagaimana sudut pandang Islam? Islam melihat tugas pemimpin adalah mengurusi kepentingan umat. Pemilu adalah salah satu cara bukan satu-satunya cara untuk memilih pemimpin. Fokusnya  adalah bagaimana pemimpin itu mau menjalankan syariah Islam untuk menyejahterakan rakyat, bukan hanya fokus siapa orang yang memimpin. Maka Islam memberikan cara selain pemilu ketika ingin memilih pemimpin. Maka anggaran besar itu menjadi tidak penting atau bahkan tidak diperlukan. Karena amanah memimpin adalah amanah menjalankan syariat Islam, bukan malah menjalankan mandat pengusaha. Maka pemilihan pemimpin atau wakil rakyat adalah akad rakyat kepada penguasa untuk menjalankan mandat kekuasaan yang menerapkan syariah Islam. 

Seperti halnya ketika baginda Nabi Saw meninggal maka mandat kepemimpinan diserahkan kepada para sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq RA , apakah lewat pemilu seperti saat ini? Apakah perlu biaya besar seperti saat ini? Jawabannya tidak. Ketika sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq RA diangkat menjadi khalifah cukup dipilih oleh  ahlu halli wal ‘aqdi (Ulama, sesepuh, serta pemuka Masyarakat yang menjadi unsur-unsur yang berusaha mewujudkan kemaslahatan). Maka kaum muslimin tinggal melaksanakan baiat (sumpah) taat kepada khalifah (pemimpin). Karena yang terpenting bagi kaum muslimin seorang pemimpin melaksanakan hukum syariah Islam yang insya Allah bisa menyejahterakan rakyat, tidak seperti sekarang sistem demokrasi bahwa pemilu adalah kewajiban yang harus dijalankan untuk pergantian pemimpin yang konon katanya untuk Indonesia lebih baik. 

Maka prosedur praktis pengangkatan dan pembaiatan khalifah (Pemimpin) seperti yang dijelaskan oleh syekh Taqiyuddin An-Nabhani, “Dari penelitian terhadap peristiwa yang terjadi dalam pengangkatan khilafah itu, kami mendapati bahwa Sebagian kaum muslim telah berdiskusi di Saqifah Bani Saidah. Mereka yang dicalonkan adalah Saad, Abu Ubaidah, Umar, dan Abu bakar. Hanya saja Umar bin al-Khatob dan Abu Ubaidah tidak rela menjadi pesaing Abu Bakar dan Saad bin Ubadah saja, bukan yang lain. Dari hasil diskusi itu dibaiatlah  (sumpah) Abu bakar. Kemudian pada hari kedua, kaum muslim diundang ke Masjid Nabawi, lalu mereka membaiat Abu Bakar di sana. Dengan demikian, baiat di Saqifah adalah baiat (sumpah) in’iqod. Dengan itulah Abu Bakar menjadi khalifah (pemimpin) kaum muslim. Sementara itu, baiat (sumpah) di Masjid pada hari kedua merupakan baiat (sumpah) taat”.(An-nabhani 1426 : 45) Maka proses pemilihan pemimpin zaman para Sahabat RA sangat efisien tidak menghamburkan uang rakyat. 

Maka Islam memberikan solusi selain , ketika negara mengalami krisis kepanjangan ataupun hutang yang tidak sedikit, karena salah satu tolak ukur kesejahteraan masyarakat adalah ketika negara tidak punya hutang untuk membiayai rakyatnya. Islam memiliki seperangkat aturan yang menyeluruh dalam semua lini kehidupan manusia. Karena Islam telah sempurna dalam segala hal. Jika ada masalah dalam kehidupan manusia, pada hakikatnya karena manusia tidak kembali kepada Islam, manusia justru mencari solusi lain selain Islam untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Cukuplah firman Allah Swt. sebagai fondasi dalam diri manusia. 

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah ayat 3) 

  

Oleh: Aris Mayhendra
Aktivis Islam Karawang

Senin, 05 Februari 2024

Demi Apresiasi, Materi, dan Oligarki, Rakyat Dikhianati



Tinta Media - Sebuah apresiasi yang diberikan terhadap suatu kinerja yang baik tentu menjadi kebanggaan tersendiri. Siapa pun akan terpacu bekerja lebih maksimal agar 'award' tersebut bisa diraihnya kembali. Apalagi, jika sebuah apresiasi WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) ini diberikan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI kepada Pemkab Bandung atas kinerja yang dinilai baik. 

BPK RI menilai bahwa Pemkab Bandung telah berhasil memberikan early warning atau peringatan dini dalam penyelenggaraan tugas-tugas OPD (Organisasi Perangkat Daerah), sehingga tindakan korupsi bisa dicegah dan mampu mengeliminasi potensi pelanggaran hukum. 

Kang DS sebagai Bupati Bandung pun optimis mampu meraih WTP untuk kedelapan kalinya, dengan terus mendukung inspektorat dalam memberantas praktik korupsi dan mampu memperbaiki kinerja seluruh jajaran Pemkab Bandung. Alhasil menurutnya, di bawah kepemimpinannya, Pendapatan Asli Daerah (PAD) semakin meningkat dan kinerja seluruh OPD semakin baik dan kini APBD meningkat menjadi Rp7,4 T. 

Menyoal tentang kinerja yang baik, tentu erat hubungannya dengan dedikasi tinggi terhadap tugas atau amanah yang diemban. Akan tetapi, bagaimana jika kinerja yang baik ini dilakukan oleh seorang pemimpin untuk mendapatkan 'award'? 

Sebetulnya kinerja baik yang dilakukan oleh penguasa atau pemimpin adalah wajib hukumnya. Ada atau tidaknya sebuah 'award', seorang penguasa atau pemimpin tetap harus bekerja keras untuk kesejahteraan rakyat. Hasil dari kinerja baik ini pun harus betul-betul dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. 

Selain itu, ukuran baiknya kinerja penguasa daerah tidak bisa hanya diukur dengan tingginya PAD. Meskipun PAD-nya tinggi, jika belum bisa terserap oleh masyarakat (melalui APBD) tersebut, tetap saja akan menyisakan masalah. 

Faktanya, meningkatnya PAD belum berkorelasi dengan kesejahteraan masyarakat. Hal itu adalah klaim semata tanpa melihat kenyataan yang terjadi di lapangan. Kesejahteraan hanya dirasakan oleh kalangan tertentu saja. Buktinya, ketimpangan ekonomi dan sosial semakin tinggi antara kelompok orang kaya dan orang miskin. 

Sistem sekuler kapitalisme yang saat ini kita pijak hanya berorientasi pada manfaat duniawi saja. Jadi, sangat mungkin jika penguasa hanya mementingkan apresiasi dan materi saja dan tidak serius dalam mengurus rakyat. Buktinya, banyak kasus penyalahgunaan anggaran yang mengatasnamakan kesejahteraan rakyat, padahal sesungguhnya para penguasa mengkhianati mereka. 

Tercatat kasus korupsi sepanjang tahun 2004-2022 ada 344 pimpinan dan anggota DPR dan DPRD, 38 menteri dan kepala lembaga, 31 hakim konstitusi, 8 komisioner, 24 gubernur, 162 bupati dan wali kota, serta masih banyak lagi kasus korupsi lainnya. 

Maraknya kasus korupsi menunjukkan betapa buruknya sistem yang diterapkan. Kejahatan ini sudah begitu mengakar dan membudaya dari generasi ke generasi. Berbagai perangkat hukum maupun undang-undang tak mampu memberantas korupsi hingga akarnya. 

Harus kita sadari bahwa perilaku korup ini adalah imbas dari penerapan sistem sekuler liberal yang menafikan agama dalam mengatur kehidupan, sehingga halal haram tidak menjadi patokan dalam melakukan amal perbuatan. Akhirnya, banyak penguasa yang mengkhianati rakyat dengan kekuasaannya. Penguasa bekerja keras dan menunjukkan kinerja baiknya hanya demi kepentingan diri dan kelompoknya saja. 

Selain itu, anggaran yang harusnya dialokasikan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan rakyat, nyatanya belum bisa dirasakan oleh rakyat. Angka pengangguran semakin meningkat. PHK di mana-mana. Kasus stunting tak teratasi. Kasus agraria semakin meningkat dan banyak lagi bukti dari abainya seorang penguasa yang materialistis. 

Padahal, pembangunan infrastruktur sedang dilakukan secara besar-besaran. Namun, kenapa di balik gedung-gedung bertingkat dan megah, masih banyak rakyat yang kesulitan mencari pekerjaan dengan upah yang layak? Di mana tanggung jawab negara, melihat banyak rakyatnya menderita di tengah kemajuan infrastruktur dan perekonomian? Sebetulnya rakyat mana yang disejahterakan oleh penguasa dengan APBD Rp7,4 T? 

Berbeda halnya ketika kehidupan diatur dengan sistem Islam (khilafah). Sistem paripurna ini mampu memecahkan problematika kehidupan. Sistem ini berdiri di atas akidah Islam sehingga setiap individu mempunyai keyakinan yang kuat dan terhindar dari perbuatan melanggar hukum syara. 

Dalam Islam, kinerja penguasa dipertanggungjawabkan pada Allah Swt, sehingga penguasa tidak mesti mengklaim bahwa kinerjanya sudah baik. Harusnya, yang menilai baik atau buruknya penguasa adalah rakyat, bukan dirinya sendiri. 

Selain itu, keseriusan kinerja pemimpin Islam dalam mengurusi rakyatnya bukan karena mengejar 'award' dari manusia, tetapi betul-betul sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah Swt. Dalam Islam, kepemimpinan tidak sekadar mendudukkan seseorang di panggung kekuasaan, tetapi yang lebih utama adalah bagaimana kekuasaan itu digunakan untuk menjaga, menerapkan dan mendakwahkan Islam, serta bertanggung jawab dunia akhirat dalam mengurus rakyat dengan hukum-hukum Islam. 

Seluruh penerapan aturan hidup hanya bersandar pada hukum syara, bukan hukum buatan manusia yang sarat akan kemudaratan. Jika terjadi suatu pelanggaran hukum pun, maka akan ada sanksi yang membuat jera sehingga tidak akan menjadi budaya. Contohnya adalah kejahatan korupsi. Mereka yang berbuat harus siap-siap disita hartanya. Namanya akan diumumkan kepada khalayak dan menjadi sanksi sosial. Hukuman pun akan diberikan sesuai kadar kesalahan, bisa pula potong tangan atau hukuman mati. 

Oleh karena itu, begitu urgennya penerapan syariah secara kaffah oleh suatu negara, karena mampu menjadikan penguasa dan rakyat memiliki keimanan yang kuat dan menyadari ada Sang Khalik yang mengawasi. 

Allah berfirman, "Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan mengalami kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (TQS.Thaha ayat 124). 

Maka, hanya pemimpin dalam sistem Islam yang mampu memberikan kinerja baik tanpa mengharap penilaian dari manusia atau pujian sesaat yang mampu menjerumuskan pada kesombongan. Kekuasaannya adalah amanah dari Allah Swt. yang harus dia pertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Semua yang dilakukan semata-mata mengharap rida Allah Swt. Wallahualam.


Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 01 Februari 2024

DEFORESTASI MENINGKAT, PETAKA BAGI RAKYAT



Tinta Media - Awal tahun seharusnya dibuka dengan berita menggembirakan dengan segudang pencapaian atas perubahan terbaik yang telah dilakukan sesama setahun penuh. Namun tidak dalam sistem kapitalisme. Seiring bertambahnya tahun, kian bertambah pula deretan masalah dan kerusakan yang terjadi. 

Awal Januari 2024 dibuka dengan fakta mengejutkan yang dilansir dari cnn.indonesia.com   menuliskan, berdasarkan catatan akhir tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) region Sumatera menunjukkan bahwa Riau mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 hektare sepanjang 2023, yang mana deforestasi hutan tersebut juga akibat dari kebijakan pemerintah yang memberikan izin terhadap 273 perusahaan kelapa sawit, 55 Hutan Tanaman Industri, 2 Hak Pengusahaan Hutan serta 19 pertambangan. Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembing menilai bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja juga turut memfasilitasi keberadaan perusahaan kebun kelapa sawit di kawasan hutan. 

Fakta yang lebih miris, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir Indonesia sendiri telah kehilangan  dalam laporan Global Forest Review dari World Resource Institute (WRI), Indonesia juga tercatat sebagai salah satu negara yang paling banyak kehilangan hutan primer tropis ( humid tropical primary forest ) dalam dua dekade terakhir yang mencapai angka 10,2 juta hektare. ( databooks.katadata.co.id  ) 

Menanggapi arus derasnya alih fungsi hutan tentu tidak lepas dari perpanjangan tangan para penguasa dan keterkaitannya terhadap kebijakan ke pemerintahan. Pasalnya, hutan termasuk sumber daya alam yang pengelolaannya berada penuh di tangan pemerintah. Namun, bukan pemecahan masalah yang menjadi fokus utama pemerintah saat ini, nyatanya masih banyak deforestasi di bawah tangan para pemilik modal yang dilegalkan oleh pemerintah. Dalam hal ini, sikap pemerintah seolah menunjukkan dua sikap yang saling bertolak belakang. 

Tanpa sadar, tindakan maupun sikap yang di ambil oleh pemerintah saat ini malah mengundang berbagai bencana yang lebih luas serta merugikan masyarakat. Kesulitan hidup makin terasa di berbagai lapisan masyarakat. Seperti kehilangan ruang hidup akibat perampasan lahan demi investasi asing, menjadi korban bencana alam yang berkepanjangan. Baik masyarakat yang hidup di kota besar maupun desa pun ikut merasakan imbasnya. Seperti bencana banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kehilangan sumber air bersih, kenaikan suhu yang meningkat secara global. Saat ini bumi bukan lagi mengalami global warming, namun telah mencapai tingkat global boiling atau disebut pendidihan global. Bukan hanya itu, bahkan akibat dari masifnya deforestasi ini, ekosistem alam pun kian rusak dan mengalami kepunahan. 

Pada saat yang sama, para pemilik modal atau kapitalis yang memiliki ataupun diberikan akses untuk terus mengeruk kekayaan sumber daya alam semakin gencar menjalankan proyek raksasa mereka. Menari di atas penderitaan rakyat yang menjadi korban dari ulah tangan mereka. 

Bukan hanya tindakan atau sikap pemerintah yang di anggap pasif. Namun, undang-undang yang dibuat saling bertentangan dalam proses pelaksanaannya serta terkesan menguntungkan sebagian kalangan. Tentu, dalam negara yang menganut sistem kapitalisme seluruh hukum yang ditetapkan tidak akan pernah jauh dari rencana memberikan karpet merah bagi para penguasa untuk membuka investasi sebesar-besarnya demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan cara apa pun. 

Alih-alih meninjau permasalahan deforestasi yang kian kompleks, justru pemerintah yang berwenang dan bertanggung jawab atas masalah tersebut nyatanya juga banyak yang terlibat dalam jaringan perusakan hutan tersebut. Seperti tindakan pemutihan lahan sawit di kawasan hutan yang sudah jelas akan merusak ekosistem yang ada di sana. 

Kebijakan-kebijakan yang diambil para pemegang kekuasaan juga tidak terlepas dari sistem yang diemban oleh suatu negara saat ini. Sekularisme bersandarkan pada nilai materi dan kebebasan yang menjadi wadah untuk keberlangsungan tindakan sewenang-wenang. Melupakan tanggung jawab dan dampak atas perilakunya. 

Tentu permasalahan ini akan kian merembet dan berkepanjangan apabila penyelesaiannya tidak pernah berubah. Hanya berkutat pada satu hal yang menjadikannya berputar pada pusaran yang sama. Bukan memperbaiki keadaan malah mengulur waktu serta menambah deretan kerusakan yang terjadi.  

Oleh karena itu permasalahan sistemik yang terjadi tidak mungkin dapat terselesaikan melalui kebijakan yang sama setiap tahunnya. Diperlukan perubahan total hingga mampu membawa pada kesejahteraan yang diimpikan. Kegagalan pemerintah dalam upaya memperbaiki keadaan saat ini juga harus disertai dengan perbaikan sistem yang mengatur berjalannya suatu institusi ke pemerintahan. Sehingga masalah yang hadir bisa terselesaikan dengan sikap yang seharusnya serta mewujudkan cita-cita tertinggi membawa masyarakat dan alam menuju kesejahteraan yang hakiki.


Oleh : Olga Febrina 
( Mahasiswi, Pegiat Literasi & Aktivis Dakwah ) 

Selasa, 30 Januari 2024

Jalan Tol, Fasilitas untuk Rakyat yang Mana?


Tinta Media - Pergantian tahun Masehi baru saja kita rasakan, euforia sebahagian masyarakat menyambut tahun baru, dengan harapan adanya perubahan kehidupan yang lebih baik, namun belum lagi satu bulan lamanya, berita pembaharuan kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah mampu membuat kepala nyut-nyutan, apa lagi yang memiliki mobil dan menggunakan akses jalan tol dalam kegiatan sehari-hari karena dilansir dari  Kompas.tv 

Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) mengumumkan adanya rencana kenaikan tarif  untuk 13 ruas jalan tol pada Kuartal I-2024, Senin (15/1/2024). Rencana ini termasuk ruas-ruas tol yang sebelumnya dijadwalkan untuk penyesuaian tarif pada tahun 2023, namun masih dalam proses. Kepala BPJT Miftachul Munir mengatakan kenaikan tarif tol akan dilakukan setelah memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk setiap ruas tol. 

Jalan merupakan hak bagi seluruh rakyat yang artinya adalah jalan bebas digunakan oleh siapa saja dan kapan saja tanpa dipungut biaya apa pun. Namun faktanya hari ini, jalan yang digunakan oleh masyarakat secara umum banyak yang dalam kondisi memprihatinkan. Adanya lubang–lubang yang besar bisa saja mengakibatkan kecelakaan. Belum lagi hari ini kita temukan spanduk atau baliho perlengkapan kampanye yang mengganggu kenyamanan berkendara di jalan. Di sisi lain pemerintah memberlakukan jalan tol, jalan yang bebas hambatan, mulus, dan terawat. 

Hal  ini semakin membuka pikiran kita bahwa, saat ini sistem kapitalis telah merajai di Negara kita, jalan yang seharusnya milik umum, namun kini untuk mendapatkan fasilitas yang baik ya harus merogoh kocek yang lumayan, belum lagi harus memiliki kendaraan tertentu untuk dapat melewatinya, ya jika kita simpulkan hanya masyarakat kelas menengah ke atas yang memiliki mobil yang dapat melewatinya, hal ini semakin mempertegas bahwa fasilitas yang didirikan oleh negara hanya untuk sebahagian kalangan dari masyarakat, belum lagi hal ini akan mengakibatkan layanan pengiriman barang akan semangkin meninggi mengingat untuk mengurangi waktu perjalanan banyak perusahaan yang akhirnya memilih melewati Jalan Tol dalam proses pengiriman barangnya. 

Yang akibatnya dampak dari hal ini, balik lagi kepada masyarakat, fasilitas jalan yang gratis perawatannya kurang memadai, sehingga bisa berakibat fatal bagi masyarakat, dan berefek kepada tingginya harga barang baik barang pokok, maupun sandang dan papan. Dan inilah kapitalisme, asas dari pada perbuatannya adalah Manfaat, maka tak heran untuk dapat menikmati fasilitas yang baik ya kudu bayar. Kalau yang gratis ya seadanya. 

Pembangunan sarana dan prasarana Negara tidak jauh- jauh dari pendanaan. Dalam sistem ekonomi kapitalis hari ini, pendanaan terhadap sarana umum akan berujung dan bertumpu pada para pemilik modal swasta, baik asing dan aseng, maka tidak heran Negara akan berpikir keras tentang, berapa besar dana yang harus di keluarkan?, dari mana asal pendanaannya? dan juga bagaimana mengembalikan dana yang sudah dikeluarkan?, pastinya tidak melupakan keuntungan apa yang akan di dapatkan. Sistem ekonomi kapitalis tidak memandang bahwa pengadaan sarana dan prasarana negara adalah bagian dari pelaksanaan akan  kewajiban Negara, dalam melakukan pelayanan (ri’ayah) terhadap rakyatnya. Karenanya, dalam sistem ekonomi kapitalis tidak heran kita temukan hari ini, jalan umum rusak parah, jalan tol mulus banget. 

Maka jika kita tidak ingin menjadi seperti ini terus, jelas kita harus mencari jalan keluar mengenai hal ini, mengubah sistem kapitalis menjadi sistem Islam, kenapa harus sistem  Islam? 

Karena pada dasarnya Islam bukan hanya sekedar agama yang berisikan tentang ritual ibadah kepada Allah saja, namun mencakup seluruh aturan yang sesuai dengan kehidupan kita hari ini, baik dari sisi politik, kesehatan, pendidikan, pergaulan, ekonomi, dan bahkan aturan Negara yang mengurusi seluruh urusan umat. 

Dalam Sistem ekonomi Islam pembangunan sarana dan prasarana bukanlah sebuah masalah besar karena, dalam sistem Islam, Negara mengelola seluruh kekayaan yang dimilikinya sehingga mampu membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk kemaslahatan ummat. pengelolaan kekayaan umum (milkiyyah ‘ammah) dan kekayaan negara (milkiyyah daulah) nantinya tidak akan di serahkan kepada pihak swasta, namun akan di kelola oleh Negara melalui Baitul Mal, sehingga Negara mampu membiayai penyelenggaraan sarana dan prasarana tanpa harus meminjam kepada swasta. 

Termasuk dalam hal, pengadaan jalan untuk seluruh masyarakat, karena jalan termasuk kebutuhan primer bagi akses kehidupan, maka pembangunan jalan nantinya akan di fokuskan untuk memberikan jalan yang bagus dengan perawatan terbaik, karena pengadaan sarana dan prasarana umum negara seperti jalan, jembatan, jalur kereta api dan lain-lain, akan di bangun langsung oleh Negara, tanpa di serahkan kepada pihak swasta dan di danai oleh Baitul mal, sebagaimana yang telah di contohkan oleh daulah Islam yaitu khilafah, Pembangunan sarana dan prasarana dalam sistem Daulah khilafah telah terbukti berjalan dengan sangat baik. Sejak tahun 950 M, jalan-jalan yang terletak di Cordoba sudah diperkeras, dibersihkan dari kotoran secara teratur, dan dimalam hari jalan akan di beri penerangan lampu minyak.  Pada saat yang sama Paris masih di lingkupi kegelapan, setelah dua ratus tahun kemudian (tahun 1185) baru berhasil mencontoh fasilitas jalan di Cordoba.

Oleh : Zayyin Afifah 
( Pengajar & Aktivis Dakwah ) 

Jumat, 12 Januari 2024

Pembangunan Tugu Berbiaya Mahal, Pentingkah bagi Rakyat?




Tinta Media - Pemerintah Kota Probolinggo berencana membangun beberapa tugu baru yang menjadi ikon dunia. Pembangunan tugu baru ini menjadi sorotan dan perbincangan publik di medsos. 

Seperti yang diberitakan media online iNewsProbolinggo.id (06/01/2024), anggaran untuk pembangunan beberapa tugu sebesar 2 miliar. Setiap tugu dianggarkan sebesar 400 juta. 

Ada lima tugu yang akan digantikan dengan tugu baru yang merupakan miniatur ikon dunia. Miniatur tugu Monas akan menggantikan Tugu Kota Probolinggo di jalan Pangsud. Miniatur Big Ben London menggantikan tugu Loji yang ada di pertigaan jalan Pahlawan. Miniatur Wind Mill Belanda akan menggantikan tugu Alun-alun Kota Probolinggo. Miniatur menara Eiffel Paris akan menggantikan tugu yang ada di jalan Pangsud perempatan King. 

Berpotensi Menimbulkan Bermasalah 

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa pembangunan tugu itu merupakan sesuatu yang percuma, buang-buang anggaran. Ketua Komisi 3 DPRD Kota Probolinggo Agus Riyanto berpendapat bahwa anggaran sebesar itu mending digunakan untuk hal yang bermanfaat. 

Bahkan, pegiat anti korupsi menegaskan bahwa beberapa LSM yang tergabung dalam Aliansi LSM sudah mengumpulkan data dan melakukan investigasi langsung ke lokasi. Pembangunan tugu ini disinyalir akan menimbulkan masalah. 

Pembiayaan yang besar hanya untuk pembangunan tugu juga berpotensi korupsi dalam penganggarannya. Apalagi, sebelumnya sudah ada tugu lama yang masih layak menjadi ikon Kota Probolinggo. 

Perencanaan pembangunan dalam sistem kapitalisme memang berorientasi duniawi. Kemegahan menjadi tujuan dari setiap pembangunan. Padahal, kemegahan belum tentu memberikan manfaat kepada rakyat. 

Pembangun tugu bukanlah sesuatu yang urgen dilakukan, karena masih banyak kebutuhan rakyat yang belum terpenuhi, di antaranya pengentasan kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan di Kota Probolinggo masih terus meningkat. Di tahun 2021, indeks kemiskinan sebanyak 0,90 persen, tahun 2022 naik menjadi 1,04 persen. Indeks keparahan kemiskinan pada 2022 naik menjadi 0,23 persen dari sebelumnya 0,17 persen. 

Pembangunan dalam Islam 

Standart prioritas pembangunan di dalam Islam adalah mendahulukan kepentingan rakyat. Memenuhi kebutuhan rakyat adalah yang paling utama, sampai-sampai tidak boleh ada satu pun rakyat yang berada dalam kemiskinan. Masing-masing individu harus terpenuhi kebutuhan pokoknya. 

Membangun tugu adalah sesuatu yang mubah (boleh) dilakukan. Akan tetapi, penguasa dalam Islam perlu juga meninjau seberapa penting pembangunan tugu itu bagi rakyat. Anggaran negara harus direncanakan dengan perencanaan yang benar-benar sesuai dengan syariat. Negara akan membangun tugu yang akan menjadi ikon kota atau negara di atas asas keimanan kepada Allah. 

Negara Islam akan menganggarkan pembangunan infrastruktur tanpa utang, apalagi dengan riba. Pembiayaannya diambilkan dari pos-pos yang khusus untuk pembangunan melalui Baitul Mal. Perhitungannya pun akan transparan dan wajar sesuai fakta riil, sehingga tidak akan berpotensi menimbulkan masalah. 

Semua itu hanya bisa terwujud dalam negara yang berasaskan Islam, negara yang menjadikan keimanan dan ketakwaan kepada Allah sebagai asas dari setiap peraturannya. Negara itu tidak lain adalah negara Khilafah dengan metode kenabian. Sudah saatnya kita berupaya untuk mewujudkannya agar terwujud kesejahteraan bagi seluruh umat.
Wallahu a'lam.

Oleh: Sri Syahidah 
(Aktivis Muslimah) 

Selasa, 09 Januari 2024

Bukan Rahasia Umum Rakyat ‘Si Korban Jambu’



Tinta Media - Warga Sukaraja dan Waylunik gelar aksi resahkan aktivitas batubara. Dari Lampost.co (22/12/2023) disebutkan bahwa di Kelurahan Waylunik terdapat lebih dari 2.000 kepala keluarga dengan total jumlah penduduk lebih dari 7.000 jiwa. Dalam kelurahan tersebut, ada sedikitnya lima RT yang terdampak dari serpihan debu-debu pengendapan batu bara tersebut. 

Perusahaan stockpile batu bara di kawasan tersebut lebih dari satu perusahaan, di antaranya adalah perusahaan PT GML dan PT SME. Sejak bulan Juni warga sudah mulai terganggu dengan cemaran yang membahayakan kesehatan. Masyarakat mulai merasakan mata perih, pedih, sakit tenggorokan sehingga makin khawatir terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). 

Bahkan, karena banyaknya kotoran yang tidak saja di luar, tetapi masuk ke rumah-rumah sehingga masyarakat sehari bisa mengepel 3 sampai 4 kali. Belum lagi masyarakat yang mata pencahariannya dengan berjualan di rumah makan. Mereka takut bahaya dari debu-debu yang bisa menempel di tempat makan. 

Namun, perusahaan belum menunjukkan tanggung jawabnya atas dampak buruk yang dirasakan warga tersebut.
Warga Waylunik juga mempertanyakan kepada Pemkot Bandar Lampung yang melakukan tindakan dan pemberian sanksi kepada perusahaan stockpile batu bara yang telah menimbulkan dampak negatif pada kesehatan masyarakat sekitar. 

Camat Bumiwaras Budi Ardiyanto mengatakan bahwa pemerintah dan Wali Kota Bandar Lampung telah memerintahkan perusahaan untuk menghentikan sementara aktivitas perusahaan dalam tiga hari ke depan. 

Ternyata, dari perizinan awal perusahaan berdiri banyak masyarakat yang tidak setuju. Namun, sekalipun masyarakat tidak setuju, perusahaan tetap berdiri dan tetap berjalan. Lurah Waylunik menegaskan dari awal agar ketika perusahaan berdiri jangan sampai menimbulkan kerugian pada masyarakat akibat dari dampak debu-debunya. Namun, lurah Waylunik tidak bisa melarang, apalagi menutup usaha tersebut. Menurutnya, perusahaan tetap boleh ada, tetapi  harus memperhatikan lingkungan sekitar sesuai dengan kesepakatan bersama. 

Ini adalah buah dari kebijakan pertambangan negara yang tidak memperhatikan lingkungan, dan tidak tegasnya negara dalam memberikan sanksi pada perusahaan yang terlibat. Bahkan, kadang negara justru berpihak pada perusahaan dan mengabaikan nasib rakyat. Akibatnya, rakyat menjadi korban perampasan ruang hidup yang dulunya asri menjadi tercemar dan terancam kualitas kesehatannya. 

Para pemimpin kebijakan seperti lurah, camat, bupati, ataupun walikota juga terkesan tidak memiliki akses kebijakan untuk menolong rakyat. Seakan hari ini rakyat yang menderita dan tersiksa ini harus hidup mandiri tanpa ada pengayom yang bisa melindungi. 

Hal ini terjadi karena kita hidup di sistem yang banyak menjanjikan keadilan, tetapi tidak pernah terealisasi secara fajta. Nyatanya, banyak kasus lahan dan terganggunya ruang hidup. Misalnya, oksigen yang harusnya bersih menjadi tercemar, kesehatan yang harusnya bisa terjaga malah tiada dan keamanan pun juga direnggut. Ruang-ruang anak untuk tumbuh kembangnya semakin terampas. 

Ketika proyek pertambangan berlangsung, yang diprioritaskan oleh penguasa adalah kepentingan perusahaan, bukan rakyat. Jangan-jangan betul, kita hidup di sistem jambu (janji-janji mambu, ambu-ambu palsu). Wajar, karena kita hidup di sistem demokrasi. Dengan politik kapitalisnya, sistem ini melahirkan hubungan khusus antara penguasa/pemimpin dengan para elit pengusaha sehingga lahirlah undang-undang, kebijakan, aturan-aturan yang semena-mena, rakus dan tega merenggut, menggeser, merusak ruang-ruang hidup masyarakat. 

Kalau kita tahu bahwa demokrasi adalah dari, oleh, untuk rakyat, sekarang kita bisa melihat wajah aslinya, yaitu dari, oleh, untuk perusahaan. Jadi, yang kerja, yang diuntungkan, yang disejahterakan adalah perusahaan. 

Ketika perusahaan ingin memperluas atau menginginkan suatu lahan, baik untuk pertambangan, untuk perusahaan, atau untuk dikelola lahannya, maka lahan tersebut akan diberikan. Karena investasi di negeri ini dilindungi dan dilegalkan oleh UU, di antaranya UU Minerba, UU cipta kerja, dll. 

Dalam undang-undang tersebut disebutkan, walaupun perusahaan berbuat salah, maka akan tetap legal dan dimenangkan oleh pihak berwajib, meskipun kasusnya parah dan dilaporkan ke pihak terkait. 

Inilah akibatnya jika kita hidup di sistem kehidupan berdasarkan kapitalisme. Saat ini, kita bukan lagi salah pilih pemimpin, bukan lagi salah dalam memilih sosok, melainkan salah kaprah dalam memilih sistem bernegara. Hal ini karena negara membuat aturan-aturan yang membahayakan rakyat, tetapi menguntungkan perusahaan.  

Kita bernegara tidak sesuai dengan apa yang Allah mau, tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah, malah memilih aturan bernegara yang berasal dari manusia. Kita mengetahui bahwa manusia terbatas, lemah, dan hukum-hukum yang dibuat tumpang tindih antara kebijakan satu dengan lainnya. Sehingga, patut kita renungkan, apakah kita mau bertahan di sistem yang rusak atau berlama-lama dalam sistem kehidupan yang menyengsarakan orang lain? 

Bukankah seharusnya kita harus berpindah dari sistem kehidupan yang salah menuju sistem kehidupan yang benar, yang berasal dari Allah, Zat yang tak pernah salah, yaitu dengan sistem bernegara yang sesuai dengan Islam. Ini bukan untuk kaum muslim saja, melainkan juga seluruh manusia. 

Ketika kita melihat bahwa saat ini penerapan Islam secara menyeluruh ditiadakan, maka yang berkuasa adalah para penguasa/pemimpin yang kebijakanya selalu dipengaruhi oleh kepentingan elit pengusaha. Hasilnya adalah kesengsaraan dalam kehidupan yang terjadi. 

Berbeda ketika Islam diterapkan menyeluruh selama 1300 tahun. Aturan-aturan Islam yang diterapkan di dalamnya mampu membuat para penduduk hidup dengan sejahtera, aman, dan nyaman. Sebenarnya, yang kita butuhkan adalah penerapan Islam secara menyeluruh, yang hanya bisa diterapkan pada satu naungan yaitu khilafah. 

Bahkan, di dalam Islam, aturannya menjadikan pemimpin negara sebagai pengurus dan pelindung bagi rakyat. Segala aturan dan kebijakan yang ditetapkan negara akan selalu memperhatikan dan mengutamakan kemaslahatan rakyat, termasuk keselamatan rakyat dari proyek pertambangan. Wallahualam bisawaf, wassalamualaikum. wr.wb.

Oleh: Wilda Nusva Lilasari, S.M,
Sahabat Tinta Media 

Jumat, 05 Januari 2024

Rakyat Menangis di Tengah Liberalisasi Sumber Daya Alam


Tinta Media - Warga sekitar kelurahan Waylunik, Kecamatan Panjang, Bandar Lampung mengalami gangguan kesehatan akibat debu batu bara stockpile di daerah tersebut. Mereka merasakan sesak napas dan matanya perih saat berada di luar rumah. 

Saat angin kencang berembus, apalagi di musim panas, debu dari tumpukan batu bara beterbangan dan mau tak mau pasti terhirup oleh warga. Debunya selalu mengotori sekitar rumah warga, hingga masuk ke dalam rumah. Mirisnya, hingga saat ini, belum ada solusi. Dari 2.000 kepala keluarga di Kelurahan Wailunik, terdapat 5 TR yang terdampak dari debu stockpile atau batubara tersebut. (REPUBLIKA.CO.ID, Sabtu, 23/12/2023) 

Warga Waylunik juga mempertanyakan kepada Pemkot Bandar Lampung, mengapa pihaknya belum mengeluarkan sanksi atau tindakan kepada perusahaan stockpile yang mengakibatkan terjadinya masalah kesehatan di masyarakat sekitar. Padahal, semua itu sudah berlangsung kurang lebih lima bulan terakhir. 

Terkait debu beterbangan yang mengganggu kesehatan warga sekitar, Direktur PT Sentral Mitra Energi, William Budiono, selaku perusahaan stockpile batu bara di kawasan Waylunik belum bisa dikonfirmasi hingga saat ini. 

Fakta di atas menunjukkan bahwa rakyat tidak pernah mendapatkan haknya sebagai warga negara yang harus diayomi dan dilindungi, serta dicukupi kebutuhannya. Padahal, kesehatan adalah hak setiap individu secara keseluruhan. Semua adalah tanggung jawab negara dalam mengurus urusan rakyat. Namun, pada faktanya rakyat selalu terpinggirkan dan menderita. 

Kenapa bisa terjadi hal demikian? Semua berawal dari aturan dan sistem yang diterapkan di negeri ini, yaitu kapitalisme sekuler. Sistem rusak yang diadopsi ini berdampak pada penderitaan yang dirasakan oleh rakyat. 

Kapitalisasi dan liberalisasi mengakibatkan para oligarki bebas mengelola sumber daya alam yang ada di Indonesia. Dalam kapitalisme sekuler, pihak asing atau segelintir orang (oligarki) akan menguasai dan mengeruk kekayaan alam tanpa memikirkan penderitaan orang lain. Bagi mereka, yang penting bisa untung besar dan dapat legalitas dari negara melalui kebijakan atau undang-undang yang dibuat oleh negara. 

Di sistem kapitalisme, posisi negara hanya sebagai regulator saja. Begitulah watak dari sistem demokrasi sebenarnya. Walaupun sudah terjadi kesepakatan dengan lurah atau perangkat desa setempat, bahwa selama perusahaan beroperasi jangan sampai merugikan warga sekitar, toh semua itu hanya sebuah kesepakatan belaka, nihil dalam pelaksanaan. 

Begitulah kalau pengelolaan tambang seperti batu bara diserahkan kepada asing. Yang terjadi adalah berbagai kerusakan dan kerugian yang dirasakan oleh rakyat yang terdampak dari perusahaan tersebut. 

Semua berawal dari sistem yang salah, sehingga solusinya harus dengan sistem juga, tidak bisa hanya dengan solusi yang pragmatis seperti yang ditawarkan saat ini. Karena itu, harus ada sistem sahih yang sudah pasti mampu memberi solusi yang hakiki, yaitu Islam. 

Islam secara rinci mengatur semua aspek kehidupan, mulai dari urusan bangun tidur hingga bangun negara. Terkait pengelolaan barang tambang pun ada aturannya. Dalam Islam, sumber daya alam yang ada, seperti air, api, dan rumput adalah milik umum, tidak boleh dikuasai oleh pihak swasta atau individu. 

Barang tambang termasuk harta kepemilikan umum, sehingga pengelolaannya dilakukan oleh negara, lalu hasilnya diserahkan kembali kepada rakyat dalam bentuk berbagai layanan, seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur.  

Itulah tugas dari seorang khalifah atau pemimpin dalam Islam. Pemimpin dalam Islam adalah orang terpilih yang selalu tunduk dan takut kepada Allah SWT, sehingga dalam kepemimpinannya, ia akan betul-betul mengabdikan diri untuk mengurusi urusan rakyat dengan baik sesuai syariat Islam. 

Begitu juga dengan para aparat negaranya, mereka adalah orang yang bertakwa, serta takut akan perbuatan dosa, seperti korupsi dan berbagai penyimpangan yang akan merugikan rakyat. Keimanannya terjaga karena terkondisikan dengan semua aturan yang berasal dari Sang Khalik, yaitu syariat Islam. 

Jadi, solusi untuk semua permasalahan tersebut hanya ada satu, yaitu penerapan Islam secara kaffah di setiap aspek kehidupan. Itulah solusi hakiki dari problematika kehidupan, sehingga rakyat akan merasakan keadilan dan mendapatkan haknya. Kesejahteraan akan terwujud nyata dan dirasakan oleh semua mahluk Allah Swt. seluruhnya. 

Wallahu a'lam bishawab.
.

Oleh: Dartem
Sahabat Tinta Media 

Rabu, 03 Januari 2024

Kapitalisme Menyengsarakan Rakyat


Tinta Media - Di tengah arus teknologi yang semakin canggih, masih banyak rakyat Indonesia yang tertinggal. Hal ini karena masih banyak masyarakat yang belum menikmati fasilitas umum yang seharusnya dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Salah satunya adalah adanya fasilitas listrik yang memang sangat diperlukan. Tentunya hal ini sangat mengecewakan. 

Seperti halnya kekecewaan Bupati Bandung terhadap perusahaan-perusahaan Geotermal yang beroperasi di Kabupaten Bandung yang disebabkan karena perusahaan-perusahaan tersebut tidak memperhatikan warga sekitar yang tinggal dekat lokasi perusahaan panas bumi. 

Bupati Bandung mengungkapkan kekecewaan tersebut dalam kegiatan Rekonsiliasi Perhitungan Bonus Produksi Panas Bumi Kabupaten Bandung di Hotel Grand Sunshine, Soreang, Kabupaten Bandung, Rabu (20/12/2023) di hadapan perwakilan perusahaan Geotermal dan para kepala desa penerima dana bagi hasil panas bumi. 

Dadang Supriatna menyayangkan, di tengah   eksplorasi panas bumi tersebut, masih banyak warga Kabupaten Bandung yang berdekatan dengan lokasi perusahaan Geotermal belum menikmati listrik. Bupati Bandung meminta kepedulian dari perusahaan-perusahaan Geotermal terhadap masyarakat di sekitarnya dengan mengalokasikan dana Corporate Sosial Responsibility (CSR), sehingga dapat membantu masyarakat Kabupaten Bandung yang rumah-rumahnya belum dialiri listrik. 

Bupati Bandung menyebutkan bahwa ada 3000 keluarga di sana. Mayoritas dari mereka tinggal dekat dengan lokasi perusahaan Geotermal, tersebar di beberapa desa yang belum menikmati listrik, sungguh ironi realita seperti ini. 

Bupati Bandung juga berharap agar perusahaan Geotermal dapat ikut bersinergi dalam program beliau sebagai Ketua DPC PKB Kabupaten Bandung yang meluncurkan program Bedas Caang Baranang, untuk membantu masyarakat yang belum menikmati sambungan listrik. 

Sebenarnya, ketika masyarakat Indonesia tidak bisa menikmati hasil dari sumber daya alam Indonesia yang melimpah, itu bukan hal yang aneh. Walaupun eksploitasi SDA tersebut dekat dengan pemukiman rakyat, akan tetapi rakyat tidak bisa menikmatinya. Hal ini terjadi karena pemerintah menggandeng swasta dalam mengelola SDA. Pengelolaan sumber daya strategis dengan tujuan bisnis tentu saja akan menghilangkan hak rakyat. Seperti sebuah pepatah, " Ibarat ayam mati di lumbung padi," itulah kondisi masyarakat Indonesia saat ini. 

Ini merupakan salah satu bukti rusaknya penerapan sistem demokrasi kapitalis di semua sektor akibat diliberalisasi. Walhasil, rakyatlah yang dirugikan. Padahal, sumber daya alam Indonesia atau kekayaan alam Indonesia seharusnya dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia, karena kekayaan alam Indonesia adalah milik rakyat Indonesia. 

Akan tetapi, saat ini malah sebaliknya, rakyat Indonesia tidak bisa menikmatinya. Yang menikmati hanyalah segelintir orang atau korporasi. Keuntungan hanya dirasakan oleh para kapitalis, sementara rakyat hanya gigit jari. Inilah bukti bahwa kapitalisme menyengsarakan rakyat dan menyuburkan swasta. Para penguasa hanya ada untuk memuluskan jalan bisnis pengusaha. 

Inilah bentuk penjajahan gaya baru atau neoimperialisme. Di sini jelas bahwa aturan manusia tidak akan menyejahterakan rakyat. 

Islam agama yang sempurna, yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk mengatur,  mengurus, dan mengelola sumber daya alam. Sumber daya alam adalah salah satu kekayaan alam yang telah dianugerahkan oleh Allah Ta'ala. Posisi negeri Indonesia yang strategis menjadikan berlimpahnya sumber energi. 

Sumber daya alam adalah salah satu kepemilikan umum. Dalam Islam, kepemilikan umum tidak boleh dikuasai oleh individu atau pun swasta. Kepemilikan umum harus dikuasai dan dikelola oleh negara, dan hasilnya untuk kesejahteraan seluruh rakyat. Inilah salah satu urgensi penerapan syariat Islam. 

Ini karena sistem Islam tidak akan menzalimi rakyat. Sebaliknya, dengan sistem Islam, keadilan akan tercipta pada setiap lapisan masyarakat. Ini karena aturan Islam berasal dari Sang Khalik, yaitu Allah 'azza wa jalla. Alhasil, pemimpin Islam akan bertindak sebagai junnah (perisai), yang akan melindungi masyarakat dari ketidakadilan dan kezaliman. 

Wallahu'alam bishowab.

Selasa, 02 Januari 2024

Mimpi Investasi Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat


Tinta Media - Saat ini narasi investasi sebagai jalan mewujudkan kesejahteraan terus digaungkan. Hal ini dilakukan karena investasi dianggap sebagai jalan untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Dengan adanya lapangan pekerjaan yang mencukupi, diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan. Di sisi lain, pemerintah juga optimis bahwa investasi di tahun 2023 akan mencapai target sehingga bisa lebih baik dari tahun sebelumnya. 

Investasi untuk tahun 2023 sebagaimana yang ditargetkan oleh Kementerian adalah sebesar Rp1.400 triliun, naik dari investasi tahun lalu yang hanya Rp1.200 triliun. 

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya. Ini seperti yang telah dilakukan oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia yang menandatangani nota kesepahaman dengan Menteri Investasi Inggris Lord Dominic Johnson. Dengan pertemuan tersebut, Bahlil mengatakan bahwa Inggris akan menjadi hubungan (pusat)  bagi Indonesia dalam menjajaki pasar di negara-negara persemakmuran, Eropa, hingga Amerika. (antaranews.com/18/10/2022) 

Selain itu, pemerintah juga telah mempersiapkan ekosistem investasi dengan percepatan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk menggaet minat investor. Hingga akhir tahun 2023, tercatat di Indonesia ada 20 (KEK) yang difokuskan pada manufaktur dan pariwisata. Ada sekitar 10 KEK yang fokus pada pariwisata dan 10 KEK yang fokus pada manufaktur. Laporan dari Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha BUMN, Riset dan Inovasi Elen Setiadi menyatakan bahwa investasi di KEK manufaktur tercatat lebih tinggi, yakni Rp133 triliun sepanjang 2023. Kemudian, KEK pariwisata mencapai Rp9 triliun. (cnbc.com, 13/12/2023) 

KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) adalah salah satu program nasional yang dianggap akan bisa meningkatkan investasi dan lapangan kerja untuk rakyat. Maka, saat ini pemerintah begitu gencar untuk merealisasikannya. Bahkan, jargon-jargon semisal jangan alergi dengan investasi terus digembar-gemborkan oleh para pejabat ataupun ekonom agar rakyat mau menerima investasi dari para investor, baik asing maupun swasta, walaupun kita mengetahui bahwa narasi ini datang dari sistem kapitalis yang menjadikan investasi sebagai penentu meningkatnya perekonomian suatu negara. 

Sebagaimana juga diketahui bahwa dalam sistem kapitalis saat ini, negara hanya berperan sebagai regulator, yang mengatur agar terjadi keselarasan antara kepentingan rakyat dan kepentingan para pengusaha, baik swasta lokal maupun asing. Negara hanya berperan mencegah agar tidak terjadi konflik antara rakyat, pengusaha swasta, dan asing tersebut.  

Maka, bisa dipastikan bahwa swasta, baik lokal maupun asing adalah pelaku utama, sehingga baik negara maupun masyarakat akan bergantung dengan pihak swasta, terutama asing. Hal inilah yang akan menjadikan pihak swasta lokal dan asing sebagai penguasa yang sesungguhnya. Hal itu dijadikan sebagai alat tawar swasta, baik lokal maupun asing untuk menekan negara tersebut. 

Maka, tidak dimungkiri bahwa investasi justru menjadi jalan bagi asing untuk menjajah negeri ini. Dengan adanya investasi, maka para investor, baik swasta lokal maupun asing bebas melakukan apa pun sebagaimana yang dijamin oleh sistem kapitalis ini.  

Para investor itu akan bersaing dengan penuh tipu daya, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi dan keuntungan sebanyak-banyaknya. Para pemodal yang kuat akan melumpuhkan yang lemah. Jadilah korporasi dan para  oligarki raksasa menguasai ekonomi negeri ini dan juga ekonomi dunia. 

Tidak heran jika kekayaan orang-orang terkaya dunia mengalahkan kekayaan (APBN) suatu negara. Bahkan, atas nama investasi, kaum kapitalis itu menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) di negara-negara tempat mereka menjadi investornya. Bahkan, SDM (Sumber Daya Manusia)-nya diiming-imingi lapangan kerja dengan gaji  yang sangat murah. Kenaikan gaji juga sulit terealisasi karena tingginya tingkat pengangguran. Sehingga, mau tidak mau, berapa pun gaji yang ditawarkan perusahaan, harus diterima daripada tidak ada penghasilan sama sekali. 

Di samping itu, harga-harga kebutuhan juga terus naik sehingga masyarakat tetap butuh pemasukan. Akhirnya, rakyat menjadi sapi perah para korporasi dan oligarki. Sayangnya, meningkatnya investasi di negeri ini nyatanya tidak relate dengan keadaan rakyat yang masih banyak hidup dalam kesulitan. 

Menteri Bahlil Menyampaikan bahwa pertumbuhan investasi terjadi salah satunya adalah karena peningkatan jumlah investasi dari penanaman modal asing (PMA). Selama beberapa waktu saja, investasi dari PMA mencapai Rp168,9 triliun atau tumbuh 63,6% dibandingkan periode yang sama, tahun sebelumnya. Bahkan, klaim menteri mengatakan bahwa pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi dalam sejarah. Namun, ketika investasi tinggi, PHK justru terjadi secara besar-besaran. 

Menarik apa yang pernah disampaikan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, bahwasanya tingginya nilai investasi ternyata tidak mampu menyerap banyak tenaga kerja. (cnnindonesia.com, 25/10/2022). 

Jika begini, bukankah pemerintah telah menipu rakyat? Alasanku adalah dengan narasi investasi untuk menciptakan lapangan kerja namun kenyataannya justru sebaliknya. Bahkan, UU Omnibus Law Cipta Kerja disahkan pun untuk memuluskan investasi, padahal mayoritas masyarakat menolaknya. Maka, yang dibutuhkan masyarakat bukanlah investasi. Masyarakat membutuhkan riayah dari negara untuk memenuhi semua hak-hak mereka, mulai dari kebutuhan sandang, pangan , papan dan juga kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan, juga keamanan. 

Masyarakat berhak untuk bisa hidup bahagia bersama seluruh anggota keluarga. Mereka bisa dengan nyaman menjalankan syariat agamanya secara kaffah. 

Namun, mewujudkan semua itu dalam sistem kapitalis sekuler hanyalah sebuah mimpi yang tak akan pernah terealisasi. Investasi bisa jadi menjanjikan adanya lapangan kerja. Namun, tidak semua tenaga dan keahlian masyarakat bisa terserap di dalamnya. Investasi menjanjikan para pekerja dapat gaji, tetapi seberapa besar gajinya juga tak pasti, bahkan tidak cukup untuk  memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang semakin mahal. 

Ini karena dalam sistem kapitalis tidak ada konsep pemenuhan kebutuhan individu per individu. Yang menjadi standar pertumbuhan adalah berdasarkan pendapatan per kapita yang dihitung secara general. Maka, sudah dipastikan bahwa mengharapkan rakyat sejahtera dengan investasi hanyalah mimpi. 

Pemenuhan kebutuhan setiap individu rakyat hanya bisa dilakukan oleh negara, bukan korporasi dan oligarki. Hal ini karena  negara memiliki fungsi sebagai pelayan rakyat, bukan hanya  regulator semata. Negara yang seperti itu disebut khilafah. 

Di dalam khilafah, pemimpin (khalifah) adalah pelayan rakyat, yang akan memenuhi semua kebutuhan rakyat. Sumber dananya diambil dari pengelolaan harta milik umum berupa barang tambang, hasil laut, hutan, dan harta milik negara (jizyah, kharaj, ganimah, dan zakat) yang diambil dari baitul mal, bukan dengan mendatangkan investor. 

Negara tidak boleh menggunakan prinsip untung rugi atau beban, melainkan dengan prinsip bahwa rakyat adalah amanah yang harus diurusi segala kebutuhannya karena kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. 

Khilafah akan menerapkan aturan Islam secara keseluruhan. Dengan demikian, seluruh hak rakyat akan diatur secara amanah oleh negara, bukan diserahkan pada masing-masing individu rakyat, apalagi diserahkan kepada swasta lokal dan asing. Dengan begitu, kesejahteraan masyarakat bukan hanya mimpi, tetapi akan terealisasi. 

Wallahu'alam. bisshawab.


Oleh: Fitriani, S.Hi 
(Staff Pengajar Ma'had Al-Izzah Deli Serdang) 
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab