Tinta Media - Peneliti Senior Asosiasi Eonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menilai bahwa negara ini sedang dikangkangi oligarki.
“Negara ini sebetulnya sedang didominasi atau dikangkangi oligarki,” tuturnya dalam acara Diskusi Media Umat: Negara Semakin Tak Berdaya, Ahad (12/2/2022) di kanal Youtube Media Umat.
Menurutnya, oligarki itu berasal dari konglomerat busuk hasil BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) dulu. “Inilah yang sekarang sedang menguasai negara kita,” paparnya.
“Merekalah yang menikmati dana itu (BLBI) membawanya lari keluar, kemudian kembali menguasai aset-aset strategis di negara ini,” imbuhnya.
Salamuddin menilai, oligarki menjadi buffer politik Indonesia yang menguasai politik Indonesia. “Mengendalikan proses perubahan undang-undang, mengendalikan para pejabat negara siapa menjabat di mana, mengendalikan ekonomi perdagangan dan keuangan, karena uang di tangan mereka sangat besar. Apa yang mereka kuasai dari hasil BLBI itu sangat besar,” tandasnya.
“Kenapa saya sebut konglomerat busuk? Karena mereka pengkhianat. Mereka tidak mengabdi pada negeri ini. Mereka bagian dari rezim internasional yang mengendalikan keuangan, perdagangan yang kita punya untuk mengendalikan kepentingan mereka, kelompoknya dan dominasi internasional atas ekonomi kita. Mereka memposisikan rakyat sebagai sasaran eksploitasi,” tegasnya.
Ia mencontohkan, dalam kasus sawit sebenarnya yang terjadi adalah sawit sudah dihadang di pasar Eropa. “Mereka tidak bisa lagi leluasa ekspor ke Eropa karena sawit dikategorikan sebagai sumber utama deforestasi yang menjadi problem masyarakat Eropa dan negara-negara lainnya. Tetapi mereka tidak kehilangan akal, mereka punya kendali terhadap ekonomi Indonesia. Didoronglah Pertamina untuk membuat biodisel dari bahan baku minyak sawit dicampur dengan solar. Jadilah B20. Untuk B20 ini saja Pertamina memerlukan 10 juta ton sawit,” bebernya.
Menurutnya, inilah yang mendorong harga sawit naik lagi, dan Pertamina tetap harus beli sesuai harga pasar. “10 juta ton itu angka yang sangat besar. Kalau harga sawit sekarang 5200 ringgit maka nilainya 170 triliun. Sementara targetnya nanti 30 juta ton untuk menuju B100,” jelasnya.
“Inilah usaha mereka menghadapi pasar Eropa yang tutup. Memainkan BUMN yang ada disini menjadi captive market (pasar tawanan) bagi kelapa sawit,” tukasnya.
Selain menguasai sawit menurut Salamuddin, para oligarki ini juga bermain di batubara. “Mereka memaksa proyek yang 35 ribu mega watt menggunakan batubara. Padahal Indonesia sudah menjadi bagian dari COP 21 Paris yang komitmennya adalah menghentikan pengembangan pembangkit-pembangkit yang tidak ramah lingkungan termasuk batubara,” ujarnya.
“Tapi karena ingin buffer di sini maka ia dorong terus ke batubara. Jadilah sekarang 70% pembangkit kita batubara baik swasta maupun PLN,” jelasnya.
Dilema
Salamuddin menuturkan bahwa sekarang Indonesia menjadi presidensi G20. Indonesia memimpin G20 yang agenda utamanya transisi energi yang mengharuskan penghentian deforestasi. Maka harus menghentikan sawit dan segala turunannya. Harus melakukan transisi energi dari batubara karena kesepakatan di glasgow, batubara harus dihabisi di seluruh dunia.
“Ini akan menjadi dilema besar bagi Indonesia sebagai pemimpin G20. Jadi kita lihat, mana lebih kuat negara sebagai presidensi G20 atau konglomerat busuk bandit sumber daya alam yang lebih kuat,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun