Tinta Media: Jual
Tampilkan postingan dengan label Jual. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jual. Tampilkan semua postingan

Rabu, 07 Desember 2022

Ustazah Rif'ah Kholidah Jelaskan Hukum Jual Beli dengan Apotek atau Dokter Swasta

Tinta Media - Konsultan dan Trainer Keluarga Sakinah Ustazah Rif'ah Kholidah mengatakan, hukum ijarah jasa dokter swasta dan membeli obat di apotek swasta adalah mubah.

“Adapun berkaitan dengan ijarah jasa dokter swasta, atau membeli obat kepada apotek swasta, maka hukumnya adalah boleh atau mubah,” ujarnya dalam tayangan Serba-serbi MMC: Bagaimana Jaminan Kesehatan dalam Islam? Ahad (4/12/2022)di laman YouTube Muslimah Media Center. 

Ia mengungkapkan hal ini berdasarkan dalil umum tentang kebolehan melakukan jual beli atau ijarah. Begitu juga dalil bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan ijarah dalam masalah kesehatan dengan tukang bekam dan memberinya upah sebanyak 2 sha' (1 sha' setara dengan 4 mud) makanan. Sebagaimana hadis dari Anas ra, yang artinya: 

“Rasulullah SAW, pernah meminta dibekam. Kemudian beliau dibekam oleh Abu Thayyibah. Lalu beliau memberinya 2 sha' makanan. Beliau kemudian memberitahu pada para sahabat beliau, lalu mereka merasa ringan penyakitnya karena diobati. (HR. Bukhari)

Hal Ini, tambahnya, juga merupakan gambaran jaminan kesehatan secara gratis dalam Islam. “Yang mana hal ini bisa dirasakan oleh seluruh rakyatnya ketika negara mengadopsi sistem pemerintah dalam Islam, yakni sistem khilafah,” pungkasnya.[] Wafi

Selasa, 18 Oktober 2022

JUAL-BELI BAYI BERKEDOK YAYASAN PEDULI ANAK

Tinta Media - Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat (Jabar) mengungkap praktik jual-beli anak melalui media sosial (medsos) yang dilakukan oleh Yayasan Ayah Sejuta Anak. Seorang pelaku berinisial SH (32 tahun) warga Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor telah diamankan. Pelaku memperjual-belikan bayi dari beberapa ibu hamil yang ia himpun, yang telah dibantu persalinannya  di rumah sakit. Bayi-bayi yang dilahirkan tersebut akan diserahkan kepada orang yang ingin mengadopsi. (29/9/2022)

Pelaku menggunakan modus Yayasan Ayah Sejuta Anak untuk melakukan proses adopsi yang ternyata dilakukan secara ilegal. Bagi yang mengadopsi bayi tersebut, mereka dimintai uang sebesar Rp15 juta dari setiap anak, dengan alasan sebagai pengganti biaya operasi sesar, padahal biaya persalinannya menggunakan BPJS.  

Sementara itu, masih ada lima orang ibu hamil yang sedang menunggu kelahiran di tempat penampungan, yang sudah ditangani oleh instansi terkait. Atas perbuatannya, pelaku dijerat Pasal 83 juncto Pasal 76 huruf F Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dengan ancaman pidana minimal tiga tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara, serta denda minimal Rp60 juta, maksimal Rp3 miliar.

Adanya kasus semacam ini menyadarkan kita semua, bahwa kehidupan yang materialistis telah menempatkan materi sebagai tujuan hidup yang ingin diraih, walaupun harus menghalalkan segala macam cara. Berkedok yayasan sosial yang memberikan bantuan kepada para ibu hamil yang tidak menginginkan anaknya, seolah menjadi solusi bagi mereka.  

Kebanyakan para wanita ini mungkin dalam kondisi ekonomi yang sulit atau hamil akibat perilaku seks bebas, sehingga tidak menginginkan bayinya, atau tidak mampu membiayai persalinan bayinya serta kelangsungan hidupnya. Kehadiran yayasan bayi ini dipandang sebagai penolong, sehingga para wanita tersebut rela menyerahkan  kepengurusan bayinya terhadap yayasan tersebut, walaupun ternyata hanya kedok dari penjualan bayi.

Sama-sama mendapatkan kemanfaatan dari relasi antara para ibu hamil dan yayasan bayi tersebut, menjadikan hubungan ini simbiosis mutualisme, hubungan saling menguntungkan. Di antara mereka mungkin ada yang menyadari bahwa yang mereka lakukan telah melanggar hukum. Namun, karena tergiur dengan keuntungan yang akan diperoleh, mereka tetap melakukannya.

Lemahnya aspek keimanan akibat tergerus oleh paham sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan), yang melahirkan paham liberalisme dan hedonisme, menjadikan tujuan hidup hanyalah kenikmatan dunia semata.  Kurangnya pemahaman tentang Islam mengakibatkan masyarakat sangat lemah dari sisi akidah sehingga rentan tergelincir ke jurang kemaksiatan, seperti pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan berbagai macam kerusakan. 

Di antaranya, terjadinya kehamilan yang tidak diharapkan dari hasil hubungan terlarang. Atau kondisi ekonomi yang lemah, sehingga memandang anak sebagai beban hidup, dan kelahirannya tidak diinginkan, dengan mudahnya menyerahkan anaknya kepada pihak lain. Inilah gambaran rendahnya moral masyarakat. 

Kondisi tersebut wajar, karena penerapan sistem sekularisme-liberalisme telah menjauhkan manusia, dalam hal ini kaum muslimin, dari agama mereka. Mereka hidup berdasarkan keinginan hawa nafsu untuk mencapai kebahagiaan dunia yang fana. Keberadaan negara yang menerapkan aturan, tampak tidak serius dalam menyelesaikan masalah seperti ini. Hal tersebut karena faktor yang diselesaikan adalah faktor akibat, yaitu penjualan bayi, bukan menyelesaikan pada faktor penyebab, yaitu mengapa banyak kehamilan yang tidak diinginkan.

Aspek akidah sebagai hal yang paling asasi dalam diri manusia untuk menjalani kehidupannya, hanya dipandang sebagai wilayah privat, sehingga tidak boleh memengaruhi kehidupan umum. Kehidupan pun akhirnya diatur oleh aturan manusia yang hanya mengikuti hawa nafsu saja, bebas dalam bertingkah laku dalam hal apa pun.

Parahnya lagi, negara yang menerapkan sekularisme-liberalisme-demokrasi, menjunjung kebebasan ini. Padahal, semuanya berbuah kerusakan. Salah satunya adalah kehamilan yang tidak diinginkan (baik karena hasil dari seks bebas, ataupun karena faktor ekonomi). 

Sistem yang rusak akan melahirkan manusia-manusia yang rusak juga. Kuatnya pengaruh sistem kapitalis liberal menjadikan masyarakat semakin jauh dari pemahaman Islam yang benar, yang menimbulkan krisis akidah dan kepribadian, mudah tergiur dan terjerumus ke dalam tidak kemaksiatan. 

Walhasil, keadaan tersebut dijadikan peluang oleh segelintir orang untuk dijadikan bisnis yang menguntungkan dengan mengatasnamakan sebuah yayasan, padahal penuh dengan penipuan, bahkan mengarah kepada praktik penjualan bayi. 

Begitulah karut-marutnya kehidupan dalam sistem sekulerisme-liberalisme, tidak sesuai dengan fitrah dan kemanusiaan. Sudah saatnya kita membutuhkan sistem yang sesuai dengan fitrah manusia dalam mengatur kehidupan kita, yakni sistem Islam.

Islam diturunkan oleh Allah Swt. sebagai pedoman hidup bagi umat manusia, agar mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Islam datang sebagai aturan dan kabar gembira bagi orang yang beriman. Dalam sistem Islam, khalifah  sebagai kepala negara, betul-betul akan mengurusi rakyatnya. Penerapan Islam mengandung tujuan, di antaranya sebagai penjaga nashab (garis keturunan) dan kehormatan. 

Maka, penerapan Islam yang komprehensif, termasuk sistem pergaulan, bersifat preventif agar nashab umat terjaga. Hukum tentang keharaman zina dan sanksi keras bagi para pelakunya, juga tentang keharaman khalwat, kewajiban menutup aurat bagi laki-laki maupun perempuan, serta aturan pergaulan lainnya, telah mampu menjaga kebersihan masyarakat. Di sisi yang lain, Islam mendorong umatnya untuk banyak keturunan dalam ikatan pernikahan.

Di topang oleh kekuatan sistem ekonomi Islam,  penyediaan lapangan pekerjaan oleh negara akan menjamin para laki-laki mampu untuk menafkahi keluarganya, sehingga tidak ada kehamilan yang tidak diinginkan hanya karena masalah kemiskinan.

Inilah gambaran pengaturan rakyat dalam Islam. Seorang kepala negara (Khalifah) bertanggung jawab penuh atas segala kebutuhan rakyatnya, dari mulai keperluan sandang, pangan, dan papan, serta pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan. Hal ini karena  seorang pemimpin adalah perisai (pelindung) bagi rakyatnya. Ia paham bahwa semua perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sehingga seorang khalifah akan bersungguh-sungguh dan amanah dalam mengemban tugasnya. 

Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah raa'in atau penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR Bukhari). 

Semua itu akan terwujud dengan berdirinya sebuah negara yang mandiri dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam daulah khilafah. Waktunya kembali ke aturan Islam dan berjuang memahamkan umat akan pentingnya mengkaji Islam secara kaffah, sehingga kesejahteraan akan menyebar ke seluruh alam. Begitulah indahnya kehidupan dalam naungan Islam yang harus sama-sama kita perjuangkan sebagai bentuk ketaatan kita dalam menggapai rida Allah, agar semua itu bisa segera terwujud dengan ijin Allah Swt. 

Wallahu a'lam

Dartem  
Ibu Rumah Tangga

Minggu, 03 Juli 2022

Ustaz Shiddiq Al-Jawi: Haram Hukumnya Jual Beli Barang dari Tarikan Leasing dan Barang Curian



Tinta Media - Menjawab pertanyaan tentang hukum jual beli barang dari sumber haram, seperti barang tarikan leasing dan barang curian, Founder Institut Muamalah Indonesia KH M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si. menyampaikan keharamannya.

“Jawabannya secara ringkas sebenarnya haram hukumnya menjual belikan barang tarikan leasing,” tuturnya pada rubrik Renungan Fajar: Hukum Membeli Barang Tarikan Leasing dan Curian, Ahad (26/6/2022) Di Kanal Youtube Cinta Quran TV.

Kiai Shiddiq menjelaskan, alasannya karena barang itu bukan hak milik pihak leasing, melainkan hak milik pihak customer atau pembeli. "Mengapa demikian? Mengapa barang itu sudah menjadi hak miliknya customer bukan lagi hak miliknya pihak leasing? "Karena di dalam syariat Islam barang yang dibeli sebenarnya sudah menjadi hak milik pembeli dengan adanya ijab dan qabul dalam aqad jual beli. Walaupun barang itu dibeli secara kredit dan belum lunas,” jelasnya.

Menurutnya, ini penting untuk dipahami bahwa kalau seseorang sudah ada ijab dan qabul secara syar’i untuk aqad jual beli, maka dengan adanya aqad itu sudah mengalihkan atau memindahkan hak milik barang dari yang semula milik penjual, menjadi milik pembeli. “Jadi yang menyebabkan faktor berpindahnya  barang adalah aqad bukan lunas atau tidak lunas,” terangnya.

Ustaz Shiddiq menyampaikan perbedaannya dengan ketentuan yang ada di dalam jual beli leasing. Kalau di jual beli leasing, jika belum lunas, masih miliknya pihak leasing, jadi dianggap sewa customer. “Karena dianggap sewa, maka bisa diambil lagi,” paparnya.

“Kalau dalam leasing itu menjadi hak milik pembeli ketika lunas,” tambahnya.

Ia juga menjelaskan ketentuan yang disebutkan bahwa hak milik itu sudah berpindah dengan adanya aqad jual beli ini berlaku untuk barang-barang yang sifatnya tidak ditakar, tidak ditimbang dan tidak dihitung. Misalnya rumah, tanah, kendaraan dan sebagainya.

“Adapun barang-barang yang ditakar dan dihitung seperti gandum atau beras atau minyak goreng dan sebagainya, maka selain sudah adanya aqad jual beli itu ada satu syarat lagi supaya kepemilikan itu sempurna milik pembeli yaitu adanya penerimaan barang (al abdhu) oleh pihak pembeli,” jelasnya.

Jika baru ada aqad tapi belum ada serah terima, ini mengakibatkan barang kepemilikannya belum sempurna. “Jadi tidak boleh dijual belikan atau dihibahkan atau diberikan,” tuturnya.

Jadi, menurutnya, kalau pihak penjual (pihak leasing) menarik paksa barang dengan alasan karena gagal bayar, lalu menjual barang itu, artinya pihak leasing telah menjual barang yang bukan miliknya. “Padahal menjual barang yang bukan hak milik adalah haram dalam syariat Islam,” ungkapnya.

Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

Laa tabi’ maa laysa ‘indaka

“Janganlah kamu menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu,” HR Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah.

Kemudian, Kiai Shiddiq menjelaskan hukum menjual barang curian. “Haram juga jual beli barang curian berdasarkan keumuman dalil hadis dan berdasarkan dalil khusus yang mengharamkan jual beli barang curian,” jelasnya.

Disampaikannya hadis dari Abu Hurairah RA bahwaRasulullah SAW bersabda:

Manistaro sariqotan wahuwa ya’lamu annaha sariqotun faqod syaroka fii ‘aarihaa wa itsmiha

“Barangsiapa membeli barang curian, sedang dia tahu bahwa barang itu adalah barang curian, maka ia bersekutu dalam aib dan dosanya.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi, Hadis shahih).

Kiai Shiddiq menyampaikan bahwa hadis tersebut menunjukkan haramnya membeli barang curian. “Namun, hadis tersebut menunjukkan bahwa keharaman itu ada jika pihak pembeli mengetahui bahwa barang yang dibelinya adalah barang curian,” terangnya.

Dipaparkannya juga, jika pembeli tidak mengetahui, maka tidak turut bedosa. Namun, andaikata pihak pembeli tidak mengetahuinya, pihak penjual tetap berdosa. “Sebab penjual tersebut berarti telah menjual sesuatu yang sebenarnya bukan hak miliknya dan ini telah diharamkan dalam hadis yang kami sampaikan sebelumnya,” paparnya.

“Jadi, hukumnya haram, tidak boleh, baik untuk yang menjual maupun yang membeli ,” pungkasnya.[] Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab