Dr. Fika Komara: Jangan Tergiring Opini bahwa Islam Normalisasi KDRT - Tinta Media

Rabu, 09 Februari 2022

Dr. Fika Komara: Jangan Tergiring Opini bahwa Islam Normalisasi KDRT

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1dwbRCUdPmP2ju2rUSYrfNQx-rqzVLvE7
Tinta Media - Pasca viralnya ceramah Oki Setiana Dewi (OSD), Ahli Geostrategi dari Institut Muslimah Negarawan (IMUNE) Dr. Fika Komara berpesan kepada umat Islam agar  jangan tergiring opini bahwa Islam menormalisasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

“Jangan sampai karena peristiwa ceramahnya Mbak Oki Setiana Dewi, kita tergiring pada sebuah opini bahwa Islam itu menormalisasi KDRT,” tuturnya di acara rubrik Muslimah Negarawan: Mewaspadai Penumpang Gelap Isu KDRT di kanal Youtube Peradaban Islam, Senin (7/2/2022).

Menurutnya, umat Islam harus membahas dan mendudukkan dari sisi Islam bagaimana Islam mengajarkan tata interaksi antara suami istri. “Kapan Islam membolehkan istri harus dipukul? Kapan dilarang? Ini harus clear,” katanya.

Fika menukil Q.S. an-Nisa ayat 34 sebagai landasan tahapan dalam mendidik istri yang artinya, “Laki laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki)  telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka ). Dan perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka ditempat tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, Maha Besar”.

“Makna qowamah itu sebenarnya luar biasa. Suami diberi kewenangan besar tapi hisabnya juga berat.  Jangan sampai menyalahgunakan kewenangan itu yang  tentu hukumannya lebih berat  di hadapan Allah,” jelasnya.

Ia melanjutkan, saat istri dikhawatirkan nusyuz /membangkang/tidak taat sampai mengarah ke mendzalimi amanah, melanggar hukum syara, memang perlu ditegur, karena suami punya tanggung jawab untuk mentakdzib (mendidik)  istri.

“Langkah yang dilakukan suami dalam mendidik adalah nasehati, dipisahkan tempat tidur dan dipukul. Ini pun ada penjelasan rinci dari  para ulama,” imbuhnya.

Namun menurutnya, konsep hukuman memukul dari suami kepada istri yang nusyuz itu ada ketentuannya, misal tidak boleh menyakitkan dan bukan pada wajah. “ Itu juga langkah terakhir” katanya.

“Saat istri melakukan nusyuz contoh ketidaktaatan istri, misal keluar rumah tanpa izin suami, tidak mau melayani suami, padahal tidak punya uzur (misal haid atau sakit) atau tidak amanah menjaga harta suami dan sebagainya, maka suami terbaik tidak mukul,” jelasnya.

Meski memukul istri itu boleh, lanjutnya, tetapi yang lebih utama adalah memaafkan yaitu tidak memukul istri. “Imam Syafii dalam kitabnya al Umm  meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda ‘Orang-orang terbaik diantara kamu, tidak akan pernah memukul istrinya’,” jelasnya.

Fika melanjutkan,  jika terjadi pertengkaran antara suami istri , dan suami khilaf sampai memukul, padahal istrinya tidak membangkang maka penyelesaiannya melalui tahap-tahap berikut :

“Penyelesaian sengketa rumah tangga bisa dengan pendekatan di rumah (lokal) diselesaikan dengan kekeluargaan dan nasehat yang baik,  kemudian saling menutupi dan saling memaafkan. Ini lebih baik, jangan sampai ada perceraian,” tuturnya.

Namun, lanjutnya, saat suami memang kerap memukul maka ini bisa digolongkan kezaliman yang bisa diproses melalui peradilan Islam, dilaporkan pada pihak berwenang yang amanah menegakkan Islam.

“Masalah rumah tangga itu sangat kasuistik dan tidak bisa dihukumi general. Kita harus melihat kondisinya. Kita juga melihat bahwa kasus-kasus  di rumah tangga  itu ternyata  juga dipengaruhi oleh beberapa faktor besar,” paparnya.

KDRT Tak Terkait Islam

Fika memaparkan hasil studi kasus. “Tahun 2019 (mantan) menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (PPPA) Yohana Susana Yembise mengatakan tingkat kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap perempuan dan anak tertinggi di Indonesia masih berada di tanah Papua,” jelasnya.

“Ironisnya, dua tahun yang lalu (2017) pernyataan yang persis sama keluar dari mulut sang Menteri asal Papua tersebut. Ia mengatakan penyebab tingginya KDRT di Papua karena tradisi turun temurun masyarakat Papua yang masih hobi minum minuman keras, sehingga mengganggu kehidupan di dalam rumah tangga,” imbuhnya.

Dari kasus Papua ini, simpul Fika,  justru KDRT itu tidak ada hubungannya dengan Islam.

“Lembaga elSHAM merilis data Maret 2015 lalu yang menyatakan bahwa kekerasan yang dialami kaum perempuan Papua, bukan hanya sekedar kasus KDRT. Lebih dari itu kasus kekerasan oleh aparat militer  di Papua lebih besar dampaknya pada perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung  kepada perempuan Papua,” paparnya.

“Ini yang harus kita dudukkan dengan baik, bahwa ada faktor-faktor sirkumstan (faktor-faktor  makro) untuk kasus-kasus  kekerasan. Sistem hukum dan kebijakan, Industri gaya hidup, lingkungan sosial ekonomi, keluarga besar suami istri adalah contoh  faktor makro yang tidak  langsung berpengaruh tapi pengaruhnya sangat kuat untuk kasus kekerasan.

“Karena itu untuk  mengungkap kasus-kasus  kekerasan  perlu pendekatan ‘mengupas kulit bawang’ (Peeling The Onion Approach). Yaitu dengan mendetili  faktor-faktor makro seperti sistem hukum dan kebijakan, Industri gaya hidup, lingkungan sosial ekonomi, keluarga besar, suami istri dan lain-lain,” ungkapnya.

“Persoalannya tidak  bisa dilokalisir bahwa  ajaran Islam menormalisasi KDRT. Itu justru kalimat berbahaya,  sekaligus menunjukan dangkalnya pemahaman mereka terhadap Islam, terhadap ayat di atas  dan bagaimana gambaran terhadap sistem kehidupan Islam secara makro,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :