101 Tahun Tanpa Khilafah, Sejarawan: Islam Lemah Akibat Nasionalisme dan Kolonialisme - Tinta Media

Jumat, 25 Februari 2022

101 Tahun Tanpa Khilafah, Sejarawan: Islam Lemah Akibat Nasionalisme dan Kolonialisme

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1VtgOt1OVpCFCOKqOHAvmDBlzHG48tj1G

Tinta Media - Merefleksi 101 tahun pasca runtuhnya Khilafah Islam, Sejarawan Moeflich H. Hart menyampaikan bahwa Islam melemah sejak munculnya nasionalisme kolonialisme.

“Islam melemah, Barat menguat sejak munculnya nasionalisme dan kolonialisme yang banyak menjajah negeri-negeri Muslim,” tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (23/02/2022).

Menurutnya kondisi ini sudah dirasakan sejak masa renaisan abad ke-17.  “Kondisi peradaban saat ini, kita tahu sejak abad ke-17 itu mulai muncul kebangkitan Barat ‘bibit-bibitnya’ dari renaisan sebagai peralihan ke masa modern. Sejak abad ke 18 secara teknologi, Barat mulai bangkit akan menggantikan dunia Islam yang melemah,” jelasnya.

“Lalu sejak abad 19 secara politik, Barat makin kuat, dunia menjadi monopolar yang tadinya dunia Islam dan Barat berdampingan, bersaing dan berseteru. Barat menguat secara politik, terutama diperkuat lagi pada awal abad ke-20. Islam semakin lemah setelah runtuhnya khilafah tahun 1924 atau 101 tahun yang lalu,” jelasnya lebih lanjut.

Ia mengungkapkan tiga kaki yang menyangga Barat yaitu kapitalisme, sekularisme dan demokrasi. “Ketiganya itu saling berkaitan, saling menopang. Nah, itu yang sekarang dominan yang kemudian juga menjadi sebuah sistem pengetahuan dan kebenaran yang disebut dengan modernisme,” ungkapnya.

Cengkraman Ekonomi Kapitalis

Moeflich menilai Indonesia bukan negara kapitalis, ataupun sekuler tetapi negara Pancasila yang ekonominya gotong-royong, kerakyatan dan koperasi yang tidak pernah maju itu. “Kita tahu sejak kemerdekaan sampai sekarang ekonomi pribumi tidak pernah berkembang, tidak pernah maju, karena sejak awal pembangunan sudah memakai paradigma hutang ke negara-negara besar seperti Jepang, Amerika, melalui IGGI, IMF dan sebagainya,” bebernya.

Menurutnya, inilah awal Indonesia terjebak hutang yang besar ke negara-negara kapitalis. “Akhirnya kapitalisme mencengkram Indonesia. Bahkan sejak awal abad 20 sudah banyak perkembangan pembangunan perkotaan itu sangat bernuansa, berwarna kapitalis, yang disebut pheripery capitalism atau kapitalisme pinggiran ” ujarnya.

Di sinilah ia melihat modal menjadi ukuran utama dalam mengembangkan sebuah kota peradaban dunia kapitalisme, karena sumbernya dari Barat, dari negara-negara maju yang sekuler. “Akhirnya negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia tidak bisa melepaskan pengaruh dari kapitalisme, kemudian berpengaruh luas kepada kehidupan ekonomi Indonesia sampai sekarang,” terangnya.

“Indonesia sistem ekonominya dalam konstitusi adalah Pancasila, sistem ekonomi gotong royong, kerakyatan, prakteknya kapitalisme. Susah dihindarinya karena memang sangat kuat dan sejak awal kita memang mendekati kapitalisme dengan paradigma hutang,” tambahnya.

Ia menyampaikan bahwa paradigma kapitalisme adalah modal sebagai instrumen utama dalam pembangunan dan ekonominya ekonomi bebas. “Kapitalisme itu liberal karena kepemilikan tanpa batas sehingga persaingan menjadi persaingan bebas yang tidak diatur oleh negara. Pemodal, orang kaya makin kaya, orang miskin makin miskin,” tuturnya.

“Diperkuat oleh budaya konglomerasi karena kalau kapitalisme telah berkembang efeknya pasti muncul konglomerasi (penguasaan perusahaan-perusahaan besar untuk mencaplok, menguasai ekonomi rakyat kecil kelas menengah dan kaum pribumi),” lanjutnya.

Setelah abad 21 ia mengamati banyak pengamat Barat mulai melihat kelemahan-kelemahan kapitalisme.

“Mulai banyak kritik terhadap kapitalisme, ada buku Misalnya Post Capitalism, ada Post Capitalist Society masyarakat paska kapitalis. Sudah diamati kapitalisme bukan masa depan dunia, tidak mensejahterakan rakyat dan masyarakat karena dimana-mana di dalam sistem kapitalisme yang berkuasa kaum pemodal, orang kaya yang melemahkan orang-orang miskin, orang kecil dan membuat ekonomi masyarakat tidak berkembang secara merata. Makin besar modal, makin banyak kekayaan, makin berkuasa akhirnya bukan hanya ekonomi tapi juga kepada politik bahkan agama,” jelasnya.

Ia juga menyampaikan bukti kapitalisme tidak mensejahterakan dengan banyaknya dunia Barat mencari alternatif ekonomi yang lebih adil, merata dan salah satunya melihat kepada Islam.

“Sekarang bank-bank Syariah mulai dilirik di Amerika. Kalau kita tanya di mana bank syariah paling banyak di dunia? jawabannya bukan di Arab Saudi bukan di Iran bukan di Malaysia, apalagi Indonesia, tapi di Inggris. Ini kan unik,” ungkapnya.

“Jadi di Inggris itu bank syariah terbanyak. Artinya dilirik sebagai sebuah alternatif ekonomi modern yang lebih adil. Di Amerika di beberapa kota mulai mengadopsi bank syariah. Ini membuktikan bahwa ekonomi syariah di Amerika Serikat itu aternatif atas kapitalisme yang tidak mensejahterakan rakyat,” jelasnya lebih lanjut.

Solusi Terbaik

Menurut Moeflich H. Hart, solusi terbaik ada pada peradaban Islam. “Kalau kita bicara solusi peradaban mana yang terbaik di dunia, ya kita harus melihat sejarah,” ujarnya.

Ia mengajak umat melacak, bercermin pada sejarah.  “Peradaban manakah antara misalnya Babilonia, Yunani, Islam, India, Cina, manakah yang paling _long lasting_ yang paling lama dalam sejarah,”

Ia memperlihatkan fakta Islam yang paling kuat. “Sistem Khilafah misalnya, kalau istilah kekhilafahannya itu mulai Khulafaur Rasyidin sampai abad ke 20 (14 abad). Di situ ada unsur-unsur pemerintahan Islamnya terlepas dari ragam bentuknya, kemudian proses politiknya, menerapkan syariat Islam atau tidaknya, tapi itu sebagai khasanah kekayaan peradaban Islam,” terangnya.

Ia mengungkap alasan peradaban Islam mampu bertahan lama. “Mengapa peradaban Islam itu bertahan paling lama? Ya karena kemampuannya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat dunia,” ungkapnya.

“Peradaban Islam paling tahan karena yang paling dibimbing oleh agama yang dominan. Dalam peradaban Islam maka prestasi ilmu pengetahuannya pun gemilang,” lanjutnya.

Dari bukti sejarah peradaban yang paling lama di muka bumi, ia menyimpulkan bahwa peradaban Islam adalah yang paling baik. “Bila dijadikan cermin bisa dijadikan sebagai alternatif untuk masa depan,” jelasnya.

Hanya menurutnya, butuh perjuangan untuk menegakkan kembali peradaban Islam.

“Kaum Muslimini harus memperjuangkannya (Islam) untuk bisa dominan lagi, untuk menang dalam ilmu, agama, politik dan ekonomi agar bisa eksis lagi, mengatasi peradaban peradaban Barat yang sekarang sedang melemah, menua, akan menuju kehancurannya,” tegasnya.

Menurutnya, peradaban Islam itu sesuatu yang niscaya pasti akan muncul dan menguat kembali. “Rasulullah sudah prediksi misalnya sistem Khilafah suatu saat entah kapan. Konon katanya ketika nanti Imam Mahdi turun bahwa Khilafah akan muncul kembali dalam versi Khilafah ala minhajin nubuwwah,” terangnya.

“Peradaban Islam akan muncul dengan sendirinya, ketika dakwah Islam tidak pernah berhenti. Terus dilakukan, dijalankan Islamisasi, turut didukung oleh kaum muslimin dan semua ulama muslim, cendekiawan, siapa pun memberikan kontribusi untuk penyadaran. Penyadaran dakwah, seruan kembali kepada Islam,” lanjutnya.

Tidak kalah penting menurutnya, adalah membuktikan keunggulan ajaran Islam melalui prilaku. “Prilaku ustadz-ustadznya, ulamanya, umatnya agar komitmen kepada Islam, menjalankan ajaran Islam, dan mencontohkan kepada umat lain bagaimana unggulnya Islam, sejuknya Islam melalui prilaku. Karena dengan prilaku itulah Islam bakal diakui, dihormati dan dapat memimpin dunia,” terangnya.

Ia ibaratkan orang-orang Islam itu adalah duta-duta besar agamanya. “Melalui tuntutan untuk menunjukkan akhlaknya, prilakunya menjadi Muslim-Muslim yang baik, adil, jujur, tangguh, tegas, menghormati orang lain. Menyuguhkan keadilan, yang ramah, toleran itu karakteristik umat Islam yang benar. Kualitas harus ditunjukkan, kualitas keimanan, hidup yang lurus, berpolitik, ekonomi, keadilan, semuanya ditunjukkan. Itulah cara peradaban Islam unggul kembali,” bebernya.

Terakhir, ia mengajak umat untuk terus mendakwahkan Islam. “Jangan berhenti bicara kebenaran, jangan berhenti kritis, jangan berhenti berteriak, berdakwah, saling mengingatkan. Yang paling penting, jangan lupa instropeksi untuk memperbaiki diri. Jadi dakwah Islam bukan hanya menyalahkan orang lain, mengkritik, tapi penting untuk instropeksi diri sendiri, melihat ke dalam, menyadari apa kelemahannya, memperbaiki umat dimulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, kemudian umat. Itu cara membangun peradaban Islam,” pungkasnya.[] Raras
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :