Tinta Media: Haram
Tampilkan postingan dengan label Haram. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Haram. Tampilkan semua postingan

Selasa, 05 Maret 2024

Ancaman Memakan Harta Haram


Tinta Media - Harta haram ada dua jenis, yaitu: (1) Harta yang haram dari aspek zatnya; (2) Harta yang haram dari aspek cara perolehannya.

Contoh harta haram dari aspek zatnya: daging babi, daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah SWT, khamar, daging binatang buas, dll. Terkait harta yang haram dari aspek zatnya ini, Rasul saw. bersabda, “Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amalnya selama 40 hari; dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba, maka neraka lebih layak bagi dirinya.” (HR ath-Thabrani).

Beliau juga pernah bersabda, “Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuk diri.” (HR At Tirmidzi).

Adapun contoh harta yang haram dari aspek cara perolehannya adalah harta-harta yang diperoleh melalui: judi, riba dan akad-akad yang tak syar’i (asuransi, investasi bodong, bursa saham/efek, bursa valas, tukar-menukar mata uang tidak secara tunai, kredit emas, dll). Terkait ini Rasul saw. bersabda, “Siapa saja yang mengumpulkan harta haram, kemudian menyedekahkannya, maka tidak ada pahala, tetapi dosa, untuk dirinya.” (HR Ibnu Huzaimah).

Semoga kita terhindar dari dua jenis harta haram, yakni harta yang zatnya memang haram, dan harta yang perolehannya haram meski boleh jadi zat hartanya halal.

Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb.[]

Oleh: Al-Faqir Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor).

Rabu, 28 Februari 2024

Pakar Fikih Kontemporer: Haram Menerima Hadiah dari Rekening Wadiah Di Bank Syariah



Menjawab pertanyaan tentang hukum menerima hadiah dari rekening wadiah di Bank Syariah, Founder Institut Muamalah Indonesia sekaligus Pakar Fikih Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menyampaikan keharamannya.

“Haram hukumnya seorang penabung dengan rekening wadiah di sebuah bank syariah menerima hadiah atau bonus dari bank tersebut,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (22/2/2024).

Ustadz menjelaskan, hal ini karena akad wadiah (titipan) di bank syariah tersebut sesungguhnya tidak memenuhi kriteria-kriteria wadiah secara syariah. “Jadi tabungan wadiah itu sebenarnya bukan wadiah secara syariah, melainkan pinjaman (qardh),” jelasnya.

Ketika akad tabungan wadiah di bank syariah itu berubah menjadi qardh (pinjaman), maka setiap tambahan atau hadiah dari bank syariah kepada para penabungnya, tiada lain adalah riba yang diharamkan dalam Islam. 

Dalil haramnya hadiah yang muncul dari akad qardh (pinjaman), adalah sabda Rasulullah saw:

إِذَا أَقْرَضَ فَلاَ يَأْخُذْ هَدِيَةً
“Jika kamu memberi pinjaman (qardh) maka janganlah kamu mengambil suatu hadiah.” (HR. Bukhari, dalam At-Tārīkh Al-Kabīr, 4/2/231; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, V/530).

USAJ sebutan Ustadz Shiddiq, juga menyampaikan dalil lainnya, sabda Rasulullah saw. :

‏إِذَا أَقْرَضَ أَحَدُكُمْ قَرْضًا فَأَهْدَى لَهُ أَوْ حَمَلَهُ عَلَى الدَّابَّةِ فَلَا يَرْكَبْهَا وَلَا يَقْبَلْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ جَرَى بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ قَبْلَ ذَلِكَ ‏

“Jika salah seorang dari kamu memberi pinjaman (qardh) (kepada orang lain), lalu yang meminjam memberi dia hadiah, atau menaikkannya di atas tunggangannya, maka janganlah dia menaiki tunggangan itu, dan jangan pula menerima hadiahnya, kecuali hal itu sudah biasa terjadi sebelumnya antara yang memberi pinjaman dan yang meminjam.” (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, no. 2432).

Dalil lainnya, sabda Rasulullah saw. :

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوهِ الرِّبَا

“Setiap-tiap pinjaman (qardh) yang menimbulkan manfaat (bagi pemberi pinjaman, al-muqridh), maka itu adalah satu jenis di antara berbagai jenis riba.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan, 5/530).

“Dari hadits-hadits di atas jelas bahwa hadiah yang muncul dari adanya pinjaman (qardh), hukumnya adalah haram secara mutlak, baik dipersyaratkan maupun tidak dipersyaratkan pada saat akad pinjaman (qardh) di awal,” tegasnya.

Perubahan Akad

Perubahan akad wadiah (titipan) di bank syariah menjadi pinjaman (qardh), menurut USAJ, karena wadiah (titipan) di bank syariah, tidak memenuhi kriteria syariah yang seharusnya ada pada akad wadiah, dengan dua bukti/argumen sebagai berikut; 

*Pertama*, dalam akad wadiah (titipan), seharusnya pihak yang dititipi (dalam hal ini bank syariah) hanya menyimpan uang dari penabung (nasabah), tidak menggunakan uang yang dititipkan. Jadi bank syariah tidak boleh melakukan isti’māl (penggunaan/pemanfaatan) terhadap uang itu, misalnya digunakan untuk membayar gaji pegawai, digunakan untuk membayar berbagai macam tagihan, digunakan untuk membayar nasabah yang melakukan tarik tunai, dsb. “Faktanya, bank syariah melakukan tindakan yang disebut isti’māl, yaitu penggunaan/pemanfaatan terhadap uang tersebut,” jelasnya mengutip dari ‘Abdullāh Husayn Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 41-42.

*Kedua*, dalam akad wadiah (titipan), seharusnya bank syariah tidak memberikan penjaminan (al-dhoman) atas uang yang dititipkan oleh penabung (nasabah), kecuali jika bank syariah melakukan tafrīth (kelalaian) atau melakukan ta’addiy (melampaui batas kewenangan). (Nazīh Hammād, ‘Aqad Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 45). 

“Faktanya, bank syariah memberikan penjaminan (al-dhoman) secara mutlak atas titipan uang dari nasabah, dalam segala keadaan, baik karena bank syariah melakukan maupun tidak melakukan tafrīth atau ta’addiy,” paparnya mengambil dari ‘Abdullāh Husayn Al-Maujān, Ahkām Al-Wadī’ah fī Al-Syarī’ah Al-Islāmiyyah, hlm. 41-42.

Diterangkan pula dari Syaikh Umar bin Abdil Aziz Al-Matrak, dalam kitabnya Ar-Riba wa Al-Mu’amalat Al-Mashrifiyyah fi Nazhar Al-Syari’ah Al-Islamiyah, setelah meneliti fakta apa yang disebut wadiah di bank (al-wadi’ah al-bankiyah), menyimpulkan dengan tepat :

وَأَنَّ حَقِيْقَتَهاَ قَرْضٌ لاَ وَدِيْعَةٌ

“Sesungguhnya dana titipan di bank itu hakikatnya adalah pinjaman (qardh), bukan wadi’ah (titipan).” (Umar bin Abdil Aziz Al-Matrak, Ar-Ribā wa Al-Mu’āmalāt Al-Mashrifiyyah fī Nazhar Al-Syarī’ah Al-Islāmiyah, Madinah : Darul ‘Ashimah, 1415, hlm. 347).

“Nah, maka dari itu, jelaslah bahwa dikarenakan akad tabungan wadiah di bank syariah itu sudah berubah menjadi qardh (pinjaman), maka setiap tambahan atau hadiah dari bank syariah kepada para penabungnya yang mempunyai rekening wadiah, adalah riba,” pungkasnya.[] Raras

Kamis, 08 Februari 2024

KH. M. Shiddiq Al-Jawi: Haram Menerima Pemberian dalam Rangka Pemilu



Tinta Media - Founder Institut Muamalah Indonesia sekaligus ahli fikih kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menjelaskan keharaman menerima pemberian dalam rangka pemilu. 

“Para ulama kontemporer (kekinian) sepakat hukumnya haram memberi atau menerima pemberian bisa berupa uang atau barang dalam rangka pemilu (al-intikhabat), baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden (pilpres),” jelas Ustadz Shiddiq pada rubrik Kajian Fiqh: Hukum Menerima Uang dari Tim Capres, Jumat (2/2/2024) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn. 

“Jadi pileg maupun pilpres ini kedua-duanya haram ada pemberian baik yang memberi atau menerima, ini tidak dibolehkan,” lanjutnya menegaskan. 

Kiai menyampaikan perbedaan alasan dari ulama kenapa haram menerima hadiah dalam rangka pilpres. Menurut sebagian ulama seperti Dr. Thal’at Afifi dan juga ulama Darul Ifta’ Al Mishriyah (Lembaga Fatwa Mesir) mengharamkan pemberian itu karena dianggap risywah (suap). Sedangkan menurut sebagian ulama lain, seperti Prof. Dr. Ali As Salus mengharamkan pemberian itu karena dianggap pengkhianatan terhadap syahadah (kesaksian) yang diberikan oleh pemilih dalam pemilu, yang seharusnya kesaksian itu diberikan tanpa bayaran atau pemberian apa pun. “Jadi ini ada dua pendapat yang ini sebenarnya hanya berbeda alasan mengenai keharaman,” paparnya. 

Menurut USAJ panggilan Ustadz Shiddiq Al Jawi, dari dua pendapat itu, yang lebih kuat adalah karena suap bukan karena kesaksian. Mengapa keharamannya lebih tepat karena suap (risywah)? “Yang demikian itu karena dalil-dalil umum yang mengharamkan risywah (suap) dapat diterapkan secara tepat pada fakta pemberian yang diberikan oleh caleg atau capres pada pemilih,” terangnya. 

Disampaikannya definisi risywah (suap) menurut Syeh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Al-Syakhsyiyyah Al-Islamiyyah juz 2 halaman 322 yang isinya: “Suap adalah setiap harta (uang/barang) yang diberikan kepada setiap pihak yang mempunyai kewenangan (shahibush shalahiyyat) yang wajib melakukan pekerjaan untuk menunaikan suatu kepentingan (maslahat) masyarakat yang seharusnya tidak memerlukan pembayaran/pemberian dari pihak yang ditunaikan kepentingannya.”

“Jadi dari pengertian risywah ini, pemberian dari tim capres/caleg termasuk risywah. Harusnya rakyat melakukan pilihan tanpa bayaran apapun, kok ini ada pemberian dari yang dipilih, maka ini termasuk risywah,” tuturnya. 

Sedangkan dalil umum lain yang mengharamkan suap antara lain hadis dari Abdullah bin ‘Amr RA, bahwa Rasulullah bersabda, yang artinya: “Laknat Allah atas setiap orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). 

Dari dua hadis tersebut, USAJ menyampaikan penjelasan Imam Taqiyuddin An-Nabhani bahwa hadis-hadis ini bermakna umum yang mencakup setiap suap, baik suap untuk menuntut yang hak maupun untuk menuntut batil, baik suap untuk menolak mudharat (bahaya) maupun untuk mendapat manfaat, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman, semua suap ini haram hukumnya. “Jadi jika orang yang ingin dipilih memberikan sesuatu, berarti ia ingin mendapatkan manfaat kedudukan,” jelasnya. 

Menurutnya, umat harus tahu tujuan seseorang melakukan sesuatu meskipun tidak secara jelas dikatakan. Misalnya ketika membangun jalan saat akan pemilu, meski tidak ada perkataan secara langsung minta untuk memilihnya, namun ada indikasi ke arah itu, bisa dibilang juga suap. “Kita bisa memahami sesuatu tidak harus dari kalimat yang jelas, kita bisa memahami dari isyarat-isyarat, ucapan yang emplisit atau tidak terbuka,” paparnya. 

“Jadi pemberian dari caleg atau capres, atau timnya kepada pemilih adalah bentuk risywah (suap) yang haram hukumnya bagi yang memberi dan menerima bahkan perantaranya,” pungkasnya.[] Raras

Senin, 08 Januari 2024

It's Clear



Tinta Media - It's clear. Iya benar, mestinya ini sudah clear (jelas) terkait persoalan perayaan tahun baru Masehi. Namun, mengapa setiap menjelang perayaan ganti tahun Masehi masih banyak umat Islam yang ikut-ikutan merayakannya? Wah, gawat, kan? Ini kebablasan namanya. 

Persoalan perayaan tahun baru Masehi berkaitan dengan akidah. Karena itu, tidak boleh bagi kaum muslimin merayakannya bersama umat lain. Ini sangat prinsip. 

Harusnya perkara ini sudah selesai alias clear. Maknanya, ketika umat lain merayakan hari besar, silakan, tanpa mengajak kita untuk merayakannya. Begitu juga saat kita merayakan hari besar, mereka pun tidak diajak untuk merayakannya. Inilah yang dinamai toleransi. Ini pernah dicontohkan langsung oleh Baginda Rasulullah terkait praktik beragama dalam hal toleransi. 

Saat itu Rasulullah mendakwahkan Islam kepada kaum Quraisy yang menyembah berhala. Namun, kaum Quraisy menolak ajakan Rasulullah saw. Mereka malah menawarkan harta, kedudukan, dan wanita. Rasulullah menolak semua itu. Kaum Quraisy juga menawarkan agar Rasulullah menyembah tuhannya kaum Quraisy, selanjutnya nanti mereka akan menyembah Allah. Hal ini pun ditolak oleh Baginda Nabi Muhammad saw. 

Perbuatan Rasulullah ini menjadi contoh bagi umat Islam, betapa tegasnya Rasulullah jika berkaitan dengan agama Islam. Jadi, stop stigma negatif jika ada yang tidak mengucapkan perayaan tahun baru Masehi atau merayakan hari-hari besar agama lain! Jangan cap mereka intoleransi, apa pun narasi, dalil, dan dalih Anda yang katanya paling Pancasilais! 

Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'anul Karim di surah Al Kafirun ayat 1-5, "Katakanlah (Muhammad)! Wahai orang-orang kafir. Aku tidak menyembah apa yang engkau sembah. Engkau tidak menyembah apa yang aku sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukku agamaku. 

Begitu tegas Allah memerintahkan kepada kita untuk menjalankan agama kita dan mereka. Umat lain melaksanakan agamanya sendiri, tanpa mencampuradukkan dengan akidah kita. Ini juga tamparan keras bagi mereka yang mencampuradukkan akidahnya, ikut serta merayakannya, dan juga mengembannya. 

Kemaksiatan yang terjadi saat perayaan tahun baru Masehi tidak hanya terkait akidah saja. Kemaksiatan zina, berkhalwat, dan tasyabuh bil kuffar (tindakan menyerupai orang kafir) acap kali terjadi. Mengapa kemaksiatan ini terus berulang? Apakah umat Islam mau terus dalam kubangan kemaksiatan? 

Yuk, mari kita berpikir. Dari proses berpikir ini nantinya menghasilkan pemikiran. Sebagaimana yang disampaikan Syeikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitabnya Nizhamul Iqtishady, "Pemikiran merupakan harta yang luar biasa agungnya." 

Tentunya berpikir sebagaimana yang Allah perintahkan. Pemikiran yang benar datang dari Allah, yaitu pemikiran yang berlandaskan Islam, berasal dari proses berpikir dengan menjawab tiga simpul besar (uqdatul kubra) secara sahih. Jawaban sahih inilah yang menjadikan kaum muslimin mempunyai pemikiran cemerlang. 

Pemikiran Islam akan menjadikan pemahaman kaum muslimin berdasarkan Islam, selanjutnya perasaan, dan aturan kehidupan kaum muslimin juga selalu berpedoman pada syariat Islam. 

Miris, saat kita melihat kondisi sebagian umat yang ikut merayakan Natal dan tahun baru. Hal itu merupakan upaya orang-orang kafir untuk menjauhkan umat Islam dari agamanya. Ini juga langkah kaum kafir mendistorsi ajaran Islam sehingga umat Islam inferior terhadap agamanya. 

Tidak itu saja, makar atau konspirasi kaum kafir yang hendak menghancurkan Islam tampak jelas di depan mata. Lihat saja, kondisi rakyat Palestina yang tanpa air, tanpa makan, tanpa listrik, dan tanpa perbekalan. Saudara muslim di Palestina hidup dalam gempuran dan dentingan peluru. Penjajahan ini belum berhenti karena Barat tidak menghendaki tegaknya syariat Islam. Karena itu, mereka siang malam berupaya mencegahnya. 

Begitu urgensi pemikiran Islam ini. Ketika pemikiran ini timbul di tengah-tengah kaum muslimin, maka akan terbentuk kesadaran umum umat Islam. Dengan kesadaran itu, mereka mengetahui solusi tuntas setiap problematika kehidupan manusia itu. Tentunya, solusi itu adalah tegaknya syariat Islam dalam sebuah institusi politik, yakni Khilafah ala minhajin nubuwah.

Oleh: Muhammad Nur
Sahabat Tinta Media 

Senin, 20 November 2023

Islam Mengharamkan Patung



Tinta Media - Sobat. Diriwayatkan, ada sekelompok orang datang kepada Rasulullah SAW, mereka kemudian memanggil, “ Wahai Rasul, wahai orang baik kami, wahai anak orang baik kami, wahai tuan kami, wahai anak tuan kami.” Beliau menjawab,” Wahai manusia, panggillah dengan panggilan kalian. Janganlah kalian terpedaya oleh syetan. Aku adalah Muhammad, hamba dan Rasulullah ( Utusan Allah ). Aku tidak suka jika kalian menghormatiku melebihi kedudukanku yang telah Allah berikan kepadaku.” ( Hr. Ahmad).

Sobat. Demikian sikap agama Islam dalam menghormati manusia. Ia tidak meridhai manusia diangkat kedudukannya seperti seperti berhala yang disembah-sembah, apalagi sampai mengeluarkan biaya milyaran bahkan biaya yang amat besar agar banyak orang yang memberikan penghormatan dan penghargaan.

Sobat. Rasulullah SAW bersabda, “ Sesungguhnya malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat patung.” ( HR. Bukhari ). Selain itu Islam mengharamkan umatnya untuk memproduksi patung, meskipun mereka membuatnya  untuk non muslim. Rasulullah SAW bersabda, “ Manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang membuat patung.” ( HR. Bukhari )

Sobat. Kesungguhan Islam menjaga tauhid dari segala bentuk kemiripan dengan syirik sudah mencapai puncaknya. Melalui kehati-hatian dan kesungguhan itu, Islam benar-benar berada di jalan yang hak. Sebab umat-umat terdahulu biasa membuat patung orang-orang sholeh yang sudah meninggal lalu mereka menyebut nama orang-orang sholeh yang sudah meninggal tersebut. Lama kelamaan, patung orang-orang sholeh dikultuskan, bahkan dianggap sebagai tuhan selain Allah, diharapkan, ditakuti, dan dimintai keberkahannya.

Sobat. Banyak sekali unsur yang disisipkan oleh para penganjur kebesaran dan pemalsu sejarah melalui pintu yang terbuka ini. Mereka menyerukan banyak orang dan para pengikutnya untuk mendirikan berhala yang menipu ini. Begitulah mereka menyesatkan masyarakat dengan memanfaatkan jasa-jasa orang besar.

Sobat. Keabadian sesungguhnya yang harus diperhatikan oleh orang-orang mukmin adalah keabadian yang ada di sisi Allah, Zat yang Maha mengetahui perkara yang  tersembunyi dan samar, Zat yang tak pernah sesat dan tak pernah lupa. Begitu banyak ulama yang jasa-jasanya diabadikan dalam catatan kebadian di sisi-Nya. Mereka adalah para pahlawan yang tidak diketahui di sisi makhluk. Itu semua terjadi karena Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik, orang-orang yang bertakwa, dan orang-orang yang menyembunyikan amalnya.

Sobat. Meskipun keabadian itu harus ada di tangan manusia, tetapi tidak mesti dengan disimbolkan dengan patung dari orang besar yang ingin diabadikan jasa dan namanya seperti tradisi yang dilakukan orang-orang eropa dan amerika.  Satu-satunya cara yang diridhai  Islam adalah mengenang jasa-jasa mereka dalam hati dan ingatan  atau melalui lisan dan shirah yang dengan cara menyebut-nyebut jasa dan perjuangan dengan metode periwayatan seperti hadits . Jasa apa yang mereka tinggalkan? Dan begitu, nama mereka akan selalu harum di kalangan generasi selanjutnya.

Allah SWT berfirman :

قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا  

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". ( QS. Al-Kahf (18) : 110 )

Sobat. Katakanlah kepada mereka, "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, mengakui bahwa semua ilmuku tidak sebanding dengan ilmu Allah, aku mengetahui sekedar apa yang diwahyukan Allah kepadaku, dan tidak tahu yang lainnya kecuali apa yang Allah ajarkan kepadaku. Allah telah mewahyukan kepadaku bahwa, "Yang disembah olehku dan oleh kamu hanyalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya." Oleh karena itu barangsiapa yang mengharapkan pahala dari Allah pada hari perjumpaan dengan-Nya, maka hendaklah ia tulus ikhlas dalam ibadahnya, mengesakan Allah dalam rububiyah dan uluhiyah-Nya dan tidak syirik baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi seperti riya, karena berbuat sesuatu dengan motif ingin dipuji orang itu termasuk syirik yang tersembunyi. Setelah membersihkan iman dari kemusyrikan itu hendaklah selalu mengerjakan amal saleh yang dikerjakannya semata-mata untuk mencapai keridaan-Nya.

Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda:

Sesungguhnya Allah berfirman, "Saya adalah yang paling kaya di antara semua yang berserikat dari sekutunya. Dan siapa yang membuat suatu amalan dengan mempersekutukan Aku dengan yang lain, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya." (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah)

Sobat. Kita pun tahu bahwa Rasulullah SAW, Khulafa’ Rasyidun, para pejuang Islam, dan para Imam besar, jasa-jasanya tidak diabadikan dalam bentuk patung berharga atau patung batu yang diukir. Sama sekali tidak. Akan tetapi, jasa dan perjalanan hidupnyalah yang diturunkan dari generasi ke generasi, dari orang terdahulu kepada orang belakangan, dari ayah kepada anak. Perjuangan mereka dikenang dalam hati dan disebut-sebut dalam lisan. Namanya harum tercium di setiap majelis dan pertemuan, memenuhi akal dan hati, tanpa ada patung  berharga.

Oleh: Dr. Nasrul Syarif, M.Si.
Penulis Buku Gizi Spiritual. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo dan Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur

Rabu, 08 November 2023

Pakar: Haram Hukumnya Membuat Simbol Palestina dalam Bentuk Semangka


 
Tinta Media - Menanggapi  pertanyaan ramainya penggunaan animasi simbol Palestina dalam bentuk semangka, Pakar Fikih Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi menegaskan haram hukumnya.

"Haram hukumnya membuat simbol Palestina dalam bentuk semangka," tuturnya di laman website shiddiqaljawi.com., Jumat (3/11/2023).
 
Kiai Shiddiq beralasan, simbol tersebut adalah representasi dari bendera Palestina yang ada saat ini, padahal bendera tersebut adalah simbol dari negara Palestina sebagai negara-bangsa (nation-state) dan negara sekuler. "Sebuah negara yang tidak mengikuti ajaran Islam, melainkan mengikuti konsep Barat," tegasnya.
 
Kiai Shiddiq  mengutip dari Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitabnya, Al-Fiqh ‘Alā Al-Madzāhib Al-Arba’ah, 5/366 bahwa berdirinya negara Palestina sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state) jelas akan semakin memecah belah umat Islam seluruh dunia yang seharusnya wajib hidup dalam satu negara saja (Khilafah).
 
“Berdirinya negara Palestina sebagai sebuah negara sekuler juga sangat bertentangan dengan Islam, karena negara sekuler yang memisahkan agama dari negara hanya akan menerapkan syariah Islam secara parsial," paparnya.
 
Kiai Shiddiq lalu menyimpulkan, “Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam tidak pernah mengakui sebuah negara yang berupa negara-bangsa (nation state) dan negara sekuler di seluruh  dunia ini secara mutlak," pungkasnya.[] Muhammad Nur.

Kamis, 27 April 2023

Capres Nonton Film Porno, Mau Dibawa ke Mana Negeri Ini?

Tinta Media - Petugas partai yang mengaku suka nonton film porno, Ganjar Pranowo, akhirnya ditunjuk oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai capres PDIP Pilpres 2024 pada momen hari Kartini, Jumat (21/4/2023), bertepatan dengan hari Raya Idul Fitri 1444H. 

Setelah Megawati sukses mendudukkan petugas partainya yang mendapat julukan "King of Lip Service" selama dua periode ke tampuk kekuasaan tertinggi di negeri ini, putri Soekarno ini kembali menunjuk petugas partainya yang lain untuk dijadikan jago dalam perebutan kursi nomor satu.

Kesukaan nonton film porno, terungkap saat Ganjar menjadi tamu podcast di kanal Youtube milik Deddy Corbuzier Selasa, (3/12/2019). “Kalau saya menonton film porno salahnya di mana? Saya dewasa, punya istri. Yang enggak boleh itu, saya kirim-kirim itu karena yang mengirim itu kena UU ITE dengan tuduhan menyebarkan,” katanya.

Dengan menyandang gelar haji, tidak diragukan lagi, Ganjar adalah seorang muslim. Nama lengkapnya adalah H. Ganjar Pranowo, S.H, M.IP. Sebagai seorang muslim, Ganjar mestinya paham, bagaimana hukum menonton film porno?

Pengertian film porno, menurut Wikipedia, adalah gambar bergerak yang bertujuan untuk membangkitkan nafsu seksual penontonnya. Umumnya menampilkan adegan aktivitas seksual. 

Syeikh ‘Atha' Abu Rusytah menuturkan, hukum menonton film porno adalah haram, meski hanya gambar dan bukan kenyataan yang sebenarnya. Dalilnya adalah kaidah fiqih : al-wasilah ila al-haram (Segala sarana yang mengakibatkan keharaman, hukumnya haram). 

Menurut Syeikh 'Atha', pengamalan kaidah ini tidak mensyaratkan sarana itu akan mengakibatkan keharaman secara pasti, tapi cukup ada dugaan kuat (ghalabatuzh zhann) sarana itu akan mengakibatkan keharaman. Film porno secara umum mendorong penonton untuk berbuat keharaman, seperti zina. Oleh sebab itu, menonton film porno, hukumnya haram. (Ajwibah As`ilah, 10/10/2006).
 
Selain Syeikh 'Atha', menonton film porno juga diharamkan oleh Syeikh Ziyad Ghazzal dalam karyanya Masyru’ Qanun Wasa`il al-I’lam, hal. 75. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Muhammad Saw, bersabda, "Kedua mata dapat berzina, dan zina keduanya adalah melihat. Kedua telinga bisa berzina, dan zina keduanya adalah mendengar. Lidah zinanya dengan bicara. Tangan zinanya dengan menyentuh. Kaki zinanya dengan melangkah. Hati zinanya dengan berhasrat dan menginginkan. Dan kemaluan akan membenarkan atau mendustakannya.”
 
Syeikh Ziyad mengungkap bahwa wajhul istidlal (cara penarikan kesimpulan hukum) dari hadis di atas sebagai berikut. Jika zina telinga yang diharamkan dengan mendengar cerita zina, maka lebih-lebih lagi kalau menonton gambar orang berzina. Sebab menonton gambar orang berzina lebih jelas dan lebih besar pengaruhnya ke dalam jiwa daripada sekadar mendengar cerita zina. Oleh sebab itu, melihat atau menonton film porno hukumnya haram. (Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Wasa`il al-I’lam, hal. 76).

Namun, ada perkecualian dari keharaman ini yakni pihak-pihak yang mempunyai keperluan syar’i (hajat syar’iyah) atau keperluan yang dibenarkan hukum syariah. Seperti, polisi (syurthah) dan hakim (qadhi) yang akan menjatuhkan hukuman bagi pelaku kasus film porno. Dalam kondisi tersebut, pihak-pihak terkait diperbolehkan melihat film porno untuk keperluan pemeriksaan.

Dalilnya adalah hadis dan Ijma’ Shahabat. Dalam suatu riwayat disebutkan saat Rasulullah SAW mengangkat Sa’ad bin Muadz sebagai hakim untuk menghukum mati kaum lelaki Yahudi Bani Quraizhah, Sa’ad telah membuka sarung mereka untuk mengetahui mereka sudah dewasa atau belum. (HR Al-Hakim dan Ibnu Hibban)

Pada zaman Khalifah Utsman, seorang lelaki pencuri tertangkap. Khalifah Utsman radhiyallahu menyuruh para sahabat untuk melihat aurat di balik kain sarungnya. Setelah diperiksa, nampak rambut kemaluan pencuri itu belum tumbuh sehingga dia tak jadi dipotong tangannya. (HR Baihaqi). Hal tersebut diketahui oleh para shahabat dan tidak ada yang mengingkarinya, sehingga terbentuklah Ijma’ Shababat. (An-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 40).
 
Dengan demikian, berdasarkan dalil-dalil di atas, diperbolehkan untuk melihat aurat jika ada keperluan yang dibenarkan syariah. Kalau melihat aurat dibenarkan, maka melihat gambar aurat seperti film porno juga diperbolehkan, jika ada keperluan yang dibenarkan syariah, misalnya untuk keperluan pemeriksaan oleh hakim. 

Lantas, dengan pencalonan Ganjar sebagai capres, mau dibawa ke mana negeri ini? Apakah negeri ini mau dijadikan negeri yang melegalkan pornografi? Ataukah memang sengaja menarik simpatisan penggemar film porno? Rusak.

Oleh: Achmad Mu’it 
Jurnalis

Jumat, 30 Desember 2022

Kiai Shiddiq: Haram Hukumnya Karyawan Muslim Mengenakan Atribut Natal

Tinta Media - Menjawab pertanyaan apakah boleh seorang karyawan muslim di mall atau tempat-tempat lain memakai atribut Natal, Founder Institut Muamalah Indonesia KH. M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si menjawab hukumnya haram.

“Hukumnya haram seorang karyawan muslim mengenakan atribut Natal seperti baju dan topi Sinterklas yang tadi saya contohkan,” jawabnya pada Kajian fiqih Islam: Hukum Karyawan Muslim Memakai Atribut Natal di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Jumat (23/12/2022).

Kiai Shiddiq menjelaskan dua dalil keharamannya. Pertama adalah karena mengenakan atribut Natal itu termasuk perbuatan menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar). Biasanya yang memakai atribut Natal itu orang Nasrani, kalau orang Islam memakainya, berarti telah menyerupai, meniru-niru mengimitasi orang kafir. “Nah kalau dalam pandangan Islam, ini tidak boleh. Itu yang disebut dengan tasyabbuh bil kuffar,” jelasnya.

Dalil hukum yang Kiai sampaikan adalah sabda Rasulullah Saw: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.”
(HR. Imam Abu Dawud, Imam Ahmad dalam kitabnya Al musnad, Imam Tirmidzi) 

Alasan kedua yang Kiai sampaikan mengapa haram karyawan muslim mengenakan atribut Natal, karena perbuatan itu merupakan bentuk partisipasi muslim (musyarakah) dalam rangka ikut merayakan hari raya kaum kafir. “Padahal ini sudah diharamkan, perbuatan musyarakah atau berpartisipasi ini di dalam hari-hari raya kaum kafir ini sudah diharamkan dalam syariah,” paparnya.

“Tidak hanya Natal, tapi termasuk waisak, kemudian nyepi, Imlek dan lain-lain ini adalah hari raya hari raya kaum kafir atau non muslim. Ini tidak boleh hukumnya seorang muslim itu melakukan musyarakah atau berpartisipasi ikut serta di dalam hariraya-hariraya kaum kafir atau kaum non muslim,” paparnya lebih lanjut.

Diungkapkannya dalil yang mengharamkan musyarakah adalah Al-Qur’an Surah Al-Furqon ayat 72, yaitu “Ciri dari hamba-hamba Allah itu diantaranya adalah tidak menghadiri/mempersaksikan suatu kedustaan atau suatu Kepalsuan,” ungkapnya.

Ia menjelaskan ayat tersebut menurut Imam Ibnu Qayyim yang meriwayatkan dari sahabat nabi yang namanya Ibnu Abbas, Adh Dhahhak dan lain-lain bahwa kata az zuur (kebohongan/kepalsuan) dalam ayat itu artinya adalah Idul musyrikin yaitu hari raya orang-orang musyrik.

“Maka berdasarkan ayat ini, Imam Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa haram hukumnya seorang muslim turut merayakan atau bahasa arabnya itu mumala’ah merayakan, menghadiri termasuk memberi bantuan pada hari-hari raya kaum kafir,” jelasnya.
 
Hukum haramnya ini disampaikan Kiai khusus untuk umat muslim. Umat Islam tidak mencegah, tidak menghalang-halangi, tidak melarang agama lain merayakan hari rayanya.

“Jadi fatwa yang saya jelaskan ini yaitu haram hukumnya merayakan, menghadiri, memberi bantuan pada hari raya kaum kafir ini adalah haram bagi muslim, baik dia rakyat biasa maupun dia pemimpin atau pejabat,” tegasnya. 

Jadi kalau ada karyawan di sebuah perusahaan yang itu diperintahkan untuk memakai baju Sinterklas, Kiai meminta agar tidak boleh taat. “Dia nggak boleh taat pada perusahaan karena ini melanggar agama Islam. Itu nggak boleh,” pintanya.

Jadi menurutnya, karyawan wajib menolak perintah apa saja atau perusahaannya yang melanggar Syariah Islam. Baik atasannya itu adalah muslim maupun non muslim. “Karena Islam tidak membolehkan mentaati aturan yang melanggar Syariah Islam,” tegasnya.

Ia juga meminta para ulama dan apalagi pemerintah, para Kiai, ustad yang termasuk Majelis Ulama Indonesia pada level manapun, apakah level pusat, level provinsi, level kabupaten atau kota untuk menyampaikan keharamannya. “Anda sebagai ulama dari MUI ini tidak boleh berdiam diri atau melakukan pembiaran,” pintanya.

“Apalagi pemerintah, ini sebenarnya yang sangat kuat posisinya seharusnya tidak boleh diam,” lanjutnya.

Menurutnya ulama wajib memberi nasehat atau fatwa kepada para karyawan muslim dan juga wajib hukumnya ulama melakukan kritik atau Muhasabah kepada pemerintah.

“Nah sementara pemerintah sendiri khususnya karena dia memiliki power memiliki kekuasaan, wajib hukumnya melarang para pemilik mall atau pusat perbelanjaan atau mungkin pom bensin ini jangan memaksa karyawannya itu memakai atribut Natal,” pungkasnya.[] Raras

Jumat, 26 Agustus 2022

Ustaz Shiddiq Al-Jawi: Hukum Buket Uang Haram Jika...


Tinta Media - Pakar Fiqih Kontemporer sekaligus Founder Institut Muamalah Indonesia KH. M. Shiddiq Al-Jawi menjelaskan hukum buket uang jika uangnya berasal dari pembuat buket.

“Adapun hukum buket uang, jika uangnya berasal dari pembuat buket uang, hukumnya jelas haram, karena terjadi riba,” jelasnya pada kajian Soal Jawab Fiqih: Hukum Buket Uang di kanal YouTube Ngaji Subuh, Kamis(25/8/2022). 

Ustaz Shiddiq mengungkapkan fakta yang terjadi adalah aktivitas pertukaran uang (sharaf) antar uang yang sejenis (rupiah dengan rupiah) namun disertai tambahan (at-tafâdhul). 

"Jadi pertukaran antara uang sejenis yang seharusnya wajib berlangsung dengan uang yang senilai (at-tamâtsul), tetapi faktanya menjadi tidak senilai karena adanya tambahan," ungkapnya.

Ia mencontohkan, buket uang dengan uang asli Rp 100 ribuan sebanyak 10 lembar (senilai Rp 1 juta), dijual dengan harga Rp 1.200.000 oleh penjual buket uang. Ketika terjadi akad jual beli buket uang, maka pembeli yang seharusnya menyerahkan Rp 1 juta, ternyata menyerahkan Rp 1.200.000. 
“Jadi di sini ada kelebihan Rp 200.000, yang boleh jadi diklaim sebagai jasa pembuatan buket ataupun harga dari benda-benda yang menjadi rangkaian bunga. Ini tetap tidak boleh secara syariah Islam,” tegasnya.

USAJ juga menyampaikan dalil haramnya tambahan dalam pertukaran mata uang sejenis adalah hadits Nabi SAW, di antaranya hadits dari Abu Sa’id al-Khudri RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :

 لاَ تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ، وَلاَ تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ.

"Janganlah kalian berjual beli emas dengan emas kecuali sama beratnya, dan janganlah kalian lebihkan yang satu atas yang lainnya. Janganlah kalian berjual beli perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan jangan kalian lebihkan yang satu atas yang lainnya, dan janganlah kalian berjual beli sesuatu (emas/perak) yang tidak hadir (tidak ada di majelis akad) dengan yang hadir (ada di majelis akad).” (HR Bukhari, no. 2031).
 
Menurutnya, dari hadits tersebut, jelas diketahui bahwa ketika terjadi pertukaran uang yang sejenis, yaitu emas ditukarkan dengan emas, atau perak ditukarkan dengan perak, wajib dilakukan secara semisal 
(at-tamâtsul), yaitu sama beratnya (untuk emas atau perak), atau sama nilainya (untuk uang kertas), dan tidak boleh ada tambahan (at-tafâdhul).

“Jika terjadi tambahan (at-tafâdhul), maka jelas tambahan itu adalah riba, yaitu ribâ fadhl (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 258),” paparnya.

Uang Kertas

Ustaz Shiddiq membenarkan, uang yang berlaku sekarang, yakni uang kertas (fiat money, al-nuqûd al-waraqiyyah), seperti rupiah Indonesia, dolar AS, riyal Saudi, yen Jepang, dsb, disamakan hukumnya dengan barang ribawi berupa emas (dinar) dan perak (dirham). 

“Hal ini dikarenakan uang kertas mempunyai fungsi-fungsi yang sama dengan dinar dan dirham pada masa Nabi SAW, yakni fungsi al-naqdiyyah, yaitu menjadi alat tukar (uang), dan fungsi al-tsamaniyyah, yaitu menjadi harga untuk menilai berbagai barang dan upah untuk menilai berbagai jasa,” terangnya mengutip kitab Al-Amwâl fî Daulah Al-Khilâfah dari Abdul Qadîm Zallûm, hlm. 160-161.
 
“Maka dari itu, ketika satu mata uang dipertukarkan dengan mata uang lainnya, wajib mengikuti hukum syariat mengenai hukum pertukaran uang (sharaf),_  baik pertukaran mata uang yang sejenis (misal rupiah dengan rupiah), maupun pertukaran uang yang beda jenis (misal rupiah dengan dolar AS),” jelasnya lebih lanjut.

*Hukum syara’ untuk pertukaran mata uang*

Kiai menerangkan hukum syara’ untuk pertukaran mata uang sejenis adalah wajib memenuhi dua syarat: 
Pertama, harus sama nilainya (at-tamâtsul), atau dengan kata lain tidak boleh ada tambahan (at-tafâdhul).
Kedua, harus terjadi secara kontan (tidak boleh terjadi penundaan), yakni terjadi serah terima di majelis akad (al-taqâbudh fî majelis al-‘aqad).
 
“Adapun untuk pertukaran mata uang yang beda jenis, wajib memenuhi satu syarat saja, yaitu terjadi secara kontan. (Taqiyuddin An-Nabhani, _Al-Nizhâm Al-Iqtishâdi fî al-Islâm,_ hlm. 255-256),” terangnya.

Solusi Buket Uang yang Halal

Ustaz Shiddiq menyampaikan beberapa alternatif solusi, agar buket uang itu halal secara syariah. 

Pertama, buket uangnya diisi dengan uang yang berasal dari pembeli, bukan dari penjual. “Jadi pembeli hanya membayar jasa penjual yang bekerja merangkai uang dari pembeli ke dalam rangkaian buket uang,” jelasnya.

Kedua, buket uang yang dijualbelikan adalah buket uang kosongan (ini tersedia di sebagian online shop). “Jadi buket uang yang dibeli tidak ada uangnya, yang ada hanyalah wadah atau tempat untuk uangnya. Jadi uangnya nanti akan ditambahkan sendiri oleh pembeli buket uang itu ketika akan dihadiahkan kepada pihak lain,” terangnya.

Ketiga, buket uang yang dijualbelikan adalah buket uang yang berisi uang mainan. 
“Ini tersedia di sebagian online shop,” pungkasnya.[] Raras

Minggu, 31 Juli 2022

Inilah Alasan Poliandri Diharamkan dalam Islam

Tinta Media - Terkait kasus pengusiran seorang perempuan di Riau karena tuduhan poliandri, Narator MMC mengungkapkan bahwa di dalam Islam poliandri diharamkan karena bertujuan menjaga nasab manusia.

"Di dalam Islam, poliandri memang diharamkan. Hal ini bertujuan untuk menjaga nasab manusia," tuturnya di kanal YouTube Muslimah Media Center, Hitam Putih Kehidupan: Dituduh Poliandri, Seorang Perempuan di Riau Diusir Warga dari Rumah, Rabu (27/7/2022).

Narator melanjutkan, Allah SWT berfirman yang artinya: "Dan (diharamkan juga atas kalian menikahi) perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu." (QS. An-Nisa : 24).

"Selasa malam, 7 Juni 2022 di Desa Seberang Taluk, Kecamatan Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, tampak riuh warga berbondong-bondong keluar rumah untuk melihat seorang perempuan yang tengah diusir karena dituduh melakukan poliandri. Kejadian ini direkam oleh warga dan menjadi viral di sosial media. Terlihat kerumunan warga menggiring dua orang lelaki dan satu perempuan dari sebuah rumah menuju mobil. Saat ketiganya berjalan keluar rumah, warga sekampung tampak berteriak mencemooh mereka.Tampak kedua pria tersebut menggendong anak masing-masing, sementara wanita tersebut berjalan sendiri menuju mobil," papar narator.

Narator menjelaskan, Kepala Desa Seberang Taluk, Kuswanto, membenarkan adanya pengusiran ini. "Namun, dia menyatakan belum ada bukti apakah perempuan itu melakukan poliandri. Namun warga sekitar sudah tidak nyaman dengan kelakuan si wanita yang sering terlihat berjalan bergantian dengan kedua pria tersebut. Akhirnya warga mengusir perempuan itu dan kedua prianya," terang Narator. 

"Beberapa faktor seperti ekonomi, jarak dengan suami yang jauh, tidak terpenuhi nafkah lahir dan batin, usia suami yang sudah lanjut, ataupun rumah tangga yang tidak harmonis, dijadikan alasan seorang perempuan melakukan poliandri. Apalagi kondisi masyarakat sekarang sakit akibat cara pandang sekuler liberal," ujarnya. 

Cara pandang ini, lanjutnya, membuat masyarakat krisis keimanan. Agama bukan lagi menjadi kontrol individu dan sosial, sebab agama telah dipisahkan dari kehidupan. Manusia berjalan di muka bumi ini dengan sombong mengikuti hawa nafsunya. 

"Alhasil, faktor-faktor yang menjadi alasan seorang perempuan untuk poliandri tadi, masih tetap terpelihara di tengah-tengah masyarakat. Sekalipun beberapa tempat memberi sanksi sosial kepada pelaku poliandri, namun sanksi ini tak lantas membuat pelaku jera. Pelaku pun tidak merasa berdosa ketika melakukan poliandri. Karena cara pandang hidup sekuler liberal tidak mengenal batas dosa dan pahala," simpulnya. 

Narator pun menilai, seperti inilah gambaran masyarakat yang sakit akibat paham sekuler liberal dijadikan sistem kehidupan. Sangat berbeda dengan sistem Islam yaitu Khilafah ketika diterapkan untuk mengatur masyarakat. 

"Dalam Khilafah, baik individu masyarakat dan negara akan diselimuti keimanan dalam setiap aktivitas mereka. Sehingga tidak ada satupun amal perbuatan mereka yang tidak terkait dengan hukum syariat," ungkap narator.

Ia pun menegaskan, maka ketika seorang istri mendapati kekurangan suaminya seperti impoten, maka buka poliandri solusi yang mereka ambil. Mereka paham poliandri hukumnya haram.

"Pasangan tersebut akan berikhtiar untuk berobat terlebih dahulu, sabar menerima qadha (takdir). Jika semua sudah dilalui, namun pada akhirnya kedua belah pihak memutuskan untuk bercerai, maka perbuatan itu halal bagi mereka. Begitu pula alasan lain seperti himpitan ekonomi, suami jauh, dan lain sebagainya, akan diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum syariat, bukan hawa nafsu belaka," bebernya.

Narator menambahkan, masyarakat khilafah pun tidak akan main hakim sendiri ketika melihat ada yang berbuat kemaksiatan seperti poliandri. Mereka akan memastikan terlebih dahulu apakah perbuatan tersebut benar-benar dilakukan. Karena hal tesebut bagian dari Amar ma'ruf nahi munkar. "Jika benar dugaan tersebut, masyarakat bisa melapor kepada lembaga negara Khilafah yang menangani kasus seperti ini. Sehingga para pelaku mendapat sanksi, pembinaan dan bisa bertobat," tandasnya.

"Seperti inilah khilafah mencegah terjadinya poliandri di tengah masyarakat yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh sistem sekuler liberal sekarang," pungkasnya.[] Willy Waliah

Jumat, 22 Juli 2022

Ustaz Shiddiq Ungkap Latar Belakang Haramnya Tokek dan Cicak

Tinta Media - Founder Institut Muamalah Indonesia, KH M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, M.Si. mengungkap latar belakang diharamkannya binatang tokek dan cicak.

"Tokek hukumnya haram, karena terdapat nash-nash yang memerintahkan membunuhnya," tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (20/7/2022).

Adanya perintah membunuh suatu binatang, lanjut Ustaz Shiddiq, adalah dalil haramnya binatang itu. "Sebab membunuh binatang tanpa menyembelihnya akan membuat binatang itu menjadi bangkai (al-maitah). Padahal bangkai hukumnya haram (QS Al-Maidah : 3)," terangnya. 

Ia juga menuturkan tentang kitab Nailul Authar karangan Imam Syaukani yang membahas Keharaman binatang dan perintah membunuhnya.

"Imam Syaukani telah membuat bab khusus dalam kitabnya Nailul Authar dengan judul bab mengenai binatang yang pengharamannya dipahami dari perintah membunuhnya atau larangan membunuhnya (Bab Maa Ustufiida Tahriimuhu min Al-Amri bi-Qatlihi aw An-Nahyi ‘an Qatlihi). (Imam Syaukani, Nailul Authar, 12/484)," jelasnya.

Dalam kapasitasnya sebagai ahli dalam bidang fiqih, Ia menyampaikan beberapa hadits yang terdapat dalam Kitab Nailul Authar tersebut.

"Dalam bab itu ada beberapa hadis, antara lain riwayat Saad bin Abi Waqqash RA bahwa:

أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا

“Nabi SAW telah memerintahkan untuk membunuh cicak dan Nabi SAW menamainya fusaiq (binatang kecil yang fasik/tidak taat).” (HR Ahmad dan Muslim).

Dalam Shahih Bukhari terdapat keterangan mengenai sebab pengharaman cicak, yaitu ia pernah meniup-niupkan api kepada Nabi Ibrahim AS yang sedang dibakar oleh Raja Namrud. Diriwayatkan oleh Ummu Syuraik RA bahwa :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَقَالَ كَانَ يَنْفُخُ عَلَى إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام
“Rasulullah SAW telah memerintahkan membunuh cicak dan beliau bersabda dulu cicak pernah meniup-niup [api] kepada Ibrahim AS.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, hadis no 3109)," terangnya.

Menurutnya, dalil-dalil tentang membunuh cicak merupakan dalil bahwa cicak hukumnya haram. "Dalil-dalil hadis di atas menunjukkan adanya perintah syara’ untuk membunuh cicak. Perintah syara’ untuk membunuh cicak adalah dalil bahwa cicak itu hukumnya haram," tegasnya.

Namun, pengharaman di atas ujar Ustadz Shiddiq, tak hanya untuk cicak, namun juga meliputi tokek. Para ulama menganggap tokek dan cicak masih satu jenis, sehingga hukum tokek sama dengan hukum cicak, yaitu haram. Imam Nawawi berkata,”Menurut ahli bahasa Arab, cicak (al-wazagh) masih satu jenis dengan tokek (saam abrash), karena tokek adalah cicak besar.” (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz 7/406).

Ia juga mengutip dari pendapat para ulama pengarang kitab, yang menerangkan tentang cicak.

"Pengarang kitab Aunul Ma’bud menerangkan tentang cicak (al-wazagh), dalam kitab Nihayah disebutkan bahwa kata wazagh (cicak) adalah bentuk jamak (plural) dari kata wazaghah. Cicak dapat disebut juga tokek (wa hiya allaty yuqaalu lahaa saam abrash). (Lihat : Aunul Ma’bud, Juz 11/294)," paparnya.

Imam Syaukani juga menyatakan, terang Ustadz Shiddiq, Tokek adalah salah satu jenis cicak dan merupakan cicak besar (wa saam abrash jinsun minhu wa huwa kibaaruhu).” (Imam Syaukani, Nailul Authar, XII/487).

Selanjutnya ia menegaskan mengenai haramnya cicak juga bisa diterapkan pada tokek.

"Berdasarkan penjelasan di atas, hukum haramnya cicak dapat juga diterapkan pada tokek, karena cicak dan tokek dianggap satu jenis. Maka tokek pun hukumnya haram. (Imam1P0 Syihabuddin Asy-Syafii, At-Tibyan limaa Yuhallal wa Yuharram min al-Hayaman, hal. 116; Imam Nawawi, Raudhah Ath-Thalibin, Juz I/389; Tuhfatul Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj, Juz 41/240; Mughniy Al-Muhtaj, Juz 18/194)," terangnya.

Kemudian ia menegaskan keharaman suatu binatang. "Dan jika suatu binatang haram dimakan, maka menjualbelikannya haram juga," tegasnya.

Selanjutnya ia memberikan penjelasan mengenai kaidah fiqihnya.

Hal ini sesuai kaidah fiqih :

كل ما حرم على العباد فبيعه حرام
(Kullu maa hurrima ‘ala al-‘ibad fa-bai’uhu haram).

“Segala sesuatu yang sudah diharamkan atas hamba, menjualbelikannya haram juga.” (Imam Taqiyuddin an-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz 2/288).

Kaidah tersebut, terang Ustadz Shiddiq, dirumuskan dan diistinbath oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani dari berbagai hadis Nabi SAW, antara lain dari sabda Nabi SAW :

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِذَا حَرَّمَ شَيْئًا حَرَّمَ ثَمَنَهُ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala jika telah mengharamkan sesuatu, maka Dia mengharamkan pula harganya [jual belinya].” (HR Daruquthni no 2852; Musnad Ahmad 2546; Ath-Thabrani no 12716; Ibnu Hibban no 5028).

Ustadz Shiddiq, sapaan akrabnya, memberikan penjelasan tentang kebolehan menggunakan sesuatu yang haram sebagai obat.

"Akan tetapi jika tokek itu akan dijadikan obat, maka menjualbelikannya boleh dan tidak mengapa. Sebab berobat dengan sesuatu yang haram hukumnya makruh, tidak haram," ujarnya.

Nabi SAW, lanjutnya,  pernah mengizinkan Abdurrahman bin Auf RA dan Zubair bin Al-Awwam RA untuk berobat dengan sesuatu yang haram, yaitu mengenakan sutera karena mereka terkena penyakit gatal-gatal (HR Ahmad, no. 13178). Padahal sutera haram dipakai oleh kaum laki-laki. (HR Abu Dawud no 3535, An-Nasa`i no 5053, Ibnu Majah no 3585, Ahmad no 891).

Ia kembali menegaskan mengenai kaidah fiqih.
"Maka mafhum dari kaidah fiqih di atas dengan sendirinya menerangkan bahwa kalau sesuatu itu tidak diharamkan, maka menjual belikannya juga tidak diharamkan," jelasnya.

Terakhir, ia menyatakan bahwa dengan berbagai dalil tentang keharaman cicak, maka membunuhnya adalah sunnah. "Hukum membunuh cicak, sunnah," pungkasnya.[] Nur Salamah

Minggu, 03 Juli 2022

Ustaz Shiddiq Al-Jawi: Haram Hukumnya Jual Beli Barang dari Tarikan Leasing dan Barang Curian



Tinta Media - Menjawab pertanyaan tentang hukum jual beli barang dari sumber haram, seperti barang tarikan leasing dan barang curian, Founder Institut Muamalah Indonesia KH M. Shiddiq Al-Jawi, M.Si. menyampaikan keharamannya.

“Jawabannya secara ringkas sebenarnya haram hukumnya menjual belikan barang tarikan leasing,” tuturnya pada rubrik Renungan Fajar: Hukum Membeli Barang Tarikan Leasing dan Curian, Ahad (26/6/2022) Di Kanal Youtube Cinta Quran TV.

Kiai Shiddiq menjelaskan, alasannya karena barang itu bukan hak milik pihak leasing, melainkan hak milik pihak customer atau pembeli. "Mengapa demikian? Mengapa barang itu sudah menjadi hak miliknya customer bukan lagi hak miliknya pihak leasing? "Karena di dalam syariat Islam barang yang dibeli sebenarnya sudah menjadi hak milik pembeli dengan adanya ijab dan qabul dalam aqad jual beli. Walaupun barang itu dibeli secara kredit dan belum lunas,” jelasnya.

Menurutnya, ini penting untuk dipahami bahwa kalau seseorang sudah ada ijab dan qabul secara syar’i untuk aqad jual beli, maka dengan adanya aqad itu sudah mengalihkan atau memindahkan hak milik barang dari yang semula milik penjual, menjadi milik pembeli. “Jadi yang menyebabkan faktor berpindahnya  barang adalah aqad bukan lunas atau tidak lunas,” terangnya.

Ustaz Shiddiq menyampaikan perbedaannya dengan ketentuan yang ada di dalam jual beli leasing. Kalau di jual beli leasing, jika belum lunas, masih miliknya pihak leasing, jadi dianggap sewa customer. “Karena dianggap sewa, maka bisa diambil lagi,” paparnya.

“Kalau dalam leasing itu menjadi hak milik pembeli ketika lunas,” tambahnya.

Ia juga menjelaskan ketentuan yang disebutkan bahwa hak milik itu sudah berpindah dengan adanya aqad jual beli ini berlaku untuk barang-barang yang sifatnya tidak ditakar, tidak ditimbang dan tidak dihitung. Misalnya rumah, tanah, kendaraan dan sebagainya.

“Adapun barang-barang yang ditakar dan dihitung seperti gandum atau beras atau minyak goreng dan sebagainya, maka selain sudah adanya aqad jual beli itu ada satu syarat lagi supaya kepemilikan itu sempurna milik pembeli yaitu adanya penerimaan barang (al abdhu) oleh pihak pembeli,” jelasnya.

Jika baru ada aqad tapi belum ada serah terima, ini mengakibatkan barang kepemilikannya belum sempurna. “Jadi tidak boleh dijual belikan atau dihibahkan atau diberikan,” tuturnya.

Jadi, menurutnya, kalau pihak penjual (pihak leasing) menarik paksa barang dengan alasan karena gagal bayar, lalu menjual barang itu, artinya pihak leasing telah menjual barang yang bukan miliknya. “Padahal menjual barang yang bukan hak milik adalah haram dalam syariat Islam,” ungkapnya.

Hal tersebut sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:

Laa tabi’ maa laysa ‘indaka

“Janganlah kamu menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu,” HR Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah.

Kemudian, Kiai Shiddiq menjelaskan hukum menjual barang curian. “Haram juga jual beli barang curian berdasarkan keumuman dalil hadis dan berdasarkan dalil khusus yang mengharamkan jual beli barang curian,” jelasnya.

Disampaikannya hadis dari Abu Hurairah RA bahwaRasulullah SAW bersabda:

Manistaro sariqotan wahuwa ya’lamu annaha sariqotun faqod syaroka fii ‘aarihaa wa itsmiha

“Barangsiapa membeli barang curian, sedang dia tahu bahwa barang itu adalah barang curian, maka ia bersekutu dalam aib dan dosanya.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi, Hadis shahih).

Kiai Shiddiq menyampaikan bahwa hadis tersebut menunjukkan haramnya membeli barang curian. “Namun, hadis tersebut menunjukkan bahwa keharaman itu ada jika pihak pembeli mengetahui bahwa barang yang dibelinya adalah barang curian,” terangnya.

Dipaparkannya juga, jika pembeli tidak mengetahui, maka tidak turut bedosa. Namun, andaikata pihak pembeli tidak mengetahuinya, pihak penjual tetap berdosa. “Sebab penjual tersebut berarti telah menjual sesuatu yang sebenarnya bukan hak miliknya dan ini telah diharamkan dalam hadis yang kami sampaikan sebelumnya,” paparnya.

“Jadi, hukumnya haram, tidak boleh, baik untuk yang menjual maupun yang membeli ,” pungkasnya.[] Raras

Senin, 25 April 2022

KH. M. Shiddiq Al-Jawi Jelaskan Pemberian Status Hukum Syara' Untuk Suatu Fakta


Tinta Media  - Pakar Fiqh Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, MSI. (Ustaz Shiddiq) menjelaskan kaidah ushul fiqih pemberian status hukum syara' untuk suatu fakta. 

“Kaidah ushul fiqih: al hukmu 'ala asy syai' far'un 'an tashawwurihi, pemberian status hukum syara' untuk suatu fakta, merupakan cabang (langkah berikutnya) setelah pemahaman fakta terhadap fakta itu,” tuturnya pada rubrik Kajian Ngave Majelis Gaul: Hukum Pacaran dalam Islam, Selasa(19/4/2022) di kanal YouTube Majelis Gaul. 

Ustaz Shiddiq mengaitkan kaidah tersebut dengan hukum pacaran. Sehingga, sebelum dijelaskan apa hukumnya pacaran dalam Syariah Islam, harus dipahami dulu definisi pacaran itu seperti apa. Hal itu dikarenakan pemahaman fakta, harus terwujud lebih dahulu sebelum pemberian status hukum syara’ pada fakta.

“Pacaran dapat didefinisikan sebagai hubungan khusus (ekslusif) antara laki-laki dan perempuan yang tak terikat pernikahan baik untuk sekedar bersenang-senang (just having fun) maupun untuk saling mengenal atau mencari kecocokan menuju pernikahan,” jelasnya. 

Menurutnya, dalam pacaran biasanya terdapat aktivitas-aktivitas sbb: 
Pertama, berkomunikasi, baik secara langsung maupun melalui alat komunikasi (SMS, telepon, dll), misalnya saling perkenalan, curhat, diskusi, janjian kencan, saling merayu, dsb. 

Kedua, Aktivitas berdua-duaan, yaitu interaksi khusus secara menyendiri tanpa kehadiran orang ketiga, baik dalam kehidupan khusus, misalnya di kamar kos, maupun dalam kehidupan umum, misalnya di restoran, gedung bioskop, dsb. Aktivitas ini sering disebut “kencan” (dating). 

Ketiga, Aktivitas fisik sebagai ungkapan rasa cinta, seperti berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, dsb; 
Keempat, Hubungan seksual seperti lazimnya yang dilakukan suami istri yang sah. 

“Demikianlah sekilas manath (fakta yang menjadi objek hukum) dari apa yang disebut ‘pacaran’ itu,” paparnya. 

*Pacaran Haram Hukumnya*

“Setelah mengkaji manath (fakta hukum) dari definisi pacaran dan aktivitas-aktivitasnya sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, jelas bahwa pacaran itu haram hukumnya, baik pacaran untuk sekedar bersenang-senang maupun untuk mencari kecocokan menjelang pernikahan,” tegasnya kemudian 

Kemudian ia menyampaikan dalil keharaman pacaran antara lain: 

Dalil Pertama, adanya ayat yang mengharamkan zina dan juga segala mukadimah zina (aktivitas yang mendekati zina), seperti berpelukan dan berciuman. Firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al Isra’ [17] : 32). 

“Dalam ayat tersebut Allah SWT telah melarang segala perbuatan yang mendekati zina dan tentunya juga melarang zinanya itu sendiri,” jelasnya. 

Disampaikan menurut Imam Ibnu Katsir yang dimaksud mendekati zina adalah segala aktivitas yang menjadi suatu sebab atau pendorong terjadinya zina. (asbaab wa dawaa’i az-zina). (Tafsir Ibnu Katsir, Juz III, hlm. 503). 

Dalil Kedua, adanya hadits yang mengharamkan segala bentuk percumbuan seperti berciuman walaupun tidak sampai berzina. Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi (hadits no 5113), bahwa seorang laki-laki telah mencium seorang perempuan tapi tidak sampai berzina, kemudian dia menghadap Nabi SAW. Lalu Nabi SAW pun mengajak laki-laki itu untuk shalat guna menghapus dosanya. Kemudian turunlah firman Allah SWT QS Huud ayat 114 yang artinya:
“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.” (QS Huud : 114) (Syeikh Wahbah Zuhaili, At Tafsir Al Munir, Juz XII, hlm 179). 

Dalil Ketiga, terdapat dalil-dalil hadits yang mengharamkan khalwat, yakni berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan di tempat sepi. Sabda Nabi SAW :
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang perempuan, kecuali perempuan itu disertai mahramnya.” (HR. Bukhari no 4935; Muslim no 1341). 

Dalil Keempat, terdapat dalil-dalil hadits yang mengharamkan ikhtilath, yaitu campur baur laki-laki dan perempuan tanpa hajat syar’i (keperluan yang dibenarkan syariah), seperti ngobrol berdua di mobil, ngobrol berdua di rumah, makan berdua di restoran, jalan-jalan berdua di mall, dsb.  

Dalil haramnya ikhtilath ditunjukkan oleh hadits-hadits Nabi SAW yang mewajibkan terpisahnya (infishal) komunitas laki-laki dan komunitas perempuan, dan yang menunjukkan haramnya campur baur (ikhtilath) antara laki-laki dan perempuan kecuali ada hajat syar’i, seperti saat thawaf di sekeliling Ka’bah, atau saat berjual-beli, atau saat sewa menyewa, saat berobat, dsb. 

Dalil haramnya ikhtilath antara lain bahwa Nabi SAW telah memisahkan jamaah pria dan jamaah wanita di masjid ketika shalat jamaah, yaitu shaf-shaf pria berada di depan, sedangkan shaf-shaf wanita berada di belakang shaf-shaf pria. (HR. Bukhari no 373). 

Nabi SAW juga telah memerintahkan para wanita untuk keluar masjid lebih dulu setelah selesai shalat berjamaah di masjid, baru kemudian para laki-laki. (HR. Bukhari no 828). 

Dalil Kelima, terdapat dalil-dalil yang mengharamkan umat Islam untuk meniru cara hidup kaum kafir (tasyabbuh bil kuffar), di antaranya adalah pacaran. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka,” (HR Abu Dawud, no 4029; Nasa`i, As Sunan Al Kubra, no 9560; Ibnu Majah, no 3607; Ahmad, no 5664 

Kiai juga menjelaskan sabda Rasulullah SAW: “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak pun, kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya,“Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab,”Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR Bukhari, no. 3456). 

Dari hadis tersebut, menurut Kiai, pacaran sesungguhnya bukanlah bagian cara hidup umat Islam yang dibimbing oleh Al Qur`an dan As Sunnah. 

“Pacaran merupakan bagian cara hidup kaum kafir, khususnya masyarakat Barat, yang umumnya beragama Yahudi dan Nashrani,” pungkasnya.[] Raras

Minggu, 24 April 2022

Sistem Negara yang Dibangun Nabi Haram, Pembodohan terhadap Syariat Islam?


Tinta Media - Belakangan ini pernyataan dari salah satu menteri yaitu Menkopolhukam Mahfud MD menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, mulai dari ulama, kyai, tokoh beragama, ataupun masyarakat umum. Mahfud MD menyatakan bahwasannya mendirikan negara berdasarkan sistem yang dibangun Nabi ialah haram dan dilarang. Tentu pernyataan ini menjadi kontroversial di kalangan masyarakat.

Menurut Mahfud MD, mendirikan negara dengan sistem seperti yang Nabi dirikan sangat mustahil, karena Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir, dan setelah beliau wafat, sudah tidak ada lagi wahyu yang turun dan sunnah yang bisa menjadi produk legislasi. Jadi, kita tidak bisa mendirikan sistem bernegara seperti yang diselenggarakan oleh Nabi (suara.com, 16/04/2022).

Pernyataan menkopolhukam ini semakin menegaskan bahwasannya negara ingin memisahkan aturan kehidupan dengan aturan agama. Dalam sistem kapitalis-sekuler seperti saat ini, sebenarnya pernyataan di atas tidak mengagetkan, karena pada fakta yang sudah berjalan, negara membuat aturan disesuaikan dengan kebutuhan saat aturan dibuat. Tentunya hal ini memberikan keuntungan bagi negara atau corporate, tidak mempertimbangkan aturan yang ditetapkan agama.

Apa jadinya sebuah negara jika aturan sekuler-kapitalis terus diterapkan dalam kehidupan bernegara? Saat ini saja, masalah-masalah dalam negara semakin bertambah. Yang mendapat dampak buruk pasti masyarakat.

Sebagai masyarakat, munculnya pandangan tentang haramnya negara dengan sistem yang dibangun Nabi dari menkopolhukam ini, tidak bisa serta-merta kita terima tanpa mencari tahu ilmunya terlebih dahulu. Hendaknya kita mencari dasar ilmunya terlebih dahulu dari seseorang yang memang dalam bidangnya, tentunya dibuktikan dengan dalil-dalil yang sahih.

Sebagai muslim, kita tentu meyakini bahwa Nabi Muhammad saw merupakan Nabi terakhir, sehingga wahyu dari Allah tidak akan turun setelahnya. Namun yang harus kita pahami, wahyu tersebut kini sudah terbukukan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sehingga, walaupun Nabi telah wafat, bukan berarti umat setelahnya tidak mendapatkan aturan dan bimbingan dari beliau, melainkan tetap mendapatkan aturan yang harus ditaati dan semuanya terdapat dalam Al Qur’an dan As-Sunnah.

Rasulullah saw. sudah berpesan kepada umatnya terkait sesuatu yang menjadi pedoman bagi umat Islam  setelah beliau wafat. Pada zaman seperti saat ini, bukan berarti aturan tersebut tidak bisa diterapkan, melainkan melalui ijtihad-ijtihad yang dilakukan oleh mujtahid berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunah, sehingga aturan yang dikeluarkan tidak bertentangan dengan agama.

Selain itu, apabila sistem yang dibangun Nabi memamg haram diterapkan setelah beliau wafat, maka tidak mungkin ada zaman kepemimpinan dari sahabat Nabi, seperti Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan lain sebagainya.

Sebaliknya, sistem negara khilafah justru wajib untuk diterapkan dalam bernegara.
Rasulullah saw. bersabda, yang artinya:

”… Sesungguhnya barang siapa yang hidup di antara kamu dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaklah kamu berpegang teguh dengan sunnahku, dan juga sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi gerahammu…” (HR Abu Dawud no. 4607; Tirmidzi no. 2676; Ibnu Majah no. 42; Ahmad no. 17184; Al Hakim 1/176, hadis sahih)."

Syekh Abdullah Ad Dumaiji menjelaskan bahwa hadis tersebut menunjukkan wajibnya meneladani sunnah (thatiqah/jalan) Khulafaur Rasyidin.

Di antara sunnah mereka adalah mengangkat seorang khalifah, sebagaimana diriwayatkan secara mutawatir bahwa para sahabat telah membaiat Abu Bakar sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah saw. (Abdullah Ad Dumaiji, Al Imâmah Al ‘Uzhmâ, hlm. 51-52).

Apabila kita menengok pada zaman kekhalifahan dulu, akan kita dapati bahwa dengan diterapkan sistem Islam dalam bernegara, justru negara berada dalam kejayaan, masyarakat hidup sejahtera dan segala masalah yang timbul mendapatkan solusi yang tepat.

Berbeda dengan sistem saat ini, bukannya masalah tuntas, tetapi malah menimbulkan masalah lainnya. Ini karena Islam tidak hanya mengatur individu saja, melainkan semua aspek ada dalam Islam, seperti dalam bernegara, muamalah, pergaulan, ekonomi dan lain sebagainya. Karena itu, menegakkan negara dengan sistem Islam (negara Khilafah) wajib hukumnya.

Imam Al Qurtubi (w. 671 H) dalam  Al Jami’ li Ahkamil Qur`an, Juz 1 hlm. 264, menjelaskan bahwa yang menolak khilafah adalah orang yang tuli (bodoh) dari syariat Islam. Beliau berkata bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya hal itu (mengangkat khalifah) di antara umat dan para imam [mahzab], kecuali apa yang diriwayatkan dari Al Ashan, yang dia itu memang 'asham' (tuli) dari syariat. Demikian pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta mengikutinya dalam pendapat dan mahzabnya.

Karena itu, sudah seharusnya kita sebagai muslim mencari kebenaran terlebih dahulu sebelum menerima pandangan dari orang lain.

Wallahua'lam bishawab.

Oleh: Unix Yulia
Komunitas Menulis Setajam Pena

Rabu, 20 April 2022

KPAU Ajukan Audiensi ke Menkopolhukam Terkait Pernyataan 'Haram Mendirikan Negara Nabi'



Tinta Media - Menanggapi pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang menyebut 'Haram Mendirikan Negara Nabi', Ketua Persaudaraan Advokat dan Umat (KPAU) Ahmad Khozinudin beserta sejumlah tokoh dan ulama menyambangi kantor Menkopolhukam untuk melakukan audiensi.

"Sehubungan dengan viralnya pernyataan Pak Menteri terkait 'Haram Mendirikan Negara Nabi' dan beredar masifnya proposal Khilafah untuk menyelamatkan bangsa Indonesia, kami sampaikan hal-hal sebagai berikut,” tuturnya dalam pers rilis yang diterima redaksi Tinta Media, Rabu (20/4/2022).

Pertama, bahwa Khilafah adalah ajaran Islam, dalilnya adalah Al Qur'an, as Sunnah dan Ijma' Sahabat.

Kedua, bahwa Pak Menteri pernah mengajukan pernyataan tantangan untuk berdiskusi tentang Khilafah, karena itu pernyataan ini penting untuk ditindaklanjuti dalam kerangka berdakwah, menjelaskan esensi khilafah dari hukum hingga urgensinya.

Ketiga, bahwa Pak Menteri pernah menyampaikan haramnya negara nabi, pernyataan ini perlu diklarifikasi dan diluruskan.

Keempat, bahwa oleh karena itu, kami mohon agar dapat beraudiensi dan berdiskusi bersama Pak Menteri dan Jajarannya. Bersama kami, sejumlah tokoh dan ulama Jabodetabek juga turut serta.

"Setelah kami menyerahkan surat permohonan di bagian penerimaan surat, kami bersama segenap tokoh dan ulama Jabodetabek berkesempatan membuat video berisi penyampaikan pandangan di depan Kantor Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan,” ungkapnya.

Pada kesempatan awal, Ahmad menyampaikan tujuan kedatangan adalah silaturahmi sekaligus untuk menindaklanjuti sejumlah pernyataan Pak Menteri. Misalnya soal tidak ada Khilafah yang baku, soal Nabi yang memiliki peran  legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga soal haram menegakkan negara seperti negaranya Nabi.

“Terakhir, Pak Menteri membuat artikel yang diterbitkan oleh Kompas pada 16 April 2022, yang kembali bicara soal haramnya mendirikan negara Nabi. Saya sudah menanggapi dengan artikel, namun rasanya lebih Afdhal kalau Pak Menteri dikunjungi langsung,” terangnya.

Dengan demikian, ia bisa menyampaikan pandangan tentang bagaimana sistem Khilafah, apa yang baku dalam sistem Khilafah, bagaimana masalah bangsa Indonesia ini karena penerapan ideologi kapitalisme sekuler, dan seterusnya.

“Sebagai ajaran Islam, saya mengimbau kepada Pak Menteri untuk memposisikan Khilafah sebagai solusi bukan ancaman. Pejuang Khilafah juga memperjuangkan Khilafah dengan dakwah, pemikiran dan politik, tanpa kekerasan. Jadi jangan distigmatisasi dengan tuduhan radikalisme, ekstrimisme hingga terorisme,” harapnya.

Ahmad juga berkeinginan mendengar dan berdiskusi langsung, tentang apa sih argumentasi dan alasan yang melatarbelakangi lontaran pernyataan haram mendirikan negara seperti negaranya Nabi ? “Lagipula, pertemuan itu juga penting untuk dijadikan sarana 'penyampaian proposal Khilafah' kepada Menkopolhukam,” tukasnya.

“Karenanya, syukur nantinya jika ada penerimaan audiensi dari pihak Kemenkopolhukam juga mengundang seluruh kementerian dan lembaga yang ada dalam naungannya. Kapolri, Jaksa Agung, Panglima TNI, Kemenhan, Kemendagri, Kemenkominfo, kalau perlu diundang semuanya,” harapnya.

Sementara KPAU akan mengundang sejumlah tokoh dan ulama Jabodetabek, bahkan ulama-ulama se Indonesia untuk menjelaskan Khilafah kepada Menkopolhukam dan seluruh jajaran kementerian dan lembaga terkait lainnya.

“Kami tidak ingin, adu argumentasi hanya terjadi secara monolog di sosial media. Perlu dialog langsung, apalagi Pak Mahfud MD pernah menantang debat soal Khilafah. Kesempatan bertemu langsung, adalah jalan keluar untuk saling menyampaikan argumentasi terkait Khilafah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
 







Jumat, 15 April 2022

Haramkan Khilafah, Pakar Fikih Kontemporer: Pendapat Itu Salah Jika Tak Berdasar Dalil

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1f5tvDlmh4duNX8a63wCKROjQZOv45_1N

Tinta Media - Pendapat Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof. Dr. Mahfud MD. yang menyebut tentang haram mendirikan negara ala Nabi (khilafah) dinilai salah oleh Pakar Fiqh Kontemporer KH. M. Shiddiq Al-Jawi, S.Si, M.Si.

“Kalaupun orang itu mempunyai pangkat yang tinggi tapi kalau argumentasinya tidak mempunyai dalil atau dasar, ya salah,” tuturnya pada rubrik Diskusi Media Umat: Mendirikan Negara Ala Nabi, Haramkah? Ahad (10/4/2022) di kanal YouTube Media Umat.

Sebaliknya, kata Ustaz Shiddiq, walaupun orang itu biasa-biasa saja, akan tetapi argumennya mempunyai dasar yang kuat, yaitu benar. “Itulah kaidah kita untuk menyikapi pendapat. Jangan apriori karena dia seorang menteri hukum, segala macam, terus otomatis benar, tentu tidak!” tegasnya.

Menurutnya, pendapat itu yang dilihat argumennya, bukan pangkat atau golongannya. “Walaupun yang mengucapkan itu bergelar Profesor, Doktor dan seterusnya, tapi kan sebuah pendapat itu yang dilihat argumennya, bukan pangkat atau golongan orang itu,”ungkapnya.

Kyai Shiddiq menjelaskan bahwa di dalam Al-Qur’an ada pelajaran yang penting untuk diambil. Ada ayat: “Qul haatu burhanakum inkuntum soodiqin.” Artinya: “Katakanlah: ‘datangkanlah bukti-buktimu, argumen-argumenmu, kalau kamu adalah orang-orang yang benar’.” Islam mengajarkan benar tidaknya tergantung kepada peluruhan atau argumen. “Kalau memang argumennya tidak ada, apa bisa itu disebut pendapat yang benar?” tanyanya.

Sedangkan pada kesempatan itu, Mahfud MD menyebut haram hukumnya mendirikan sebuah negara layaknya pada zaman Nabi Muhammad SAW karena katanya tidak ada nabi lagi dan tidak akan turun wahyu lagi setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Ustaz Shiddiq tidak membenarkan argumen Mahfud MD tersebut dengan memberikan beberapa poin kritik sebagai berikut: Bahwa berakhirnya wahyu dan tiadanya nabi lagi, tidaklah berarti haram bagi umat Islam mendirikan Negara ala Nabi. Sebab Nabi SAW pada saat di Madinah, mempunyai dua kedudukan sebelum meninggal, yaitu: pertama, kedudukan sebagai nabi (manshib al nubuwwah), dan kedua, sekaligus kedudukan kepemimpinan (manshib ar ri`asah) sebagai kepala negara.

“Maka ketika Nabi wafat, kedudukan kenabian (manshib al nubuwwah) berhenti (wahyu dan nabi tak ada lagi), sedang kedudukan kepemimpinan (manshib ar ri`asah) sebagai kepala negara, tetap berlanjut,” jelasnya.

Ia memaparkan bahwa wafatnya Nabi SAW ini menjadi pertanda tugas kenabian ini berakhir, tidak ada lagi nabi dan wahyu lagi. Namun walau tugas kenabian berakhir, tugas kepemimpinan negara ini tak berakhir, melainkan dilanjutkan oleh khalifah-khalifah sebagai kepala negara Khilafah pengganti Nabi SAW. Dengan demikian, para khalifah tersebut, hakikatnya telah meneruskan negara ala Nabi Muhammad SAW. “Negara ala Nabi Muhammad SAW inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Khulafah atau Imamah,” paparnya.

Dalil bahwa walau tugas kenabian Nabi SAW berakhir, namun tugas kepemimpinan negara tak berakhir, disabdakan sendiri oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits shahih yak: “Dahulu Bani Israil dipimpin dan diatur segala urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan nabi lainnya. Dan sesungguhnya tak ada lagi nabi sesudahku, yang ada adalah para khalifah dan jumlah mereka akan banyak…" (HR Muslim, no 1842).

Menurutnya, hadits Nabi saw tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa:

Pertama, tidak ada lagi nabi lagi setelah beliau. Ini artinya, kedudukan pertama bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kenabian (manshib al nubuwwah) dengan mendapat wahyu langsung dari Allah, telah berakhir dengan wafatnya beliau.

Kedua, akan ada khalifah-khalifah setelah wafatnya Nabi SAW. Ini artinya, kedudukan kedua bagi Nabi SAW, yaitu kedudukan kepemimpinan (manshib ar ri`asah), tidaklah berakhir, melainkan digantikan dan diteruskan oleh para khalifah setelah wafatnya Nabi saw.

Ustaz Shiddiq menyimpulkan, ketika para khalifah itu menggantikan Nabi saw sebagai kepala negara, mereka tidak mendapat wahyu lagi, karena wahyu tidak turun lagi. Para khalifah itu pun juga bukan nabi-nabi, karena tidak ada nabi lagi setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Mereka hanyalah khalifah, manusia biasa, bukan Nabi, dan berpegang dengan wahyu yang terbukukan (Al Qur`an dan As Sunnah), bukan mendapat wahyu langsung dari Allah,

“Lalu, bagaimana mungkin mendirikan negara ala nabi dikatakan haram?” pungkasnya.[]Raras
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab