SOLUSI CERDAS DESA WADAS DAN HADIAH SEPOTONG TULANG UNTUK GUBERNUR - Tinta Media

Selasa, 15 Februari 2022

SOLUSI CERDAS DESA WADAS DAN HADIAH SEPOTONG TULANG UNTUK GUBERNUR

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1LC5Q1IJrlUKh7g8sMLGweRS5oL2UCToj

Tinta Media - Tangisan anak-anak dan jeritan emak-emak serta teriakan warga Desa Wadas, Purworejo, Jateng, dengan cepat menyebar ke penjuru negeri. Bahkan sampai juga ke telinga pemerintah pusat. Akankah rezim Jokowi mengundang makan siang dan mengajak dialog warga Desa Wadas sebagaimana dilakukannya dulu?

Alih-alih mendapat undangan makan siang dan dialog dengan Presiden Jokowi. Dari Istana justru muncul pernyataan Menkopolhulam Mahfud MD.

Menurut Mahfud, tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan pemerintah. "Penolakan sebagian masyarakat tidak akan berpengaruh secara hukum, karena tidak ada pelanggaran hukum pada acara pembangunan atau penambangan batu andesit di Desa Wadas," kata Mahfud dalam konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam yang disiarkan secara daring, Rabu (9/2/2022).

Di sisi lain, Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso menilai aparat bertindak represif. "Kejadian ini identik dengan tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan aparat pada masa orde baru. Sejumlah personel dengan cukup banyak dikerahkan untuk menggusur rakyat yang tertindas," kata Sugeng dalam keterangan kepada JPNN.com, Kamis (10/2)

Lalu bagaimana semestinya pemerintah menghadapi sikap penolakan warga? Apakah boleh memaksa dengan dalih untuk kepentingan proyek tertentu?

Kita mencoba membandingkan bagaimana sebuah proyek untuk kepentingan rakyat Mesir di masa dulu. Kala itu proyeknya menggusur tanah milik seorang Yahudi tua. Si Yahudi itu kemudian mengadukan kepada Khalifah Umar. Bagaimanakah respon Khalifah Umar? Apakah menyatakan sudah sesuai prosedur dan tidak ada pelanggaran hukum?
Kisah tersebut termuat dalam buku yang berjudul ‘The Great of Two Umars’ bahwa sejak menjadi Gubernur Mesir, Amr ibn al-Ash menempati sebuah istana megah yang di depannya terhampar sebidang tanah kosong dan terdapat gubuk milik seorang Yahudi tua.

Gubernur Mesir kala itu langsung dibawah kepemimpinan Khalifah Umar. Jika disetarakan posisinya mirip dengan Para Sultan di Nusantara sebagai penguasa wilayah kala itu. Saat ini Mesir dipimpin oleh presiden.

Singkat cerita, Sang Gubernur pun memanggil si Yahudi pemilik tanah tersebut. Sang Gubernur menjelaskan rencananya, hendak membangun Proyek Sarana Umum (Masjid). Ia pun meminta Si Yahudi menjual tanah beserta gubuknya. Namun si Yahudi itu menolaknya. Ketika ditawarkan dengan bayaran tiga kali lipat, Yahudi itu tetap menolaknya.

Bahkan ketika ditawarkan hingga lima kali lipat pun si Yahudi tetap tidak mau melepaskan tanahnya. Pernyataannya, Adakah Gubernur atau presiden yang menawarkan hingga lima kali lipat dari harga umum saat ini?

Sebagai Penguasa Mesir kala itu, Sang Gubernur berdalih demi proyek pembangunan sarana umum (Masjid) ia pun tetap melanjutkan pembangunan. Ia mengambil tanah tersebut dan membongkar gubuk Yahudi itu. Si Yahudi pemilik tanah, tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya menangis dan pergi ke Madinah untuk mengadukan Sang Gubernur Amr kepada atasannya, Khalifah Umar di Madinah.

Setibanya di Madinah, si Yahudi itu menghadap Khalifah Umar. Sang Khalifah yang sangat egaliter dan Madani itu menerima si Yahudi di halaman Masjid Nabawi di bawah pohon kurma. Tentu sangat berbeda dengan para pemimpin “zaman now” yang suka bangun istana dan sulit ditemui rakyatnya.

Mendengar pengaduan Si Yahudi yang tanahnya dirampas itu, Khalifah Umar marah besar. “Amr ibn al-Ash sangat keterlaluan!” katanya. Beliau kemudian menyuruh si Yahudi untuk mengambil sepotong tulang dari tempat sampah yang tak jauh dari tempat mereka. Tentu saja, si Yahudi menjadi bingung dengan perintah sang Khalifah yang tak ada hubungannya dengan pengaduannya.

Namun, dia pun mengambil tulang itu dan diserahkan kepada Sang Kalifah. Umar menggores huruf alif dari atas ke bawah, lalu memalang di tengah-tengahnya dengan ujung pedang pada tulang tersebut. Kemudian, tulang itu diserahkannya kepada si Yahudi yang masih bengong tak mengerti maksud Khalifah.

Sang Khalifah hanya berpesan, “Bawalah tulang ini dan berikan kepada Gubernur Amr ibn al-Ash!” si Yahudi bingung dan bertanya, “Maaf Tuan, aku masih tidak mengerti. Aku datang ke sini untuk meminta keadilan, bukan tulang tak berharga ini,” protes si Yahudi.

Khalifah Umar tersenyum. Ia tidak marah lalu menegaskan, “Wahai orang yang menuntut keadilan, pada tulang itulah terletak keadilan yang engkau inginkan.”

Lalu, Si Yahudi itu pulang ke Mesir dan menyerahkan tulang pemberian sang Khalifah itu kepada Sang Gubernur. Begitu Gubernur Amr menerima tulang itu, mendadak tubuhnya menggigil dan wajahnya pucat ketakutan. Si Yahudi itu bingung dibuatnya.

Tiba-tiba Sang Gubernur membuat keputusan ajaib. Ia memerintahkan pada bawahannya untuk membongkar masjid yang ia bangun dan segera membangun kembali gubuk si Yahudi tersebut. Si Yahudi tambah bingung atas keputusan Gubernur itu. Ia pun minta agar masjidnya jangan dulu bongkar. Lalu si Yahudi itu menanyakan, kenapa Sang Gubernur sangat ketakutan dan langsung menyuruh membongkar masjid itu, ketika menerima sepotong tulang dari Khalifah Umar.

Sang Gubernur menjelaskan bahwa tulang itu memang hanya tulang biasa. Namun, karena dikirimkan oleh Khalifah, tulang itu menjadi peringatan keras baginya.

“Ya, tulang itu berisi ancaman Khalifah. Seolah-olah beliau berkata, ‘Hai Amr ibn al-Ash! Ingatlah, siapa pun kamu sekarang dan betapa tinggi pangkat dan kekuasaanmu, suatu saat nanti kamu pasti berubah menjadi tulang yang busuk, karena itu bertindaklah adil seperti huruf alif yang lurus, adil ke atas dan adil ke bawah. Sebab jika kamu tidak bertindak demikian pedangku yang akan bertindak dan memenggal lehermu!”

Si Yahudi itu sangat terharu atas Penjelasan Gubernurnya. Dia sangat kagum atas sikap Khalifah yang tegas dan adil. Dia juga kagum atas sikap Gubernur yang patuh dan taat kepada Khalifahnya. Sungguh mulia dan mengagumkan. Akhirnya si Yahudi itu menyatakan memeluk Islam. Bahkan ia menyerahkan tanah dan gubuknya sebagai wakaf. Tak perlu dibayar lima kali lipat bahkan diserahkan secara gratis. Indah bukan?

Dari kisah tersebut dapat kita tarik beberapa pelajaran:

PERTAMA, Tak boleh sewenang-wenang dengan kewenangan yang dimiliki. Setinggi apa pun jabatan dan pangkat, kelak akan mati dan hanya menjadi tulang belulang. Bahkan sekedar masuk kubur pun masih perlu bantuan orang lain. Ketika dalam kubur pun masih perlu doa yang baik dari orang lain. Bagaimana jika yang datang itu doa keburukan dari orang-orang yang dizalimi?

KEDUA, Tiap Hak dikembalikan kepada yang berhak. Jangankan tanah milik warga desa, milik satu warga pun tetap harus dijaga haknya dan tak boleh dirampas. Belajarlah pada sikap Kahalifah Umar dan Gubernur Amr bin Ash, yang memang hadir untuk melayani rakyat dengan tulus dan sangat takut kepada Allah jika tidak adil. Bukan sekedar pencitraan tapi zalim kepada rakyat.

KETIGA, Rakyat akan mudah berpartisipasi bahkan menyumbangkan miliknya dengan murah hati karena keteladanan para pemimpinnya yang baik hati. Sebagaimana kisah Si Yahudi yang akhirnya menyumbangkan tanahnya secara gratis karena keteladanan para pemimpin. Akankah sejarah berulang, seorang kepala negara mengirim sepenggal tulang pada gubernurnya?

Tentu kita rindu pada para pemimpin yang tulus melayani rakyatnya. Menjaga dan membantu rakyatnya sebagaimana ia menjaga anak dan isterinya. Ia memberi tanpa minta diberi, bahkan sekedar minta dipublikasi. Semua dilakukan demi meraih ridho Ilahi dan mendapatkan balasan diakhirat nanti. Itulah karakter orang yang cerdas. Tabbiiik.

Oleh: Wahyudi al Maroky
Dir. Pamong Institute

NB: Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-04, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-08.

Referensi: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=698870314808338&id=100040561274426
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :