Tinta Media - Direktur Forum on Islamic World Studies Farid Wadjdi menjelaskan, Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. “Islam dan politik tidak bisa dipisahkan,” tuturnya dalam acara Rajab Expo 1443 H: 101 Tahun Tanpa Khilafah, Ambruknya Kapitalisme, Tegaknya Peradaban Islam, Rajab Speak Up! Sabtu (26/2/2022) yang dilakukan secara daring.
Farid menjelaskan makna politik yang dikutip dari kitab Mafahim Siyasiyah li Hizbi at Tahrir bahwa politik adalah pengaturan urusan-urusan umat di dalam negeri negeri maupun luar negeri, baik dari sisi negara ataupun rakyat. “Politik tentu tidak bisa dipisahkan dengan negara, sebagai institusi politik yang secara langsung mengatur urusan umat, menerapkan mabda (ideologi ) Islam di dalam negeri. Inilah yang disebut politik dalam negeri (as-siyasatud-dakhiliyyah),” jelasnya.
Negara pula, lanjut Farid, secara langsung berhubungan dengan negara, umat, atau bangsa lain dalam politik luar negeri (as-siyasatul-khorijiyah). “Sementara dari sisi rakyat, aktifitas politik utama yang dilakukan rakyat adalah melakukan koreksi terhadap penguasa, (muhasabah lil hukkam),” imbuhnya.
Khilafah
Farid mengutip pendapat KH. Sulaiman Rasjid, dalam bukunya Fiqh Islam, Bab Kitab al Khilafah, yang dengan gamblang menyebutkan bahwa al-Khilafah adalah suatu susunan pemerintahah yang diatur menurut ajaran Islam. Sistem pemerintahan Islam ini dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin, dan kepala negaranya disebut khalifah.
“Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.” jelasnya mengutip pendapat Syeikh Taqiyuddin an Nabhani, dalam Nizhamul Hukm fi Al Islam, h. 34.
Menurutnya, fungsi penting negara khilafah adalah pertama, menyatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan di dunia. Kedua, menerapkan seluruh syariah Islam secara kaffah dalam mengatur urusan rakyat. Ketiga, mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Dan prinsip penting sistem Pemerintahan Islam menurutnya adalah pertama, kedaulatan pada hukum syara (Q.S. An Nisa [4]:65), Kedua, kekuasaan ada di tangan umat. Maksudnya rakyat memiliki hak mengangkat khalifah dengan metode bai’at dan mengoreksi penguasa. Ketiga, kewajiban mengangkat seorang khalifah. Mengangkat khalifah wajib atas kaum muslimin. Keempat, khalifahlah yang berhak mentabani hukum syara.
Farid mengutip sabda Rasulullah SAW. “Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan (kepada Khalifah), niscaya ia akan menemui Allah kelak pada Hari Kiamat tanpa memiliki hujjah. Siapa saja yang mati, sementara tidak ada baiat (kepada Khalifah) di pundaknya, maka ia mati seperti kematian jahiliah” (HR Muslim).
Makna sabda Rasul SAW “mâta mîtatan jâhiliyyat[an]”, lanjutnya, menurut Ibn Hajar al-‘Ashqalani, adalah kondisi kematian seperti kematian orang jahiliah di atas kesesatan, dan tidak ada untuk dirinya seorang imam yang ditaati sebab mereka tidak mengenal yang demikian. Maksudnya, bukan berarti dia mati dalam keadaan kafir, tetapi mati dalam keadaan sedang bermaksiat.
“Dalam kitab Syarh Shahîh Muslim, Imam an-Nawawi menyatakan, Mereka (para sahabat) sepakat bahwa wajib kaum Muslim mengangkat seorang Khalifah. Kewajibannya itu dinyatakan berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal,” ungkapnya.
Ia membeberkan alasan memilih Khilafah. “Karena khilafah adalah tuntutan akidah dan syariat, menyejahterakan rakyat, menjamin keamanan rakyat, penjaga persatuan dan pertahanan negeri-negeri islam, memuliakan dan menjaga kehormatan wanita, melindungi orang yang lemah dan warga non muslim dan menyebarluaskan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin,” jawabnya.
Farid menjelaskan bagaimana pengakuan Barat tentang Khilafah. Diantaranya adalah, “Peradaban Barat modern banyak mendapatkan manfaat dari kemajuan ini. Peradaban yang saya maksud adalah dunia islam dari tahun 800 M s/d 1600 M, termasuk didalamnya wilayah khilafah Ustmaniyah, Baghdad, Damaskus dan Kairo. Demikian pula masa para pemimpin yang cemerlang seperti khalifah Sulaiman yang perkasa,” paparnya mengutip pendapat Carly Florina CEO, Hewlett-Packcard (HP) 26/09/2001.
Farid mengutip pendapat Jonathan Bloom dan Sheila Blair dalam bukunya yang berjudul: Islam A Thousand Years of Faith and Power, Yali Univercity Press, London 2002, hal 105. Yang mengatakan bahwa: Di wilayah kekuasaan Islam tidak hanya Muslim, tapi juga Kristen dan Yahudi menikmati kehidupan yang baik. Mereka mengenakan pakaian yang bagus di kota-kota indah yang dilayani oleh jalan-jalan beraspal, air gratis dan saluran air, dan memakan hidangan dengan bumbu lezat yang disajikan dengan piring keramik dari Cina.
“Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani telah memberikan contoh toleransi, keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa,” tuturnya mengutip pendapat Thomas Walker Arnold, Sejarawan Kristen.
Sejarawan Will Durant, lanjutnya, mengatakan: Para Kholifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Kholifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapapun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setalah masa mereka.
“Ibnu Abdil Hakam (Sîrah Umar bin Abdul 'Azîz hlm. 59) meriwayatkan, Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu berkata, "Saya pernah diutus Umar bin Abdul Aziz untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungutnya, saya bermaksud memberikannya kepada orang-orang miskin. Namun, saya tidak menjumpai seorang pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan semua rakyat pada waktu itu berkecukupan. Akhirnya, saya memutuskan untuk membeli budak lalu memerdekakannya." (Al-Qaradhawi, 1995),” terangnya.
“Imperium khilafah tampaknya adalah negara pertama di dunia yang menikmati tingkat kesejahteraan atau kedamaian yang dibutuhkan untuk berkembangnya ilmu pengetahuan,” pungkasnya mengutip pendapat Adam Smith. [] Irianti Aminatun