Sabtu, 27 April 2024
Selasa, 16 April 2024
Perang Vs Transisi Energi
Tinta Media - Jurus pamungkas untuk melawan transisi energi adalah perang besar, serentak, ya sekelas perang dunia ke dua kira-kira. Mengapa? Karena transisi energi ini akan mengubur petro dolar yang sudah uzur sehingga tidak akan pernah dapat bangkit lagi.
Kapitalisme petrodolar memang tengah sekarat. Rezim keuangan
global 1971 ini memang datang dari perang, di negeri-negeri kaya minyak,
dibentuk legitimasinya dengan konflik, dipertahankan dengan ancaman produksi
minyak, harga minyak hingga krisis ekonomi.
Memang alasan untuk perang hanya akan ada jika ada
gerombolan yang membabi buta menyerang bangsa lain tanpa alasan. Jika provokasi
beberapa pihak berhasil, diharapkan harga minyak naik, diharapkan banyak negara
panik, diharapkan harga-harga naik, chaos terjadi, maka uang printing bermodal
kertas dan tinta segera bisa dibuat besar besaran. Uang dibuat di luar kaidah-kaidah
moneter dengan alasan mengatasi krisis.
Namun sekarang perang tidak dapat menghasilkan momentum apa-apa
bagi keuntungan transaksi minyak. Ini dikarenakan konsumsi minyak tidak lagi
pada level dapat menghasilkan ketergantungan dan menjadi alat membuat krisis.
Harga minyak naik tidak membuat dunia panik. Akibatnya perang tidak akan sampai
menemukan legitimasi untuk membuat uang bermodalkan kertas, tinta dan mesin
printing.
Petro dolar sudah tidak relevan lagi di era digitalisasi dan
transparansi. Dunia tidak lagi dapat menerima uang hasil printing bermodal
kertas dan tinta yang mereka buat. Sekarang dan ke depan nilai akan ditentukan
oleh masyarakat, oleh netizen, dari bawah, buttom up, bukan oleh segelintir
orang secara exlusive.
Sekarang dunia tengah bersiap mengantikan jangkar uang
dari jangkar minyak menjadi jangkar green energy, maka dolar akan
digantikan dengan mata uang global baru, yang ditransparansikan dengan
digitalisasi, nilainya datang dari bawah, secara inclusive. Darimama semua ini
akan dimulai, dari pembentukan super power baru, yakni climate change super
power.
Oleh : Salamuddin Daeng
Ketua Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia
Senin, 15 April 2024
Mau Perang Tapi Kere, Bagaimana?
Tinta Media - Dunia Barat sekarang ini memperlihatkan keinginannya untuk perang. Tapi kita tahu mereka sedang kere kerenya. Inggris dilanda resesi. Amerika terpaksa menaikkan suku bunga setinggi langit untuk menarik uang dari seluruh dunia, uang 2 triliun dolar untuk membiayai APBN mereka yang bolong. Sementara The Fed tidak boleh cetak uang dengan modal kertas dan tinta saja karena dilarang.
Seberapa pun kuatnya provokasi perang, kalau negaranya sedang kere itu perang akan menjadi bunuh diri alias perang negara gila. Perang selama ini adalah investasi global yang dijadikan alat untuk mencari uang. Perang negara gila adalah menghabiskan uang. Ya memang negara gila itu memang ada?
Sementara perang butuh banyak uang, untuk bayar tentara, beli senjata, untuk makan dan minum semua orang yang terlibat dalam perang. Sementara uang untuk perang tidak ada. Semua negara sibuk bayar utang. Juga tidak ada swasta lagi yang bisa membiayai perang karena utang swasta juga cukup besar.
Biasanya setiap perang di negara Barat itu ada yang kasih utang untuk perang. Tapi sekarang utang untuk perang sudah tidak menjanjikan masa depan. Perang untuk merebut tanah, minyak, bahan bakar fosil sudah tidak relevan lagi. Orang sibuk berebut dunia maya sekarang. Karena dunia maya lebih menjanjikan masa depan.
*Lagi pula utang dunia sekarang sudah terlalu banyak. Lebih dari 300 triliun dolar. Dunia yang sangat buruk. Karena PDB global hanya 90 triliun dolar. Utang sebesar ini karena barat terlalu rakus. Mereka bukan hanya memakan sumber daya alam yang ada, tapi juga memakan yang belum ada yakni memakan masa depan.*
Sekarang perang besar itu adalah melawan hawa nafsu agar jangan merusak alam. Perang agar harga minyak naik, perang lagi harga minyak naik, itu sudah berakhir dan tidak ada lagi! Minyak itu sudah masa lalu. Minyak itu sudah dianggap menantang hukum alam. Minyak akan membuat reaksi alam sangat besar, bukan hanya akan memusnahkan manusia tapi juga jin-jin dan setan-setan jahat akan musnah melawan reaksi alam. Reaksi climate change ini sangat dahsyat. Tidak akan bisa dihindari, tidak akan bisa dimanipulasi. Semua yang menghalangi akan disapu badai!
Oleh : Salamuddin Daeng
Ketua Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia
Selasa, 20 Februari 2024
Direktur FIWS: Gencatan Senjata Sebagai Strategi Perang Dibolehkan!
Kamis, 08 Februari 2024
Memenangkan Perang Pemikiran lewat Tulisan
Senin, 24 April 2023
Perang antar Jendral di Sudan untuk Meraih Kekuasaan
Jumat, 17 Februari 2023
BABAK BARU PERANG PERADABAN, DIMANA POSISI UMAT ISLAM?
Tinta Media - Francis Fukuyama dalam The End of History-nya menyatakan bahwa pasca ambruknya Uni Soviet 1991 dunia akan mencapai satu konsensus luar biasa terhadap Demokrasi Liberal. Ia berasumsi bahwa Demokrasi Liberal adalah akhir dari evolusi ideologi setelah runtuhnya berbagai ideologi lain seperti Monarki, Komunis, Fasisme, dan seterusnya. Tercabiknya Uni Soviet dalam beberapa negara seolah-olah menjadi momentum pembanding antara Kapitalisme dan ideologi serta isme-isme lain di muka bumi. Tesis Francis Fukuyama dibantah oleh Samuel Hutington.
Bagi Samuel P Hutington penasehat politik kawakan Gedung Putih menyebut konflik Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya. Sedangkan konflik antara Kapitalis dan Marxis sifatnya cuma sesaat dan dangkal. Dari 32 konflik besar dunia di tahun 2000-an dua per tiganya adalah antara Islam dengan Non-Islam tanpa ia mengurai secara detail sebab akibat dan mengapa konflik itu terjadi.
Istilah ‘konflik peradaban’ diperkenalkan Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996). Menurut Huntington, dengan berakhirnya perang dingin yang ditandai dengan runtuhnya ideologi komunisme, wilayah konflik meluas melewati fase Barat, dan yang mewarnainya adalah hubungan antara peradaban Barat dan non-Barat serta antarperadaban non-Barat itu sendiri.
Huntington mengelompokkan negara-negara bukan atas dasar sistem politik ekonomi, tetapi lebih berdasarkan budaya dan peradaban. Ia mengidentifikasi sembilan peradaban kontemporer, yaitu, peradaban Barat, Cina, Jepang, Amerika Latin, Afrika, Hindu, Budha, Islam, dan Kristen Ortodoks.
Benturan yang paling keras – menurut Huntington - akan terjadi antara kebudayaan Kristen Barat dengan kebudayaan Islam. Tesis tersebut secara tidak langsung memperkuat asumsi sebagian besar ilmuwan Barat yang melihat Islam sebagai aggression and hostility (agresi dan ancaman). Pendek kata, bagaimana Barat menciptakan stereotipe-stereotipe simplistis yang menunjukkan wajah the rage of Islam.
Dunia akan mencapai satu konsensus luar biasa terhadap demokrasi liberal sebagaimana diungkap oleh Francis Fukuyama agaknya memang meleset, sebab pada faktanya umat muslim sedunia dengan ideologi Islamnya mulai menggeliat bangkit menjadi lawan ideologi demokrasi liberal yang secara institusi diwakili oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dengan model nation statenya. Pada faktanya, nation state itu memang harus tunduk patuh kepada PBB. Sederhananya, abad ini tengah dimulai perang peradaban antara ideologi Islam dengan sistem khilafah dengan ideologi demokrasi liberal dengan sistem nasionalisme yang induknya PBB.
Tiga tokoh pendiri PBB adalah Franklin D. Roosevelt, Winston Churchill dan Joseph Stalin yang mewakili tiga negara yakni Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet yang disebut sebagai “The Big Three”. Kesepakatan pembentukan PBB itu berlanjut pada Konferensi Dumbarton Oaks di Washington DC, di mana para diplomat AS, Inggris, dan Uni Soviet berunding dengan diplomat Cina. Sidang Umum pertama kali digelar pada 10 Januari 1946 di London dan dihadiri oleh wakil dari 51 negara setelah sebelumnya Piagam PBB diratifikasi oleh lima anggota tetap keamanan, yakni Perancis, Amerika Serikat, Uni Soviet, Cina, dan Inggris, serta 46 negara lainnya.
Kembali kepada tesis Hutington, pada gilirannya dia merekomendasi perlunya Pre-emtive Strike (serangan dini) terhadap ancaman kaum Militan Islam. Idenya sangat efektif mewarnai politik luar negeri Amerika Serikat (AS) era George W Bush. Awal Juni tahun 2002, Pre-emtive Strike menjadi doktrin baru AS dan diumumkan ke publik. Meskipun itu menimbulkan kontroversi baik di kalangan dalam maupun luar negeri, sebab sewaktu perang dingin saja memakai metode penangkisan dan penangkalan, kenapa menghadapi musuh baru --teroris, yang masih samar-samar justru AS menggunakan metode serangan dini?
Maka, ada dua kemungkinan positioning umat Islam dalam perang peradaban ini, pertama berjuang menegakkan khilafah dan kedua tunduk kepada PBB. Dua hal ini adalah pilihan, namun tentu saja umat Islam semestinya memilih posisi sebagai pejuang khilafah dan menjadikan Islam sebagai ideologinya. Sumber hukum Islam itu ada empat Al Qur’an, Al Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Maka, sangat aneh, jika ada muslim menolak sistem Islam dan menerima hukum yang dibuat oleh PBB. Islam sebagai ideologi melahirkan sistem pemerintahan khilafah, sementara PBB melahirkan ideologi kapitalisme dan atau komunisme.
Secara umum, ideologi (Arab: mabda') adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan—sekaligus menjadi landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya. (M. Muhammad Ismail, 1958). Pemikiran mendasar dari ideologi ini dapat disebut sebagai akidah ('aqîdah), yang dalam konteks modern terdiri dari: (1) materialisme; (2) sekularisme; (3) Islam.
Akidah ini berisi pemikiran mondial dan global mengenai manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan setelah dunia ini. (M. Husain Abdullah, 1990). Akidah ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi seperangkat aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya.
Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang lahir dari akidah itulah yang disebut dengan ideologi. Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi (mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22). Pada kenyataannya berdasarkan penjelasan di atas, maka di dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1) Sosialisme-komunis, yang lahir dari akidah materialisme; (2) Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah sekularisme; (3) Islam, yang lahir dari akidah Islam. Menyebut khilafah sebagai ideologi adalah kesalahan fatal yang tidak ada dasar pijakan epistemologinya. Ada dua buku referensi untuk mendalami masalah ideologi ini.
Kejayaan umat Islam hanya akan bisa diwujudkan jika terikat dengan hukum Islam, jika meninggalkan Islam, maka peradaban umat Islam akan runtuh. Karena itu, pasca runtuhnya khilafah ustmaniyah di Turki, negeri-negeri muslim dan umat Islam dalam kemunduran yang luar biasa. Bukan hanya mundur, namun juga terjajah, terzolimi, terusir, terbunuh dan terjerat kemiskinan.
Nasionalisme ala PBB yang menjerat negeri-negeri muslim menyebabkan kaburnya mana kawan dan mana lawan. Bahkan sesama negeri muslim bisa saling bermusuhan karena nasionalisme. Maka, jika khilafah tegak, PBB dengan Amerika sebagai bossnya akan kehilangan banyak negeri-negeri muslim yang dijajah. PBB akan terus melakukan penolakan tegaknya khilafah dengan berbagai cara, termasuk mengajak negeri-negeri muslim untuk ikut dalam barisan PBB.
Namun, ibarat bunga, mereka mungkin bisa mematikan bunga, namun tak akan mampu menghentikan tibanya musim semi. Tegaknya khilafah sebagai janji Allah juga seperti terbitnya matahari dan turunnya air hujan, tak mungkin bisa dihentikan oleh manusia, bahkan jika seluruh manusia di dunia bersatu padu sekalipun.
Khilafah adalah salah satu ajaran Islam dalam aspek politik, kepemimpinan, kekuasaan dan pemerintahan sebagaimana telah terwujud dalam sejarah peradaban Islam masa lalu. Menyalahkan khilafah berarti menyalahkan ajaran Islam, padahal khilafah sendiri hari ini belum tegak di muka bumi. Gagasan khilafah bahkan masih sebatas diskursus intelektual.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan menegaskan bahwa khilafah tidak identik dengan terorisme. Di tegaskan oleh ketua MUI Sulsel, Prof. KH. Najamuddin menyampaikan pernyataan yang menuai banyak perhatian publik, ia menyebut khilafah tidak identik dengan terorisme. “Khilafah tidak identik dengan terorisme dan khilafah tidak boleh disalahartikan,” tegas KH Najamuddin.
Prof KH Najamuddin mengungkapkan, khilafah dalam arti kepemimpinan adalah sesuatu yang wajib dalam pandangan Islam. Menurut KH Najamuddin, Nabi Muhammad SAW memerintahkan, jika kalian bertiga keluar dari daerah, angkatlah satu pemimpin dalam perjalanan. “Jika tiga saja harus ada pemimpin, dalam komunitas Rukun Tetangga atau Rukun Warga (RT/RW), hingga negara perlu ada pemimpin,” jelas KH Najamuddin pada Senin, 6 Juni 2022. (dimuat di Onlineindo News - 2022-06-06,12:45).
Wahbah az-Zuhaili mengemukakan makna khilafah. Beliau menyebutkan, “Khilafah, Imamah Kubra dan Imaratul Mu’minin merupakan istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.” (Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 9/881). Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk melaksanakan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah ke seluruh alam.
Sejatinya antara syariah atau ajaran Islam secara kâffah tidak bisa dilepaskan dengan Khilafah. Ini juga yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam al-Ghazali: “Agama adalah pondasi dan kekuasaan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tidak ada pondasinya akan roboh. Sesuatu yang tidak ada penjaganya akan terlantar.”
Dalam Kitab fikih yang sangat terkenal—dengan judul Fiqih Islam karya Sulaiman Rasyid, dicantum bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air. Terlepas dari berbagai ragam sikap, namun seluruh imam mazhab bersepakat bahwa Khilafah atau imamah adalah bagian dari ajaran Islam, bahkan wajib untuk ditegakkan.
Imam Syamsuddin al-Qurthubi (w. 671 H) seorang ulama yang sangat otoritatif di bidang tafsir. Menjadikan ayat 30 surat al-baqarah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Kata beliau, "Ayat ini merupakan dalil atas kewajiban mengangkat seorang khalifah yang di patuhi serta di taati agar dengan itu suara umat Islam bisa bersatu dan dengan itu pula keputusan-keputusan khalifah dapat di terapkan.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat dan tidak pula di antara para ulama atas kewajiban ini, kecuali apa yang di riwayatkan dari Al-'Ahsam yang benar-benar telah tuli (ashamm) terhadap syariah. Demikian pula siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya itu serta mengikuti ide dan mazhabnya."
Para ulama juga menjadikan as-Sunnah sebagai dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah. Misalnya hadist Shahih Muslim nomer 567 tentang tawaran Istikhlaf (menunjuk Khalifah pengganti) kepada Umar bin Khattab ra. Menjelang saat beliau mendekati ajal. Imam al-Qadhi 'Iya di al-makin (w. 544 H) mengatakan dalam syarh -nya Ikmal al-mu'lim bi-Fawa id Muslim, "ini merupakan hujjah bagi apa yang telah menjadi ijmak kaum Muslim dimasa lampau tentang syariah pengangkatan seorang Khalifah.
Imam Syamsuddin At-Taftazani ( w. 791 H) dalam Syarh Al-'Aqa id Al-Nasafiyyah, dengan berdasarkan hadist tersebut, menegaskan bahwa khilafah itu wajib menurut syariah. Dalil yang semakin mengokohkan kewajiban menegakkan Khilafah adalah Ikmal Sahabat pasca Rasulullah saw. Untuk mengangkat seorang khalifah. Dalil ini disepakati oleh seluruh ulama Aswaja.
Imam Saifuddin al-Amidi (w. 631 H) mengatakan, "Ahlus Sunnah wal Jamaah (Ahlul Haq) berpendapat: Dalil qath'i atas kewajiban mewujudkan seorang khalifah serta menaatinya secara syar'i adalah riwayat mutawatir tentang adanya ijmak kaum Muslim (Ijmak Sahabat) pada periode awal pasca Rasulullah saw. Wafat atas ketidakbolehan masa dari kekosongan seorang khalifah..."
Esensi pertama khilafah dalam Islam adalah untuk menerapkan syariat dan hukum Allah secara sempurna di berbagai bidang kehidupan manusia. Esensi kedua khilafah adalah dakwah rahmatan lil alamin ke seluruh penjuru dunia. Esensi ketiga khilafah adalah mewujudkan persatuan umat seluruh dunia dalam satu kepemimpinan. Ketiga esensi di atas adalah kebaikan, bukan keburukan, apalagi ekstrimisme kekerasan, sama sekali bukan. Sebab syariah, dakwah dan persatuan umat adalah kebaikan yang diperintahkan oleh Allah.
Jadi, perang peradaban tengah berlangsung, maka umat Islam semestinya memilih untuk berjuang tegaknya khilafah, bukan malah patuh kepada PBB.
Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Ketua Forum Doktor Muslim
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 09/02/23 : 23.08 WIB)
Kamis, 20 Oktober 2022
Perang Rakyat Semesta, Mampukah Hadapi Resesi Dunia?
Senin, 08 Agustus 2022
Pengamat: Rusia Serang Ukraina sebagai Respon Upaya Perluasan NATO di Eropa Timur
Selasa, 05 Juli 2022
FIWS: Ukraina Menjadi Obyek Kepentingan Negara-Negara Besar
Sabtu, 07 Mei 2022
Bagi Islam dan Para Ulama, Perang Melawan Penjajah adalah Jihad
"Bagi Islam dan para ulama, perang melawan kolonial alias penjajah yang Kristen adalah jihad," tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (5/5/2022).
Menurutnya, tujuan para ulama melawan penjajah, bukan hanya merdeka, tapi lebih dari itu adalah menjalankan perintah agama.
"Kalau sudah dikaitkan dengan kesadaran agama, spirit menjadi hidup, motivasi menjadi kuat, energi menjadi berlipat dan hidup menjadi bermakna. Itulah rahasia kemenangan perlawanan para ulama dalam mengusir penjajah Belanda yang Kristen Protestan," tandasnya.
Ia mengurai alasan pemilihan diksi penjajah dibanding kolonial yang dituliskan oleh Tokoh Sejarawan, Ahmad Mansur Suryanegara, di buku Api Sejarah.
Pertama, Ahmad Mansur Suryanegara paling greget diantara para sejarawan dalam menyadari dan memberikan informasi bahwa Belanda itu penjajah, imperalis dan Kristen. Menyebut kolonial itu netral, hambar, tak ada energinya dan kurang menekankan pesan bahwa Belanda adalah penjajah.
Kedua, bila 'kolonial' adalah bahasa akademik, 'penjajah' adalah bahasa emosi. Kedua kata itu tensinya berbeda. Seperti kita membaca kata 'tahanan,' 'sel' atau 'lembaga pemasyarakatan' beda dengan kata 'penjara.' Atau, kata 'korupsi' beda dengan 'maling'.
"Bahasa itu akan terasa pengaruhnya bila ada tekanan emosi. Tulisan atau pemikiran yang menarik dan memiliki daya pengaruh bila ada muatan emosinya dan semangat yang ditanamkan. Sama juga dengan bahasa oral atau lisan. Itulah, kata 'kolonial' beda tekanan maknanya dengan penjajah," terangnya.
Ketiga, Ahmad Mansur Suryanegara memesankan bahwa konflik dan pertengkaran antar manusia dalam sejarah pada dasarnya adalah konflik dan pertengkaran yang juga didasari agama. Aspek primordial tidak hilang atau tidak bisa disembunyikan bahwa misi agama turut berperan atau mempengaruhi. Perang agama, kepentingan agama atau atas nama agama terjadi sepanjang sejarah dan dimana pun. Menyembunyikannya hanya kepura-puraan dan perdamaian antar agama hanyalah kamuflase. Bukan harus selalu berperang tapi konflik antar agama akan selalu ada dan sudah berjalan sepanjang sejarah.
Atas ketiga alasan itulah, Ahmad Mansur Suryanegara ingin memesankan untuk tidak melupakan unsur agama dalam melihat proses penjajahan Belanda, walaupun asalnya ekonomi, tapi semangat agama telah menjadi motivasi penting sehingga penjajahan Belanda sesungguhnya adalah penjajahan agama dan peperangan melawan kolonial hakikatnya adalah perang antar agama.
"Landasan dan motivasi agama ini masih akan terus terjadi di masa depan," imbuhnya.
Atas penjelasan itu, sambungnya, artinya Ahmad Mansur Suryanegara, ingin menegaskan bahwa penjajahan Belanda selama ratusan tahun di Nusantara, selain faktor ekonomi, didasari dan disemangati juga oleh faktor agama, slogan "glory, gold, gospel" yang terkenal itu. Kristen Eropa ingin menjajah negeri-negeri Muslim sebagai warisan dari Perang Salib dengan melalui penguasaan ekonomi.
"Perang agama adalah real alias nyata, baik alasan efek penyebaran agama (Islam) atau penjajahan (Kristen)," pungkasnya.[] 'Aziimatul Azka
Minggu, 24 April 2022
Perang pada Zaman Mulkan Jabriyatan
Dalam peperangan, ada sebuah teknik yang dikenal dengan teknik pertempuran asimetris. Ini adalah jenis pertempuran yang tidak menggunakan senjata seperti layaknya sebuah pertempuran konvensional. Bahkan, pihak-pihak yang bertempur biasanya malah tidak langsung bertemu atau berhadapan. Ini adalah jenis pertempuran pemikiran dan strategi dalam mencapai suatu tujuan yang diinginkan.
Meskipun tidak terlihat kedahsyatan dan kemegahan karena tidak melibatkan alat-alat perang, tetapi kerusakan yang diakibatkan oleh jenis pertempuran ini tak kalah massif dengan jenis pertempuran konvensional. Dengan menggunakan strategi pertempuran asimetris, pihak yang berperang sangat mungkin untuk memenangkan pertempuran tanpa perlu mengeluarkan banyak pengorbanan. Bahkan, bisa jadi yang melakukan pertempuran tersebut adalah orang lain melalui strategi proxy.
Pertempuran jenis ini adalah pertempuran pemikiran yang melibatkan penggalangan dukungan masyarakat melalui strategi penguasaan opini di masyarakat. Biasanya, pihak-pihak yang berperang akan menggunakan tiga tahapan yang diulang-ulang, yaitu isu sebagai pemicu, pengarusutamaan opini, dan eksekusi agenda utama.
Mari kita lihat aplikasinya pada apa yang dilakukan oleh rezim sekuler untuk mempertahankan eksistensinya terhadap umat Islam dengan menggunakan teknik asimetri ini.
Mula-mula mereka menggulirkan sebuah isu yang menarik perhatian. Isu dipergunakan oleh para dewa perang sebagai upaya percobaan atau "Test the water". Isu ini diharapkan tidak diketahui oleh publik sebagai pancingan dan pengalihperhatian.
Misalnya adalah ditangkapnya seorang ustaz yang dipersonifikasikan sebagai teroris yang kejam dan membahayakan masyarakat. Untuk menarik perhatian, peristiwa penangkapan harus dilakukan dengan drama-drama yang epik dan kolosal. Namun, yang harus diperhatikan agar meraih keberhasilan pada tahap ini adalah kesan sangat natural terhadap apa yang terjadi.
Kemudian menentukan ke arah mana opini diarusutamakan. Hal ini adalah lanjutan dari reaksi publik terhadap isu yang dilemparkan. Pada tahap ini, arah opini yang diinginkan oleh para dewa perang harus bisa menjadi pendapat sebagian besar masyarakat.
Pada kasus penangkapan terduga teroris, diharapkan masyarakat memiliki persepsi negatif terhadap orang yang berusaha untuk hidup sesuai dengan syariat. Rasa takut dan kekhawatiran masyarakat terhadap Islam harus menjalar ke semua lapisan.
Setelah pengarusutamaan berhasil dilakukan, maka tahap selanjutnya adalah menjalankan sebuah agenda tersembunyi atas dasar persetujuan masyarakat. Setelah masyarakat tertipu dengan opini palsu, maka yang kemudian dilakukan adalah memberi solusi palsu pula, yaitu dengan memukul pergerakan Islam untuk melindungi dan memperpanjang eksistensi kekuasaan mereka yang batil, korup, dan dijalankan dengan penuh kezaliman. Inilah solusi palsu yang dibangun dari narasi yang juga penuh dengan kebohongan. Ini adalah sebuah orde kezaliman di balik berbagai kosmetik pencitraan.
Merespon Isu dengan Islam
Kebangkitan umat Islam sesungguhnya berawal dari kebangkitan pemikirannya. Ketika ada isu yang diarahkan kepada Islam, umat harus bisa merespon dengan pemikiran. Apabila umat merespon dengan perasaan yang bisa dipermainkan, maka para penjajah dengan mudah melanjutkan ke tahap berikutnya. Inilah pentingnya pembinaan yang ditujukan untuk mencerdaskan akal, bukan sekadar memenuhi naluri keruhanian. Ini karena Islam dibangun dengan pemikiran cemerlang yang memuaskan akal.
Di samping kecerdasan pemikiran, diperlukan pula adanya amar makruf nahi mungkar agar opini yang dilemparkan tidak berkembang menjadi persepsi yang salah terhadap fakta yang terjadi di lapangan.
Dengan adanya upaya saling menjaga, saling melindungi, dan saling nasihat-menasihati berdasarkan keimanan, maka eksistensi Islam dan umatnya bisa terjaga hingga akhir zaman. Tanpa hal tersebut, musuh-musuh Islam akan dengan mudah mengacak-acak perasaan. Hal tersebut dapat memengaruhi keputusan dan pendapat mereka. Ini tentu saja berbahaya, apalagi di era demokrasi, suara terbanyak dianggap sebagai suara Tuhan.
Selain amar makruf nahi mungkar, umat Islam membutuhkan sebuah entitas pemikiran yang berideologi Islam di masyarakat. Inilah arti penting keberadaan partai politik Islam Ideologis menemukan momentumnya.
Skema yang dilakukan untuk menghancurkan Islam bisa dibongkar oleh partai politik ideologis yang memang memiliki kapasitas dan segala perangkat yang diperlukan sehingga masyarakat tahu makar-makar yang dilakukan oleh penjajah beserta antek-antek yang sedang berkuasa. Tanpa adanya partai politik ideologis Islam yang sempurna, umat Islam bagaikan tubuh tanpa kepala.
Demikianlah kondisi umat Islam. Sejak diruntuhkannya Khilafah Islamiyyah, umat Islam senantiasa menjadi objek penistaan, pembodohan, dan penghancuran. Oleh karena itu, harus menjadi perhatian utama kita untuk mengembalikan kehidupan Islam dengan dakwah politis, pemikiran yang nonkekerasan agar bisa menghadapi strategi asimetris yang secara simultan dipergunakan oleh musuh-musuh untuk menghancurkan Islam.
Di era mulkan jabriyatan ini, penting bagi umat Islam untuk memenangkan berbagai pertempuran opini yang digelar. Namun, lebih penting lagi bagi kita untuk memenangkan perang antara hak dan batil di akhir zaman ini. Apalagi kemerosotan berpikir dari umat Islam sendiri masih menjadi PR yang harus senantiasa dikerjakan hingga Allah Swt. memberikan pertolongan. Wallahu a'lam bishshawwab.
Oleh: Trisyuono Donapaste
Sahabat Tinta Media