Tinta Media - Sekretaris Jendral Kementrian Perdagangan menginformasikan tentang kenaikan harga kedelai pada Desember 202O sebesar US$ 461 per ton, naik 6% dibanding bulan sebelumnya yang tercatat US$ 435 per tonnya. Menurutnya, kenaikan harga kedelai dunia ini diakibatkan oleh lonjakan permintaan dari Tiongkok kepada Amerika Serikat (AS) selaku eksportir kedelai terbesar di dunia.
Kenaikan permintaan dua kali lipat dari biasanya, mengakibatkan ekspor AS ke negara lainnya terganggu, termasuk ke Indonesia.
Menanggapi hal ini, pengamat kebijakan publik, Emilda Tanjung, M.SI. menyatakan bahwa setiap terjadi kenaikan kedelai dunia, Indonesia pasti ikut terdampak dan menimbulkan meroketnya harga kedelai di dalam negeri, yang akan berdampak pula pada para pengusaha, pedagang, hingga konsumen tahu dan tempe.
Fakta bahwa Indonesia sudah lama menjadi negara importir kedelai karena produksi dalam negeri tidak bisa mencukupi konsumsi masyarakat, menjadikan negeri ini sangat bergantung pada kedelai impor.
Dari 3 jutaan ton konsumsi dalam negeri, hanya 300-400 ribu yang dapat dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Sisanya hampir 90% harus impor setiap tahunnya.
Ada dua faktor pemicu ketidakmampuan Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan kedelai, yaitu:
Pertama, diadopsinya liberalisasi perdagangan sebagai konsekuensi bergabungnya Indonesia dalam WTO, sehingga Indonesia terikat untuk menjalankan kebijakan WTO, di antaranya tentang pengurangan subsidi ekspor, pengurangan subsidi dalam negeri, dan membuka akses pasar.
Hal ini mengarahkan ekonomi pada liberalisasi, dan semakin menguat setelah penandatanganan letter of Intent (Lol) IMF, yang berefek pada penghapusan bea masuk impor sehingga mengakibatkan Indonesia diserbu berbagai produk Impor, termasuk kedelai. Sejak saat itulah produksi kedelai lokal terus menurun, sementara importir swasta bertambah leluasa mendatangkan kedelai dari luar negeri.
Kedua, berkuasanya kepemimpinan berparadigma neoliberal yang cenderung abai mengurusi rakyat. Faktor inilah yang makin memperlemah Indonesia dengan berbagai tekanan global melalui WTO dan IMF.
Pemerintah Indonesia akhirnya tidak serius dalam meningkatkan produktivitas kedelai dalam negeri. Menurut data yang ada, selama kurun dua dekade lebih, tidak ada penambahan luas tanam kedelai, bahkan terus berkurang. Tidak adanya perlindungan harga di tingkat petani, serta upaya pengembangan bibit varietas unggul, menjadikan produksi kedelai dalam negeri terus melesu.
Di sisi lain, pemerintah justru membiarkan mafia impor pemburu rente mencari keuntungan dari impor ini. Hal ini semakin menegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki kedaulatan pangan, tidak memiliki visi kemandirian bernegara, berkuasanya rezim neoliberal, dan sangat jauh dari karakter penguasa yang seharusnya. Karena itu, Indonesia hanya akan mengikuti arahan dan kepentingan kapitalis global, sekalipun merugikan jutaan rakyatnya.
Agar dapat menghentikan ketergantungan pada impor dan mampu mewujudkan kedaulatan pangan, harus hadir pemerintahan yang berdaulat, termasuk dalam kedaulatan pangan, tidak bergantung pada kekuatan kapitalisme global. Hal ini hanya dapat dilakukan jika negeri ini tidak lagi menerapkan sistem kapitalisme sekularisme, dan menerapkan sistem Islam sebagai gantinya.
Melalui penerapan sistem politik Islam yaitu khilafah, akan dijalankan ekonomi Islam, termasuk dalam pengelolaan pertanian. Kebijakan khilafah dalam menjalankan politik dalam dan luar negeri berdasarkan syariat Islam, menjadikan ri'ayah (pengaturan) di dalam negeri dilakukan dengan penerapan Islam. Negara hadir sebagai penanggung jawab hajat rakyat, termasuk dalam pemenuhan pangan yang merupakan kebutuhan asasi. Sebab, Rasulullah saw. telah menegaskan tentang fungsi pemerintah dalam sabda Beliau,
"Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya. "(HR Muslim dan Ahmad)
Dalam mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan, khilafah akan menggenjot produksi dalam negeri, agar para petani berproduksi secara maksimal. Negara akan memfasilitasi penelitian dari para ilmuwan untuk menghasilkan bibit unggul, menyediakan mesin penggarap lahan atau teknologi pertanian terbaru, menyalurkan bantuan permodalan, membangun infrastruktur yang mendukung pertanian, seperti jalan dan irigasi, termasuk mempermudah distribusi produk pertanian ke seluruh wilayah negara.
Dengan pelaksanaan syariat Islam, khilafah juga akan menghilangkan berbagai faktor penyebab distorsi pasar, semisal penimbunan barang, adanya mafia atau kartel, penipuan yang memicu lonjakan harga secara tidak wajar, juga ketergantungan terhadap impor.
Penerapan politik ekonomi Islam menjadikan kebijakan perekonomian terpusat pada pemerintah, sehingga menghilangkan peran korporasi. Aktivitas impor pun dilakukan hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Negara akan berupaya lepas dari impor ketika sudah mampu memproduksi komoditas tersebut. Oleh karena itu, Khilafah tidak akan tergantung dan terikat pada perjanjian (pakta-pakta) yang bertentangan dengan Islam, yang akan mengancam kedaulatan negara, sebagaimana firman Allah Swt.
"Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman."(QS an-Nisaa: 141).
Wallahu a'lam bishwab
Oleh: Amanahtya
Sahabat Tinta Media