Tinta Media: Opini Tokoh
Tampilkan postingan dengan label Opini Tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini Tokoh. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 April 2024

Karena Alasan Inilah Anda Harus Menulis Berita

Tinta Media - Dalam banyak kesempatan, Anda mestilah tidak menonton video 𝑡𝑎𝑙𝑘𝑠ℎ𝑜𝑤 yang durasinya panjang. Alasannya, bisa karena tidak cukup waktu, tidak cukup kuota, tidak tertarik dengan judulnya, dan atau alasan lain. Namun ketika meluangkan waktu untuk menontonnya secara saksama, ternyata Anda temukan banyak pesan penting dalam video tersebut yang sangat berguna untuk diketahui publik.

Pilihannya, (1) Anda akan menyebarkan video tersebut, atau (2) kutip saja pernyataan yang menurut Anda sangat penting lalu disebarkan.

Kalau yang pertama Anda pilih, tentu saja orang lain sangat mungkin beralasan sama dengan Anda di awal sehingga tidak menontonnya. Kalau poin kedua yang Anda pilih, bisa saja membuat video pendek lalu disebarkan di medsos.

Namun, bila Anda memilih untuk menuliskannya, maka salah satu tulisan yang paling pas digunakan adalah berita lugas (𝑠𝑡𝑟𝑎𝑖𝑔ℎ𝑡 𝑛𝑒𝑤𝑠/SN) yang secara awam sering disebut sebagai berita (𝑛𝑒𝑤𝑠) saja.

SN adalah 𝑟𝑒𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑟𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑘𝑒𝑗𝑎𝑑𝑖𝑎𝑛/𝑖𝑛𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑎𝑛𝑔𝑠𝑢𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑜𝑘𝑜𝑘 𝑝𝑒𝑟𝑚𝑎𝑠𝑎𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛. Jadi, sejak membaca paragraf pertama (teras/𝑙𝑒𝑎𝑑), pembaca langsung mendapatkan pesan utama yang disampaikan Anda.

Bila dalam video tersebut, menurut Anda, ada sepuluh bahasan penting, maka Anda bisa menulis 10 SN, yang tentu saja dengan 10 judul berbeda. Bandingkan dengan video yang hanya satu judul, maka peluang SN yang diangkat dari video tersebut memiliki 10 kali lipat peluang untuk dibaca.

Itu merupakan salah satu alasan mengapa Anda harus menulis SN. Alasan lainnya ada banyak. Beberapa di antaranya sebagai berikut.

𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂, 𝐒𝐍 𝐜𝐨𝐜𝐨𝐤 𝐝𝐢𝐛𝐚𝐜𝐚 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐬𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭 𝐬𝐢𝐛𝐮𝐤 𝐭𝐚𝐩𝐢 𝐡𝐚𝐮𝐬 𝐛𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚. Karena karakter SN yang 𝑡𝑜 𝑡ℎ𝑒 𝑝𝑜𝑖𝑛𝑡 sejak awal kalimat, sangat cocok dibaca oleh orang-orang yang tidak memiliki waktu banyak tetapi sangat haus akan informasi kekinian yang terjadi di dalam maupun luar negeri.

Mereka baru baca judul dan paragraf pertama saja, informasi berharga langsung diterima. Jadi, SN yang Anda buat benar-benar sangat menghemat waktu mereka.

𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂, 𝐦𝐞𝐦𝐛𝐮𝐚𝐭 𝐒𝐍 𝐬𝐚𝐧𝐠𝐚𝐭 𝐜𝐨𝐜𝐨𝐤 𝐝𝐢𝐣𝐚𝐝𝐢𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐚𝐭𝐮 𝐮𝐬𝐥𝐮𝐛 (𝐜𝐚𝐫𝐚 𝐭𝐞𝐤𝐧𝐢𝐬) 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐠𝐚𝐦𝐛𝐚𝐫𝐤𝐚𝐧 𝐫𝐞𝐚𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐦𝐚𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐞𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐩𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐧𝐠𝐬𝐮𝐧𝐠 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐩𝐨𝐤𝐨𝐤 𝐩𝐞𝐫𝐦𝐚𝐬𝐚𝐥𝐚𝐡𝐚𝐧.

Realitas tersebut setidaknya ada dua macam: (1) realitas yang islami sehingga sangat layak untuk disyiarkan, salah satunya melalui SN; (2) realitas yang tidak islami sehingga sangat layak untuk dikoreksi, salah satu caranya dapat dikoreksi melalui SN. Sehingga publik selain tahu ada masalah, mendapatkan edukasi juga dari sudut pandang dan atau solusi yang islaminya.

𝑲𝒆𝒕𝒊𝒈𝒂, 𝐬𝐞𝐛𝐚𝐠𝐚𝐢 𝐩𝐞𝐥𝐮𝐫𝐮 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐩𝐞𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐢𝐧𝐟𝐨𝐫𝐦𝐚𝐬𝐢. Saat ini memang sudah berlimpah SN yang dibuat media massa, namun sayangnya banyak SN yang justru menginformasikan realitas yang tidak islami, tetapi dikesankan sebagai sesuatu yang baik dan layak untuk diikuti. Lebih parahnya lagi, ralitas yang islami dikesankan sebagai sesuatu yang buruk dan harus diperangi.

Dengan kata lain, media massa sekuler dengan berbagai SN yang diproduksinya tersebut sedang melakukan amar mungkar dan nahi makruf. Maka, Anda harus melawannya. Salah satu cara melawannya adalah dengan melakukan amar makruf dan nahi mungkar dengan uslub membuat SN juga.

𝑲𝒆𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕, 𝐒𝐍 𝐦𝐞𝐫𝐮𝐩𝐚𝐤𝐚𝐧 𝐮𝐬𝐥𝐮𝐛 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐧𝐨𝐤𝐨𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠-𝐨𝐫𝐚𝐧𝐠 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐦𝐞𝐦𝐚𝐧𝐠 𝐥𝐚𝐲𝐚𝐤 𝐝𝐢𝐭𝐨𝐤𝐨𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐝𝐚𝐧 𝐝𝐢𝐫𝐮𝐣𝐮𝐤 𝐩𝐞𝐧𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭𝐧𝐲𝐚 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐩𝐮𝐛𝐥𝐢𝐤.

Media massa sekuler dan media massa islami tentu saja memiliki kriteria bertolak belakang orang mana yang layak dijadikan narasumber agar pendapatnya dirujuk pembaca.

Maka, sebagaimana media massa sekuler yang menokohkan orang-orang sekuler dengan cara dijadikan narasumber SN yang mereka buat, sebaliknya Anda menjadikan orang-orang islami sebagai narasumber SN yang Anda buat, salah satunya untuk mematahkan pendapat tokoh-tokoh sekuler tersebut.

𝑲𝒆𝒍𝒊𝒎𝒂, 𝐀𝐧𝐝𝐚 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐚𝐡𝐮𝐥𝐮 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐚𝐩𝐚𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐢𝐥𝐦𝐮 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐧𝐚𝐫𝐚𝐬𝐮𝐦𝐛𝐞𝐫 𝐤𝐞𝐭𝐢𝐦𝐛𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐦𝐛𝐚𝐜𝐚. Sebelum pernyataan narasumber terkait suatu kejadian aktual sampai ke pembaca tentu saja akan sampai kepada Anda lebih dahulu, karena Andalah yang menyajikan informasi/ilmu dari narasumber ke dalam bentuk SN untuk dikonsumsi publik.

𝑲𝒆𝒆𝒏𝒂𝒎, 𝐀𝐧𝐝𝐚 𝐥𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐦𝐮𝐝𝐚𝐡 𝐛𝐞𝐫𝐭𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐚𝐡𝐥𝐢 𝐝𝐢 𝐛𝐢𝐝𝐚𝐧𝐠𝐧𝐲𝐚 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐩𝐞𝐫𝐤𝐚𝐫𝐚 𝐚𝐤𝐭𝐮𝐚𝐥 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐢𝐧𝐠𝐢𝐧 𝐀𝐧𝐝𝐚 𝐤𝐞𝐭𝐚𝐡𝐮𝐢. Dengan alasan Anda sebagai jurnalis yang hendak membuat berita dalam isu tertentu yang tengah aktual, Anda bisa bertanya (wawancara) kepada para pejabat terkait, praktisi, ahli, dan pengamat di bidangnya masing-masing.

Tentu saja setelah mendapat jawabannya harus segera dibikin SN ya, jangan hanya cukup membuat Anda tahu saja. Karena secara etis, Anda harus memberikan bukti hasil wawancaranya berupa berita yang sudah dimuat di media massa.

Itulah enam dari sekian banyak alasan yang membuat Anda harus menulis SN. Empat alasan lainnya bisa Anda baca pada buku 𝑇𝑖𝑝𝑠 𝑇𝑎𝑘𝑡𝑖𝑠 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑙𝑖𝑠 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑆𝑎𝑛𝑔 𝐽𝑢𝑟𝑛𝑎𝑙𝑖𝑠 𝐽𝑖𝑙𝑖𝑑 1: 𝑇𝑒𝑘𝑛𝑖𝑘 𝑀𝑒𝑛𝑢𝑙𝑖𝑠 𝑂𝑝𝑖𝑛𝑖, 𝐵𝑎𝑏 1 𝑇𝑖𝑝𝑠 𝑆𝑒𝑚𝑎𝑛𝑔𝑎𝑡 𝐵𝑒𝑟𝑑𝑎𝑘𝑤𝑎ℎ 𝐿𝑒𝑤𝑎𝑡 𝑇𝑢𝑙𝑖𝑠𝑎𝑛 ataupun baca pada tautan https://shorturl.at/CFJW0 .

Meskipun dimuat pada buku teknik menulis opini, tips tersebut cocok juga diterapkan kepada Anda yang menimbang-nimbang perlu tidaknya menulis SN dan atau untuk meningkatkan semangat Anda agar tetap istiqamah menulis SN. Anda punya alasan lain? Silakan tulis di kolom komentar. []
.
Depok, 13 Syawal 1445 H | 22 April 2024 M
.
Joko Prasetyo
Jurnalis

Minggu, 28 April 2024

Putusan MK

Tinta Media - Kita telah sampai pada ujung perjuangan konstitusional. Pilpres telah kita lewati. Gugatan ke MK telah kita lalui. Lantas apa setelah ini?

Tunggu lima tahun lagi. Kita akan berjuang dalam hiruk pikuk pemilu lagi. Kemudian menggugat lagi. Kalah lagi, lagi, dan lagi. Terus begitu.

Kian hari, ketidakberesan kian telanjang di depan mata. Tapi tiap kali kita berupaya memperbaikinya di atas meja konstitusi, kata para pemegang kendali, ketidakberesan itu tidak beralasan sama sekali.

Sebenarnya di setiap pemilu, saya selalu katakan bahwa perubahan tidak akan terjadi melalui jalur konstitusi.

Sejarah membuktikan. Perubahan dari era Orde Baru ke Orde Reformasi tak lewat jalur konstitusi. Perubahan dari Orde Lama ke Orde Baru tak melalui mekanisme konstitusi.
Perubahan dari era Penjajahan ke fase NKRI tidak mengikuti koridor konstitusional Hindia Belanda.

Perubahan dari era Kasultanan Islam ke era Hindia Belanda tidak melalui konstitusi Kasultanan Islam. Perubahan dari era Hindu Majapahit ke Kasultanan Islam Demak tidak lewat prosedur konstitusi Majapahit.

Begitu pun di sejarah dunia. Perubahan masa Kekristenan Eropa menuju masa Demokrasi, tak melalui jalur konstitusi Gereja.

Perubahan era Makkah Jahiliyah menjadi era Islam, tidak melalui mekanisme konstitusi Quraisy Jahiliyah.

Bukalah catatan sejarah dunia. Tidak ada satu perubahan pun yang mengikuti mekanisme konstitusi yang tengah berlaku.

Semua perubahan, selalu terjadi melalui mekanisme alternatif.

Hanya saja persoalannya, alternatif versi apa yang akan digunakan?

Apakah alternatif revolusi versi komunis? Apakah alternatif perubahan yang dicontohkan Rasulullah ﷺ dalam mengubah dunia jahiliyah menjadi dunia cemerlang peradaban Islam?

Bagi muslimin tentu mereka akan mengikuti suri tauladan perubahan yang dicontohkan Rasulullah ﷺ.

Seperti apa perubahan sesuai suri tauladan Rasulullah ﷺ itu? InsyaAllah kita bahas di tulisan berikutnya.

Jika ngotot bahwa perubahan itu harus mengikuti konstitusi yang sedang berlaku, maka ingatlah aturan ini: 1. Wanita tidak pernah salah. 2. Jika salah, lihat aturan no1.
Jogja 240424

Oleh: Doni Riw Influencer Dakwah

Muara Pertemuan Nahdhotul Ulama dan Hizbut Tahrir

Tinta Media - Terus terang saya bukan orang yang memiliki kredibilitas dalam membicarakan tema ini. Saya bukan apa-apa dan juga bukan siapa-siapa. Saya hanyalah seorang anak manusia, yang berusaha ikut serta dalam memperjuangkan agama Allah (li takuna kalimatullahi hiyal ulya). Saya hanyalah orang yang ingin turut serta memberi sumbangan dalam membangun peradaban Islam yang agung dan yang membawa keadilan sejati kepada umat manusia, meskipun sumbangan saya itu mungkin lebih kecil dari sebutir debu yang tak ada nilainya. Sekali lagi, saya bukan apa-apa dan tidak ada apa-apanya, dibandingkan dengan tokoh Islam salafus sholih, juga tokoh-tokoh Islam masa kini yang memperjuangkan Islam dengan ikhlas dan semangat, yaitu orang-orang sholih yang tergabung dalam barisan HT atau NU. Saya hanya bisa berdoa, semoga Allah membalas mereka semua dengan kebaikan yang melimpah dan menempatkan mereka bersama para syuhada dan sholihin.

Saya yakin, organisasi Islam yang lain juga melakukan perjuangan yang sama untuk tegaknya kalimatullah di muka bumi, meski terkadang dengan cara yang berbeda-beda. Hanya saja, saya tidak memiliki pengetahuan tentang organisasi selain HT dan NU, sehingga pembahasan di sini saya cukupkan hanya membahas HT dan NU. Saya khawatir terjadi fitnah, jika membahas mereka, padahal saya tidak tahu apa-apa tentang mereka.

Alhamdulillah, kebetulan dari kecil sampai dewasa, saya dididik orang tua dalam lingkungan yang Islamy khas NU. Saya disekolahkan orang tua di sekolah madrasah salafiyah NU. Saat kecil, saya sekolah di MI Hidayatul Mustafidin di desa saya, kalau sore sekolah diniyyah di kampung saya, dan kalau malam belajar Al-Qur’an kepada bapak saya di musholla kecil depan rumah saya. Berikutnya, saya disekolahkan di MTS Miftahul Falah, yaitu sekolah salafiyah di kecamatan saya (Dawe, Kudus). Saya sempat dipondokkan di rumah seorang alim yang mukhlis, di sana saya belajar Al-Qur’an dan menghafal kitab Alfiyah Ibnu Malik. Sayangnya saya tidak bertahan mondok lama-lama, karena masih belum paham dan masih suka main dengan anak-anak lain. Saat MTS ini, kalau malam saya diajak ngaji kitab Hikam dan kitab Iqodzul Himam oleh bapak saya di hadapan guru thariqoh yang sangat alim dan mukhlis, yaitu KH. Siddiq As Sholahy (beliau adalah murid Syeikh KH. Hasyim Asy’ari). Alhamdulillah, saya pernah diberi ijin menerjemahkan salah satu kitab beliau yang berjudul Kasyfus Syubhat dan saya selesaikan pada tahun 2003-an.

Selanjutnya, saya disekolahkan di MA Tasywiqut Thullab Salafiyyah (TBS) di dekat Menara Kudus. Di sana saya belajar fiqih, hadits, tafsir, tasawuf, dan lain-lain dari para kyai, terutama Syeikh KH. Ma’mun Ahmad. Beliau-beliau adalah orang yang alim, mukhlis dan mutafaqqih fid diin. Di TBS, saya dimudahkan Allah untuk menghafal kitab yang sangat idam-idamkan, yaitu kitab Alfiyah Ibnu Malik. Alhamdulillah, dari penjelasan para kyai dan asatidz, saya mendapat ilmu ke-Islaman khas ahlus sunnah wal jama’ah, dan saya sedikit memahami gagasan-gagasan perjuangan para ulama dan kyai yang tergabung dalam organisasi NU.

Setelah itu, atas izin Allah, saya diterima kuliah di Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang, jurusan Fisika. Memang terkesan agak aneh, waktu itu. Lulusan TBS masuk UNDIP. Saat itu, saya memilih Fisika dan Kimia, tetapi diterima di Fisika. Saya memilih Fisika atau Kimia karena ingin menjadi seorang ilmuan muslim karena terisnpirasi buku kecil tentang biografi ilmuan muslim. Saya sangat terinspirasi dengan salah satu ilmuan Muslim masa lalu, seorang ahli fisika yang luar biasa, yaitu Ibnu Haitsam. Jadi, bacaan kisah-kisah tokoh masa lalu, memang akan inspirasi kepada generasi muda. Alhamdulillah, saat menulis ini, saya sekarang tercatat sebagai mahasiswa program doktor di Fisika ITB. Saat ini, saya sedang melakukan riset yang mendalam tentang radiasi CT Scan. Terus terang, saya tidak menduga dan tidak membayangkan sama sekali bahwa saya akan sekolah program doktor di Jurusan Fisika ITB. Jadi, jika kita memiliki cita-cita, insya Allah, Allah akan merealisasikannya, meski pada awalnya terasa mustahil.

Di UNDIP ini saya mulai mengenal HT. Pada awalnya, saya sama sekali tidak tertarik dengan HT, karena saya hanya ingin fokus mempelajari Fisika, apalagi saya merasa sudah mengetahui Islam lebih banyak dibanding teman-teman saya yang lain. Apalagi, saat itu, teman yang mengenalkan HT, menurut saya, tidak meyakinkan. Bacaan al-qur’annya tidak lancar, bahasa Arabnya parah, apalagi tsaqofah Islamnya (semoga Allah merahmati beliau karena telah mengenalkan saya dunia yang amat luas ini dan perjuangan yang amat mengesankan ini). Saya merasa lebih layak memberi penjelasan tentang Islam kepada dia, bukan diberi penjelasan oleh dia. Memang ada semacam keangkuhan dan kesombongan pada diri saya. Sampai akhirnya saya sadar bahwa saya tidak boleh bersikap seperti itu. Sombong itu tipuan setan, meski tidak terasa. Apa gunanya saya belajar tasawuf, kalau saya meremehkan orang, pikir saya waktu itu.

Saya juga teringat dengan nasihat guru-guru saya dahulu “undzur ma qaal, wa la tandzur man qaal (lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan)”. Dengan sikap yang agak sedikit terbuka itu, saya mulai mengenal HT. Itu terjadi pada tahun 1999. Alhamdulillah, hingga saat ini saya masih mengkaji Islam bersama teman-teman HT, juga mengkaji kitab-kitab ulama yang mukhlishin wal mukhlashin. Semoga Allah memberikan keistiqomahan kepada saya dan teman-teman semua dalam berjuang bersama barisan orang-orang sholih tersebut.

Jadi, insya Allah, saya sedikit memiliki pengetahuan tentang NU dan HT dari sumber aslinya, meski tentu saja, saya bukan apa-apa, baik di NU, HT atau di mana pun juga. Saya hanya akan sedikit menceritakan apa yang saya rasakan. Jika ada teman-teman atau pihak-pihak yang merasa tersinggung atau kurang berkenan, saya mohon maaf, bukan maksud saya menyinggung mereka.

Setelah belajar di NU dan HT, saya merasakan bahwa kedua merupakan saudara kembar dalam memperjuangkan tegaknya Islam di muka bumi. Keduanya hampir-hampir tidak ada bedanya, terutama tentang tsaqofah, kecuali hanya sedikit sekali perbedaan.

Keduanya didirikan oleh seorang alim yang mukhlis untuk memperjuangkan tegaknya Islam yang akan memancarkan rahmat bagi seluruh alam semesta. NU didirikan oleh Syeikh KH. Hasyim Asy’ari dan HT didirikan oleh Syeikh Taqiyuddin Annabhani. Syeikh Taqiyuddin sendiri adalah cucu dari gurunya Syeikh Hasyim Asy’ari, yaitu Syeikh Yusuf Annabhani. Warga Nahdliyyin yang sering membaca kitab, pasti sangat familier dengan Syeikh Yusuf Annabhani. Beliau adalah penulis kitab Jami’u Karamatil Auliya, kitab Al-anwar Almuhammadiyyah, dan sekitar 80 kitab lainnya. Jadi, jika ada warga Nahdliyyin yang tidak mengenal dua kitab tersebut, dia termasuk orang yang majhul.

NU memahami bahwa dasar hukum syariah adalah al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas. Demikian pula HT. Hanya HT menambahkan sedikit agar lebih clear, bahwa untuk ijma’ bukan sekedar ijma’, tetapi ijma’ shahabat, dan untuk qiyas bukan sekedar qiyas, tetapi qiyas syar’i, yaitu qiyas atas suatu nash yang ada illat syar’i-nya.

NU memahami bahwa semua sahabat Nabi adalah orang-orang adil. Mereka adalah orang-orang yang mulia. Kita sama sekali tidak boleh mencela mereka. Demikian pula HT, HT memandang bahwa para sahabat Nabi adalah orang-orang yang mulia. Kita sama sekali tidak boleh menghina dan mencaci mereka. Apalah artinya kita dibanding para sahabat Nabi. Perjuangan kita dan pemahaman kita tentang Islam tidak ada sak kuku irenge (maksudnya kita tidak ada apa-apanya dibanding mereka). Kita semua dapat ilmu tentang Islam, semuanya dari mereka.

NU memahami bahwa umat Islam itu ada dua, yaitu orang yang mampu memahami langsung dari sumber-sumber Islam, yang dinamakan dengan mujtahid, dan juga ada orang-orang yang tak mampu memahami Islam langsung dari sumber aslinya, yang dinamakan dengan muqollid. Seorang muqollid karena tidak memiliki ilmu, ia harus mengikuti orang yang memiliki ilmu, yaitu para mujtahid. HT juga memiliki pandangan yang sama. Baik NU maupun HT sama-sama sangat menghormati dan menjunjung tinggi para ulama, terutama para ulama mujtahid muthlaq, seperti Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Hambali dan lain-lain. Kita sama sekali tidak boleh menghina dan mencela mereka. Apalah artinya kita dibanding keilmuan mereka. Kita ini seperti anak TK, sementara beliau-beliau itu seperti professor. Layakkah seorang anak TK menghina keilmuan professor?

NU sangat hati-hati dalam menilai seseorang, apalagi membid’ahkan atau mengkafirkan seseorang. Sebab jika kita keliru dalam mengkafirkan orang, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduhnya. HT juga demikian, sangat hati-hati. Baik NU maupun HT lebih suka menggunakan istilah umum, misalnya bahwa “zina itu dosa besar”, tetapi tidak berani mengatakan bahwa “si A itu mendapat dosa besar”, kecuali telah ada bukti yang kuat di hadapan Allah. Contoh yang lain, misalnya mengatakan bahwa “orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah itu ada kalanya kafir, dzalim atau dzalim”. Tetapi, baik NU atau HT, tidak berani mengatakan bahwa “si A adalah kafir, dzalim atau dzalim”, kecuali telah terbukti dengan bukti yang kuat.

NU memandang bahwa Islam itu paripurna, mengatur masalah aqidah (tauhid), akhlaq, ibadah, mu’amalah, buyu’, hudud, hukmul aradli, jihad, dan lain sebagainya. Hal ini terdapat hampir di semua kitab ulama, dari kitab yang dipelajari level MTS seperti kitab Taqrib, level aliyah seperti kitab Fathul Mu’in, dan kitab-kitab besar lainnya seperti Al-Umm, Hasyiyah Al-Bajuri, dll. Demikian pula HT. HT memandang bahwa Islam itu ajaran yang paripurna dan lengkap. Tema-tema yang dipelajari di HT, juga sama dengan tema-tema yang dipelajari di pesantren NU. Bedanya, HT hanya menggunakan bahasa kontemporer dan membandingkan dengan keadaan dunia saat ini. Jadi tidak ada bedanya sama sekali, kecuali hanya penggunaan beberapa istilah baru.

NU memandang bahwa Islam wajib diterapkan. Saat itu kerahmatan Islam akan terwujud di muka bumi ini. Tetapi penerapan Islam harus benar, adil dan sesuai dengan metode syar’i karena semata-mata mengharap ridlo Allah. Islam tidak boleh diterapkan dengan kasar dan menyimpang dari metode syar’i-nya. Demikian pula HT. HT memandang bahwa islam harus diterapkan. Itulah, insya Allah, yang akan membawa kebahagian dan keadilan yang sejati bagi umat manusia.

NU memandang bahwa Islam itu ajaran untuk seluruh umat manusia, makanya NU tidak menganggap remeh dan rendah orang-orang yang memiliki kebangsaan berbeda. Hanya, saja karena Syeikh Hasyim Asy’ari orang Indonesia, maka beliau memulai dakwah dari Indonesia dan disebarkan ke seluruh dunia. Makanya lambang NU adalah bola dunia, sebuah lambang yang menggambarkan wawasan para pendirinya yang sangat global dan komprehensif. Demikian pula HT. HT memandang bahwa Islam itu juga untuk seluruh umat manusia. Tidak ada nasionalisme di dalam Islam. Kita memang memiliki kebangsaan yang berbeda, tetapi kita tidak boleh menilai sesorang atas dasar bangsanya, membela atau memusuhi seseorang atas dasar bangsanya. Itulah yang dinamakan nasionalisme. HT mulai dari Palestina, karena Syeikh Taqiyuddin adalah orang Palestina. Lalu dakwah HT menyebar ke seluruh dunia.

NU sangat menghormati para Khalifah Islam, apalagi Khulafaur Rosyidin. Bahkan NU membuat tradisi untuk mendoakan para Khalifah yang empat itu saat sholat tarawih, dengan mengucapkan “al khalifatul ula sayyuda Abu Bakar Ash Shiddiq radliyallau anhu...” dan seterusnya. Kitab-kitab yang dikaji warga Nahdliyyin membahas dengan detil tentang Khilafah, misalnya kitab Al-Ahkam Assulthaniyyah, dan kitab-kitab lainnya. NU menganggap para Khalifah, para sahabat Nabi lainnya, dan para ulama pasca beliau adalah salafus sholih yang harus kita jadikan teladan. Demikian pula HT. HT sangat menghormati para Khalifah, terutama Khulafaur Rosyidin. HT memahami bahwa sistem yang harus diterapkan saat ini haruslah sistem yang dahulu diterapkan oleh para salafus sholih kita, yaitu sistem Khilafah. HT bahkan membahas Khilafah secara khusus. Bedanya, HT membahas Khilafah dengan bahasa yang lebih kontemporer dan membandingkan dengan sistem-sistem yang saat ini diterapkan. Sehingga lebih clear.

NU memandang bahwa mendakwahkan Islam tidak mungkin sendirian dan terpisah-pisah, karena itu para ulama membentuk organisasi dakwah yang solid bernama NU. HT juga sama. HT memandang bahwa mendakwahkan Islam tidak mungkin sendirian. Rasulullah dalam berdakwah juga bersama para sahabatnya dalam suatu barisan yang sangat rapi. Tentu saja, organisasi di sini sama sekali tidak boleh dimaksudkan untuk ashobiyah atau berbangga-bangga, tetapi organisasi ini dimaksudkan agar dakwah dapat berjalan dengan solid. NU dan HT sama-sama menjauhi sikap ashobiyyah dalam segala hal. Sebab ashobiyyah itu dilarang Islam. Sebagai organisasi, tentu NU dan HT memiliki struktur organisasi dan mekanisme tertentu dalam pengaturan para anggotanya.

NU sangat konsisten dengan ajaran Islam, dan terbuka dengan berbagai hal baru yang tidak bertentangan dengan Islam. Inilah yang membuat NU dinamis. Kaidah masyhur di kalangan NU “al muhafadzatu bil qodimi ashsholih, wal akhdzu bil jadidi al-ashlah (menjaga hal lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik). Baik atau sholih di sini dasarnya adalah Islam. Maka para ulama mengatakan “alhasan ma hassanahu asy-syar’u, wal qabih ma qobbahahu asy-syar’u (Baik adalah apa yang dianggap baik oleh syara’. Sedangkan buruk adalah apa yang dianggap buruk oleh syara’)”. Demikian pula HT. Hanya HT membahas dengan istilah yang berbeda yang dianggapnya lebih jelas, yaitu istilah hadloroh dan madaniyyah. HT akan istiqomah dengan hadloroh Islam, tetapi mengambil madaniyyah yang tidak bertentangan dengan Islam, seperti tenologi dll.

NU sangat mencintai orang-orang yang mencintai Allah dan rasul-Nya, dan membenci orang-orang yang membenci Allah dan Rasulnya. NU tidak pernah rela dengan penjajahan, karena penjajahan adalah pelanggaran terhadap Islam. Karena itu, ulama-ulama NU bangkit melawan penjajahan sesuai dengan kemampuan beliau waktu itu. Perjuangan melawan penjajhan adalah jihad fi sabilillah. HT juga sama. HT sangat mencintai orang-orang yang mencintai Allah, dimana pun mereka berada. Juga membenci orang-orang yang membenci Allah dan Rasul-Nya. HT sangat benci dengan penjajahan. HT sejak didirikan sampai sekarang, menentang bentuk penjajahan, baik secara militer, ekonomi dan politik atau teknik-teknik lain.

NU sangat concern mendidik umat dengan Islam, lewat berbagai forum dan media yang dimungkinkan. Lewat pesantren, musholla, masjid, majlis ta’lim, pengajian-pengajian rutin di kampung-kampung. Inilah yang dinamakan pendekatan kultural. HT juga sama. HT sangat concern mendidik umat dengan Islam, lewat berbagai sarana yang dimungkinkan. HT mengadakan halaqoh-halaqoh kecil, dan juga berbagai acara besar. Berbagai sarana yang dimungkinkan, HT dapat dipastikan menggunakannya untuk kepentingan mendidik umat. Inilah yang dinamakan HT sebagai pendekatan kultural (tatsqif). Hanya saja, HT berpandangan bahwa meskipun pendekatan kultural ini sangat penting dan harus digarap dengan serius, ada pendekatan lain yang tidak boleh dilupakan, yaitu pendekatan politis. Pendekatan politis ini hanya akan terwujud lewat institusi politik umat Islam yang bernama Khilafah. Ini pula yang disampaikan oleh Hujjatul Islam Imam Ghozali “Addiinu ussun was shulthanu harisun. Fa ma laa ussa lahu fmahduumun. Ma wa la harisa lahu fa dlo’i’un (Agama adalah pondisi, kekuasan politik adalah penjaganya. Sesuatu yang tak ada pondasinya akan roboh. Dan sesuatu yang tak ada penjaganya, maka akan terlantar)”. Sekedar contoh, masyarakat diharapkan tidak melakukan pencurian. Lalu mereka dididik tentang haramnya mencuri dan wajibnya bekerja. Ini adalah pendekatan kultural. Namun, tentu saja, dalam pendidikan tersebut, ada sebagain masyarakat yang karena suatu hal tetap melakukan penjurian. Maka dalam hal ini, pencuri tersebut harus diberi sangsi. Sehingga mereka dan yang lain jera melakukan pencurian. Inilah yang dinamakan pendekatan politis. Jadi pendekatan kultural dan politis itu sama-sama pentingnya. Hanya saja, saat pendekatan politis belum bisa dilakukan, maka yang dilakukan adalah pendekatan kultural.

NU sangat kritis dan tegas kepada  penguasa yang tidak menjalankan amanah dan melanggar syariah. Bahkan beberapa ulama NU sampai pada sikap yang agak ekstrim. Misalnya kyai saya, Syeikh. KH. Ma’mun Ahmad, beliau mengharamkan ujian nasional kepada santri-santrinya. Menurut beliau, dalam Islam ujian bukan seperti itu. Itu meniru orang-orang kafir. Beliau tidak mau menerima bantuan dari pemerintah, hingga pondok dan rumah beliau masih sangat sederhana, hingga akhir hayat beliau. HT juga demikian. HT sangat tegas dan kritis kepada para pemimpin yang tidak menjalankan amanah dan melanggar hukum syariah. Bedanya, HT merinci beberapa hal sehingga lebih clear, sebagaimana dalam pembahasan hadloroh dan madaniyyah.

Dan lain sebagainya. Mungkin akan butuh beratus-ratus halaman, jika saya sebutkan semua. Singkatnya, NU dan HT itu layaknya saudara kembar dalam memperjuangkan diinullah, litakuuna hiyal ulya.

Itulah NU dan HT, sepanjang yang saya ketahui dan saya rasakan. NU dan HT itu sama. Sama-sama diniatkan untuk memperjuangkan Islam. Sama-sama didirikan dan diikuti oleh orang-orang yang mengharap ridlo Allah.

Ketika saya pertama berdiskusi dengan teman HT, memang itu belum tergambar dengan jelas di benak saya. Waktu itu, menurut saya, aktivis HT hanyalah orang-orang yang exited karena baru mengenal Islam. Ternyata saya salah besar. Aktivis HT itu sangat beragam dengan latar belakang keilmuan yang sangat beragam. Para aktivis HT juga terkadang ada yang belum memahami perjuangan secara utuh. Itu hal yang sangat wajar. Namun, setelah saya lama diskusi dengan beberapa aktivis HT dan membaca kitab-kitabnya, hal itu tergambar dengan sangat clear. Kitab HT yang ditulis Syeikh Taqiyuddin, itu benar-benar kitab yang istimewa, menurut saya waktu itu. HT itu persis NU, hanya HT memperjelas dan mempertegas hal-hal yang selama ini agar kurang jelas. Maksud kurang jelas, tidak berarti bahwa kitab-kitab ulama NU tidak membahas hal itu. Tidak. Kitab-kitab ulama yang membahas itu sangat banyak. Tetapi karena kitab ulama itu sangat banyak, dan terkadang terjadi ikhtilaf. Lalu, dari ikhtilaf itu tidak ada yang melakukan tarjih. Sehingga banyaknya pendapat itu terkadang membuat para santri kurang tegas dalam mengambil sikap. Tentu saja ini bukan hal yang salah.

Sementara HT mengapresiasi berbagai ikhtilaf di kalangan ulama, lalu HT mengambilnya yang menurutnya lebih rajih. Ini yang membuat gagasan HT terkesan lebih tegas. Lagi pula, HT selalu membandingkan pemahamannya dengan kondisi saat ini, di dunia kontemporer. HT membandingkan antara Islam, Kapitalisme, dan Komunisme hampir dalam segala hal. Dengan perbandingan ini, membuat HT memiliki determinasi yang lebih tegas dan jelas. Misalnya tentang mua’malah, baik NU atau HT sama-sama membahas tentang syirkah, dan kesimpulannya sama. Namun, HT tidak sekedar mengkaji dalil-dalinya, HT menambah pembahasan dengan mengkaji fakta berbagai syirkah yang sekarang ada di dunia kontemporer, menelitinya dengan hati-hati. Sehingga tampak lebih jelas, mana yang absah dan mana yang bathil.

Jadi, tidak ada beda yang berarti antara HT dan NU.

Sampai akhirnya, muncul generasi muda yang pulang mencari ilmu dari Amerika, Kanada, Eropa dan lain-lain. Mereka membawa gagasan yang aneh dan tidak dikenal dalam pemikiran NU. Namun, karena mereka adalah anak kyai-kyai yang karismatik dan mukhlis, meski gagasannya aneh, mereka tetap diterima sebagai bagian dari tradisi dan keilmuan NU yang holistik. Mereka mulai mencampurkan berbagai gagasan yang bersandar pada pemikiran barat, dan lambat laun mereka menduduki posisi kunci, baik secara kultural maupun politis. Akibatnya, gagasan NU yang semula bersih dan lurus, menjadi agak bergeser. Pada titik ini, NU memang sangat berbeda dengan HT.

Karena itu, untuk memahami gagasan NU, ada baiknya kita membaca kitab-kitab Syeikh KH. Hasyim Asy’ari. Itulah gagasan NU. Dari sana, kita tidak akan dibingungkan dengan istilah “NU Garis Lurus”, “Generasi Muda NU”, “Pembela Ulama”, dan lain sebagainya.

Jadi, dengan mengkaji secara jujur terhadap kitab dua ulama besar: Syeikh. KH Hasyim Asy’ari dan Syeikh Taqiyuddin An nabhani, kita akan dapat memposisikan NU dan HT pada tempat yang proporsional. Wallahu a’lam.[]

Oleh: Choirul Anam - Mahasiswa Program Doktoral di ITB, Alumni Santri NU di Kota Kudus


 

Jumat, 26 April 2024

Urgensitas Khilafah bagi Kaum Muslim

Tinta Media - Arti penting Khilafah bagi kaum Muslim dapat dilihat dari beberapa perkara berikut ini:

Pertama, Khilafah adalah sistem pemerintahan syar’iy yang berfungsi menerapkan syariat Islam secara kaaffah di dalam negeri dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.  Islam tidak bisa dipisahkan dari Khilafah, dan Khilafah tidak bisa dipisahkan dari Islam.   Imam al-Ghazaliy berkata:

والملك و الدين توأمان فالدين أصل و السلطان حارس, وما لا أصل له فمهدوم و ما لا حارس له فضائع

“Kekuasaan (negara) dan agama merupakan saudara kembar.  Agama adalah asas, sedangkan kekuasaan adalah penjaga.  Kekuasaan tanpa asas akan binasa, sedangkan agama tanpa penjaga akan terlantar”.[Imam al-Ghazaliy, Ihyaa` ‘Uluum al-Diin, Juz 1/17. Maktabah Syamilah]

Imam Abu Zakariya al-Nawawiy, seorang ulama besar dari madzhab Syafi’iy menyatakan:

ومن ثم يأتي خطأ بعض المتكلمين في قولهم لو تكاف الناس عن الظلم لم يجب نصب الامام لان الصحابة رضى الله عنهم اجتمعوا على نصب الامام، والمراد بالامام الرئيس الاعلى للدولة، والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا

“Dari sinilah ada kesalahan yang menimpa sebagian ahli kalam dalam pendapat mereka, (yakni) seandainya manusia mampu terhindar dari kezaliman, maka mereka tidak wajib mengangkat seorang Imam.  Pendapat ini salah, sebab, para shahabat ra  bersepakat atas wajibnya mengangkat seorang Imam.  Yang dimaksud dengan al-Imam, tidak lain tidak bukan adalah pemimpin tertinggi negara.  Al-Imamah, al-Khilafah, Imaarat al-Mukminiin adalah mutaraadif (sinonim). Sedangkan yang dimaksud dengan al-Imamah adalah kepemimpinan umum dalam mengatur urusan agama dan dunia”. [Imam An Nawawiy, Al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz 19/191]

Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah, di dalam Kitab al-Siyaasatu al-Syar’iyyah menyatakan:

يَجِبُ أَنْ يُعْرَفَ أَنَّ ِولاَيَةَ أَمْرِ النَّاسِ مِنْ أَعْظَمِ وَاجِبَاتِ الدِّيْنِ بَلْ لاَ قِيَامَ لِلدِّيْنِ وَلاَ لِلدُّنْيَا إِلاَّ بِهَا. فَإِنَّ بَنِي آدَمَ لاَ تَتِمُّ مَصْلَحَتُهُمْ إِلاَّ بِاْلاِجْتِمَاعِ لِحَاجَةِ بَعْضِهِمْ إِلىَ بَعْضٍ ، وَلاَ بُدَّ لَهُمْ عِنْدَ اْلاِجْتِمَاعِ مِنْ رَأْسٍ حَتَّى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « إِذَا خَرَجَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَهُمْ » . رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ ، مِنْ حَدِيْثِ أَبِي سَعِيْدٍ ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ .

"Wajib untuk diketahui bahwasanya adanya kekuasaan yang mengatur urusan manusia termasuk kewajiban agama yang paling agung, bahkan agama dan dunia tidak akan tegak tanpa adanya (kekuasaan).  Sesungguhnya, Bani Adam, kemashlahatan mereka tidak akan pernah sempurna kecuali dengan adanya interaksi untuk memenuhi kebutuhan satu dengan yang lain.  Dan sudah menjadi sebuah keharusan bagi mereka, ketika mereka berinteraksi, adanya seorang pemimpin; sampai-sampai Nabi saw bersabda, "Jika tiga orang keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu di antara mereka sebagai pemimpin".[HR. Imam Abu Dawud, dari haditsnya Abu Sa'id dan Abu Hurairah ra].” [Imam Ibnu Taimiyyah, al-Siyaasatu al-Syar’iyyah, juz 1, hal. 168]

Menerapkan syariat Islam secara kaaffah merupakan kewajiban sekaligus refleksi keimanan seorang Muslim.   Imam Ibnu Mandzur menyatakan;

وحدَّ الزجاجُ الإيمانَ فقال الإيمانُ إظهارُ الخضوع والقبولِ للشَّريعة ولِما أَتَى به النبيُّ صلى الله عليه وسلم واعتقادُه وتصديقُه بالقلب فمن كان على هذه الصِّفة فهو مُؤْمِنٌ مُسْلِم غير مُرْتابٍ ولا شاكٍّ وهو الذي يرى أَن أَداء الفرائض واجبٌ عليه لا يدخله في ذلك ريبٌ

"Az Zujaj berkata,“Iman adalah menampakkan ketundukan dan penerimaan terhadap syari'at  dan semua yang datang dari Nabi SAW, serta meyakini dan membenarkannya dengan hati. Siapa saja yang memiliki sifat ini maka ia adalah seorang Mukmin Muslim tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikit pun.  Dan dia adalah orang yang memandang bahwa melaksanakan kewajiban-kewajiban merupakan kewajiban atas dirinya, tanpa disusupi keraguan dalam hal ini”.[Imam Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, juz 13, hal. 21]

Dengan demikian, arti penting Khilafah bagi kaum Muslim berhubungan erat dengan upaya mewujudkan keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya secara total.   Tanpa Khilafah, keimanan dan ketaatan seorang Muslim kepada Allah dan Rasul-Nya senantiasa terancam.  Kehadiran kembali Khilafah begitu berarti bagi seorang Muslim, untuk menjaga ‘aqidah dan keterikatannya dengan syariat Islam.

Kedua, Khilafah merupakan institusi yang bertanggungjawab melindungi kaum Muslim dari musuh.  Nabi Mohammad SAW bersabda:

وَإِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

“Imam adalah perisai, seseorang berperang dan berlindung di belakangnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Imam Suyuthiy menyatakan:

إنما الإمام جنة أي كالساتر لأنه يمنع العدو من أذى المسلمين ويمنع الناس بعضهم من بعض ويحمى بيضة الإسلام ويتقيه الناس ويخافون سطوته. يقاتل من ورائه أي يقاتل معه الكفار والبغاة والخوارج وسائر أهل الفساد ويتقى به أي شر العدو وأهل الفساد والظلم.

“[Innamaa al-imaamu junnah :imam (Khalifah) itu perisai], yakni seperti satir. Sebab, ia mencegah musuh dari menyakiti kaum Muslim, mencegah manusia (berbuat aniaya) satu dengan yang lain; menjaga kesucian Islam, dan manusia berlindung kepadanya, dan gentar dengan kekuasaannya.   [Yuqatalu min waraaihi: berperang di belakangnya], yakni kaum Muslim bersama imam memerangi orang-orang kafir, ahli bughat, khawarij, dan semua orang yang membuat kerusakan. [wa yuttaqa bihi: dan berlindung dengannya]: yakni berlindung dari keburukan musuh, pembuat kerusakan dan kedhaliman”.[Al-Hafidh Suyuthiy, al-Dibaaj ‘Ala Muslim, Juz 4/454. Maktabah Syamilah]

Saat Khilafah, masih tegak berdiri, kehormatan Islam dan kaum Muslim terjaga dengan baik.  Musuh-musuh Islam dan kaum Muslim gentar dengan ketegasan Khilafah.  Pada tahun 223 Hijriyyah/837 Masehi, Khalifah Al-Mu’tashim bi al-Allah menggelar perang melawan tentara Romawi, setelah beliau mendapat laporan pelecehan tentara Romawi terhadap seorang budak wanita Bani Hasyim. Akibatnya, 30.000 ribu tentara Romawi terbunuh, dan 30.000 lainnya ditawan.  Khalifah ‘Abdul Hamid II (1876-1918 Masehi) memberi ultimátum kepada Perancis dan Inggris, ketika beliau mendengar dua negara tersebut hendak memberi ijin pentas drama karya Voltaire yang berjudul Le Fanatisme ou Mahomet le Prophete (Fanatisme kepada Mohammad).  Voltaire tidak hanya menghina Nabi Mohammad SAW, tetapi juga melecehkan simbol dan kesucian Islam dan kaum Muslim.  Bagitu menghadapi ketegasan Khalifah ‘Abdul Hamid II, akhirnya kedua negara itu urung mengijinkan pentas.  

Keadaan berbanding terbalik, saat Khilafah tidak lagi ada di tengah-tengah kaum Muslim.  Musuh-musuh Islam dengan penuh percaya diri tanpa khawatir melecehkan kehormatan Islam dan kaum Muslim.  Mushhaf Al-Quran dibakar, kehormatan Nabi SAW dilecehkan, ajaran Nabi SAW dipinggirkan dan dituduh sebagai biang radikalisme dan terorisme.  Mereka menyadari sepenuhnya, kaum Muslim tidak lagi memiliki junnah, yang mampu melindungi kesucian Islam dan kaum Muslim.  Mereka juga menjarah kekayaan, merampas tanah-tanah, dan mengusir kaum Muslim dari rumah-rumah mereka, seperti yang terjadi di Palestina, Rohingya, India, dan negeri-negeri lain.

Dari sinilah dapat dipahami arti penting Khilafah bagi kaum Muslim, yakni melindungi darah, harta, dan kehormatan mereka dari para musuh.

Ketiga, Khilafah dengan kepemimpinan tunggal seorang khalifah menyatukan seluruh kaum Muslim dari timur hingga barat.  Ketika Khilafah masih berdiri, kaum Muslim bersatu di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.  Persoalan-persoalan kaum Muslim di seluruh penjuru dunia mendapatkan perhatian dan solusi dari Khalifah.  Khalifah sanggup menggerakkan kaum Muslim di timur dan barat, untuk saling mendukung dan membantu menyelesaikan persoalan-persoalan mereka,  Persoalan kaum Muslim di Asia, juga menjadi persoalan kaum Muslim yang ada di Timur Tengah.  Seluruh kaum Muslim bersatu dan diikat dengan ikatan bermutu tinggi, yakni bersaudara karena Allah.  Tidak ada lagi batas-batas territorial yang mampu mendinding persaudaraan mereka.  Mereka menjadi umat yang kuat karena bersatu di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.

Adapun saat Khilafah tidak lagi ada di tengah-tengah kaum Muslim, mereka dipecah belah oleh orang-orang kafir dalam negara-negara bangsa yang lemah.  Persaudaraan yang dibangun di atas ‘aqidah Islamiyyah, diganti dengan ikatan-ikatan rendah, semacam kebangsaan, kesukuan, dan ikatan-ikatan sektarian lain.  Mereka disibukkan dengan urusan mereka sendiri, dan tidak peduli dengan persoalan saudara Muslimnya di negeri-negeri lain.   Mereka tak berdaya saat saudara-saudaranya di Palestina, Suria, Iraq, India, dan Uighur ditindas orang-orang kafir.   Tidak hanya itu saja, mereka dipimpin oleh penguasa-penguasa sekuler yang menghambakan diri kepada kepentingan negara-negara kafir imperialis. Di tengah-tengah mereka diterapkan hukum-hukum kufur, menggantikan hukum Allah dan Rasul-Nya.  Mereka terus dipecah belah dengan isyu-isyu khilafiyyah, Sunni Syi’ah, dan lain sebagainya, hingga muncul satu pemahaman bahwa kaum Muslim seluruh dunia mustahil disatukan kembali. 

Demikianlah, tanpa Khilafah kaum Muslim terpecah belah dan terpuruk dalam kelemahan.   Akibatnya, negara-negara kafir imperialis leluasa dan mudah menjajah dan menjarah kekayaan negeri-negeri mereka.  Mereka tidak lagi bersatu dan bersaudara sebagaimana di era keemasan Islam.  Dari sini dapat dipahami, betapa pentingnya Khilafah bagi kaum Muslim, khususnya untuk menyatukan dan menyaudarakan kembali kaum Muslim dari timur hingga barat.  Negara-negara bangsa (nation state) yang mengerat-ngerat kaum Muslim hanya bisa dilenyapkan dengan hadirnya kembali Khilafah Islamiyyah. 

Arti Penting Khilafah Bagi Umat Manusia (Muslim maupun Non Muslim) dan Konstelasi Politik Internasional

Penerapan kapitalisme dalam bingkai sistem pemerintahan demokrasi-sekuler, tidak hanya menjerumuskan manusia ke lubang kesengsaraan dan kenistaan; lebih dari itu, ia juga memenjara manusia dalam persoalan yang kunjung berakhir.  Berbagai macam persoalan dunia, mulai dari problem ekonomi, politik, sosial dan budaya, datang silih berganti tanpa mendapatkan solusi dan penanganan yang tuntas.  Jika di sana ada solusi, itu pun bersifat parsial dan sewaktu-waktu meledak kembali menjadi problem yang jauh lebih rumit dan berat. 

Kebobrokan dan kejahatan kapitalisme tampak jelas dari kemampuannya melahirkan krisis-krisis besar ekonomi berkala.   Dalam buku The History of Money From Ancient Time to Present Day disebutkan bahwa di sepanjang abad 20, telah terjadi lebih dari 20 krisis besar yang semuanya melanda negara-negara kapitalis.  Resesi terbesar terjadi pada tahun 1930-an.   Pada tahun 1975-1981, saat harga minyak dunia meroket, Amerika Serikat terkena defisit perdagangan berlipat ganda.  Kepercayaan terhadap dollar merosot.  Nilai tukar dollar turun drastis, hingga mengakibatkan krisis ekonomi para.  Pada tahun 1990-1996, krisis moneter di Thailand menular, hingga menenggelamkan negara-negara Asia, Amerika Latin, dan Eropa ke dalam krisis yang sangat buruk.  Pada galibnya, krisis ekonomi diikuti dengan krisis-krisis lain. 

Jurang kesenjangan antara si kaya dan miskin sangat lebar dan dalam.  Laporan “Time to Care” Oxfam International menyebut ada 2.135 orang kaya di dunia yang mengontrol jumlah uang melebihi uang yang dimiliki 4,6 miliar orang pada miskin pada tahun 2019.   Fakta lain mengungkapkan, 22 pria di dunia memiliki kekayaan akumulasi lebih banyak dibanding kekayaan akumulasi 326 juta perempuan di Afrika.  Upah yang tidak dibayar kepada perempuan berusia 15 tahun US$ 10,8 triliun per tahun.

Angka kriminalitas cenderung naik drastis pada tahun 2020.  Di Amerika Serikat, jumlah kasus pembunuhan naik 30% , dan semua kejahatan kekerasan juga naik, sebagaimana yang dirilis FBI dalam laporan kriminal tahunan pada Senin (27/9/2021).   Di Jepang, seperti yang dilaporkan Kyodo, Kamis (4/2/2021), Badan Kepolisian Nasional Jepang mencatat ada 614.303 kasus kriminal.  Angka pembunuhan mencapai 8394 kasus.   Pada tahun 2002, angka kriminal di Jepang pernah mencapai 2,8 juta kasus.

Negara-negara kapitalis dunia terbukti tidak mampu menangani penyebaran covid-19 sejak dini.   Di hampir seluruh negara kapitalis-sekuler, penanganan pandemi covid-19 terlihat amburadul.  Akibatnya, jumlah korban jiwa sangat besar.   Lebih kurang 279 juta manusia terinfeksi covid-19.  Jumlah meninggal mencapai 5,39 juta jiwa, dan angka tertinggi ditempati Amerika Serikat, yakni 815 ribu jiwa.   Kerugian ekonomi tahun 2020 akibat pandemi covid-19 mencapai angka Rp.1.356 triliun.   Ekonomi dunia diprediksi bakal menanggung kerugian hingga USD 2,5 triliun. 

Lebih dari itu, penanganan pandemi covid-19 ala kapitalis-sekuler –yang dalam banyak hal berparadigma untung dan rugi--  menimbulkan problem-problem pelik lainnya. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia mengatakan pandemic Covid-19 mendorong lebih dari setengah milyar orang ke dalam kemiskinan ekstrem.  Pandemi turut memicu bencana ekonomi terburuk sejak decade 1930-an.    Pada 9 Desember 2021, covid-19 menimbulkan dampak hebat terhadap kehidupan anak dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. UNICEF menyebut pandemi sebagai krisis terburuk bagi anak sepanjang 75 tahun berdirinya organisasi.  Menurut studi Bank Dunia, 70 negara mengalami penurunan sistem kualitas pendidikan akibat pandemi covid-19.

Penggunaan dana rakyat untuk penanganan pandemi covid-19 yang tidak transparan, membuka celah terjadinya praktik korupsi dan kolusi.  Di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkapkan, selama pandemi harta kekayaan 70,3% pejabat negara naik.   Tidak hanya itu saja, dengan alasan prokes, ulama dan aktivis Islam yang kritis terhadap penguasa ditangkapi dan dijebloskan dalam penjara.   Alih-alih serius menangani pandemi, para penguasa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengeruk keuntungan. Majalah Tempo pernah menurunkan sebuah sigi keterlibatan pejabat dalam bisnis PCR (polymerase chain reaction).  Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Kesehatan dan Keadilan menyebutkan, perputaran bisnis PCR mencapai 23 triliun.  Potensi total keuntungan lebih dari 10 triliun.

Ironisnya, saat dunia tenggelam dalam penderitaan dan kesusahan, justru korporasi-korporasi teknologi dan farmasi meraup keuntungan fantastis.  Tahun 2020 hingga 2021 perusahaan-perusahaan raksasa teknologi Alphabet  (perusahaan induk  Google), Amazon, Apple, Facebook, dan Microsoft, menurut laporan Financial Times, pendapatan gabungan dari lima perusahaan ini –yang disebut sebagai The Big Five  atau The Big Tech—meningkat 41%, yakni hingga 322 miliar dollar AS pada kuartal pertama 2021.  

Demikianlah, penerapan kapitalisme memurukkan manusia ke dalam kesengsaraan.  Krisis demi krisis akibat penerapan kapitalisme diperparah dengan keberadaan sistem negara bangsa (nation state), yang dalam banyak hal justru menghambat penyelesaian krisis-krisis global.  Negara bangsa tidak saja gagal menyelesaikan problem-problem domestiknya, tetapi ia juga rentan dengan problem-problem global. Kita baru saja menyaksikan bagaimana pandemi covid-19 yang bermula di kota Wuhan, menyebar begitu cepat ke seluruh dunia akibat akibat arogansi dan lemahnya negara-negara bangsa.   Pandemi covid-19 yang harusnya mudah ditangani justru berkembang menjadi persoalan global dan menimbulkan dampak buruk hampir di seluruh bidang kehidupan.   Seandainya Wuhan dilock down, dan seluruh negara berkomitmen menutup akses masuk penduduk Cina ke negaranya masing-masing (lock down), niscaya pandemi covid tidak akan menyebar ke seluruh dunia.  Sayangnya setiap negara bangsa tidak mengindahkan masalah ini. 

Di samping itu, negara bangsa merupakan sistem kenegaraan tidak manusiawi, high cost, dan dalam banyak hal menghambat terjadinya transfer teknologi, manusia, barang, dan jasa yang menjadi faktor penentu kesejahteraan dan kemakmuran dunia.

Pada tahun 1990-an, di Asia dan Afrika, lebih dari 60% penduduknya tidak mampu memenuhi keperluan kalori minimum yang diperlukan untuk hidup sehat.  Padahal, kekurangan nutrisi ini bisa ditutup hanya dengan 2% dari total produksi padi-padian dunia.  Hal ini bertentangan dengan pendapat umum yang menyatakan bahwa kelaparan dunia disebabkan karena terbatasnya produksi pertanian.  Mengapa ini terjadi, karena masing-masing negara bangsa tidak peduli dan acuh terhadap nasib bangsa lain. 

Berlarut-larutnya persoalan  kemanusiaan di Palestina, Suriah, Kashmir, India, Uighur, dan negeri-negeri lain, salah satu sebabnya, mereka dipisahkan oleh sekat-sekat negara bangsa yang mendinding dan mencegah mereka bersatu untuk saling membantu menyelesaikan persoalan mereka.  Nasionalisme tidak hanya melahirkan konflik, permusuhan, dan persaingan tidak sehat, lebih dari itu, nasionalisme memberikan kontribusi besar atas lahirnya kondisi ‘psikologis’ yang acuh dan tak acuh terhadap persoalan-persoalan negara-negara lain.  Dengan alasan mempertahankan kedaulatan dan kepentingan bangsanya sendiri,  nasionalisme mencabut sifat-sifat kemanusiaan –memperhatikan nasib orang lain-, bahkan menanamkan benih saling menerkam dan menikam.  

Di samping itu, munculnya negara bangsa –sebagai turunan dari nasionalisme— di dunia Islam, sesungguhnya ditujukan untuk memecah belah kaum Muslim, memperlemah kekuatan Khilafah Islamiyyah, dan untuk mempermudah negara-negara kafir imperialis menguasai dan mengeruk kekayaan alam kaum Muslim. 

Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa kapitalisme-sekularisme dan negara bangsa tidak layak menjadi penyangga sistem dunia.  Bahkan, masyarakat dunia meyakini bahwa kapitalisme membawa madlarat bagi kehidupan manusia.   Awal-awal tahun 2020, Edelman Trust Barometer melaporkan sebuah jajak pendapat yang menyatakan bahwasanya mayoritas masyarakat seluruh dunia yakin kapitalisme dalam bentuk kekiniannya mendatangkan lebih banyak mudlarat (kerusakan) ketimbang manfaat.  Jejak pendapat ini melibatkan lebih dari 34 ribu orang di 28 negara, dari negara demokrasi liberal seperti AS dan Perancis hingga negara yang didasarkan pada model yang berbeda seperti Cina dan Rusia.  Sebanyak 56% setuju bahwa kapitalisme sebagaimana adanya saat ini lebih mendatangkan mudlarat ketimbang manfaatnya di dunia. Thailand, sebanyak 75%,  India 74% , dan Perancis 69%, menyatakan kapitalisme lebih banyak menimbulkan kerusakan daripada kemanfaatan.

Survei di atas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk dunia sudah jenuh dan apatis dengan sistem kapitalisme dengan berbagai macam bentuknya.  Mereka juga tidak percaya bahwa kapitalisme bisa menjamin kehidupan masyarakat dunia yang lebih baik.

Manusia membutuhkan sistem dunia yang mampu  mengentaskan mereka dari kekufuran, penindasan, dan kezaliman.  Kapitalisme-sekularisme, sebuah paham yang berpusat kepada materi, membawa manusia kepada kekufuran dan memisahkan agama dari masyarakat dan negara.  Kapitalisme menyebabkan penumpukan kekayaan pada segelintir orang.  Praktik ribawi dan spekulasi menyebabkan krisis dan ketimpangan ekonomi.  Kegiatan ekonomi yang tidak mengindahkan halal dan haram, menyebabkan kerusakan di tengah-tengah masyarakat.  Maraknya bisnis minuman keras, pornografi, pelacuran, perjudian, dan lain sebagainya, justru menghancurkan kehidupan manusia, dan memerosotkan mereka ke level binatang.

Dunia membutuhkan aturan dan sistem pemerintahan terbaik.   Aturan dan sistem pemerintahan terbaik tentu saja yang bersumber dari Dzat Yang Maha Sempurna, Allah, Dzat Pencipta dan Pengatur alam semesta dan seisinya.  Dia telah menurunkan hukum dan sistem pemerintahan terbaik bagi manusia melalui Nabi Mohammad saw.  Jika manusia menginginkan kehidupan yang baik, ia harus kembali kepada aturan terbaik, yakni syariat dan Khilafah Islamiyyah.  Sistem ini pernah diterapkan dan terbukti membawa manusia ke dalam kesejahteraan dan keadilan.   Di dalam negara Khilafah lalu lintas barang dan jasa berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan.  Mekanisme pasar, transfer teknologi dan pengetahuan, distribusi barang dan jasa, berjalan baik dan tumbuh dengan pesat.  Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, distribusi barang dan jasa yang cepat, serta tersedianya pasar yang sangat luas, dan terbebasnya pasar dari praktek-praktek manipulatif dan riba, menjadikan perekonomian negara Khilafah sangat kuat dan tangguh.  Peradilan Islam terbukti mampu menciptakan keadilan dan rasa aman di tengah-tengah masyarakat.  Tidak ada diskriminasi hukum.  Semua mendapatkan perlakuan setara di hadapan hukum syariat.   Syariat Islam yang menjelaskan aspek ijtima’iy dan akhlaq, berhasil membentuk manusia-manusia yang memiliki personalitas terpuji.  Syariat Islam dalam ekonomi menciptakan perekonomian yang kuat, adil, dan menyejahterakan.  Begitu pula hukum-hukum syariat lain, satu dengan yang lain saling melengkapi hingga menciptakan kehidupan harmonis. 

Politik luar negeri Khilafah yang bertumpu pada penyebaran risalah Islam melalui aktivitas dakwah dan jihad, menciptakan tatanan dunia yang terjauh dari tujuan-tujuan rendah, seperti penjajahan dan eksploitasi ekonomi.  Khilafah membangun suatu tatanan yang memilahkan manusia ke dalam dua kelompok besar, kelompok yang mendukung Islam dan kelompok yang membela kekufuran.   Persaingan antar negara tidak lagi didasarkan pada tendensi-tendensi materi, tetapi berdasarkan tendensi-tendensi yang bersifat ideologis.  Jihad yang dilancarkan negara Khilafah kepada negara-negara kafir, tidak ditujukan untuk menjajah dan mengeksploitasi negara itu, tetapi semata-mata untuk melenyapkan halangan yang menghalangi sampainya dakwah Islam.  Negara Khilafah juga tidak memaksa penduduk negeri yang ditaklukkan untuk masuk ke dalam Islam.  Khilafah tidak menggunakan kekerasan dalam mendakwahkan Islam.  Dakwah Islamiyyah ditegakkan di atas hujjah dan argumentasi, bukan dengan paksaan senjata.

Demikianlah, kehadiran kembali Khilafah benar-benar penting bagi manusia agar mereka terbebas dari penderitaan akibat penerapan kapitalisme-sekularisme dan kepemimpinan demokrasi-sekuler.  Kehadiran kembali Khilafah juga dibutuhkan untuk menciptakan konstelasi politik internasional yang kondusif, dan kosong dari tendensi-tendensi rendah.

Oleh: Gus Syams (Cendekiawan Muslim)

Kamis, 25 April 2024

Indonesia Harus Bersyukur dengan Transisi Energi

Tinta Media - Indonesia memiliki banyak sekali kesempatan untuk mengambil manfaat atas agenda transisi energi yang dijalankan melalui skema atau rumus Net Zero Emission (NZE), mengapa? karena Indonesia adalah satu satunya negara terluas di dunia yang memiliki kekayaan alam terlengkap dan paling siap menjalankan agenda ini. Sementara banyak negara yang super kaya dan negara industri maju menggelepar oleh isu ini, karena ibarat ikan air tawar dimasukkan ke laut. Kira-kira kayak apa masalah mereka itu.

Memang ada segelintir oligarki yang akan terkena dampak atas agenda ini, dikarenakan memang mereka menjalankan bisnis pengerukan sumber daya alam dan eksploitasi energi kotor, akan tetapi dampak itu dapat diminimalisasi jika mereka memiliki komitmen yang baik kepada lingkungan hidup dan mau melakukan sedikit investasi bagi lingkungan. Tetapi jika mereka tidak mau, maka mereka akan rugi sendiri, alam akan menghukum mereka dan bisnisnya tersebut.

Karena opportunity dalam transisi energi begitu besar. Indonesia memiliki hutan tropis terluas di dunia. Lebih dari 100 juta hektar. Pohon-pohon dapat tumbuh dengan sangat cepat, jika ditanami sekarang maka dapat dimanfaatkan hasilnya pada 2040 nanti, saat itu negara-negara industri maju sudah dalam komitmen penuh mencapai net zero atau nol bersih. Jadi mereka tidak boleh utang emisi lagi. Jadi mereka harus memiliki investasi karbon yang dapat membalance secara penuh emisi yang mereka hasilkan, sehingga tercapai net zero. Maka saat itu hutan Indonesia akan bernilai sangat besar, maka saat itu setiap satu dolar akan diukur dengan setiap pohon sebagai jangkarnya.

Ingat bahwa isu transisi energi adalah pukulan keras terhadap minyak, pukulan itu mengarah ke jantung utama penggerak kapitalisme merusak sekarang ini yakni petro dolar system. Rezim keuangan yang sangat eksklusif atau tertutup, sentralistik dan  tidak transparan dan tidak demokratis. Rezim printing uang yang hanya bermodal kertas dan tinta. Gak perlu kerja, uang tinggal print. Pesugihan kelas satu.

Mula-mula transisi energi akan mengakhiri industri minyak dan gas sebagai penggerak dunia karena sudah sangat membahayakan ekosistem. Dunia ibarat gelembung tertutup yang dipenuhi asap polusi minyak yang jika tidak ditanggulangi maka akan menjadi sumber penyakit, pohon tidak tumbuh,  tanam tidak berbuah, makhluk hidup di dalamnya akan terancam musnah.

Berakhirnya Industri minyak harus dipahami sebagai berakhirnya ketergantungan yang besar Indonesia kepada minyak dan gas impor. Sekarang ini Indonesia mengimpor lebih dari separuh kebutuhan minyak nasional. Kenaikan harga minyak selalu menciptakan ancaman yang besar pada ekonomi. Demikian juga naiknya harga dolar sebagai mata uang untuk membeli minyak membahayakan negara secara politik. Minyak membuat bangsa Indonesia hidup dalam ketergantungan dan ketidakpastian yang membahayakan.

Bagaimana dengan batu bara yang merupakan penghasil emisi terbesar di atas minyak? Bukankah Indonesia eksportir terbesar batu bara? Sementara batu bara telah dijadikan target utama untuk dihentikan menurut kesepakatan internasional di bawah UNFCC yakni COP, bukankah itu merugikan Indonesia?

Benar kita mengekspor 700 juta ton batu bara setahun, terbesar di dunia, bernilai sekurang-kurangnya 105 miliar dolar atau sekurang-kurangnya 1600 triliun rupiah. Namun batu bara itu bukan punya negara kita, tapi punya swasta dan asing. Penerimaan negara tidak lebih dari 5 persen pendapatan sektor batu bara. Jadi batu bara sama sekali tidak significant bagi negara dan rakyat. Uang hasil batu bara kabur ke luar negeri dalam sistem devisa bebas.

Lalu bagaimana batu bara yang digunakan untuk pembangkit listrik nasional? bukankah itu harganya ditetapkan pemerintah agar  listrik Indonesia menyala? Ya betul walaupun harganya ditetapkan di bawah harga pasar, tapi pemilik pembangkit adalah mereka yang mengonsumsi batu baranya sendiri. Sebanyak 70 persen lebih pembangkit batu bara utilization saat ini adalah pembangkit swasta. Seluruh batu bara mereka yang ditetapkan harganya lebih murah tersebut digantikan dengan harga listrik yang wajib dibeli oleh negara melalui PLN dengan dana subsidi dan kompensasi listrik. Sementara 70 persen listrik nasional tidak terjual atau over supply. Jadi keberadaan batu bara dan pembangkit batu bara tersebut malah membebani keuangan negara, tidak sebanding dengan kontribusi mereka.

Namun bukan hanya bagian ini yang menjelaskan pentingnya transisi energi bagi Indonesia. Ada yang lebih besar lagi yakni ekonomi negara yang menyebut dirinya sebagai negara maju sekarang seluruh aset dan kekayaan Industri mereka menjadi beban, harus mereka kurangi, harus merela musnahkan. Tadinya aset atau kekayaan berharga sekarang malah menjadi utang dan beban. Sementara bagi Indonesia tadinya memelihara sumber daya alam menjadi beban, namun sekarang memelihara SDA, melestarikan lingkungan adalah opportunity ekonomi yang membawa cuan besar. Begitu Gas! 

Oleh : Salamuddin Daeng
Ketua Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia 

Minggu, 21 April 2024

Apakah Dollar Masih Relevan bagi Indonesia?

Tinta Media - Pada era pemerintahan SBY nilai tukar rupiah terhadap mata uang Dollar Amerika Serikat atau USD adalah Rp.8000 rupiah per dolar. Lalu pada masa pemerintahan Joko Widodo nilai tukar rupiah terhadap USD adalah rata-rata Rp.14 ribu. Nilainya dolar terhadap rupiah naik 85 persen. Atau nilai rupiah terhadap dolar turun 85 persen.

Lalu apakah itu mencerminkan penurunan nilai ekonomi Indonesia terhadap global? Tentu saja tidak! Ekonomi Indonesia adalah 7 besar dunia sekarang ini, dan akan menjadi 5 besar dunia pada 2027 menurut forecast IMF.

Dolar naik turun sekehendak pemiliknya. Belakangan nilai dolar naik terhadap sebagian besar mata uang dunia, karena The Fed pemilik dolar menaikkan suku bunga acuan setinggi langit. The Fed main bunga uang tinggi dalam rangka menarik uang dolar dari seluruh dunia dengan janji imbal hasil bunga dimasa depan yang besar dalam ekonomi AS. Walaupun kebijakan itu tidak pasti atau bisa berubah dengan cepat. Suka suka The Fed saja karena The Fed lah penguasanya lebih berkuasa dari pemerintah dan parlemen AS.

Supremasi bank swasta The Federal Reserve dikarenakan  bisa melakukan printing dolar lalu diutangkan ke negara Amerika Serikat (AS) dan selanjutnya AS sebagai makelar The Fed mengutangkan ke seluruh dunia. Sekarang The Fed tidak boleh cetak uang bermodalkan kertas dan tinta lagi. Kecuali ada krisis, perang, great depreasion, tapi bagaimana cara membuatnya chaos semacam itu sehingga ada legitimasi cetak uang. Apa masih bisa di timur tengah itu?

Cara naik turunnya dolar sangat exclusive, tertutup dan hanya segelintir elite global yang tahu. Dolar adalah rezim mata uang yang sangat sentralistik dan tidak demokratis. Padahal dolar adalah mata uang yang dijadikan alat tukar oleh banyak negara. Akibatnya nilainya terhadap mata uang negara lain sama sekali tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya. Bahkan nilainya di dalam ekonomi AS saja tidak diakui sebagai alat ukur pertukaran.

Nah saking kacaunya mata uang ini nilainya bisa naik tiba-tiba, bisa juga turun tiba-tiba. Akibatnya nilainya tidak dapat lagi dijadikan alat mengukur ekonomi, daya beli masyarakat suatu negara dan bahkan GDP suatu negara. Akibatnya banyak negara dan lembaga telah meninggalkan dolar AS sebagai alat untuk mengukur nilai mata uang suatu negara.

*Bank dunia dan lembaga-lembaga multilateral tidak lagi menggunakan dolar sebagai alat pengukur ekonomi. Lembaga internasional tersebut menggunakan indikator lain, atau ini mata uang lain atau alat ukur lain. Apa itu? Yakni dolar Purchasing Power Parity (PPP). Nilai dolar PPP suatu negara berbeda sangat tergantung kemampuan mata uang negara tersebut untuk ditukarkan dengan barang-barang dan jasa-jasa.*

Indonesia termasuk memiliki nilai dolar PPP yang cukup bagus yakni Rp. 4.765 /Dolar PPP. Nilainya lebih kuat tiga kali dibandingkan nilai tukar mata uang rupiah terhadap Dollar Amerika. Nilai dolar PPP mencerminkan nilai yang sebenarnya dari mata uang rupiah sebagai alat tukar dalam membeli barang dan jasa kebutuhan hidup. Sementara nilai dolar Amerika adalah nilai yang berlaku di kalangan para spekulan mata uang.

Tinggal satu masalah kita dengan dolar AS ini yakni kita membeli minyak impor dengan dolar AS. Parahnya lagi kita membeli minyak yang dihasilkan di dalam negeri juga dengan dolar AS, dan ini melanggar UUD dan UU tentang mata uang. Ditambah lagi BUMN kita membuat laporan keuangan juga dalam dolar, ini sebenarnya tidak benar melanggar UU. Tapi walaupun demikian impor migas dengan dolar sudah bisa ditandingi dengan ekspor komoditas dengan penerimaan dolar.

Tetapi nanti ketika transisi energi berjalan dengan baik, maka dolar dan harga minyak tidak lagi memainkan peran penting dalam mengacaukan ekonomi Indonesia. Dikarenakan Indonesia adalah gudangnya EBT dan super power dalam transisi energi maka bisa jadi Indonesia akan pemegang kunci jangkar mata uang global yang baru dan stabil pengganti minyak dan pemegang otoritas mata uang baru yang stabil pengganti dolar. Nanti kita lihat...

Oleh : Salamuddin Daeng (Ketua Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia)

Sabtu, 20 April 2024

Enam Catatan Penting Terkait Khotbah Pendeta Gilbert Lumoindong yang Terkesan Menista Ajaran Islam


Tinta Media - Setelah menonton berulang kali video viral yang berisi khotbah Pendeta Gilbert Lumoindong yang terkesan menista ajaran Islam khususnya terkait zakat dan shalat, setidaknya ada enam catatan penting yang dapat saya sampaikan.

𝑷𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂, 𝒂𝒅𝒂 𝒌𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒅𝒊 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒊𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒍𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑲𝒓𝒊𝒔𝒕𝒆𝒏 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒎𝒆𝒓𝒂𝒔𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒕 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒚𝒂𝒓 𝒑𝒆𝒓𝒑𝒖𝒍𝒖𝒉𝒂𝒏 (10 𝒑𝒆𝒓𝒔𝒆𝒏, 𝒑𝒆𝒓𝒔𝒆𝒑𝒖𝒍𝒖𝒉𝒂𝒏), 𝑮𝒊𝒍𝒃𝒆𝒓𝒕 𝒑𝒖𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒐𝒕𝒊𝒗𝒂𝒔𝒊 𝒋𝒆𝒎𝒂𝒂𝒕𝒏𝒚𝒂 𝒂𝒈𝒂𝒓 𝒎𝒆𝒓𝒂𝒔𝒂 𝒓𝒊𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒚𝒂𝒓 𝒑𝒆𝒓𝒔𝒆𝒑𝒖𝒍𝒖𝒉𝒂𝒏. 

Indikasinya dari dua pernyataannya yang saya transkrip di bawah ini:

- Kita tuh kadang kala kurang bersyukur. Kristen itu enak lho. Ibadahnya cuman seminggu sekali. Saudara sepupu kita (Islam) lima kali sehari (shalat lima waktu). Kenapa kita kebaktian seminggu sekali? Tahu enggak kenapa? Karena bayarnya 10 persen. (Jemaat tertawa). Itu berhubungan Saudara-Saudara!

- Makanya saya tidak pernah tertarik perdebatan tentang perpuluhan. Orang yang enggak mau bayar per puluhan enggak apa-apa! Semua hamba-hamba Tuhan yang bilang enggak usah bayar perpuluhan enggak apa-apa. Bayar 2,5! Enggak usah 10 persen, 2,5 (persen aja). Tapi sembahyangnya lima kali sehari. (Jemaat tertawa).

Sayangnya, dalam memotivasi jemaahnya agar merasa ringan membayar per puluhan, ia mulai membandingkan 10 persen (perpuluhan dalam ajaran Kristen) dengan 2,5 persen (zakat dalam ajaran Islam) dan membandingkan kebaktian di gereja sepekan sekali dengan shalat lima waktu di masjid.

𝑲𝒆𝒅𝒖𝒂, 𝒕𝒆𝒓𝒌𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒚𝒂𝒎𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒍𝒂𝒚𝒂𝒏𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒊𝒃𝒂𝒅𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒊𝒕𝒖 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒃𝒊𝒔𝒏𝒊𝒔. 𝑰𝒏𝒅𝒊𝒌𝒂𝒔𝒊𝒏𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒏𝒚𝒂𝒕𝒂𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒊 𝒃𝒂𝒘𝒂𝒉 𝒊𝒏𝒊.

Indikasinya ada banyak, enam di antaranya seperti yang saya transkrip di bawah ini:

- Iya, dong, enak aja udah cuman 2,5 mau (sembahyang) seminggu sekali, eeeeh… beda kelas!

- Naik pesawat saja, ekonomi sama bisnis class, makannya beda. Ekonomi (makanannya) di kotak. Bisnis class, ada piringnya. Iya toh? Ekonomi, (di) belakang. Bisnis class, (di) depan.

- Ekonomi sempit. Ini nih, lutut kita, nempel di pantat orang di belakang (maksudnya orang yang di depan). Kita gerak sedikit, ‘Cek’ (ia memperagakan orang di depan yang merasa terganggu sembari menoleh ke belakang sambil berdecak).

- Yang berdebat, berdebat, perpuluhan, apa itu perpuluhan? Ei, jangan duduk di kursi, (tapi duduk di) karpet! Lho, iya kan?

- Bayar 2,5 (persen) duduk di kursi? Eeenak aja! Dari mana Lu aturan begitu?

- Pak Guntur mana? Guntur! Yang 𝑠𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 ini (sembari tangannya menunjuk ke sebelah kanannya), mulai minggu depan jangan taruh kursi. Yang 2,5 (persen) duduk di situ (bagian gereja yang nantinya tanpa kursi lagi). (Jemaat tertawa).

Selain terkesan menyamakan peribadatan di gereja dengan bisnis, ia juga berulang kali membandingkannya dengan zakat dan shalat yang tentu saja dikesankan bahwa zakat dan shalat lima waktu itu sebagai bisnis pula.

𝑲𝒆𝒕𝒊𝒈𝒂, 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒅𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒑𝒖𝒍𝒖𝒉𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒛𝒂𝒌𝒂𝒕 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒌𝒆𝒔𝒂𝒏𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒃𝒂𝒚𝒂𝒓𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒍𝒂𝒚𝒂𝒏𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒊𝒃𝒂𝒅𝒂𝒕𝒂𝒏 𝒋𝒆𝒍𝒂𝒔 𝒎𝒆𝒓𝒖𝒑𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒔𝒂𝒍𝒂𝒉𝒂𝒏 𝒕𝒐𝒕𝒂𝒍.

Memang persepuluhan atau perpuluhan adalah kegiatan memberikan 10 persen dari penghasilan jemaat kepada tempat ibadah (gereja), untuk membangun sarana dan prasarana gereja, biaya operasional gereja termasuk menggaji pendetanya.

Tetapi, zakat itu merupakan sedekah wajib dari 𝑚𝑢𝑧𝑎𝑘𝑘𝑖 (orang Islam yang dikenai kewajiban membayar zakat atas kepemilikan harta yang telah mencapai nisab dan haul) untuk dibagikan kepada delapan golongan 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎ℎ𝑖𝑞 (orang Islam yang berhak menerima zakat) saja yakni: fakir, miskin, ibnu sabil, fi sabilillah, mualaf, budak yang ingin memerdekakan diri, dan amil.

Sama sekali tidak boleh diberikan kepada selain kedelapan golongan tersebut termasuk untuk tempat ibadah (masjid), baik sarana, prasarana masjid, biaya operasional masjid maupun menggaji imam masjid. 

Jadi, zakat yang 2,5 persen itu sama sekali bukan untuk biaya pelayanan peribadatan di masjid. Maka, Muslim baik 𝑚𝑢𝑧𝑎𝑘𝑘𝑖 maupun 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎ℎ𝑖𝑞 shalatnya sama persis. Yang datang duluan, dipersilakan shalat paling depan, tidak dibeda-bedakan.

Yang bayar zakatnya paling banyak sama sekali tidak berhak duduk di kursi begitu juga 𝑚𝑢𝑠𝑡𝑎ℎ𝑖𝑞. Namun bagi jamaah shalat yang sakit sehingga kesulitan berdiri dalam shalat, maka untuk dirinya dibolehkan shalat sambil duduk di kursi.

𝑲𝒆𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕, 𝒆𝒏𝒕𝒂𝒉 𝒃𝒆𝒓𝒎𝒂𝒌𝒔𝒖𝒅 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒊𝒔𝒕𝒂 𝒂𝒋𝒂𝒓𝒂𝒏 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌, 𝒋𝒆𝒍𝒂𝒔 𝒌𝒉𝒐𝒕𝒃𝒂𝒉𝒏𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒃𝒖𝒕 𝒕𝒆𝒓𝒂𝒔𝒂 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝒔𝒂𝒚𝒂 (𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒋𝒖𝒓𝒏𝒂𝒍𝒊𝒔 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒆𝒅𝒊𝒌𝒊𝒕 𝒃𝒂𝒏𝒚𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒔𝒂 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂 𝒎𝒂𝒖𝒑𝒖𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒔𝒂 𝒏𝒐𝒏𝒗𝒆𝒓𝒃𝒂𝒍 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒈𝒖𝒏𝒂 𝒃𝒂𝒉𝒂𝒔𝒂 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂), 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒑𝒆𝒏𝒊𝒔𝒕𝒂𝒂𝒏. 𝐈𝒕𝒖 𝒕𝒆𝒓𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒄𝒂𝒓𝒂 𝒅𝒊𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒃𝒊𝒄𝒂𝒓𝒂, 𝒈𝒆𝒔𝒕𝒖𝒓 𝒕𝒖𝒃𝒖𝒉, 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒕𝒂𝒘𝒂 𝒌𝒆𝒕𝒊𝒌𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒅𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒑𝒖𝒍𝒖𝒉𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒛𝒂𝒌𝒂𝒕, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒅𝒊𝒏𝒈𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒃𝒂𝒌𝒕𝒊𝒂𝒏 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒔𝒉𝒂𝒍𝒂𝒕.

Indikasinya bisa dilihat di semua transkrip di atas dan beberapa transkrip di bawah ini:

- (Ia tertawa lalu bilang) Ada yang lihat saya begini (memperagakan jemaatnya melihat Gilbert sambil manggut-manggut tanda sepakat). Pasti bayar per puluhan dia itu (sambil menunjuk ke jemaat dimaksud). Puas banget dia, seminggu sekali. Enggak usah cuci-cuci (wudhu). Iya 𝑘𝑎𝑛? Enggak usah bergerak-bergerak (sebagaimana gerakan shalat). 

- 𝐿ℎ𝑜 𝑘𝑎𝑛 bayar 10 persen, makanya kebaktian tenang aja. Iya 𝑘𝑎𝑛? Paling berdiri, nyanyi, tepuk tangan. Santai. Tapi kalau 2,5 (persen), setengah mati. (Lalu Gilbert memperagakan orang shalat mulai dari takbiratul ikhram sampai rukuk. Jemaat tertawa).

- Yang paling berat terakhirnya (attahiyat akhir) mesti lipat (jempol) kaki (kanan). (Jemaat tertawa). Enggak semua orang bisa… (sambil tertawa). Iya 𝑘𝑎𝑛? Kaki mesti 𝑑𝑖𝑙𝑖𝑝𝑒𝑡, ℎ𝑒𝑖𝑖𝑎𝑎𝑎, tapi ya udahlah namanya juga 2,5 (persen).

𝑲𝒆𝒍𝒊𝒎𝒂, 𝒂𝒑𝒂𝒌𝒂𝒉 𝒊𝒂 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒌𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒃𝒂𝒏𝒅𝒊𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒓𝒌𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒍𝒆𝒄𝒆𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒋𝒂𝒓𝒂𝒏 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎 𝒕𝒆𝒓𝒔𝒆𝒃𝒖𝒕 𝒎𝒖𝒏𝒄𝒖𝒍 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒌𝒆𝒊𝒏𝒈𝒊𝒏𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒂𝒕𝒂𝒖 𝒔𝒆𝒌𝒂𝒅𝒂𝒓 𝒃𝒂𝒍𝒂𝒔𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎 𝒎𝒆𝒎𝒖𝒍𝒂𝒊 𝒅𝒖𝒍𝒖𝒂𝒏? 𝑺𝒂𝒚𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒕𝒂𝒉𝒖.

Poin kelima ini muncul karena ada pernyataan dia di akhir-akhir khotbahnya seperti ini:

- Bayar 2,5 (persen) duduk di kursi? Eeenak aja! Dari mana Lu, aturan begitu? Dan bukan cuman itu, ada teman saya ustadz, jail banget ya, “Orang Kristen dari mana-mana masuk gereja, langsung masuk. Kita orang Islam diajari bersih. Sebelum sembahyang cuci-cuci semuanya (sembari memeragakan wudhu bagian hidung).”

- Saya bilang, “Lu 2,5 (persen)! (ketawa jemaat meledak lagi). Gue sepuluh persen, bukan berarti gue jorok tapi disucikan oleh darah Yesus.” (Jemaat tepuk tangan).

Tapi yang jelas, Islam mengajarkan kepada kaum Muslim untuk tidak menghina ajaran agama lain termasuk Kristen karena mereka akan membalas penghinaan tersebut terhadap ajaran Islam tanpa ilmu.

Terlepas pernyataan Gilbert ini balasan atau bukan, yang jelas ia terkesan menghina zakat dan shalat benar-benar tanpa ilmu. Padahal, dapat dengan mudah mencari literasi tentang zakat dan shalat di Indonesia ini.

Selain itu, Gilbertnya sendiri wujudnya jelas dan indikasi penghinaannya juga sangat jelas sehingga sudah semestinya diproses secara hukum untuk memberikan efek jera kepada siapa saja yang coba-coba menista agama, agama apa pun termasuk Islam.

Adapun ustadz yang dimaksud Gilbert tersebut, itu siapa? Ada baiknya juga diungkap. Lalu dipastikan oleh ahli Kristen sendiri apakah itu termasuk penistaan atau bukan, dan silakan saja proses ustadz tersebut ke ranah hukum bila memang disimpulkan sebagai penistaan. Agar ke depannya tidak ada lagi ada acara nista menista ajaran agama, agama apa pun termasuk Kristen.

𝑲𝒆𝒆𝒏𝒂𝒎, 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎 𝒎𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒖𝒎𝒂𝒕𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒊𝒔𝒕𝒂 𝒂𝒈𝒂𝒎𝒂 𝒍𝒂𝒊𝒏, 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎 𝒎𝒆𝒘𝒂𝒋𝒊𝒃𝒌𝒂𝒏 𝒖𝒎𝒂𝒕𝒏𝒚𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒅𝒂𝒌𝒘𝒂𝒉𝒌𝒂𝒏 𝒂𝒋𝒂𝒓𝒂𝒏 𝑰𝒔𝒍𝒂𝒎 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒑𝒆𝒎𝒆𝒍𝒖𝒌 𝒂𝒈𝒂𝒎𝒂 𝒍𝒂𝒊𝒏.

Islam mewajibkan kaum Muslim berdakwah. Dakwah kepada sesama Muslim tujuannya agar senantiasa sama-sama taat pada syariat Islam. Sedangkan dakwah kepada non-Muslim tujuannya agar orang kafir tersebut masuk Islam.

Namun dalam berdakwah, Islam melarang kaum Muslim memaksa orang kafir memeluk Islam, tetapi Islam mengajarkan kepada kaum Muslim agar mengungkap kesalahan mereka setidaknya dalam dua poin besar.

𝑃𝑜𝑖𝑛 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑡𝑎𝑚𝑎. Jelaskan kepada para penganut agama lain tersebut, misal agama Kristen, bahwa aturan-aturan yang dibuat pemuka agamanya itu tidak berdasarkan perintah Tuhan, bila memang para pemuka agamanya membuat aturannya sendiri bukan berdasarkan perintah Tuhan. Tujuannya agar mereka sadar sudah dibodohi oleh pemuka agamanya sendiri.

Namun bila sudah jelas di mata dia bahwa pemuka agamanyalah yang membuat aturan, bukan Tuhan, lalu tetap saja taat kepada pemuka agamanya tersebut maka tegaskan kepada dirinya bahwa sesungguhnya dirinya bukan menyembah Tuhan yang sebenarnya tetapi menyembah para pemuka agamanya sendiri.

𝑃𝑜𝑖𝑛 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟 𝑘𝑒𝑑𝑢𝑎. Tunjukkan bahwa kitab sucinya karangan manusia, bukan wahyu dari Tuhan. Bila sudah mengetahui kitab sucinya karangan manusia, atau sudah tidak murni wahyu Tuhan lagi, maka sesungguhnya agamanya tersebut sudah sama saja dengan poin besar pertama di atas. 

Itulah dua poin besar dari sekian banyak poin besar dalam ajaran Islam dalam mengungkap kesalahan agama lain agar mereka sadar bahwa agama yang dianutnya keliru. Tetapi sekali lagi, Islam memang mewajibkan Muslimin mengajak mereka masuk Islam tetapi secara tegas melarang umat Islam menghina agama mereka dan juga melarang memaksa mereka masuk Islam. 𝑊𝑎𝑙𝑙𝑎ℎ𝑢’𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑏𝑖𝑠ℎ-𝑠ℎ𝑎𝑤𝑤𝑎𝑏. []

Depok, 11 Syawal 1445 H | 19 April 2024 M

Joko Prasetyo
Jurnalis
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab