Tinta Media - Jurnalis Joko Prasetyo menilai pengesahan Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) cacat secara prosedural. “Kalau dari sisi bahwa pemerintah mengajukan UU, DPR mengesahkan, bisa dibilang legal. Tapi sebenarnya, cacat secara prosedural,” ungkapnya dalam Bincang Media Umat: Ibu Kota Baru, untuk Siapa? di kanal YouTube Follback Dakwah, Rabu (9/2/2022).
Menurut Om Joy, panggilan akrabnya, semestinya dalam pembuatan UU sebelum disahkan harus ada uji publik dulu. “Semestinya draf UU disampaikan ke rakyat. Biar nanti rakyat yang berkepentingan itu bisa mengujinya. Sehingga nanti bisa dikaji ulang oleh DPR sebelum akhirnya disahkan,” jelasnya.
Jangankan rakyat, Om Joy, mendapat bocoran bahwa anggota DPR mengesahkan tanpa membaca apa yang disahkannya. “Jadi anggota dewan, mereka sendiri walaupun mengesahkan tapi tidak membaca drafnya. Harusnya masing-masing anggota dewan itu kan membaca sebelum mengesahkan. Mungkin ada yang dikritik atau diganti bagaimana? Lha ini pegang drafnya saja enggak, terus langsung .mengesahkan begitu aja,” ungkapnya.
“Semua partai itu langsung setuju, kecuali partai keadilan sejahtera (PKS) saja yang nolak,” tambahnya.
Melihat fakta ini, Om Joy mempertanyakan keberadaan wakil rakyat dan pemerintah. “Apakah benar wakil rakyat ini mewakili rakyat? Apakah benar pemerintah ini mengurusi rakyat?” tanyanya.
Dia menyayangkan ratusan anggota DPR yang mengesahkan UU tanpa dibaca. “Padahal UU itu menyangkut hajat hidup orang banyak. Berdampak pada seluruh rakyat, sekitar 270 juta orang dan dalam jangka panjang, tapi disahkan begitu saja,” tuturnya.
Menurutnya, pemerintah dan anggota DPR sangat mengabaikan rakyat. “Kalau dilihat dari kronologis kenapa buru-buru, sebenarnya mereka sendirilah yang bisa menjawab sampai melanggar UU lain yang seharusnya membuat undang-undang itu ada uji publik dulu,” tuturnya.
Selain UU IKN, Om Joy juga menilai banyak UU bermasalah serius karena hanya berpihak kepada konglomerat/oligarki/kapitalis meskipun merugikan rakyat, di antaranya adalah UU Minerba, UU Cipta Kerja dan UU KPK.
Menurutnya, jika Indonesia tetap menerapkan demokrasi maka masalah itu tentu saja akan terus terulang. Ia menilai, kesalahan fatalnya dari demokrasi itu memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat hukum. “Sistem pemerintahan di Indonesia ini kan demokrasi. Yaitu memberikan kewanangan kepada manusia untuk membuat hukum,” jelasnya.
“Dikatakan kesalahan fatal karena manusia sifatnya terbatas. Kalau diberi kewenangan membuat hukum, mestinya sesuai dengan kepentingan dirinya. Karena dia tidak mampu membuat aturan untuk kebaikan bagi seluruh manusia, itu enggak mungkin pasti sudut pandangnya kepentingan dirinya,” lanjutnya.
Dengan demikian, ia pastikan aturan tidak akan bisa adil. “Wakil rakyat ini manusia, sama dengan rakyat manusia juga. Ketika dia bikin aturan mesti tidak akan bisa adil. Karena mesti akan bertumpu pada kepentingan dirinya,” ujarnya.
Dia membandingkan dengan Islam. “Kalau Islam, jelas pemerintahannya Khilafah. Sistem pemerintahan satu-satunya yang sah dalam Islam. Tugasnya menerapkan seluruh syariat Islam secara kaffah di dalam negeri dan menjadikan dakwah dan jihad sebagai asas politik luar negeri. Itu semua dasarnya perintah dan larangan Allah. Manusia tugasnya menerapkan aturan Allah,” pungkasnya.[] Raras