Tinta Media: Generasi
Tampilkan postingan dengan label Generasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Generasi. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Mei 2024

Mewujudkan Generasi Berkualitas dengan Kurikulum Merdeka Belajar, Jauh Panggang dari Api



Tinta Media - Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Pada tahun ini, 2024, pemerintah menetapkan tema “Bergerak Bersama, Lanjutkan Merdeka Belajar” (nasional.kompas.com, 25/04/2024). Dalam rangka menunjukkan perwujudan kebebasan Merdeka Belajar, Direktorat Jenderal Kebudayaan melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media berkolaborasi dengan Titimangsa dan SMKN 2 Kasihan menggelar konser musikal bertajuk “Memeluk Mimpi-Mimpi: Merdeka Belajar, Merdeka Mencintai” pada Kamis, 25 April 2024 di Jakarta (liputan6.com, 26/04/2024). 

Sayangnya, gegap gempita perayaan Hari Pendidikan Nasional tidak diiringi dengan baiknya kondisi pendidikan yang ada di lapangan. Berbagai masalah di dunia pendidikan terus bermunculan dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti, bahkan semakin hari semakin miris dan mengerikan. 

Sebut saja kasus bullying di kalangan pelajar yang hingga saat ini masih terus terjadi (tribunnwes.com, 8/03/2024). 
Dari sisi kualitas akademis, tidak ada prestasi signifikan yang diraih oleh Kurikulum Merdeka Belajar yang tengah diimplementasikan hari ini. 

Menurut Direktur Eksekutif Bajik, Dhita Puti Sarasvati, Kurikulum Merdeka Belajar belum layak menjadi kurikulum nasional karena bagian esensinya belum ada, yakni, kerangka kurikulumnya (detik.com, 26/02/2024).

Alih-alih menjadi solusi bagi dunia pendidikan, dari awal kemunculannya, kurikulum Merdeka Belajar justru semakin mengaburkan arah maupun indikator-indikator keberhasilan pendidikan. 

Praktisi pendidikan di berbagai tingkat mempertanyakan pelaksanaan kurikulum ini. Banyak konsep yang tidak relevan untuk diterapkan di lapang bahkan mempersulit guru dalam menyiapkan perangkat pembelajaran sekaligus menguras habis energi mereka pada hal-hal remeh.  

Belum lagi perubahan materi pelajaran dengan alasan dangkal, bahkan tanpa dasar. Sebut saja konsep materi Khilafah dan Jihad yang awalnya ada di dalam mata pelajaran Fiqih yang kemudian dimasukkan ke dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam tanpa alasan yang jelas. 

Fakta ini menunjukkan betapa buruk dab tidak jelasnya kurikulum ini. Hal ini juga mengesankan bahwa pendidikan kita memang disetir oleh orang-orang tidak berilmu dan penuh kepentingan. 

Fakta yang tak kalah buruk juga terjadi pada pendidikan tinggi. Penerapan Kurikulum Merdeka Belajar di perguruan tinggi mengharuskan mataku kuah berorientasi pada peningkatan kompetensi kerja yang harus dimiliki oleh lulusan mereka tanpa memedulikan kebaikan moral dan mental. 

Mahasiswa terus dimotivasi untuk berkompetisi mendapatkan pekerjaan di perusahaan, berwirausaha untuk mendapatkan keuntungan materi yang banyak, dan seterusnya dan seterusnya. Sebagai akibat, peserta didik hanya berpikir tentang materi, materi, dan materi. Mereka tidak peduli dengan lingkungan sosial, etika, moral, dan hal-hal yang tidak menghasilkan keuntungan berupa materi. 

Lantas, apa yang akan terjadi jika satu-satunya tujuan pendidikan hanyalah sebatas nilai-nilai materi? Berbagai kerusakan dapat dengan gampang kita temukan. Produk pendidikan yang mengukur semua dengan materi juga akan menghargai semua hal dengan materi. 

Maka, terciptalah kehidupan sosial yang memungkinkan bagi seorang guru dengan gaji kecil tidak layak dihormati, meskipun jasa mereka sangat besar dalam mendidik generasi. Sebaliknya, orang-orang kaya akan dijunjung tinggi, dihormati dan dielu-elukan, meskipun mereka mendapatkan harta dengan cara yang tidak benar semacam korupsi, menipu, menguasai harta masyarakat, dan berbagai cara licik lain. 

Selain itu, generasi dengan didikan yang berorientasi materi juga memiliki mental yang sangat lemah dan niretika. Ketika materi tidak berhasil didapatkan dalam hidup, mereka akan sangat mudah merasa tertekan, menganggap diri tak berguna, rendah, dan tidak layak mendapatkan penghargaan dari masyarakat sekitarnya. 

Akibatnya, tindak kriminal terjadi di mana-mana. Para pelaku bullying sering kali adalah mereka yang secara mentalitas tidak terdidik dengan baik. Berbagai kasus perzinaan remaja yang menjual diri mereka untuk mendapatkan materi secara instan, dan berbagai kasus yang hari ini bertebaran di mana-mana. 

Dengan fakta seperti ini, Kurikulum Merdeka jelas menguatkan sekularisme dan kapitalisme dalam kehidupan masyarakat. Generasi semakin terkungkung dengan konsep yang salah tentang tujuan mereka dalam menuntut ilmu, bahkan tujuan hidup mereka. 

Mereka gagal memahami dengan benar hakikat kehidupan. Pertanyaannya, masihkah perlu untuk meneruskan kurikulum yang buruk ini jika tujuan kita mendidik generasi adalah menjadikan kualitas mereka unggul dalam segala aspek? Jawabannya sudah jelas, tentu saja tidak. 

Generasi unggul hanya akan lahir dari kurikulum pendidikan yang valid dan teruji hasilnya. Hingga hari ini, belum pernah ada kurikulum pendidikan mana pun yang mampu menandingi keandalan kurikulum pendidikan yang diterapkan dalam sistem Islam. 

Sistem Pendidikan Islam telah menghasilkan sangat banyak ilmuwan yang tidak hanya unggul dalam sains dan teknologi, tetapi juga saleh dan faqih dalam agama mereka. 

Al Khawarizmi, Ibu Rusyd, Ibnu Sina, Mariam al Asturlabi, Muhammad Al Fatih, Shalahuddin Al Ayubi dan banyak lagi yang lain, siapa yang tidak mengenal nama-nama ini? Mereka adalah generasi unggul hasil sistem pendidikan Islam. 

Sistem pendidikan Islam memastikan terbentuknya generasi berkualitas, beriman, bertakwa, terampil, dan berjiwa pemimpin serta menjadi problem solver bagi umat. 

Kurikulum dalam pendidikan Islam mengarahkan peserta didik memahami hakikat dan tujuan hidup. Jelasnya, bahwasanya tujuan hidup mereka adalah untuk beribadah kepada Allah. Maka, mereka juga akan berbuat yang terbaik untuk mencapai berbagai prestasi demi memuliakan agama Allah dan kaum muslimin. Wallahu a’lam bish-shawab.


Oleh: Fatmawati 
(Aktivis Dakwah)

Jumat, 26 April 2024

Game Online Mengancam Generasi, Bukti Negara Abai


Tinta Media - Kemajuan teknologi modern yang begitu pesat, seperti televisi, internet, alat-alat komunikasi, dan barang-barang mewah berteknologi canggih yang menawarkan berbagai aplikasi hiburan bagi orang tua, muda, bahkan anak-anak. Termasuk di dalamnya adalah game online yang mewabah, terutama di kalangan generasi muda saat ini. Awalnya, game online ini hanya memberikan hiburan. Pada akhirnya, game online menjadi momok yang menakutkan karena banyak anak yang kecanduan, hingga merusak moral dan sarafnya.

Hal ini pula yang mendasari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak pemerintah agar Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir game online yang mengandung unsur kekerasan dan seksualitas atau pornografi.

Menkominfo, Budi Arie Setiadi, siap memblokir atau men-takedown game online yang terbukti bermuatan kekerasan dan pornografi. Budi Arie juga meminta kerja sama orang tua dan pihak sekolah untuk melaporkan game online yang memberi dampak buruk.

Perkembangan teknologi tentu harus diiringi dengan kemajuan berpikir manusia. Namun sayangnya, kemajuan teknologi ini malah membawa dampak buruk, seperti game online yang mewabah di kalangan generasi muda. Selain itu, game online ini juga disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Menurut KPAI banyak tindak kejahatan yang terjadi akibat dampak dari game online, seperti pembunuhan, perdagangan orang, pornografi anak, dan banyak lagi kasus kriminal lainnya. Pengaruh buruk game online ini begitu tampak. Namun, sepertinya negara tidak serius menanganinya hingga berdampak buruk ini.

Buktinya, di tengah ancaman pengaruh buruk game online, negara malah ingin mengembangkan industri game online dengan dalih untuk meningkatkan devisa. Artinya, sama saja negara dengan sengaja membiarkan anak-anak penerus bangsa ini kecanduan, sehingga moral dan sarafnya pun akan rusak. Apakah generasi seperti ini yang diinginkan negara untuk membangun bangsa?

Di sisi lain, kemajuan teknologi begitu penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Dengan teknologi canggih, kegiatan belajar mengajar akan lebih efektif, variatif juga menyenangkan. Kemampuan literasi digital pun menjadi kompetensi wajib bagi guru dan siswanya.

Namun, kemajuan teknologi ini juga berpotensi lain. Penyalahgunaan perangkat digital ini oleh kaum pelajar tak bisa terhindarkan. Kurangnya pengawasan dari orang tua dan adanya warung-warung internet yang bertebaran, ikut andil dalam persoalan ini.

Mirisnya, negara sebagai pengurus rakyat telah abai. Tidak adanya tindakan tegas dari negara terhadap peredaran game online berkonten kekerasan dan pornografi telah menambah deretan kasus lainnya. Maka dari itu, tidak cukup hanya men-takedown atau memblokir saja.

Inilah bukti ketika sistem sekularisme kapitalisme diterapkan. Negara mencetak masyarakat yang hanya berorientasi pada kesenangan duniawi saja, sekalipun hal itu tidak berguna dan membahayakan. Negara bergandengan tangan dengan para kapital menjadikan rakyat sebagai pasar bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan besar.

Para pengusaha provider internet dan para pengembang game online pun memperoleh keuntungan dari pasar ini. Otomatis, pajak yang didapatkan negara pun luar biasa. Oleh karena itu, permintaan dan desakan untuk memblokir game online ini sangat mustahil terealisasi dalam sistem sekuler kapitalisme.

Persoalan ini hanya bisa diselesaikan dengan cara mengubah aturan. Penerapan sistem Islam oleh negara adalah satu-satunya solusi yang hakiki. Islam tidak pernah melarang umatnya untuk menggunakan teknologi digital. Jauh sebelum itu, Islam telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan hebat yang menjadi kiblat para ilmuwan masa kini.

Islam memandang teknologi merupakan bagian dari ayat-ayat Allah yang harus digali dan dicari kebenarannya. Allah Swt. berfirman, 

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang berakal (yaitu) orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau. Maka, perihalalah kami dari siksa neraka " (TQS.Al.Imran ayat 190-191).

Negara yang menerapkan sistem Islam (khilafah) akan mencetak generasi berkualitas. Sejarah mencatat bahwa hampir 14 abad khilafah mampu menyejahterakan rakyat. Kejayaan ini akibat dari penerapan sistem ekonomi Islam sehingga hasil dari kekayaan alam yang melimpah mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyat. 

Khilafah tidak akan mencari sumber pendapatan lain yang akan menimbulkan kemudaratan bagi rakyat, seperti mengizinkan pihak asing mengelola SDA atau mengambil keuntungan dari kemajuan teknologi yang membahayakan rakyat. Hal tersebut tidak akan pernah terjadi dalam Islam.

Selain itu, khilafah akan bertanggung jawab penuh atas pembentukan generasi penerus bangsa yang cerdas dan berkepribadian Islam, yaitu dengan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Sehingga generasi yang lahir memiliki akidah yang kuat, tidak mudah terpengaruh pemahaman asing, mampu mengontrol diri dalam beraktivitas, dan pastinya setiap amal perbuatannya sesuai hukum syara'. 

Artinya, hanya dengan penerapan Islam secara kaffah, akan terbentuk masyarakat yang memiliki pola pikir Islam dan pola sikap Islam.

Oleh karena itu, khilafah akan memberikan fasilitas terbaiknya, termasuk menciptakan teknologi yang bermanfaat untuk masyarakat, terkhusus para pelajar. Masyarakat akan disuguhi aplikasi-aplikasi yang tidak melanggar syariat, tetapi aplikasi yang justru meningkatkan keimanan dan ketakwaan mereka.

Sangat berbeda dengan sistem sekuler kapitalisme, aplikasi-aplikasi yang disuguhkan banyak yang memberikan dampak buruk. Dari sisi ini saja sudah sangat berbeda. Penggunaan teknologi di tangan khilafah memberikan kemaslahatan bagi umat manusia. Andaipun terjadi pelanggar dalam menggunakan teknologi, maka akan dikenakan sanksi berupa takzir oleh hakim sesuai kadar kesalahannya. 

Inilah bukti betapa pedulinya khilafah terhadap generasi masa depan. Hanya dengan Islam, teknologi digital mampu memberikan manfaat, karena diatur oleh hukum syara'. Wallahualam.


Oleh: Neng Mae
Sahabat Tinta Media

Senin, 08 April 2024

Kerusakan Moral Generasi Buah Sistem Pendidikan Sekuler


Tinta Media - Moral generasi kian menjadi-jadi dan kian miris, marak pelajar dan anak-anak di bawah umur menjadi pelaku beragam kejahatan. Di Lampung Utara seorang pelajar SMP berinisial N (15) di perkosa 10 pria. Korban ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah gubug pada Sabtu (17/2/2024), adapun pelaku 6 orang di antaranya masih di bawah umur. Kepala Bidang (Kabid) Humas Polda Lampung Komisaris Besar (Kombes) Umi Fadilah pada Senin (11/3/2024) mengungkapkan;

“Korban disekap selama 3 hari tanpa diberi makan. Selama penyekapan itu, korban mengalami kekerasan seksual,” katanya (Kompas.com)

Di Kabupaten Bekasi perang sarung sesama pelajar memakan korban, satu orang berinisial AA (17) tewas dalam tawuran perang sarung di jalan arteri Tol Cibitung, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi. Tawuran yang terjadi pada pukul 00.30 WIB, Jumat (15/30). Kapolsek Cikarang Barat Kompol Gurnald Patiran mengungkapkan bermula perang sarung itu hari Rabu tanggal 13 Maret 2024 sekitar pukul 22.38 WIB korban menghubungi NIR melalui WhatsApp mengajak untuk perang sarung. Pelaku MAA membawa kunci shock berbentuk T lalu ikut berangkat bersama NIR dan kelompoknya. Dalam perang sarung tersebut MAA mengayunkan kunci shock itu ke kepala korban sebanyak 3 kali. Hingga mengakibatkan luka di kepala korban dan terkapar tidak sadarkan diri. Pelaku dan kelompoknya pun melarikan diri dan meninggalkan korban. Korban sempat dibawa ke rumah sakit namun tidak tertolong. (Sumber CNN Indonesia.com) 

Pastinya masih banyak lagi kasus serupa, generasi menjadi pelaku kejahatan dan kekerasan. Dan tak jarang dengan usia yang masih belia. Pemuda merupakan generasi penerus peradaban. Maka pemuda seharusnya dijaga dan dibina sehingga mereka memiliki pola pikir dan perilaku yang benar. Namun, sayangnya generasi saat ini mengalami kerusakan yang cukup parah sehingga maraknya pelajar dan anak di bawah umur menjadi pelaku kejahatan dan kekerasan mencerminkan rusaknya generasi. Hal tersebut tidak bisa dilepaskan dari peran pendidikan. Kurikulum pendidikan saat ini berasaskan pada sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan). Ketika agama dipisahkan dalam kehidupan maka akan menimbulkan kekacauan. Disisi lain menjadi bukti bahwa kurikulum pendidikan gagal mencetak generasi yang berkualitas. Generasi di didik hanya cerdas dalam ilmu akademik tapi minim dalam keimanan dan akhlak. Hingga melahirkan generasi yang memiliki moral rusak meskipun masih di bawah umur. Mereka menjadi pelaku kekerasan seperti pemerkosa atau pelaku tawuran. Hal itu karena generasi tidak ada rasa takut akan dosa dan perbuatan yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Selain itu, lingkungan yang rusak juga berpengaruh dalam membentuk kepribadian generasi, perilaku individualis dan liberal menjadi bagian pendorong generasi berbuat kemaksiatan sebab tidak ada saling menasihati antar sesama, membiarkan dengan dalih kebebasan berperilaku. Termasuk juga maraknya tayangan dan konten kekerasan seksual menjadi bahan konsumsi generasi, konten-konten yang tidak mengedukasi, kekerasan dan lain-lain menjadi konsumsi generasi sehari-hari. Maka wajar jika pemuda menjadi generasi yang rusak dan melakukan kerusakan, serta menjadi pelaku kekerasan. Hal demikian sangat berbeda ketika diatur dengan sistem Islam.

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak memisahkan aturan Allah swt., dari kehidupan, Islam mewajibkan agar semua hal dikaitkan dengan aturan Allah swt., Islam memandang generasi sebagai aset peradaban. Islam memerintahkan negara berperan untuk menjaga, dan mendidik generasi menjadi pemuda yang berkualitas. 

Hal itu, melalui sistem pendidikan yang diterapkan. Dengan pendidikan seseorang akan memiliki ilmu dan dapat berpikir untuk memilih antara yang baik dan tidak. Dengan ilmu generasi akan bersemangat untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Islam memiliki sistem pendidikan yang kuat karena berasaskan pada akidah Islam, sehingga standar mereka bukan lagi kepuasan dunia tapi Ridha Allah. Hal demikian akan membuat mereka bersemangat untuk melakukan banyak kebaikan. Islam menentukan metode pengajaran secara talqiyan fikriyan. Dengan metode pengajaran talkiyan fikriyan semua ilmu akan di arahkan untuk membangun pemahaman generasi tentang kehidupan sekaligus menjadi landasan sikap dan perilaku dan semua ilmu diarahkan untuk meningkatkan tarap berpikir generasi sehingga generasi akan mampu untuk menyelesaikan masalah kehidupan. Dengan metode talqiyah fiqriyan akan mampu mencetak generasi yang beriman dan bertaqwa.

Tidak hanya itu, negara juga akan menutup konten-konten porno, kekerasan dan lainnya, Adapun konten yang dibolehkan hanyalah konten seputar edukasi syariat Islam, berita sehari-hari, perkembangan sains, dan teknologi, kewibawaan khilafah dimata dunia, maupun kehebatan pasukan khilafah dalam berjihad dengan demikian di benak generasi akan diliputi kebaikan-kebaikan karena mereka berada dalam suasana keimanan dan ketaatan (sumber MMC)

Dengan dukungan penerapan Islam dalam berbagai sistem kehidupan, maka akan membentuk generasi yang berkepribadian Islam dan jauh dari kata “menjadi pelaku” kekerasan ataupun kejahatan. Allahu A’lam bishawab.[]

Oleh: Haniah
Sahabat Tinta Media 

Sabtu, 06 April 2024

Penjagaan Generasi dalam Islam


Tinta Media - Sungguh menyesakkan dada mendengar berita ada seorang anak perempuan berusia 12 tahun menjadi korban perdagangan orang. Anak perempuan yang masih kelas 6 SD di Kota Bandung tersebut telah dijual ke 22 pria hidung belang oleh tiga tersangka. Dua di antaranya sudah ditangkap polisi. Para tersangka menawarkan dan menjual korban kepada laki-laki hidung belang melalui aplikasi MiChat.

Awal kemalangan yang dialami korban bermula ketika ia dilaporkan hilang pada 23 November 2023. Upaya pencarian baru membuahkan hasil setelah tiga pekan sejak orang tuanya melaporkan pada 9 Desember 2023. Namun sungguh mengenaskan, ketika ditemukan gadis itu telah menjadi korban perdagangan orang. Ia ditemukan di sebuah apartemen di Kota Bandung. Dua pria dewasa ikut diamankan dan ditengarai telah menyetubuhinya.

Sebagai seorang ibu, tak sanggup rasanya melihat kejadian tersebut dialami oleh gadis cilik yang bahkan bisa jadi belum baligh. Sangat menyayat hati dan menyedihkan! Bisa dibayangkan bagaimana masa depannya kelak. Belum lagi rusaknya kondisi fisik dan kejiwaan yang dialami oleh gadis cilik tersebut. Bagaimana ia kelak merangkai asa dan cita-citanya?

Melihat  apa yang sudah dialami gadis cilik tersebut, maka harus dipastikan ia mendapat perawatan medis yang mencukupi. Selain itu, pendampingan ahli semacam psikolog atau psikiater juga sangat diperlukan untuk menyembuhkan luka batinnya. Tenaga ahli yang mendampingi sebisa mungkin memastikan mental si gadis mampu untuk menghadapi tekanan sosial. Dari penyembuhan luka batin ini juga diharapkan akan membantunya merangkai masa depan yang masih terbentang panjang. Harapannya, minimal dia bisa kembali beraktivitas di Masyarakat, bisa bersekolah dan bermain dengan teman-teman sebayanya.

Peran Keluarga

Kita tentu berharap generasi penerus kita adalah generasi yang terjaga dan selamat dari tindak kejahatan. Keluarga sebagai tempat awal hidupnya mempunyai peran yang cukup penting dalam pembentukan generasi. 

Orang tua, baik ayah maupun ibu harus bekerja sama dalam mendidik putra-putrinya. Ayah sebagai kepala keluarga tidak boleh berlepas tangan dan hanya memfokuskan untuk mencari nafkah. Bisa diibaratkan ayah adalah nahkoda kapal yang mengarahkan akan ke mana kapal ini berlayar. 

Selain membimbing istrinya, ibu dari anak-anaknya, ayah juga ikut terjun langsung membina anak-anaknya. Keterlibatan ayah dengan karakter kepemimpinan dan sifat tegasnya akan menjadikan anak-anak mempunyai sikap mandiri dan kepercayaan diri yang baik.

Berbicara peran ibu, semua pasti sepakat bahwa ibu mempunyai peranan yang sangat besar. Ibu sebagai pendidik pertama dan utama harus mempunyai bekal yang cukup untuk mendidik anak-anaknya. Ibu sebagai pendidik generasi sangat dibutuhkan dalam mendidik putra-putrinya dengan bekal akidah dan tsaqafah Islam yang mencukupi. Dengan bekal yang diberikan ini, diharapkan generasi memiliki kerangka pemahaman yang memadai sehingga dia bisa memilih mana yang benar dan mana yang salah. Dia tidak akan mudah tergerus dalam arus sekularisme dan hedonisme. Generasi yang dibentuk juga akan memiliki jati diri Islam yang kuat serta berkepribadian Islam.

Peran Masyarakat dan Negara

Keluarga sebagai penjaga awal generasi tidak bisa berjalan sendiri. Penjagaan generasi juga perlu didukung oleh lingkungan dan negara. Lingkungan, dalam hal ini masyarakat bisa menjaga generasi dengan melakukan amar makruf nahi munkar. Masyarakat dibiasakan saling mengajak kepada kebaikan dan mencegah jika ada kemungkaran sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah saw. dalam hadis yang artinya:

 “Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)

Lalu, bagaimana jika terjadi kemungkaran? Di sinilah peran negara sangat dibutuhkan, yaitu negara yang menerapkan Islam secara kaffah atau negara khilafah. Negara khilafah ini akan memberi sanksi kepada pelaku kemaksiatan dengan sanksi sesuai hukum Islam. Pada kasus di atas, para pelaku perdagangan anak akan dihukum sesuai jenis kemaksiatan yang dilakukan.

Khilafah juga akan melakukan pencegahan terjadinya kemaksiatan. Dia akan memastikan keamanan dan kehormatan perempuan tetap terjaga ketika menjalankan aktivitas keseharian. Semua hal yang mengarah kepada kemaksiatan akan dihilangkan. Tidak hanya perempuan, semua individu warga negara pun akan dijaga keselamatannya.

“Imam/khalifah itu laksana penggembala, dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]


Oleh: Erlina YD  
(Tim Editor Tinta Media)

Minggu, 31 Maret 2024

Kerusakan Moral Generasi Buah Busuk Sistem Pendidikan Sekuler

Tinta Media - Kualitas generasi makin kesini makin ngeri, miris dan was-was. Kehidupan remaja saat ini begitu dekat dengan tindak kriminal. Pastinya usia muda  yang semestinya menjadi usia cemerlang  dalam karakter akhlak prestasi dan kebaikan, kondisinya justru sangat kontradiktif dengan fakta hari ini. Seperti dengan adanya beberapa waktu lalu diberitakan seorang pelajar SMP berusia 15 tahun di Kabupaten Lampung Utara Sabtu (17/02/2024) menjadi korban pemerkosaan yang dilakukan oleh 10 orang. Korban ditemukan dalam kondisi  mengenaskan di sebuah gubuk.  Ada lagi kejadian Perang Sarung, Sabtu 16 Maret 2024. Lokasi pertama terjadi di jalan Gandaria Kelurahan Kacang Pedang Pangkal Pinang.

Pemuda adalah generasi penerus peradaban. Sebagai aset pemuda wajib di jaga, di lindungi  dan di bina. Memiliki pola pikir dan pola perilaku yang benar.

Sayangnya generasi saat ini mengalami kerusakan yang  begitu parah hingga banyak menjadi pelaku ragam kejahatan. Rusaknya generasi tidak bisa di lepaskan dari peran pendidikan sebagai mana yang dirasakan bersama bahwa kurikulum pendidikan saat ini berasas pada sekularisme (akidah yang memisahkan agama dari kehidupan).

Fitrah manusia terikat dengan aturan Sang Pencipta. Ketika di pisahkan dari kehidupan niscaya menghasilkan kekacauan yang luar biasa hebat. Pendidikan saat ini telah terbukti gagal mencetak generasi yang berkualitas. Generasi hanya dididik pandai dan cerdas dalam ilmu alat namun minim dalam keimanan dan akhlak. Maka lahirlah generasi yang memiliki moral yang bejat meski masih duduk di bangku  SMP atau SMA. Mereka menjadi pribadi kriminal seperti pemerkosaan atau pun pelaku tawuran.

Semua terjadi karena tidak ada rasa takut terhadap dosa dan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan lingkungan mempengaruhi kualitas pembentukan kepribadian generasi. Perilaku individualis dan liberalis menjadi sarana bagi generasi untuk berbuat kemaksiatan, sebab tidak ada nasehat antara sesama dan pembinaan atas nama  kebebasan perilaku.

Tayangan konten kekerasan dan seksual menjadi bahan konsumsi sehari-hari maka wajar  menjadi pemuda perusak dan gemar melakukan kerusakan.

Berbeda ketika di atur dengan sistem Islam yang di tetap kan secara praktis oleh negara Islam. Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak memisahkan aturan Allah dari kehidupan. Mewajibkan agar semua hal dikaitkan dengan aturan Allah. Mewujudkan generasi  membutuhkan sistem yang mendukung. Tanpa sistem ini segala upaya yang dilakukan akan menghambat lahirnya generasi  berkualitas. Oleh karenanya menyelamatkan dan melindungi generasi dari kerusakan hanya bisa di lakukan dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh.

Negara Islam adalah sebagai instansi yang menerapkan hukum Allah. Islam memandang generasi sebagai sebuah aset peradaban. Islam memerintahkan negara berperan untuk menjaga, mendidik dan membentuk generasi berkualitas.

Negara menerapkan  sistem pendidikan Islam yang berasas aqidah Islam. Bertujuan mencetak generasi yang memiliki kepribadian  Islam. Menuntun generasi memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai dengan syariat Islam. Standar mereka bukan lagi kepuasan namun ridho Allah, ikhlas dan bersabar mengamalkan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang di larang Allah. Dan berupaya terus menerus berlomba dalam amal shalih bersemangat meninggalkan  kemaksiatan.

Islam menentukan metode pengajaran  talqiyan fikriyan. Metode ini menjadikan semua ilmu yang diajarkan pada anak didik di arahkan untuk membangun pemahamannya tentang kehidupan sekaligus menjadi landasan sikap dan perilaku. Selain itu semua ilmu diajarkan dan diarahkan untuk mencerdaskan akal dan meningkatkan taraf berpikir. Sehingga kaum Muslimin mampu menyelesaikan masalah kehidupan. Islam melarang semua  tayangan yang merusak seperti konten porno, kekerasan dan sejenisnya. Konten yang boleh dikonsumsi  seputar edukasi syariat Islam, berita sehari-hari, perkembangan sains dan teknologi. Wallahu a'lam bish shawwab.

Oleh: Ummu Nifa (Sahabat Tinta Media)

Minggu, 17 Maret 2024

Stop Bullying, Selamatkan Generasi


Tinta Media - Asas pendidikan yang di terapkan oleh pemerintah saat ini adalah sekularisme yang menjauhkan agama dari kehidupan. Alhasil anak hanya menerima maklumat tentang materi pelajaran. Anak-anak hanya dijejali aneka materi pelajaran tanpa di bentuk menjadi orang yang bertakwa dan juga tidak mendapatkan pendidikan terkait baik dan buruk dalam bertingkah laku. 

Dan buah dari rusaknya sistem sekularisme ini adalah semua bisa menjadi pelaku kejahatan tidak terkecuali orang yang berstatus pelajar baik itu pelajar laki-laki maupun pelajar perempuan. Seperti kasus perundungan yang baru baru ini terjadi di Kota Batam Kepulauan Riau. Viralnya video yang menunjukkan aksi bullying pada dua orang remaja perempuan dan ternyata ke empat  pelaku perundungannya adalah remaja perempuan dan merupakan teman korban. Sungguh sangat miris karena di sistem sekarang anak merasa bebas untuk berbuat sesukanya tanpa ada rasa takut terhadap dosa dan azab neraka. 

Anak adalah anugerah dan anak merupakan amanah dari Allah SWT yang seharusnya kita jaga dan kita didik serta di bekali dengan ilmu-ilmu agama. Tapi pada saat ini sulitnya ekonomi menjadi beban bagi para orang tua. Tidak sedikit ibu pun ikut andil dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan demikian para orang tua tidak bisa menjalankan fungsi pengasuhan secara optimal . 

Dengan para orang tua yang sibuk bekerja sehingga pendidikan hanya di serahkan saja kepada pihak sekolah tanpa ada lagi  pendampingan itu sudah menjadi salah satu faktor penyebab anak-anak melakukan tindakan kejahatan. Di tambah lagi faktor lingkungan/masyarakat yang tidak adanya pembiasaan menyerukan kebaikan dan mencegah kerusakan serta cenderung individualis. Dan Negara juga termasuk faktor utama dalam kerusakan generasi sekarang ini. Komitmen negara yang tampak masih kurang dalam memberantas segala hal yang merusak generasi bahkan perangkat hukum di negeri ini yang belum memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. 

Berbeda hal jika sistem yang dipakai adalah sistem Islam. Di dalam Islam peran orang tua yang harus mendidik anak-anaknya menjadi hamba Allah yang taat dan berperilaku yang baik. Juga peran lingkungan / masyarakat yang mau peduli pada sekitar dengan terbiasa melakukan amar makruf nahi munkar. Serta yang terpenting adalah adanya peran negara yang mau menerapkan sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam yang akan membentuk anak sesuai dengan arahan Islam. Negara akan memberi sanksi yang bisa memberikan efek jera bagi setiap pelaku kejahatan. Dan negara pun akan memberi kemudahan baik itu mudah dalam harga, mudah dalam mencari nafkah serta mudah dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas. 

Yuk kita selamatkan anak-anak kita dari rusaknya sistem sekarang dengan terus ber-amar makruf nahi munkar dan memahamkan umat untuk mau menerapkan Islam secara Kaffah. Karena hanya dengan menerapkan sistem Islam kita bisa mencetak anak-anak / generasi yang berkepribadian Islam.


Wallahu a'lam bish shawwab


Oleh: Ummu Arkaan 
Sahabat Tinta Media 

Kamis, 14 Maret 2024

Waspadai Pembajakan Generasi


Tinta Media - Pernah dengar istilah Baby Boomers, Gen X, Gen Y (Millenials), Gen Z, dan Gen Alpha? Untuk sebagian dari kita tentu pernah mendengar istilah-istilah ini. Istilah ini muncul untuk mengelompokkan individu berdasarkan generasi kelahirannya. Hal ini harus diketahui dan dipahami oleh para orang tua saat ini. Kenapa? 

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis sedikit sampaikan terkait pembagian generasi tersebut. Pertama, Babby Boomers merupakan generasi yang lahir pada rentang waktu tahun 1946 – 1964. Kedua, Gen X adalah generasi yang lahir pada rentang waktu tahun 1965 – 1980. Ketiga, Gen Y atau generasi milenial adalah generasi yang lahir pada rentang tahun 1981 – 1996. Keempat, Gen Z merupakan generasi yang lahir direntang tahun 1997 – 2012. Kelima, Gen Alpha adalah generasi yang lahir setelah tahun 2012.

Penulis kemudian berfokus kepada Gen Y, Gen Z, dan Gen Alpha. Kenapa demikian? Karena ketiga generasi inilah yang sejak mulai belajar menulis dan membaca sudah mengenal, beraktivitas, dan berinteraksi dengan memanfaatkan teknologi internet dan media sosial. Ketiga generasi inilah yang kemudian dikenal sebagai Generasi Digital Native. Ini adalah poin pertama untuk menjawab pertanyaan di paragraf pertama di atas.

Tantangan yang sangat besar dihadapi oleh para orang tua, bahkan oleh generasi digital native itu sendiri, seiring masifnya arus dan kemudahan dalam mengakses informasi, gaya hidup hingga pemikiran – ideologi. Jika tidak ada upaya mitigasi dari para orang tua, terutama orang tua muslim, hal ini akan membahayakan identitas generasi digital native muslim. Mereka akan terpalingkan dari identitas mereka sebagai seorang muslim.

Bahaya apa yang mengancam identitas generasi digital native muslim? Penjajahan identitas. Ya! Penjajahan identitas dengan nilai-nilai sekuler dan liberal inilah yang menurut penulis sangat berbahaya bagi generasi digital native. Nilai sekuler dan liberal landasan ideologisnya adalah sekularisme, paham yang memisahkan agama dengan kehidupan. Nilai-nilai inilah yang melahirkan HAM, pluralisme, feminisme, kesetaraan gender, dan moderasi beragama. 

Nilai sekuler dan liberal menginfiltrasi dunia internet dan media sosial tempat generasi ini berinteraksi. Infiltrasi tersebut berupa gaya hidup, hiburan, fesyen, perayaan Valentine dan Halloween, sehingga membuat generasi ini tidak lagi berpikir mendalam di setiap aktivitasnya. Pada akhirnya, melemahkan akal dan keimanan kepada Allah Ta’ala. 

Lemahnya iman mengakibatkan mereka tidak mau terikat dengan aturan syariat. Generasi digital native sebagian bahkan beranggapan bahwa syariat adalah beban yang menghalangi kesenangan yang mereka inginkan. Mereka merasa insecure dengan syariat dan identitas keislamannya. Hal ini juga berdampak pada menurunnya perhatian mereka pada aktivitas menuntut ilmu agama. Akibatnya, mereka tidak bisa lagi membedakan baik dan buruk ataupun terpuji dan tercela karena ketidakjelasan standar yang mereka gunakan. Ini adalah poin kedua menurut penulis.

Poin yang ketiga adalah waspada atas pembajakan generasi penerus kita. Kapitalisme – sekularisme yang dipimpin dunia Barat dengan sangat bagus mengemas penjajahan gaya baru ini. Mereka melontarkan narasi perang melawan terorisme dan radikalisme untuk melawan Islam politik. Mereka mempropagandakan sekularisasi pendidikan, nilai-nilai liberal seperti HAM, pluralisme, feminisme dan kesetaraan gender. Target mereka adalah generasi digital native melalui berbagai programnya. Mereka membajak arah pemikiran generasi ini.

Maka, merebaklah pergaulan bebas, aksi perundungan dan kenakalan remaja, hingga kasus narkoba. Ditambah lagi arus moderasi beragama yang mendorong kuat sekularisasi. Alhasil, mereka memiliki sikap toleran yang kebablasan hingga melanggar aturan agama, bahkan sampai keimanan. 

Pembajakan pemikiran pada generasi ini membuat mereka enggan menerima nilai dan syariat Islam. Sebaliknya, mereka malah mudah menerima nilai dan budaya selain Islam. Inilah yang melahirkan remaja muslim saat ini membela penjajah dan abai dengan penderitaan umat.

Dari sisi pembangunan, generasi digital native ini dilibatkan dengan menggunakan paradigma kapitalisme. Mereka diajak dan didorong untuk menyelesaikan persoalan pembangunan dengan berorientasi pada orientasi materi.

Lalu, bagaimana seharusnya sebagai seorang muslim kita memandang persoalan ini? Tidak bisa tidak, kita harus menjangkau kalangan Generasi Digital Native Muslim ini. Kita harus menyelamatkan mereka dari penjajahan dan pembajakan ini. Karena remaja adalah fase seseorang mencurahkan tenaga dan kemampuan untuk memikul segala beban. Merekalah pemikul panji-panji dakwah selanjutnya.

Kenalkan kembali kepada mereka pemikiran Islam. Bangunkan kesadaran mereka. Bentuk kepribadian mereka menjadi manusia berkepribadian Islam. Kembalikan akal dan kesadaran mereka sebagai hamba Allah agar tidak menjadi korban sekularisme – kapitalisme.

Mereka memang memiliki berbagai kelemahan, tetapi juga memiliki potensi yang besar untuk bisa dioptimalkan. Ini zaman mereka. Kita sebagai orang tua harus berani open mind kepada mereka. Disiapkan atau tidak, merekalah yang akan menanggung risiko zaman.

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara, yaitu masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, keadaan kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum saat sibukmu, dan saat hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR Al-Baihaqi).


Oleh: Syadzuli Rahman
Tenaga Kependidikan Perguruan Tinggi

Minggu, 10 Maret 2024

Menjaga Generasi dari Masalah Bullying dengan Nilai-Nilai Islam


Tinta Media - Bullying atau perundungan adalah masalah sosial yang serius di era digital kita saat ini. Meskipun upaya telah dilakukan untuk menyelesaikannya, kasus bullying yang melibatkan anak-anak malah semakin meningkat. Hal ini terjadi karena sistem dalam masyarakat kapitalis yang tidak mampu memberikan solusi yang pasti.

Namun, Islam memiliki solusi yang sempurna dalam menangani masalah bullying dengan menjaga generasi dalam nilai-nilai Islam, dan melibatkan peran negara, masyarakat, dan orang tua dalam menyelamatkan anak-anak dari ancaman apa pun yang dapat terjadi. Terlebih saat ini kasus bullying dapat terjadi di mana saja, termasuk di lingkungan sekolah dan di luar sekolah.

Beberapa faktor dapat menimbulkan perilaku bullying, seperti sistem pendidikan yang cenderung sekuler dan kurang memperhatikan nilai-nilai agama. Sering kali anak-anak terpapar tayangan televisi yang bebas konten dan menampilkan adegan kekerasan, yang merusak moral dan karakter anak-anak. Selain itu, cara menganggap perilaku nakal pada anak juga menjadi faktor yang memperpanjang kasus bullying. Padahal, untuk membentuk perilaku baik pada anak, seharusnya dilakukan sedini mungkin.

Sistem peradilan anak yang diterapkan saat ini juga menjadi masalah, sebagian besar para pelaku bullying akan dikembalikan ke orang tua mereka dan tidak dikenakan sanksi yang seharusnya. Hukuman yang ringan bisa jadi memberikan dampak pada semakin maraknya kasus bullying, karena dapat memberikan sinyal yang salah kepada pelaku bahwa tindakan mereka dianggap remeh dan tidak berakibat serius.

Islam mempunyai peran penting dalam menangani masalah perundungan. Dalam paradigma Islam menjaga generasi tidak hanya menjadi tugas orang tua dan guru, tetapi juga butuh peran negara dan masyarakat. Dan sebagai agama yang sempurna, sistem yang dibuat pengaturannya juga sempurna. Dalam Islam, terdapat hukum syariat yang menetapkan pertanggungjawaban setiap pelaku atas perbuatannya. Dan Hukum tersebut bertujuan untuk mendidik para pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya.

Terlebih di dalam Islam seseorang seorang muslim yang sudah mengalami baligh, maka orang tersebut tidak akan lagi dianggap sebagai anak-anak. Sebab ia sudah sepenuhnya menjadi orang yang telah mengenal, perbuatan mana yang benar dan mana yang salah, dan telah mendapat  tanggung jawab sepenuhnya untuk menjalankan syariat Islam.

Sehingga kehadiran negara menjadi sangat penting, dalam menyediakan pendidikan yang berlandaskan akidah Islam, sebab selain pendidikan formal, pendidikan agama juga dibutuhkan bagi anak-anak. Sehingga melahirkan individu yang bertakwa serta mencetak generasi yang memiliki visi hidup dan tanggung jawab yang jelas. 

Selain itu, negara juga wajib menciptakan kesejahteraan dalam ekonomi sehingga para orang tua berada dalam perannya yang masing-masing, dan anak-anak tidak merasa kekurangan kasih sayang dan perhatian orang tua khususnya ibu. Selanjutnya negara juga mempunyai peran dalam menyaring tontonan di media, karena negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi generasi dari segala sesuatu ancaman yang hendak terjadi.

Di dalam keluarga, orang tua berperan penting dalam menanamkan akidah sejak dini,  memberikan contoh dan dorongan yang positif kepada anak. Sebagai orang tua, perlu memberikan pengasuhan yang sehat, mencintai anak, dan tidak terlalu memberikan tekanan yang berlebihan kepada anak.
Sehingga membentuk generasi yang baik dengan mempraktikkan nilai-nilai Islam di dalam kehidupan sehari-hari. Sementara peran penting  Masyarakat yaitu dengan menciptakan lingkungan yang kondusif dan jauh dari kekerasan maupun kejahatan.

Islam mempunyai aturan dan ajaran yang sempurna dalam menjaga keutuhan dan keselamatan generasi. Dalam pandangan Islam, nilai-nilai agama yang kuat seperti kasih sayang dan empati sangat ditekankan. Dan sistem Islam yang kental dengan nilai-nilai tersebut merupakan modal utama dalam memberikan perlindungan kepada anak-anak, sekaligus mampu memberikan solusi yang lebih baik dalam mengatasi masalah bullying di masyarakat.

Karena pada dasarnya masalah bullying dapat diatasi dengan ketakwaan individu, masyarakat, dan negara yang kuat. Oleh karenanya menghadirkan Islam dalam kehidupan ini, menjadi suatu keharusan bagi umat manusia. Dan dengan menerapkan sistem Islam yang kaffah niscaya masalah bullying di masyarakat dapat diatasi dengan tuntas dan tidak lagi mengganggu perkembangan generasi di masa depan.

 Wallahu'alam.


Oleh :Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang 

Selasa, 05 Maret 2024

Rusaknya Generasi Akibat Sekularisasi


Tinta Media - Lagi, terungkap kasus pembunuhan sadis yang dialami oleh satu keluarga di Penajam Paser Utara. Seorang remaja berusia 16 tahun yang masih duduk di bangku SMK nekat membunuh satu keluarga yang beranggotakan lima orang menggunakan parang di rumah korbannya. Diketahui, motif pembunuhan didasari masalah asmara dan masalah sepele lain, seperti masalah ayam dan helm yang belum dikembalikan selama 3 hari oleh salah satu korban yang juga merupakan mantan kekasih pelaku.

Mirisnya, setelah membunuh, pelaku juga melecehkan korban dengan memperkosa mantan kekasih dan ibunya. Tidak hanya itu, ia juga ketahuan mencuri tiga ponsel milik korban dan uang tunai sebesar 300 ribu rupiah. Diketahui, sebelum membunuh, ia sempat mengonsumsi miras bersama teman-temannya. (kompas.com, 08/02/2024).

Sungguh miris, berulang kali masyarakat selalu dikejutkan dengan terungkapnya kasus pembunuhan sadis yang dilakukan oleh remaja. Remaja yang seharusnya sedang mempersiapkan masa depan, ternyata banyak yang sedang “sakit” dan terjerumus ke dalam jurang kriminalitas. 

Lihat saja, bagaimana mereka dengan teganya menghilangkan banyak nyawa tanpa ada rasa takut dan penyesalan. Bukankah mereka kaum terpelajar yang sedang dididik untuk menjadi generasi yang berkarakter dan berbudi luhur? Tidakkah mereka menyadari bahwa perbuatannya sangat kejam dan sadis? Sungguh disayangkan, melihat potret generasi hari ini.

Tentu banyak sekali faktor yang mempengaruhinya. 

Pertama, keluarga. Keluarga merupakan kunci utama pembentukan kepribadian pada anak. Kondisi keluarga yang tidak stabil, salah dalam pola asuh anak, kurangnya perhatian orang tua kepada anak, akan menyebabkan terbentuknya kepribadian buruk pada anak. Bahkan, ketika orang tua tidak menanamkan nilai-nilai agama sebagai fondasi dalam diri anak, akan terbentuk juga kepribadian yang jauh dari agama.

Kedua, lingkungan. Lingkungan juga memiliki pengaruh besar dalam pertumbuhan dan  perkembangan anak. Lingkungan yang sehat akan membentuk kepribadian positif pada anak. Namun, saat ini masyarakat kita tidak memiliki lingkungan ideal bagi generasi. Kemaksiatan semakin merajalela, tetapi masyarakat seolah mengabaikannya, misalnya meminum miras pada kasus di atas. Sikap seperti inilah yang menyebabkan tidak adanya aktivitas amar ma’ruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat. 

Ketiga, arus digitalisasi. Tidak dapat dimungkiri bahwa saat ini kita hidup di tengah kemajuan teknologi. Ketika teknologi digunakan untuk hal positif, maka hasilnya pun akan bermanfaat bagi semua kalangan. Namun faktanya, saat ini banyak konten-konten negatif di internet yang sangat berpengaruh, seperti bullying,  pornografi, kekerasan, seks bebas, dll. Parahnya, banyak generasi yang mempelajari dan mempraktikkannya dalam kehidupan. 

Di sisi lain, patut dipertanyakan juga terkait kualitas pendidikan saat ini. Pendidikan yang seharusnya mampu mencetak generasi gemilang, melahirkan siswa dengan akhlak terpuji, nyatanya telah gagal dalam mendidik peserta didik. Kegagalan ini yang menyebabkan lahirnya generasi yang tidak bermoral, sadis, keji, bahkan parahnya terlibat pada kasus kriminalitas. Inilah potret betapa bobroknya pendidikan saat ini. 

Kasus di atas tentunya membuat setiap jiwa akan marah dan muak melihatnya. Bagaimana tidak, banyak kasus serupa terjadi setiap harinya. Hal ini tidak lain akibat sistem sanksi saat ini juga tidak memberikan efek jera bagi pelaku. Hukum dan UU yang ada nyatanya tidak mampu membuat pelaku takut melakukan tindakan keji.

Apalagi, saat ini terdapat syarat usia untuk menjatuhi hukuman kepada pelaku kriminal. Jika orang tersebut masih “di bawah umur”, maka mereka merasa “terlindungi”. Padahal mereka seharusnya sudah cukup umur dalam menilai perbuatan benar atau salah. Bahkan, sudah mengetahui konsekuensi atas perbuatan yang dilakukan.

Maraknya peristiwa-peristiwa kejam dan sadis ini tidak lain akibat dari penerapan sistem sekularisme dalam kehidupan. Sistem ini memisahkan peran agama dari kehidupan, membuat individu merasa bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan, tidak peduli apakah tindakannya benar atau salah dalam sudut pandang agama. 

Mereka merasa puas melampiaskan hawa nafsu, sekalipun itu adalah perbuatan yang keji dan sadis. Maka, wajar jika banyak lahir generasi-generasi rusak akibat arus sekularisasi ini.

Pendidikan pun tidak luput dari paham sekuler ini. Pendidikan yang seharusnya mampu membentuk karakter terpuji pada generasi, nyatanya hanya fokus pada aspek materi saja. Mata pelajaran agama hanya dipelajari pada aspek ibadah ritual saja. Wajar jika pelajaran agama tidak meninggalkan efek mendalam pada siswa, apalagi dijadikan sebagai fondasi dalam bertindak, karena yang jadi fokus sebatas belajar untuk memperoleh nilai.

Berbeda dengan sistem sekularisme, Islam memandang generasi sebagai pemain utama dalam pengukir peradaban. Lihat saja, bagaimana hebatnya para generasi Islam terdahulu. Banyak dari mereka yang menghasilkan karya-karya yang luar biasa, bahkan dapat kita rasakan manfaatnya hingga hari ini. Hal ini tidak lain karena Islam mendidik generasi berdasarkan akidah Islam dan dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk penerapannya.

Keluarga atau orang tua memiliki peran penting dalam mendidik anak. Mereka adalah tempat pendidikan utama bagi anak. Maka, wajib bagi mereka untuk mendidik anak-anaknya berdasarkan akidah Islam. 

Ketika mereka menanamkan akidah Islam sejak dini, anak akan mampu menilai perbuatannya berdasarkan Islam semata, karena mereka paham bahwa terdapat konsekuensi atas setiap perbuatannya dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. 

Kemudian, penting juga untuk menciptakan masyarakat yang kondusif berdasarkan akidah Islam, yaitu masyarakat yang selalu melakukan aktivitas amar ma'ruf nahi munkar. Hal ini dilakukan untuk mencegah menjamurnya tindak kejahatan dan kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat. 

Di samping peran orang tua dan masyarakat, penting juga bagi negara untuk terlibat di dalamnya. Negara memiliki peran strategis bagi terciptanya kondisi ideal bagi rakyat, karena hanya negara saja yang mampu menerapkan aturan bagi seluruh rakyatnya. Maka, dalam hal ini negara wajib menyelenggarakan sistem pendidikan berdasarkan akidah Islam. Penerapan kurikulum ini akan melahirkan generasi yang berkepribadian Islam, yaitu generasi yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam. Dengan demikian, akan terbentuk generasi gemilang yang bertakwa kepada Allah Swt.

Di samping itu, Islam juga memiliki mekanisme untuk mencegah kejahatan. Salah satunya dengan mengharamkan miras (khamr) yang merupakan induk kejahatan. Hal ini karena khamr dapat merusak akal, jiwa, raga, dan harta peminumnya dan telah terbukti sebagaimana kasus di atas. 

Islam akan menerapkan sistem sanksi yang tegas bagi siapa pun yang melakukan pelanggaran. Dengan begitu, masyarakat tidak akan berani melakukan hal serupa, karena sistem sanksi Islam akan memberikan efek jera bagi siapa pun yang melakukan tindak kejahatan. 

Sungguh, hanya penerapan aturan Islam saja yang mampu memberikan solusi atas setiap permasalahan saat ini. Maka, inilah tugas kita bersama untuk terus berdakwah menyeru kembalinya penegakan aturan Islam dalam kehidupan.


Oleh: Aryndiah,
Akitivis Muslimah

Minggu, 03 Maret 2024

Waspada, Kemiskinan Ekstrem Semakin Mengancam Generasi!


Tinta Media - Kemiskinan ekstrem, atau kemiskinan absolut tengah melanda dunia. Merujuk pada definisi yang dibuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kemiskinan ekstrem adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan primer manusia, seperti makanan, air minum bersih, fasilitas sanitasi, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal dan informasi. Kondisi (kemiskinan) ini tidak hanya bergantung pada pendapatan, tetapi pada ketersediaan jasa. Kondisi ini juga berdampak pada kehidupan generasi yang ada. 

Setidaknya, terdapat 1,4 miliar anak di seluruh dunia yang saat ini tidak memiliki akses pelindungan sosial apa pun. Mengutip dari laman kumparan.com (15/02/24), ini merupakan anak di bawah usia 16 tahun berdasarkan data dari lembaga PBB dan badan amal Inggris Save the Children. 

“Secara global, terdapat 333 juta adan yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 2,15 dolar AS (Rp33.565) per hari, dan hampir satu miliar anak hidup dalam kemiskinan multidimensi,” kata Direktur Global Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial UNICEF, Natalia Winder Rossi, dikutip dari Antara, Kamis (15/2). 

Tak adanya akses perlinsos ini menyebabkan anak-anak rentan terkena penyakit, gizi buruk, dan terpapar kemiskinan.

Kemiskinan ekstrem yang melanda dunia, termasuk Indonesia merupakan satu dari sekian banyak masalah yang menghantam umat saat ini. Pemerintah Indonesia sendiri memperkirakan di penghujung masa pemerintahan Presiden Jokowi, yakni tahun 2024 ini, bisa terjadi lonjakan kemiskinan secara drastis. Hal ini dikarenakan basis perhitungan penduduk miskin yang digunakan secara global berbeda dengan yang digunakan pemerintah selama ini.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan bahwa selama ini pemerintah menggunakan basis perhitungan masyarakat miskin ekstrem dengan garis kemiskinan sebesar US$ 1,9 purchasing power parity (PPP) per hari. Padahal, secara global sudah US$ 2,15 PPP per hari. 

Suharso menjelaskan bahwa dengan basis perhitungan itu saja pemerintah harus mengentaskan 5,8 juta jiwa penduduk miskin hingga mencapai nol persen pada 2024. Ini setara dengan 2,9 juta orang per tahunnya. 

Sementara itu, bila basis perhitungan orang yang bisa disebut sebagai miskin ekstrem dengan perhitungan secara global, yakni US$ 2,15 PPP per hari, maka pemerintah harus mengentaskan 6,7 juta orang penduduk miskin hingga 2024, atau 3,35 juta orang per tahunnya. Dikutip dari cnbcindonesia.com (15/07/23) 

Fakta di atas menjadi bukti bahwa negara saat ini telah gagal menjamin kesejahteraan masyarakat dan generasi. Padahal, negara ini adalah negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA), tetapi sayangnya potensi SDA yang ada tidak mampu menyejahterakan rakyat akibat salahnya sistem aturan yang diterapkan. Oleh karena itu, umat butuh solusi tepat untuk keluar dari kemiskinan sistemik ini. 

Akibat Penerapan Ekonomi Liberal

Kemiskinan ekstrem yang masih menjadi problem dunia menandakan adanya persoalan sistemik yang sedang dihadapi dunia, termasuk Indonesia. Kemiskinan yang disebabkan permasalahan ekonomi hanya masalah cabang. Adapun yang menjadi akar masalah dari seluruh problematika umat saat ini adalah akibat digunakannya sistem kapitalisme yang berdiri di atas asas sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan manusia. Manusia merasa bebas membuat aturannya sendiri tanpa campur tangan Tuhan. 

Kemiskinan yang ada saat ini merupakan hasil penerapan ekonomi liberal, yang memberikan kebebasan bagi para pemilik modal untuk menguasai kekayaan SDA. Harta yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat, saat ini justru masuk ke dalam kantong para oligarki. Adanya keberpihakan negara sebagai pembuat aturan kepada para kapitalis merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem ini. Negara dalam kapitalisme hanya menjadi regulator demi kepentingan pemilik modal. 

Sistem ini juga menjadikan negara mengabaikan peran dan kewajibannya terhadap rakyat. Tiadanya jaminan kebutuhan dasar menjadikan hidup masyarakat dan generasi semakin sulit. Alhasil, masyarakat dan generasi saat ini mengalami problematika kehidupan yang begitu kompleks, termasuk dengan adanya masalah kemiskinan ekstrem. Dampaknya, anak akan mengalami banyak problem kehidupan yang akan berpengaruh pada nasib dunia pada masa yang akan datang. Ditambah lagi, perlindungan sosial negara hari ini ibarat tambal sulam ala sistem ekonomi kapitalisme, yang tak akan membuat generasi sejahtera.

Lihatlah, banyak terjadi pengangguran, kemiskinan, generasi bergizi buruk, biaya pendidikan, dan layanan kesehatan yang mahal! Akibatnya, tingkat kriminalitas pun meningkat. Hal ini menjadi bukti bahwa negara telah gagal menjamin kesejahteraan rakyat.

Islam Menjamin Kesejahteraan Umat

Islam bukan hanya sekadar agama ruhiyah semata, melainkan juga sebagai sebuah ideologi yang mampu menyelesaikan segala permasalahan generasi, termasuk kemiskinan ekstrem yang mengancam. Islam memiliki sistem kehidupan praktis yang dapat diterapkan dalam sebuah institusi negara yang bernama Khilafah. Khilafah akan memberikan jaminan kesejahteraan pada rakyat, termasuk dalam sistem ekonomi. 

Berbeda dengan sistem kapitalisme sekuler yang memisahkan kehidupan dengan agama, Islam justru menjadikan hukum-hukum Allah sebagai sumber hukum dalam membuat aturan di setiap aspek kehidupan. Dalam sistem ekonominya, Khilafah akan menggunakan sistem ekonomi Islam, menerapkan konsep kepemilikan sesuai syariat, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. 

Dalam Islam, individu tidak boleh menguasai harta kepemilikan negara (seperti usyur, jizyah, kharaj, ghanimah, dan sejenisnya) dan kepemilikan umum (misalnya SDA). 

Tak ada istilah privatisasi SDA, ataupun penguasaan SDA oleh individu atau korporasi sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme sekular. Ini karena kaum muslim diperbolehkan berserikat dalam tiga hal, sebagaimana hadis Rasulullah shallallahu alaihi wassalam yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad, 

"kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api." 

Negara akan mengelola SDA secara mandiri yang hasilnya akan dimasukkan ke dalam pos kepemilikan umum di baitul mal. Pos tersebut diperuntukkan bagi kepentingan rakyat, misalnya membangun infrastruktur, menjamin layanan kesehatan, dan pendidikan sehingga rakyat bisa menikmatinya secara cuma-cuma. 

Selain itu, pengelolaan SDA secara mandiri oleh negara juga memungkinkan tersedianya lapangan pekerjaan bagi para laki-laki, sehingga tak ada istilah pengangguran yang disebabkan tidak ada lapangan pekerjaan. 

Begitu pun sebaliknya, negara Khilafah tidak boleh melarang individu mengembangkan hartanya. Individu dibolehkan melakukan berbagai bisnis, baik di bidang pertanian, peternakan, maupun di bidang ekonomi yang dibutuhkan masyarakat. Khilafah juga akan menggunakan mata uang dinar-dirham yang distandarkan pada emas. Ini yang akan menjadikan mata uang dalam Khilafah tetap stabil.

Adanya kemandirian negara Khilafah dalam sistem ekonomi akan membuatnya kuat berdiri sendiri tanpa perlu mengekor pada kebijakan ekonomi negara mana pun di luar Khilafah. Mekanisme inilah yang membuat ekonomi dalam Islam kuat terhadap potensi krisis. 

Dengan begitu, Khilafah juga akan menjamin kebutuhan dasar masyarakat dengan sebaik-baiknya karena Khalifah berfungsi sebagai pengurus seluruh urusan umat (ri'ayah suunil ummah). 

Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw. yang artinya: 

"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al Bukhari)

Oleh karenanya, negara Khilafah wajib bertanggung jawab mengurus seluruh urusan umat. Di antaranya, yaitu menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat berupa pendidikan berkualitas, layanan kesehatan yang mudah diakses, dan keamanan bagi seluruh rakyatnya. Dengan begitu, masyarakat dan generasi akan terpenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papannya.

Demikianlah mekanisme Khilafah dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan ekstrem yang mengintai generasi. Namun, itu semua hanya akan terealisasikan ketika syariat Islam diterapkan dalam bingkai negara Khilafah Islamiyah. Oleh karenanya, memperjuangkan penegakannya adalah sebuah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin. Wallahu a'lam bi ash-shawab.


Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I
(Pemerhati Sosial dan Media)

Negara Abai Nasib Bayi, Bagaimana dengan Generasi?

                                   

Tinta Media - Diberitakan oleh kompas.com pada 23 Februari 2024 bahwa polisi telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) terhadap seorang bayi yang baru saja dilahirkan di Tambora, Jakarta Barat. Salah satu tersangka kasus tersebut adalah ibu dari bayi yang diperjualbelikan tersebut. Ketiganya dijerat pasal 76i juncto Pasal 88 dan atau Pasal 76F juncto Pasal 83 UU RI nomor 35 tahun 2014, tentang perubahan atas UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan atau pasal 2 dan 5 UU RI nomor 21 tahun 2007 tentang TPPO, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 10 tahun. 
         
Sang ibu mengaku, bahwa ketika ia tidak mampu membiayai persalinan buah hatinya di sebuah rumah sakit, kedua orang tersangka lainnya datang dengan menawarkan akan memberikannya uang sebesar Rp 4.000.000 untuk biaya persalinan dengan kemudian mengadopsi anaknya tersebut. Keduanya adalah sepasang suami istri yang memaksudkan adopsi tersebut untuk membesarkan dan merawat bayi tersebut. 
         
Namun, setelah memberi uang muka sejumlah Rp1.500.000 keduanya tidak kembali mengirimkan sisa uang yang dijanjikan. Oleh karena itu sang ibu kemudian melaporkan kedua orang tersebut kepada kepolisian. Dan setelah itu, terbongkar banyak kasus TPPO terhadap 4 bayi lainnya yang telah dilakukan sebelumnya oleh sepasang suami istri tersebut di daerah Karawang dan Bandung. 

Generasi adalah Tonggak Peradaban
        
Sungguh miris realitas nasib ibu dan anak pada zaman ini. Kebutuhan rakyat termasuk ibu dan anak dijadikan komoditas oleh sekelompok orang yang didukung oleh negara. Seperti dalam kasus ini, harga biaya administrasi persalinan yang amat mahal bagi rakyat kecil. Hingga tidak sedikit ibu yang kehilangan naluri keibuannya dan terpaksa merelakan buah hati yang baru saja dilahirkannya demi segepok uang untuk melunaskan administrasi persalinan.
Kini, kehamilan dan kelahiran seakan menjadi beban keluarga. Banyak orang tua yang terpaksa menitipkan bayinya ke panti asuhan untuk sementara waktu atau merelakan anaknya untuk diadopsi sepanjang waktu. Bayi tak berdosa terpaksa menanggung pahitnya kehidupan, ikut menanggung sulitnya ekonomi keluarga. Ada yang berakhir bahagia dalam asuhan keluarga pengadopsi, ada pula yang berakhir menjadi komoditas untuk dilukai. Bukankah ini menjadi tugas besar bagi negara? Bukan hanya kesalahan seorang ibu atau bapak yang tidak mampu membayar biaya persalinan.

Padahal, anak yang mendapat perawatan dan pendidikan secara terpadu pun tentu akan menjadi generasi sehat, berprestasi dan bermoral yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Menciptakan kemajuan teknologi-teknologi canggih, Menghasilkan penemuan-penemuan ilmu baru, dan mengubah pola pikir masyarakat dengan menjadi orang yang berpengaruh atau influencer. Dengan kata lain, anak-anak tersebutlah generasi yang menjadi tonggak penerus peradaban. 
Oleh sebab itu, bukankah ketika negara menyadari dan melaksanakan tugas besarnya merawat dan mendidik rakyat, termasuk para ibu-ibu dan terlebih anak-anak akan membawa untung serta manfaat besar bagi negara? Bagi kemajuan teknologinya, peradabannya, sekaligus keharuman namanya. Betapa ruginya negara ini ketika justru melakukan hal sebaliknya. Malapetaka jelas menantinya.

Inilah realitas dari sebuah negara yang menerapkan sistem Kapitalisme. Sistem yang dibangun berdasarkan asas maslahat. Semua perbuatan dianggap sah atau halal selagi tidak melanggar Undang-Undang Konstitusi buatan manusia, makhluk terbatas dan lemah. Penerapan sanksi hanya sebagai formalitas belaka, dan sering kali salah sasaran sebab tidak melihat sebuah kasus dari akar masalahnya. 
         
Berbeda dengan Islam. Islam sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia tentu memiliki aturan yang menjaga fitrah manusia pula. Maka dalam hal ini, seorang ibu yang memiliki fitrah merawat dan mendidik sang buah hati akan dijaga selamanya keberlangsungan fitrah ini. Islam akan mendukung dan membantu agar fitrah ini selalu hidup. 

Maka apabila fitrah seorang ibu ini meredup sebab sulitnya ekonomi untuk merawat sang buah hati, Islam akan dengan sigap memberikan bantuan entah berupa uang tunai atau bantuan secara langsung berupa susu dan kebutuhan bayi lainnya. Islam terjelma menjadi sebuah negara berbasis akidah Islam, yakni Daulah AL-Khilafah Al-Islamiyyah. Negara akan sigap memberikan pelayan persalinan secara cuma-cuma kepada para ibu yang kurang mampu. 
Tidak hanya itu, Islam juga akan menjaga kewajiban seorang bapak yakni bekerja keras menafkahi keluarganya. Karena dalam kasus ini, ternyata penyebab utama sulitnya ekonomi disebabkan oleh bapak yang menjual anaknya tersebut tidak memiliki penghasilan sebab PHK. Maka, seorang bapak yang tertimpa musibah PHK akan diberikan lapangan pekerjaan oleh daulah, sesuai dengan kemampuan bapak tersebut. Tidak selalu lapangan pekerjaan dalam industri. Bisa jadi, sebagai contoh apabila bapak tersebut mampu dalam mengelola tanah, ia akan diberikan sebidang tanah milik negara agar bapak tersebut bisa menafkahi keluarganya dari hasil kerja kerasnya bercocok tanam. 

Demikianlah pengaturan Islam terhadap kasus tersebut dan kasus serupa yang dilaksanakan oleh Daulah Khilafah. Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan kebutuhan manusia. Maka dari itu, penerapannya sangat fleksibel, mampu sesuai dengan zaman dan tempat. Karena pada nyatanya, fitrah dan kebutuhan hakiki manusia tidak pernah berubah bahkan dari zaman manusia diciptakan pertama kali, yang membedakan hanya bentuk kehidupan manusia yang sama sekali tidak mengubah pandangan hidupnya. 

Dan termasuk pada zaman ini, di mana bentuk kehidupan manusia semakin beragam, Islam tetap mampu memberikan solusi terhadap ribuan problematika yang ada. Mari wujudkan kembali Islam di dalam kehidupan kita, dalam pengelolaan politik, kesehatan, ekonomi, dan seluruh aspek yang ada. Agar keberadaannya mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin. Wallahu a’lambish-showab

Oleh: Diajeng Annisaa 
(Aktivis Muslimah)       

Sabtu, 02 Maret 2024

Potret Buram Generasi Muda Indonesia



Tinta Media - Beberapa kasus tindak kriminalitas yang dilakukan oleh generasi muda saat ini semakin meningkat. Bukan hanya sekedar terkait pergaulan muda-mudi yang semakin bebas, tapi juga beberapa aksi kriminalitas yang meresahkan. Bahkan yang terbaru seorang remaja laki-laki usia 16 tahun menjadi pelaku pembunuhan satu keluarga di Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur (Kaltim). Aksi keji tersebut dilakukan diduga lantaran adanya sakit hati serta dendam terkait asmara. Lebih dari itu remaja tersebut juga dengan tega memperkosa salah satu korbannya. Akibat perbuatannya, pelaku terancam mendapatkan hukuman mati.

Tentunya kasus ini menambah potret buram perkembangan generasi muda bangsa saat ini. Disaat bangsa ini membutuhkan perubahan terhadap kondisi yang ada, kasus tersebut justru semakin menjauhkan harapan bangsa terhadap generasi muda. Selain itu, hal ini juga menambah potret buram gagalnya sistem pendidikan Indonesia dalam mewujudkan peserta didik sebagai harapan generasi penerus bangsa yang berkepribadian akhlakul karimah. 

Kasus kriminalitas dilakukan generasi muda bukan kali ini saja terjadi, namun terus berulang setiap waktunya. Tentunya kejadian kriminalitas yang terus berulang, menunjukkan adanya kelemahan terhadap sanksi hukum yang diberlakukan. Tidak adanya efek jera ditengah-tengah masyarakat, menjadikan kasus-kasus kriminalitas akan selalu ada dan tidak mampu mencegah individu dalam melakukan aksi kejahatannya. Sistem aturan kapitalis liberalis yang memberikan kebebasan setiap individu masyarakat dalam menjalankan kehidupannya menjadikan generasi muda terjebak dalam derasnya pergaulan bebas yang diiringi dengan barang terlarang seperti narkotika, minuman keras sampai seks bebas. Aturan agama yang sekian lama ditinggalkan, semakin menambah jejak-jejak setiap individu untuk melakukan perbuatan buruknya.

Sehingga hal tersebut harusnya menjadi evaluasi pemerintah untuk memperbaiki sistem aturan bernegara yang ada saat ini. Bukan hanya terkait satu aspek saja tapi juga menyeluruh, agar solusi yang diberikan bukan solusi tambal sulam. Negara berkewajiban menjamin terlaksananya sistem kehidupan yang terbaik, mulai dari sistem pendidikan sampai sistem berkehidupan. Sistem pendidikan yang mampu mencetak generasi muda sebagai penerus bangsa yang diharapkan, sistem sanksi hukum yang mampu mencegah kembalinya kejahatan untuk berulang dan mengembalikan serta memastikan setiap individu untuk kembali pada aturan agama sehingga terbentuklah individu-individu masyarakat yang bukan hanya taat pada aturan negara namun beriringan terhadap aturan agama. Utamanya generasi muda saat ini yang semakin jauh dari aturan agama dan negara, maka terbentuklah para generasi bangsa yang diharapkan.

Oleh: Putri YD
Sahabat Tinta Media
Follow IG@tintamedia.web.id

Opini Tokoh

Parenting

Tsaqofah

Hukum

Motivasi

Opini Anda

Tanya Jawab