Tinta Media - Rencana Pemerintah untuk melakukan penambangan batu Andesit di Desa Wadas untuk pembangunan Waduk Bener, dikhawatirkan oleh Reviewer Peta Rencana Tata Ruang Badan Informasi Geospasial, Prof. Dr. Fahmi Amhar dapat membuat mata air mati kalau batu tersebut diambil banyak dan penduduk desa Wadas kehilangan mata pencahariannya sebagai petani.
“Namun kalau batu tersebut diambil, dikhawatirkan banyak mata air mati, dan penduduk desa Wadas kehilangan mata pencahariannya sebagai petani,” tuturnya pada Tinta media, Senin (14/2/2022).
Prof. Fahmi tidak membantah manfaat bendungan Bener yang konstruksinya memerlukan batu dalam jumlah besar yakni 8,5 juta meter kubik. “Bahwa bendungan Bener itu akan bermanfaat mencegah banjir, mengairi ribuan hektar lahan pertanian, membangkitkan listrik, dan menjadi objek wisata baru, tidak ada yang membantah,” jelasnya.
Namun, menurutnya, menambang batu Andesit di desa Wadas yang dianggap termurah, karena cadangannya besar serta lokasinya hanya terpaut sekitar 10 KM, yang terancam bukan hanya penduduk di lahan tambang tapi juga penduduk di luar area tambang.
“Jadi yang terancam bukan cuma penduduk di lahan tambang ataupun yang digenangi bendungan. Mereka asal diberi ganti untung seperti Pertamina Tuban, mungkin mau. Namun penduduk di luarnya, yang tergantung pada air dari kawasan tambang, tak dapat ganti untung, hanya menerima dampak buruknya,” terangnya.
Bagi yang menerima ganti untung pun, menurut Fahmi, itu hanya sekali. Pelajaran di Tuban, banyak yang ketika dapat uang banyak langsung beli mobil. Beberapa bulan kemudian menyesal, karena tak ada penghasilan lagi.
“Kementerian ESDM mengungkapkan bahwa di Desa Wadas tak ada Izin Usaha Pertambangan (IUP). Menurut Walhi, kegiatan pertambangan itu seharusnya dihentikan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Amar putusan itu, memerintahkan menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang strategis dan berdampak luas,” jelas Fahmi.
Menurutnya, sejak ada UU Cipta Kerja, pelibatan masyarakat memang dikurangi. Ijin-ijin lokasi tak perlu amdal. Cukup dengan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR). RDTR juga tak perlu persetujuan DPRD, karena bukan Perda, tetapi Perkada (Peraturan Kepala Daerah). Dan kalau daerah setelah tenggat waktunya tak juga membuat RDTR, pemerintah pusat akan mengambil alih.
“Hari ini, tak semua daerah punya keuangan yang sehat, RDTR rawan dijadikan tambang uang. Indikatornya, persetujuan masyarakat baru diminta saat izin sudah diberikan ke pengusaha. Sulit masyarakat menolak,”sesalnya.
Lalu bila ada yang menolak, lanjutnya, ditangkap dengan tuduhan merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan (pasal 162 UU 4/2009). Pasal 162 UU No 4/2009 semestinya hanya berlaku jika pemegang IUP telah menyelesaikan hak atas tanah dengan pemilik sebelumnya. Tapi tanah sekitarnya yang terdampak, belum termasuk.
Fahmi menjelaskan aturan normatif yang bisa menjadi pijakan untuk menelusuri Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) desa Wadas. “Ada aturan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (amdal) di UU 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” bebernya.
Ia melanjutkan, di UU Cipta Kerja, amdal di UU 26/2006 tentang Penataan Ruang sudah dihapus. Adanya RDTR dianggap cukup. RDTR telah dilengkapi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang dibuat lengkap.
“Tahun 2016 terbit PP 46/2016 tentang KLHS, diikuti peraturan detil tata laksana KLHS yaitu Permen-LHK 69/2017. Mendagri juga menerbitkan Permendagri 7/2018 untuk memandu pembuatan dan pelaksanaan KLHS di RPJMD. Sementara Men-ATR/Ka-BPN menerbitkan PermenATR 1/2018 untuk memandu penyusunan RTRW Provinsi, Kabupaten dan Kota; dan PermenATR 16/2018 untuk memandu pembuatan RDTR dan Peraturan Zonasi,” paparnya.
Maka, lanjut Fahmi, dapat ditelusuri seperti apa KLHS untuk tambang di desa Wadas? Seperti apa RPJMD-nya? Bagaimana dengan RDTR-nya? Apakah masyarakat dilibatkan? Atau cuma oligarki?
“Semua dapat ditelusuri. Pelanggaran berbagai peraturan resmi ini tidak boleh dibiarkan, bila negara ingin berwibawa. Apalagi karena kapitalisme cenderung hanya mencari solusi termurah. Bukan solusi yang adil dan ramah lingkungan,” tegasnya.
Fahmi mempertanyakan, bagaimana bila peraturan resmi itu sendiri yang bermasalah? Seperti UU Cipta Kerja. MK membekukannya dan minta pemerintah memperbaikinya. Namun perbaikannya sejauh mana, belum ada standarnya!
“Yang jelas, jangan karena warga Wadas penentang tambang itu ngumpulnya di masjid, lalu dicari-cari hubungannya dengan radikalisme. Mereka NU dan pendukung Jokowi!,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun