Lahan Pertanian untuk Cina, Mampukah Mewujudkan Swasembada? - Tinta Media

Rabu, 08 Mei 2024

Lahan Pertanian untuk Cina, Mampukah Mewujudkan Swasembada?



Tinta Media - Lagi-lagi Cina! Pemerintah berencana membuka lahan sejuta hektar di Kalimantan Tengah untuk penanaman padi Cina. Sebagaimana disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam akun Instagram resminya @luhut.pandjaitan, Minggu 21 April 2024, bahwasanya Indonesia meminta Cina untuk memberikan teknologi padi mereka yang sudah sangat sukses menjadi swasembada dan mereka bersedia.

Artinya, Cina akan mengembangkan pertanian di Kalimantan Tengah dengan memberikan teknologi mereka sebagai bentuk kerja sama dengan Indonesia yang akan dimulai Oktober 2024. 

Kesepakatan tersebut merupakan hasil pertemuan Luhut dengan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi dalam ajang High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI-RRC di Labuan Bajo, NTT (19/4).

Luhut mengatakan bahwa tersedia satu juta hektar lahan di Kabupaten Pulau Pisang, Kalimantan Tengah yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan sawah Cina secara bertahap. Pemerintah juga akan menggandeng mitra lokal setempat dan off taker-nya nanti adalah Bulog. 

Harapannya, alih teknologi dari Cina ini nantinya akan berhasil dengan baik karena selama ini Indonesia masih saja harus mengimpor beras dari negara lain setiap tahunnya. Maka, jika proyek ini berhasil, ia meyakini bahwa Indonesia juga akan mencapai swasembada beras di masa depan. (VoaIndonesia.com,27/4/2024)

Bukan hal baru lagi jika pemerintah negeri ini melalui Menteri Luhut selalu saja melibatkan Cina dalam berbagai proyek dan investasi. Cina seolah diberikan tempat istimewa untuk melakukan eksplorasi sumber daya alam Indonesia di segala bidang. Namun, dalam bidang pertanian ini, apakah akan berhasil seperti yang diharapkan ataukah justru merugikan petani lokal yang seolah sudah diragukan kemampuannya.

Khudori, seorang pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) berpendapat bahwa mengadopsi teknologi pertanian dari negara lain adalah langkah yang sah. Namun, harus dipastikan dulu bahwa teknologi tersebut sesuai dan dapat diaplikasikan dengan baik di dalam negeri.

Mengintroduksi sistem usaha tani seperti menghadirkan bibit dari negara lain tidak selalu jadi solusi baik. Namun, butuh adaptasi, baik iklim/cuaca, sifat tanah, dan hama penyakit. Ini butuh waktu dan tidak selalu berhasil. Karena itu, Khudori menyarankan agar sebelum menjalin kerja sama, pemerintah perlu berdiskusi terlebih dahulu dengan para pakar pertanian nasional demi mengurangi risiko kegagalan.

Pemerintah seharusnya juga belajar dari program-program yang telah dilaksanakan sebelumnya, seperti food estate yang tidak kunjung membuahkan hasil memuaskan, padahal sudah menelan biaya besar dan membuka lahan dengan deforestasi. 

Seharusnya, negara lebih fokus memberdayakan petani dalam negeri sendiri dan memberikan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Kegagalan swasembada beras atau terjadinya impor beras yang terus dilakukan bukan semata karena kurangnya kemampuan petani dalam menggarap lahan. Tetapi juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang masih mengimpor beras di saat petani panen raya. 

Selain itu, petani sulit mendapatkan pupuk bersubsidi, sementara pupuk yang berkualitas tinggi dijual dengan harga yang sangat mahal. Hal itu membuat biaya produksi menjadi tinggi, sedangkan harga gabah dari petani cukup rendah. 

Petani dalam negeri sering merugi. Hasil yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya produksi. Banyak petani yang terpaksa menjual lahan dan gantung cangkul untuk mencari mata pencaharian lain. Lantas, dengan memberikan lahan pertanian ke Cina, apakah tidak menyakiti hati petani yang seharusnya lebih dihargai? Bagaimanapun, petani lokal lebih paham dan lebih menguasai kondisi alam di negeri ini. 

Jika memang Cina dianggap telah sukses di bidang pertanian sampai berhasil mewujudkan swasembada beras, maka pemerintah bisa mendatangkan ahli atau teknologinya untuk disosialisasikan kepada petani lokal untuk menambah pengetahuan, bukan malah mengundang mereka untuk mengolah lahan di sini. 

Bisa jadi, keberhasilan pertanian di Cina karena peran negara yang cukup baik dalam mendukung para petani dalam negerinya. Pemerintah seharusnya juga mengevaluasi apakah sudah memberikan dukungan dan fasilitas terbaik untuk memajukan pertanian di dalam negeri atau tidak.

Di Indonesia sendiri sudah ada berbagai teknologi pertanian padi yang dikembangkan oleh para ahli di bidang pertanian nasional, seperti di IPB. Menurut Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Suryo Wiyono, hasil teknologi yang dikembangkan di IPB telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan produksi pangan nasional. 

Misalnya, IPB panen di Subang di kawasan 350 hektare produksinya 9,7 Ton atau peningkatan produktivitasnya 32 persen. Ada juga rintisan untuk membuat padi gogo yang sudah mulai ditanam di Pati, Blora, Bojonegoro dan lain-lain yang itu sudah menjadi potensi untuk memproduksi beras. 

Saling belajar itu perlu dengan melihat keunggulan masing-masing negara. Akan tetapi jangan selalu melihat apa yang dari luar, termasuk Cina itu selalu lebih unggul dan memandang pertanian negeri sendiri lebih rendah

Dalam sistem kapitalisme, segala sesuatu ditujukan hanya untuk memperoleh manfaat dan keuntungan. Pemerintah sampai rela bekerja sama dengan negara lain yang notabene banyak melakukan kezaliman terhadap sesama muslim dan banyak merugikan negara lain dengan jebakan utangnya. 

Sangat berbeda dengan sistem Islam yang selalu mengutamakan kepentingan rakyat. Sebab, kepemimpinan dipandang sebagai amanat yang kelak harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta. Dalam mengurus segala sesuatu selalu totalitas dengan panduan syariat termasuk dalam bidang pertanian.

Kebijakan pertanian dalam Negara Khilafah ditujukan untuk memaksimalkan pemanfaatan tanah lahan. Karena berdasarkan hadits Nabi Shallallahu alaihi wassalam yang berbunyi,

“Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian,” (HR. Muslim)

Negara tidak melakukan pengaturan yang bersifat teknis dan menyerahkan urusan itu sepenuhnya kepada petani. Negara hanya mengatur urusan yang bersifat umum, seperti sarana dan prasarana yang dibutuhkan dengan fasilitas terbaik. 

Selain itu, negara juga memaksa orang yang mempunyai lahan menggarap tanahnya agar tidak terbengkalai. Jika mereka menelantarkan lahan sampai tiga tahun berturut-turut, negara berhak melakukan penyitaan. Terlebih lagi, negara Islam tidak akan membuka celah kerja  sama dengan negara kafir harbi yang telah menyakiti umat Islam.
Wallahu a’lam bishawab


Oleh: Dini Azra
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :